JMU             ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 12 NO.1,JANUARI, 2023


∕          I—∖<Λ Λ I DIRECTORY OF

Jurnal medika udayana     J        I—- UAJ JOURNAL^55

Diterima: 2022-08-15 Revisi: 2022-11-13 Accepted: 25-01-2023

KORELASI HIPERTROFI KONKA INFERIOR TERHADAP DERAJAT DEVIASI SEPTUM NASI MENGGUNAKAN MODALITAS CT SCAN PADA PASIEN DEVIASI SEPTUM NASI

Suryani1, Junus Baan2, Mirna Muis2

Muhammad Fadjar Perkasa3, Andi Alfian Zainuddin4

1PPDS Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia 2Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia 3Departemen THT-KL Fakultas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia 4Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat-Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

Corresponding author e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Latar Belakang: Hubungan antara hipertrofi konka inferior dengan sudut deviasi septum nasi merupakan fenomena yang telah diketahui. Deviasi septum nasi menggambarkan septum nasi yang tidak lurus dan cacat. Masih sangat terbatasnya studi yang melihat adanya keterkaitan antara hipertrofi konka inferior dan derajat deviasi septum nasi pada pasien deviasi septum nasi. Tujuan: Menentukan hubungan antara hipertrofi konka inferior terhadap sudut deviasi septum nasi menggunakan modalitas CT scan. Metode: Penelitian analitik observasional dengan metode cross sectional menggunakan data sekunder dengan menilai letak deviasi septum, derajat deviasi septum nasi, hipertrofi konka inferior berdasarkan offset lateral, lebar konka, lebar tulang dan lebar mukosa medial konka inferior menggunakan modalitas CT untuk melihat korelasi hipetrofi konka inferior terhadap derajat deviasi septum dan uji t-independet (nilai P < 0,05). Hasil: Didapatkan 45 sampe berdasarkan kriteria inklusi. Sampel termuda yaitu 18 tahun dan usia tertua adalah 83 tahun dengan jumlah perempuan 18 orang (40%) dan jumlah laki-laki 27 orang (60%). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara letak deviasi terhadap derajat deviasi septum nasi dengan nilai p 0,138 (p > 0,05) serta tidak ada hubungan yang signifikan antara hipertrofi konka inferior, baik pada pengukuran offset lateral, lebar konka inferior, lebar tulang konka inferior dan lebar mukosa medial pada anterior dan posterior terhadap sudut deviasi septum nasi (nilai p > 0,05). Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara letak deviasi terhadap derajat deviasi septum nasi serta tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hipertrofi konka inferior, baik pada pengukuran offset lateral, lebar konka inferior, lebar tulang konka inferior dan lebar mukosa medial pada anterior dan posterior terhadap sudut deviasi septum nasi.

Kata Kunci: Hipertrofi Konka Inferior, Deviasi Septum Nasi, CT Scan

ABSTRACT

Background: The relationship between inferior turbinate hypertrophy and the deviation angle of the nasal septum is a well-known phenomenon. Nasal septum deviation describes a deformed and crooked nasal septum. There are still very limited studies looking at the relationship between inferior turbinate hypertrophy and the degree of nasal septum deviation in patients with nasal septum deviation. Objective: Determine the relationship between inferior turbinate hypertrophy and the angle of deviation of the nasal septum using CT scan modality. Methods: Observational analytic study using cross-sectional method using secondary data by assessing the location of septal deviation, degree of nasal septal deviation, inferior turbinate hypertrophy based on lateral offset, turbinate width, bone width and medial mucosa width of inferior turbinate using CT modality to see correlation of inferior turbinate hypertrophy on the degree of septal deviation and independent t-test (p-value <0,05). Results: Obtained 45 samples based on inclusion criteria. The youngest sample is 18 years old and the oldest is 83 years old with 18 women (40%) and 27 men (60%). The results showed that there was no relationship between the location of the deviation and the degree of deviation of the nasal septum with a p-value of 0,138 (p> 0.05) and there was no significant relationship between inferior turbinate hypertrophy, both in

measurement of lateral offset, width of the inferior turbinate, and bone width of the inferior turbinate and the width of the medial mucosa anteriorly and posteriorly to the angle of deviation of the nasal septum (p-value > 0.05). Conclusion: There is no significant relationship between the location of the deviation and the degree of deviation of the nasal septum and there is no significant relationship between inferior turbinate hypertrophy, both on the measurement of lateral offset, width of the inferior turbinate, width bone of the inferior turbinate and width of the medial mucosa anteriorly and posteriorly to the angle nasal septal deviation.

Keywords: Inferior Turbinate Hypertrophy, Nasal Septal Deviation, CT Scan

PENDAHULUAN

Obstruksi jalan napas adalah masalah yang menantang yang dapat muncul dari berbagai etiologi, yang meliputi kelainan struktural seperti deformitas septum hidung dan hipertrofi konka inferior.1 Deviasi septum nasi memainkan peran penting dalam gejala obstruksi nasal yang mengakibatkan sleep disordered breathing (SDB), penampilan estetika hidung, peningkatan resistensi hidung, dan terkadang dapat menyebabkan mendengkur.2,3,4,5 Deviasi septum nasi menggambarkan septum nasi yang tidak lurus dan cacat. Kelainan ini adalah kelainan yang umum dan dapat diamati pada 80% populasi.6

Pada tahun 1954, Lindahl menggambarkan deviasi septum nasi baik sebagai perkembangan atau kongenital, atau traumatis. Deviasi yang didapat secara kongenital sering berkembang selama masa pertumbuhan wajah tengah yang cepat dan dikaitkan dengan penurunan pertumbuhan wajah tengah dan predisposisi yang kuat untuk deviasi septum.7 Pada deviasi septum nasi kongenital biasanya halus, septum nasi dapat "berbentuk C" atau "berbentuk S" dengan kejadian lebih sering di septum anterior). Sedangkan pada deviasi septum nasi traumatis biasanya tidak teratur (ireguler), angulasi, dan kadang-kadang dislokasi.2

Untuk menentukan derajat deviasi septum nasi, dapat menggunakan CT scan, dengan cara menarik garis dari crista galli ke puncak hidung untuk menentukan garis tengah. Pengukuran ortogonal diambil dari garis tengah ke puncak deviasi septum hidung maksimal.1

Kemudian menilai sudut deviasi, yang dihitung dari garis tengah dan batas maksimal luar deviasi sehingga menghasilkan derajat deviasi septum. Derajat deviasi septum nasi dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu: ringan(<9°), sedang (9°-15°), dan berat (>15°).8

Letak deviasi septum juga dapat dinilai dengan membagi 10 segmen pada nasal septum dan diklasifikasikan menjadi 9 letak deviasi septum yang diukur pada bidang horizontal dan coronal.9

Pada pasien dengan sumbatan hidung dan deviasi septum, dapat ditemukan berbagai derajat hipertrofi konka inferior bersamaan atau kompensasi di sisi hidung yang berlawanan dengan deviasi septum mayor. Seperti pada penelitian Jha AK,dkk, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi yang signifikan secara statistik (p<0,05) antara ketebalan konka total (hipertrofi konka inferior) dan sudut deviasi (derajat deviasi septum nasi). Korelasi yang signifikan secara statistik (p<0,05) juga diamati antara mukosa medial dan ketebalan tulang.10 Begitu juga dengan penelitian Tomblinson CM,dkk, dimana hipertrofi konka inferior berbanding lurus dengan derajat deviasi septum nasi.1

Computed Tomography (CT) adalah teknik non-invasif dalam menilai komposisi anatomi konka inferior dan digunakan untuk membantu dalam menentukan jenis pengurangan konka tergantung pada jenis hipertrofi, apakah mukosa, tulang, atau keduanya. Namun, tidak ada pengukuran objektif atau referensi untuk ukuran jalan napas normal di area yang berbeda, dan keputusannya tergantung pada evaluasi subjektif dari ahli bedah.11

Karena tidak ada definisi standar untuk hipertrofi konka inferior pada CT, pengukuran diperoleh untuk mendokumentasikan lebar konka inferior dan sejauh mana ia diproyeksikan ke dalam rongga hidung. Terdapat empat pengukuran konka nasalis inferior melalui CT Scan, yaitu: 1) Offset lateral menunjukkan jarak transversal maksimum dari aspek paling medial tulang konka inferior ke dinding lateral hidung. 2) Lebar ditentukan oleh lebar transversal maksimum dari pendulus konka inferior termasuk jaringan lunak dan tulang. 3) Lebar tulang menunjukkan lebar transversal maksimum tulang konka inferior. 4) Lebar mukosa medial adalah pengukuran melintang pada titik ketebalan jaringan lunak maksimal sepanjang aspek medial dari konka inferior. Agar konsisten, semua pengukuran ini dilakukan oleh ahli radiologi pada tingkat kompleks ostiomeatal pada gambar paling koronal posterior di mana ostium sinus maksilaris primer terlihat.1

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara hipertrofi konka inferior terhadap sudut deviasi septum nasi menggunakan modalitas CT scan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode cross sectional menggunakan data sekunder untuk menganalisa korelasi antara hipertrofi konka inferior dengan derajat deviasi septum nasi menggunakan modalitas CT scan pada pasien deviasi septum nasi. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar dari bulan September sampai dengan Oktober 2022.

Populasi penelitian adalah semua pasien yang melakukan pemeriksaan CT scan kepala di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Pengambilan sample dilakukan secara consecutive sampling didapatkan 45 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini telah mendapatkan keterangan kelayakan etik (ethical clearance) dari komite

etik penelitian Universitas Hasanuddin dengan nomor: 553/UN4.6.4.5.31/PP36/2022.

Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis menggunakan program software Statistical Programme Social Science (SPSS) version 25. Data diolah dengan dua bentuk analisis yaitu analisis univariat dan analisis bivariat (uji t-indepent). Adapun data yang dianalisis menggunakan univariat untuk melihat distribusi karakteristik sampel. Sedangkan data yang menggunakan analisis bivariat (uji t-independet) bertujuan untuk mengetahui korelasi kedua variabel tersebut kemudian didistribusikan ke dalam bentuk tabel dan narasi. Penelitian ini menilai letak deviasi septum, derajat deviasi septum nasi, hipertrofi konka inferior berdasarkan offset lateral, lebar konka, lebar tulang dan lebar mukosa medial konka inferior menggunakan modalitas CT untuk melihat korelasi hipetrofi konka inferior terhadap derajat deviasi septum.

HASIL

Penelitian ini terdiri dari 45 subjek penelitian yang merupakan pasien dengan diagnosis deviasi septum nasi yang disarankan pemeriksaan CT scan sinus di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, yang memenuhi kriteria inklusi. Karakteristik subjek penelitian disajikan pada tabel 1 sampai dengan table 11.

Pada tabel 1 ditunjukkan bahwa dari 45 subjek penelitian, usia termuda yaitu 18 tahun dan usia tertua adalah 83 tahun. Pada tabel 2, dari 45 subjek penelitian, jumlah perempuan pada penelitian ini adalah 18 orang (40%) dan jumlah laki-laki pada penelitian ini adalah 27 orang (60%). Berdasarkan tabel 3, pasien deviasi septum penelitian ini lebih banyak mengarah ke kiri yaitu dengan jumlah 25 subjek (55.6%) dibandingkan dengan arah ke kanan dengan jumlah 20 subjek (44,4%). Berdasarkan tabel 4, letak deviasi anteromedia sebanyak 7 subjek (15,6%), anteroinferior 10 subjek (22.2%), medioinferior 6 subjek (13,3%), mediomedia sebanyak 17 subjek (37,8%), posteromedia sebanyak 3 subjek (6.7%) dan posterosuperior sebanyak 2 subjek (4,4%). Pada tabel 5, nilai rerata garis tengah adalah 4,59 cm, dengan minimum 3,92 cm dan maksimum 5,25 cm. Nilai tengah yang didapat adalah 4,59 cm. Standard deviasi garis tengah ini adalah 0,308. Berdasarkan tabel 6, rerata nilai batas maksimal deviasi septum nasi adalah 0,54 cm, dengan minimum 0,32 cm dan maksimum 0,83 cm. Nilai tengah batas maksimal deviasi septum nasi adalah 0,54 cm. Standard deviasi garis tengah ini adalah 0,107. Berdasarkan 7, nilai tengah sudut deviasi adalah 10o, dengan minimal sudut deviasi adalah 5o dan maksimal 15o. 10 subjek (22,2%) memiliki sudut deviasi ringan, dan 35 subjek (77,8%) memiliki sudut deviasi sedang.

Nilai rerata offset lateral posisi anterior adalah 0,89 cm dengan nilai minimum 0,52 cm dan maksimum 1,46 cm dan nilai tengah 0,89 cm, sedangkan nilai rerata offset lateral posisi posterior adalah 0,72 cm, dengan nilai minimum 0,40 cm dan nilai maksimum 1,10 cm dan nilai tengah 0,71 cm (tabel 8). Pada tabel 9, rerata lebar konka inferior pada anterior adalah 1,22 cm dengan nilai minimum 0,32 cm dan maksimum 1.96 cm dan nilai tengah 1,20 cm. Sedangkan pada posterior, rerata lebar konka inferior 1,16 cm dengan http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2023.V12.i1.P07

nilai minimum 0,25 cm dan maksimum 1,91 cm dan nilai tengah 1,15 cm. Berdasarkan tabel 10, rerata lebar tulang konka inferior anterior adalah 0,39 cm dengan nilai minimum 0,20 cm dan maksimum 0,63 cm dan nilai tengah 0,39 cm. Rerata lebar tulang konka inferior posterior adalah 0,32 cm dengan nilai minimum 0,19 cm dan maksimum 0,52 cm dan nilai tengah 0,31 cm. Dan pada tabel 11, rerata lebar mukosa medial anterior adalah 0,58 cm dengan nilai minimum 0,27 cm dan maksimum 0,88 cm dan nilai tengah 0,57 cm. Rerata lebar mukosa medial posterior adalah 0,57 cm, dengan nilai minimum 0,33 cm dan maksimum 1,04 cm dan nilai tengah 0,55 cm.

Hubungan antara letak deviasi septum nasi terhadap derajat deviasi septum nasi dapat dilihat pada tabel 12. Berdasarkan tabel 12, pada kelompok derajat deviasi septum ringan ditemukan 1 pasien (10%) dengan letak deviasi anteromedia, 6 pasien (60%) dengan letak anteroinferior, 1 pasien (10%) dengan letak medioinferior, 2 pasien (20%) dengan letak mediomedia dan tidak ada yang memiliki letak deviasi posteromedia ataupun posterosuperior. Sedangkan pada kelompok derajat deviasi septum sedang, 6 pasien (17,1%) dengan letak anteromedia, 4 pasien (11,4%) dengan letak anteroinferior, 5 pasien (14,3%) dengan letak medioinferior, 15 pasien (42,9%) dengan letak mediomedia, 3 kasus (8,6%) dengan letak posteromedia dan 2 pasien (5,7%) dengan letak posterosuperior. Hasil ini menunjukkan tidak ada hubungan antara letak deviasi terhadap derajat deviasi septum nasi, dengan nilai p 0,138.

Sedangkan hubungan antara hipertrofi konka inferior terhadap derajat deviasi septum nasi dapat dilihat pada tabel 13, dimana rerata offset lateral anterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 0,83 cm dengan nilai minimum 0,64 cm dan maksimum 1,13 cm, sedangkan rerata offset lateral anterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 0,91 cm dengan minimum 0,52 cm dan maksimum 1,46 cm. Rerata offset lateral posterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 0,65 cm dengan nilai minimum 0,46 cm dan maksimum 0,87 cm, sedangkan rerata offset lateral posterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 0,74 cm dengan minimum 0,40 cm dan maksimum 1,10 cm. Tidak ada korelasi antara offset lateral anterior (p=0,226) dan posterior (p= 0,097) terhadap derajat deviasi septum. Rerata lebar konka inferior anterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 1,19 cm dengan nilai minimum 0,95 cm dan maksimum 1,48 cm, sedangkan rerata lebar konka inferior anterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 1,23 cm dengan minimum 0,32 cm dan maksimum 1,96 cm. Rerata lebar konka inferior posterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 1,11 cm dengan nilai minimum 0,90 cm dan maksimum 1,39 cm, sedangkan rerata lebar konka inferior posterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 1,17 cm

dengan minimum 0,25 cm dan maksimum 1,91 cm. Tidak ada korelasi antara lebar konka inferior anterior (p=0,657) dan posterior (p=0,504) terhadap derajat deviasi septum.

Rerata lebar tulang konka inferior anterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 0,37 cm dengan nilai minimum 0,34 cm dan maksimum 0,43 cm, sedangkan rerata lebar tulang konka inferior anterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 0,40 cm dengan minimum 0,20 cm dan maksimum 0,63 cm. Rerata lebar tulang konka inferior posterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 0,31 cm dengan nilai minimum 0,25 cm dan maksimum 0,45 cm, sedangkan rerata lebar tulang konka inferior posterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 0,32 cm dengan minimum 0,19 cm dan maksimum 0,52 cm. Tidak ada korelasi antara lebar tulang konka inferior (p=0,290) dan posterior (p=0,600) terhadap derajat deviasi septum.

Rerata lebar mukosa medial konka inferior anterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 0,59 cm dengan nilai minimum 0,39 cm dan maksimum 0,75 cm, sedangkan rerata lebar mukosa medial konka inferior anterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 0,57 cm dengan minimum 0,27 cm dan maksimum 0,88 cm. Rerata lebar mukosa medial konka inferior posterior pada kelompok derajat deviasi septum ringan adalah 0,55 cm dengan nilai minimum 0.33 cm dan maksimum 0,71 cm, sedangkan rerata lebar mukosa medial konka inferior posterior pada kelompok derajat deviasi septum sedang adalah 0,57 cm dengan minimum 0,33 cm dan maksimum 1,04 cm. Tidak ada korelasi antara lebar mukosa medial konka inferior (p=0,670) dan posterior (p=0,662) terhadap derajat deviasi septum.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan letak deviasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat deviasi septum nasi. Sejauh ini, belum ada penelitian yang meneliti mengenai hubungan antara letak deviasi dengan derajat deviasi septum. Namun kami berpendapat bahwa, letak deviasi septum nasi, baik dilihat berdasarkan klasifikasi letak deviasi Mladina, maupun berdasarkan Buyukertan M, tidak akan mempengaruhi derajat deviasi septum, dikarenakan pengukuran derajat deviasi septum yaitu berdasarkan garis tengah hidung dan batas maksimal deviasi septum nasi yang terjadi, sehingga apapun letak deviasi tidak akan mempengaruhi derajat deviasi septum. Seperti Buyukertan M, dkk juga tidak menilai hubungan antara letak deviasi dengan derajat deviasi septum. Namun letak deviasi septum ini sangat penting untuk pasien dengan deviasi septum nasi yang ingin melakukan septoplasty.9

Penelitian ini menilai offset lateral, lebar konka inferior, lebar tulang konka inferior dan lebar mukosa medial sebagai hipertrofi konka inferior. Obstruksi hidung mungkin merupakan faktor lain yang terlibat dalam perkembangan perubahan morfologi.12 Namun, hipertrofi tulang konka inferior (HTI) setidaknya merupakan penyebab dari 20% obstruksi hidung. HTI terjadi pada sisi cekung dari septum yang menyimpang. HTI pada sisi cekung dari deviasi septum

dapat bersifat reaktif dan mengkompensasi area di lubang hidung, sehingga hipertrofi ini dapat disebabkan oleh deviasi septum, yang merupakan penyebab penting perubahan pernapasan hidung ke mulut.13

Namun hasil menunjukkan tidak terdapat hubungan antara hipertrofi konka inferior terhadap derajat deviasi septum nasi, baik berdasarkan penilaian offset lateral, lebar konka inferior, lebar tulang konka inferior maupun lebar mukosa media. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Villa J, dkk, yang membuktikan bahwa deviasi septum nasi menunjukkan hipertrofi tulang konka nasalis inferior pada sisi cekung deviasi septum nasi (p=0,049).13

Perbedaan hasil ini, disebabkan karena tidak adanya pedoman acuan dalam menilai hipertrofi konka inferior menggunakan CT. Banyak penelitian mengenai hubungan antara hipertrofi konka inferior dengan sudut deviasi septum, namun menggunakan cara pengukuran yang berbeda-beda. Penelitian Villa J, dkk menggunakan pengukuran tulang konka inferior dengan cara membandingkan tulang konka inferior kiri dan kanan, dan juga menggunakan pengukuran sinus ostium maksilaris. Sedangkan penelitian kami menilai hipertrofi konka inferior menggunakan offset lateral, lebar konka inferior, lebar tulang konka inferior dan lebar mukosa medial yang diukur pada anterior dan posterior. Pada penelitian kami, lebar konka inferior tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap derajat keparahan deviasi septum nasi. Berbeda dengan penelitian Shetty SR, dkk, yang menunjukkan adanya hubungan antara lebar konka inferior terhadap derajat keparahan deviasi septum nasi (p<0,001).14

Dua teori diusulkan untuk menggambarkan korelasi antara hipertrofi konka dan deviasi septum nasi. Teori pertama dan diterima secara luas menyatakan bahwa hipertrofi konka inferior kontralateral terjadi sebagai reaksi kompensasi terhadap deviasi septum nasi. Teori kedua menyatakan bahwa pertumbuhan sepihak dari konka hidung hasil dari penyebab genetik atau trauma kehidupan awal yang mungkin untuk memberikan tekanan pada septum hidung tumbuh sepanjang masa kanak-kanak dan pubertas. Tekanan konstan ini menyebabkan deviasi septum hidung ke sisi kontralateral. Teori ini secara signifikan mendukung fakta bahwa pembesaran tulang secara signifikan berkontribusi pada pengukuran ketebalan konka pada hipertrofi kompensasi.14

Hasil penelitian ini juga menunjukkan ketebalan tulang konka inferior tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap derajat keparahan NSD. Sejalan dengan penelitian Serifoglu I, dkk yang menunjukkan panjang hidung dan ketebalan tulang hidung dipengaruhi oleh sisi deviasi septum, tetapi hal ini tidak berhubungan dengan derajat deviasi septum. Penelitian Serifoglu I, dkk telah menunjukkan bahwa ada keterlambatan pertumbuhan wajah yang signifikan pada sisi cekung dari hidung yang menyimpang.6 Namun berbeda dengan

penelitian Berger, dkk yang menunjukkan bahwa tulang konka, yang menyumbang tiga perempat dari seluruh pertumbuhan, terutama bertanggung jawab untuk hipertrofi kompensasi konka inferior, sedangkan kontribusi komponen mukosa untuk hipertrofi sederhana.15 Begitu juga dengan Tomblinson CM,dkk, yang menilai ketebalan tulang konka inferior di sisi yang berlawanan dengan deviasi septum nasi berkorelasi positif dengan tingkat keparahan NSD yang diukur dengan sudut septum dan volume.1

Diperkirakan bahwa deviasi septum hidung mempengaruhi perkembangan tulang hidung karena hubungan yang erat ini berasal dari tahap perkembangan embriologis. Namun penuaan juga dapat mempengaruhi ketebalan tulang. Penuaan menyebabkan resorpsi tulang terutama di sepertiga tengah wajah. Hal ini dimanifestasikan oleh pembesaran lebar aperture orbital superomedial dan inferolateral.6

Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian lainnya karena Berger, et al. menilai ketebalan tulang konka berdasarkan histopatologi. Sedangkan penelitian kami mengukur ketebalan atau lebar tulang konka berdasarkan pengukuran CT pada anterior dan posterior.

Lebar mukosa juga tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap derajat keparahan deviasi septum nasi. Orhan, dkk menunjukkan bahwa mukosa medial dapat menggambarkan hipertrofi konka inferior (p=0,001).16 Kontribusi mukosa terhadap HTI jauh lebih sedikit, meskipun kesesuaian membandingkan konka yang direseksi secara pembedahan dengan spesimen postmortem telah dipertanyakan. Jika dilihat secara agregat, penelitian yang diterbitkan sebelumnya mendukung HTI kompensasi yang timbul dari penebalan tulang dan mukosa. Mukosa medio-inferior dari konka inferior memiliki tanda pengaruh yang signifikan pada obstruksi hidung karena merupakan yang paling tebal, dengan jaringan kelenjar yang relatif langka dan sinusoid vena yang berlimpah. Mukosa lateral, yang relatif tipis dan kaya akan komponen kelenjar, penting untuk melembabkan udara inspirasi dan mempertahankan fungsi sistem pembersihan mukosiliar. Pembengkakan vasoaktif dan inflamasi mukosa terjadi sebagai respons terhadap stimulasi alergi, dan aktivitas yang diperantarai imunoglobulin E dan eosinofilia sering terlihat pada epitel mukosa konka inferior. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena adanya variabilitas inheren dalam penebalan mukosa yang disebabkan oleh siklus mukosa normal.17

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan:

  • 1.    Deviasi septum nasi lebih banyak ditemukan pada laki-laki (60%) dibandingkan dengan perempuan

  • 2.    Usia rerata pasien deviasi septum nasi pada penelitian ini adalah 46,09 tahun, dengan usia terendah 18 tahun dan tertinggi 83 tahun

  • 3.    Tidak terdapat korelasi antara letak deviasi septum terhadap derajat deviasi septum

  • 4.    Tidak terdapat korelasi antara pengukuran offset lateral nasal anterior dan posterior terhadap derajat deviasi septum

  • 5.    Tidak terdapat korelasi antara pengukuran lebar konka inferior anterior dan posterior terhadap derajat deviasi septum

  • 6.    Tidak terdapat korelasi antara pengukuran lebar tulang konka inferior anterior dan posterior terhadap derajat deviasi septum

  • 7.    Tidak terdapat korelasi antara pengukuran lebar mukosa medial anterior dan posterior terhadap derajat deviasi septum

  • 8.    Tidak terdapat korelasi antara hipertrofi konka inferior terhadap derajat deviasi septum

SARAN

Sesuai literatur, hipertrofi konka inferior mungkin memiliki hubungan dengan derajat deviasi septum. Namun, mengingat tidak ada pedoman acuan dalam pengukuran hipertrofi konka inferior, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hipertrofi konka inferior yang dapat mempengaruhi derajat deviasi septum dengan cara yang berbeda , sehingga akan didapatkan jenis dan cara pengukuran hipertrofi konka inferior yang lebih akurat dalam hubungannya dengan derajat deviasi septum.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Tomblinson CM, Cheng MR, Lal D, Hoxworth JM. (2016). The impact of middle turbinate concha bullosa on the severity of inferior turbinate hypertrophy in patients with a deviated nasal septum. Am J Neuroradiol.

  • 2.    Teixera J, Certal V, Chang, ET, Camacho M. (2016). Nasal septal deviations: a systematic review of classification systems. Plastic Surg Int.

  • 3.    Wang J, Dou X, Liu D, Song P, Qian X, Wang S, et al. (2016). Assessment of the effect of deviated nasal septum on the structure of nasal cavity. Eur. Arch. Otorhinolaryngol. 273,    1477–1480. doi:

10.1007/s00405-015-3770-y

  • 4.    Alsufyani N, Isaac A , Witmans M, Major P, and El-Hakim H. (2017). Predictors of failure of DISE-directed adenotonsillectomy in children with sleep disordered breathing. J. Otolaryngol. Head Neck Surg. 46:37. doi: 10.1186/ s40463- 017- 0213- 3

  • 5.    Mandour, Y. M. H., Abo Youssef, S. M., and Moussa, H. H. (2019). Polysomnographic and pulmonary function changes in patients with sleep problems after septoplasty with turbinectomy. Am. J.     Otolaryngol.     40,     187–190.     doi:

10.1016/j.amjoto.2018.12.003

  • 6.    Serifoglu, I., Oz, I. I., Damar, M., Buyukuysal, M. C., Tosun, A., and Tokgöz, Ö (2017). Relationship between the degree and direction of nasal septum deviation and nasal bone morphology. Head Face Med. 13:3. doi: 10.1186/ s13005-017-0136-2

  • 7.    D’Ascanio, L., Lancione, C., Pompa, G., Rebuffini, E., Mansi, N., and Manzini, M. (2010). Craniofacial growth in children with nasal septum deviation: a cephalometric comparative study. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 74, 1180– 1183. doi: 10.1016/j.ijporl.2010.07.010

  • 8.    Andono R, Latief N, Idris N. (2021). Korelasi antara derajat deviasi septum nasi dengan aerasi telinga tengah dan rongga mastoid menggunakan modalitas CT scan. J Biomed.                                   DOI:

https://doi.org/10.35790/jbm.13.1.2021.32183

  • 9.    Buyukertan M, Keklikoglu N, Kokten G. (2002). A morphometric consideration of nasal septal deviations by people with paranasal complaints; a computed tomography study. Rhinol.

  • 10.    Jha AK, Ghimire P, Shrestha S. (2020). Radiological evaluation of inferior turbinate in patients with deviated nasal septum using computed tomography. NJR.

  • 11.    El-anwar MW, Hamed AA, Abdulmonaem G, Elnashar I. (2016). Computed tomography measurement of inferior turbinate in asymptomatic adult. Int Arch Otorhinolaryngol. DOI:https://dx.doi.org/10.1055/s-0037-1598649

  • 12.    Rodrigues MM, Passeri LA, Monnazzi MS, Gabrielli MFR, Gabrielli MAC, Pereira-Filho VA. Evaluation of nasal obstruction in various sagittal skeletal deformity of jaws. J. Craniofac. Surg., 28(8):e790-2, 2017.

  • 13.    Villa J, Brito L, Parra M, Navarro P, Moraes M, et al. (2020). Nasal septum deviation and inferior nasal concha

bone hypertrophy in class III facial deformity. Int J Morphol.

  • 14.    Shetty SR, Bayatti SW, Al-Rawi NH, Kamath V, Reddy S, Narasimhan S, et al. (2021). The effect of concha bullosa and nasal septal deviation on palatal dimensions: a cone beam computed tomography study.     BMC     Oral    Health.     DOI:

https://doi.org/10.1186/s12903-021-01974-6

  • 15.    Berger G, Hammel I, Berger R, Avraham S, Ophir D. (2000). Histopathology of the inferior turbinate with compensatory hypertrophy in patients with deviated nasal septum. The Laryngoscope.

  • 16.    Orhan I, Aydin S, Ormeci T, Yilmaz F. (2014). A radiological analysis of inferior turbinate in patients with deviated nasal septum by using computed tomography. Am  J  Rhinol  Allergy.  DOI:

10.2500/ajra.2014.28.4007

  • 17.    Kim TK, Jeong JY.  (2020). Deviated nose:

physiological and pathological changes of the nasal cavity. Arch Plast Surg.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia

Variabel

Jumlah (n)

Rerata

Median

Minimum

Maksimum

Standard Deviasi

Usia

45

46,09

49

18

83

16,555

  • Tabel 2. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

    Jenis Kelamin

    Frekuensi

    Persentase

    Perempuan

    18

    40

    Laki-laki

    27

    60

    Total

    45

    100

Tabel 3. Karakteristik Subjek Berdasarkan Arah Deviasi

Arah deviasi

Frekuensi

Persentase

Kiri

25

55,6

Kanan

20

44,4

Total

45

100

Tabel 4. Karakteristik Subjek Berdasarkan Letak Deviasi

Letak deviasi

Frekuensi

Persentase

Anteromedia

7

15,6

Anteroinferior

10

22,2

Medioinferior

6

13,3

Mediomedia

17

37,8

Posteromedia

3

6,7

Posterosuperior

2

4,4

Total

45

100

Tabel 5. Karakteristik Subjek Berdasarkan Garis Tengah

Variabel

Jumlah (n)

Mean

Median

Minimum

Maksimum

Standard Deviasi

Garis

Tengah

45

4,59

4,59

3,92

5,25

0,308

Tabel 6. Karakteristik Subjek Berdasarkan Nilai Batas Maksimal Deviasi Septum Nasi

Variabel      Jumlah   Mean  Median   Minimum   Maksimum   Standard

(n)                                                          Deviasi

Batas          45        0,54    0,54       0,32         0,83           0,107

maksimal deviasi septum nasi

Tabel 7. Karakteristik Subjek Berdasarkan Sudut Deviasi Septum Nasi

Sudut Deviasi Septum Frekuensi    Persentase      Median(Min-max)

Nasi

Ringan (<9 o)                10             22,2              10 (5-15)

Sedang (9-15o)              35             77,8

Total                      45            100

Tabel 8. Karakteristik Subjek Berdasarkan Offset Lateral

Offset

Lateral

Jumlah (n)

Mean

Median

Minimum

Maksimum

Standard Deviasi

Anterior

45

0,89

0,89

0,52

1,46

0,190

Posterior

0,72

0,71

0,40

1,10

0,152

Tabel

9. Karakteristik Subjek Berdasarkan Lebar Konka Inferior

Lebar

Jumlah

Mean

Median

Minimum

Maksimum

Standard

Konka

Inferior

(n)

Deviasi

Anterior

45

1,22

1,20

0,32

1,96

0,281

Posterior

1,16

1,15

0,25

1,91

0,244

Tabel 10.

Karakteristik Subjek Berdasarkan Lebar Tulang Konka Inferior

Lebar

Jumlah

Mean

Median

Minimum

Maksimum

Standard

Tulang Konka Inferior

(n)

Deviasi

Anterior

45

0,39

0,39

0,20

0,63

0,079

Posterior

0,32

0,31

0,19

0,52

0,069

Tabel 11.

Karakteristik Subjek

Berdasarkan Lebar Mukosa Medial

Lebar

Jumlah

Mean

Median

Minimum

Maksimum

Standard

Mukosa Medial

(n)

Deviasi

Anterior

45

0,58

0,57

0,27

0,88

0,141

Posterior

0,57

0,55

0,33

1,04

0,161

Tabel 12. Hubungan antara Letak Deviasi Septum Nasi terhadap Derajat Deviasi Septum Nasi

Hipertrofi konka inferior

Derajat Deviasi Septum

p-value

Ringan

Sedang

Anteromedia

1 (10,0)

6 (17,1)

Anteroinferior

6 (60,0)

4 (11,4)

Medioinferior

1 (10,0)

5 (14,3)

0,138*

Mediomedia

2 (20,0)

15 (42,9)

Posteromedia

0 (0)

3 (8,6)

Posterosuperior

0 (0)

2 (5,7)

*Kolmogorov-smirnov

Tabel 13. Hubungan antara Hipertrofi Konka Inferior terhadap Derajat Deviasi Septum Nasi

Hipertrofi konka inferior

Derajat Deviasi Septum

p-value

Ringan

Sedang

Offset Lateral (cm) Anterior

0,83 (0,64-1,13)

0,91 (0,52-1,46)

0,226*

Posterior

0,65 (0,46-0,87)

0,74 (0,40-1,10)

0,097*

Lebar Konka Inferior (cm) Anterior

1,19 (0,95-1,48)

1,23 (0,32-1,96)

0,657*

Posterior

1,11 (0,90-1,39)

1,17 (0,25-1,91)

0,504*

Lebar tulang konka inferior (cm)

Anterior

0,37 (0,34-0,43)

0,40 (0,20-0,63)

0,290*

Posterior

0,31 (0,25-0,45)

0,32 (0,19-0,52)

0,600*

Lebar mukosa medial (cm) Anterior

0,59 (0,39-0,75)

0,57 (0,27-0,88)

0,670*

Posterior

0,55 (0,33-0,71)

0,57 (0,33-1,04)

0,662*

Nb: mean(min-max), *independent t-test

Gambar 1. Cara mengukur garis tengah dan batas maksimal (Gbr kiri) dan mengukur sudut deviasi (Gbr kanan)

(Sumber : Penelitian Suryani dkk)

Gambar 2. Cara menilai offset lateral (Gbr kiri) dan lebar mukosa medial (Gbr kanan) pada aspek anterior. (Sumber : Penelitian Suryani dkk)

Gambar 3. Cara Menilai offset lateral (Gbr kiri) dan lebar mukosa medial (Gbr kanan) pada aspek posterior (Sumber : Penelitian Suryani dkk)

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2023.V12.i1.P07

39