ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 12 NO.8,NOVEMBER, 2023

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Diterima: 2022-12-10 Revisi: 2023-06-30 Accepted: 25-07-2023

PROFILE PENDERITA KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA PADA TAHUN 2016-2021

Ni Luh Putu Pritha Dewi Karunika 1, Wayan Eka Sutyawan 2, Ni Made Ayu Surasmiati 2

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Email : prithadkarunika04@gmail.com, eka_sutyawan@unud.ac.id, surasmiati@unud.ac.id

ABSTRAK

Pendahuluan: Kelainan refraksi banyak dialami anak-anak di Indonesia maupun di Bali. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi profil kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan jenis kelainan refraksinya serta menganalisis prevalensi kelainan refraksi pada anak yang ditangani Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar selama tahun 2016-2021. Metoda: Penelitian deskriptif ini menggunakan data sekunder yang dianalisis dengan desain cross sectional study terhadap populasi pasien usia sekolah 7-18 tahun sebanyak 655 sampe dengan melakukan pengambilan data rekam medis mulai tahun 2016-2021. Hasil: Kelainan refraksi tertinggi dijumpai pada usia 16-18 tahun 40,9%, usia 13-15 tahun 35,7%, dan usia 7-12 tahun 23,4%, dengan jenis kelamin perempuan 68,9% dan laki-laki 31,1%, jenis kelainan refraksi berupa miopia pada laki-laki 26,4% dan perempuan 57,4%, serta jarang adanya anisometropia. Prevalensi kelainan refraksi pada anak usia 16-18 tahun 40,9%, usia 13-15 tahun 35,7%, dan usia 7-12 tahun 23,4%, yang didominasi pasien perempuan (68,9%) daripada laki-laki (31,1%), dengan prevalensi miopia pada perempuan cenderung lebih tinggi (57,4%) dibandingkan pada laki-lakinya (26,4%), serta pemberian kacamata sebagai penatalaksanaan yang paling banyak dilakukan dan tidak ada pemberian kontak lens maupun tindakan pembedahan. Simpulan: Profil kelainan refraksi dari anak yang memeriksakan diri di Rumah Sakit Wangaya mulai Tahun 2016 sampai awal Januari 2021 didominasi anak SMA (usia 16-18 tahun), berjenis kelamin perempuan, dengan jenis kelainan refraksi berupa miopia, serta memberikan kacamata sebagai penatalaksanaannya.

Kata kunci : Penderita., Kelainan refraksi., Mata., Usia Sekolah

ABSTRACT

Introduction: Refractive disorders were experienced many children in Indonesia and Bali. This study aims to identify the profile of refractive disorders in children based on age, gender, education, and types of refractive disorders and to analyze the prevalence of refractive disorders in children treated by the Wangaya Regional General Hospital, Denpasar City during 2016-2021. Methods: This descriptive study used secondary data which was analyzed with a cross sectional study design on a population of patients aged 7-18 years old with a total of 655 samples with take medical record data from 2016-2021. Results: The highest refractive error was found at the age of 16-18 years 40.9%, age 13-15 years 35.7%, and age 7-12 years 23.4%, with female gender 68.9% and male 31.1%, the type of refractive disorders in the form of myopia in 26.4% men and 57.4% women, and anisometropia is rare. The prevalence of refractive disorders in children aged 16-18 years was 40.9%, aged 13-15 years was 35.7%, and aged 7-12 years was 23.4%, which were dominated by female patients (68.9%) than boys. (31.1%), with the prevalence of myopia in women tending to be higher (57.4%) than in men (26.4%), and the provision of glasses as the most common treatment and no contact lenses or other procedures were given. surgery. Conclusion: The refractive disorder profile of children who checked themselves at Wangaya Hospital from 2016 to early January 2021 was dominated by high school students (aged 16-18 years), female, with a type of refractive error in the form of myopia, and gave glasses as a treatment.

Keywords : Patients., Refractive Disorders., Eyes., School Age

PENDAHULUAN

Kelainan refraksi terjadi akibat pembiasan cahaya di mata. Cahaya untuk keadaan ini tidak akan terpusat di sekitar retina atau bintik kuning, namun bisa berada di depan atau di belakang bintik kuning yang mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus1,2. Faktor radiasi cahaya terlalu tinggi atau rendah yang diterima mata dapat menjadi penyebab otot-otot yang membuat fasilitas pada mata bekerja sama. Ini adalah salah satu alasan mata menjadi cepat lelah yang menyebabkan kelainan refraksi mata 3.

Urutan pertama penyakit mata di Indonesia adalah kasus kelainan refreksi, yaitu 25% dari populasi atau kurang lebih (55) juta orang 4. Salah satu kelainan refraksi adalah berupa penyakit myopia. Miopia adalah infeksi di mana sinar yang sama yang berasal dari suatu benda ditempatkan dihadapan retina ketika. mata berada dalam keadaan yang tidak berakomodasi 5. Miopia sendiri dari klasifikasi derajatnya dapat dibedakan atas miopia tinggi (lebih dari -6.00D), sedang (-3,25D s/d -6,00D), dan rendah (-0,25D s/d -3,00D)6. Orang yang terkena miopia tinggi mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena atrofi korioretina, lacquer cracks, retinal detachment, dan abnormalitas lainnya. Hal tersebut dapat mempengaruhi angka kejadian meningkatnya resiko terjadinya kebutaan 7,8. Penyakit miopia juga dapat menyebabkan adanya perbedaan keadaan refraksi antara mata kiri dan mata kanan (anisometropia). Anisometropia ini dapat menyebabkan gangguan pada penglihatan ambliopia dan binokuler sehingga mempengaruhi pilihan pengobatan ataupun terapi yang diperlukan 5.

Seiring berjalannya waktu, perubahan gaya belajar juga dapat menyebabkan miopia. Pelajar saat ini dituntut untuk memiliki pilihan untuk mendapatkan data sebanyak mungkin yang diharapkan, membawa peningkatan dalam penggunaan PC, yang juga merupakan jenis pekerjaan jarak dekat 9. Siswa dan jenis pekerjaan tertentu akan membatasi waktu yang dihabiskan seseorang di luar. Memang, latihan di luar akan memberikan dampak defensif terhadap kemajuan miopia 10,11. Pencahayaan ruangan, khususnya di lingkungan kerja, juga diperlukan untuk memenuhi prasyarat tertentu. Sebagai contoh adalah persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Menurut PERMENKES No. 1204/MENKES/SK/X Tahun 2004 tentang Keperluan Kesehatan. lingkungan rumah sakit, tingkat penerangan di rumah sakit ditetapkan minimal 100 Lux. Pencahayaan ruangan yang tidak memenuhi syarat dapat memperburuk dan menambah risiko terjadinya penglihatan yang buruk.

Pencahayaan yang terlalu besar ataupun lebih kecil dari yang dibutuhkan, menyebabkan pupil mata harus berusaha mengatur kembali cahaya yang didapat atau diperoleh oleh mata. Dampaknya, mata harus memicing silau atau berkontraksi berat sehingga respon dari pupil mata akan berlebihan. Pencahayaan yang lebih tinggi ataupun lebih rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan pupil mata harus menyesuaikan dengan cahaya yang dapat

diterima oleh mata. Pupil mengecil jika mendapat banyak cahaya dan sebaliknya. Keadaan tersebut adalah salah satu penyebab kelelahan mata dan dapat menyebabkan terjadinya penyakit refraksi yang dialami oleh anak usia sekolah. Secara umum kategori anak usia sekolah dibedakan menjadi 3 kelompok usia, yaitu 7-12 tahun mewakili usia setingkat SD, 13-15 tahun mewakili usia setingkat SMP/MTs, 17-18 tahun mewakili usia setingkat SMA/SMK 12.

Kelainan refaksi seperti miopia pada dasarnya adalah salah satu sebab dari gangguan penglihatan yang mudah dikenali, diobati, dan dinilai dengan pemberian kacamata. Meskipun demikian, sekitar 10% anak usia sekolah yang berusia 5-19 tahun mengalami efek buruk dari kelainan refraksi yang sangat tinggi dan kecepatan penggunaan kacamata remedial masih rendah yaitu 12,5% dari kebutuhan sebenarnya 13. Kondisi ini berpotensi juga terjadi di wilayah Kota Denpasar yang sebagian besar wilayahnya merupakan perkotaan. Dalam wilayah perkotaan, akses berita dan pengetahuan sangat terbuka karena adanya fasilitas internet. Globalisasi, pola hidup modern, dan kemudahan informasi di wilayah perkotaan telah mendorng aktifitas masyarakat dan anak-anak tidak dapat dilepaskan dengan penggunaan alat-alat elektronik seperti ponsel (mobile phone), smartphone, computer, dan sebagainya dalam beraktifitas dan belajar. Menurut hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2019 sampai kuarta kedua 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 1967,7 juta atau 73,7 % dari total penduduk Indonesia dan di Bali sekitar 5,2 % 14. Disamping manfaat yang dihasilkan berupa inovasi dan keluasan pengetahuan yang diperoleh, penggunaan ponsel, smartphone, computer yang berlebihan juga dapat memicu terjadinya depresi, gangguan kecemasan, kepribadian ganda (bipolar), serta sulit fokus sampai gangguan penglihatan. Terhadap potensi gangguan penglihatan pada anak-anak di wilayah Kota Denpasar, tentunya Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Pemerintah Kota Denpasar (selanjutnya disebut Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya) menjadi salah satu rumah sakit di Kota Denpasar tempatnya melakukan pemeriksaan. Oleh karena itu, penelitian dengan judul “Profil Penderita Kelainan Refraksi Pada Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Mulai tahun 2016-2021” menjadi menarik serta aktual untuk dilaksanakan. Ada 2 (dua) permasalahan yang dikaji, yakni berkaitan dengan profil kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia, jenis kelamin, dan jenis tipe kelainan refraksi serta prevalensi kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya mulai tahun 2016-2021.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian deskriptif menggunakan model cross sectional study, yaitu mempelajari profil kelainan Refraksi pada anak berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan keluhan utama. Lokasi

penelitian ini di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya milik dari Pemerintah Daerah Kota Denpasar pada bulan Februari - April tahun 2021. Dengan pengambilan data sekunder yang bersifat deskriptif berupa rekam medis hasil pemeriksaan terhadap anak-anak yang memeriksakan mata di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya dari tahun 2016 sampai dengan akhir bulan Januari tahun 2021.

Populasi target penelitian ini semua pasien anak yang memeriksakan diri pada Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya dari tahun 2016 sampai dengan akhir bulan Januari 2021. Populasi terjangkau yang digunakan ialah pasien anak dengan kelainan Refraksi yang memeriksakan ke Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya mulai tahun 2016 – akhir bulan Januari 2021. Sementara itu, anak yang diteliti dibatasi pada anak usia sekolah yang berusia 7-18 tahun. Pengolahan dan analisis atas data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya mulai tahun 2016 sampai akhir Januari tahun 2021 akan dimasukkan dalam bentuk tabel, dan narasi dan dianalisis mengunakan Microsoft Excel dan akan ditampilkan dalam bentuk deskriptif.

Komisi Etik Penelitian FK UNUD dan RSUD Wangaya telah memberikan Ethical Clearance terhadap penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini telah disetujui dan diawali dengan melakukan penyusunan serta telaahan proposalnya.

HASIL

Penelitian ini membahas mengenai profil penderita kelainan refraksi pada anak usia sekolah 7-18 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya pada Tahun 20162021, memperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Karakteristik Pasien Dengan Kelainan Refraksi

Karakteristik Pasien n(%) n=655

Usia

7-12 tahun

153 (23,4%)

13-15 tahun

234 (35,7%)

16-18 tahun

268 (40,9%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

204 (31,1%)

Perempuan

451 (68,9%)

Jenis Kelainan Refraksi

Miopia

594 (83,8%)

Hipermetropia

29 (4,4%)

Astigmatism

73 (11,2%)

Anisometropia

4 (0,6%)

Pada Tabel 1 dapat disimak mengenai distribusi usia pasien yang mengalami kelainan refraksi. Jumlah tertinggi dijumpai pada kelompok usia 16-18 tahun sebanyak 268 orang (40,9%), selanjutnya disusul oleh pasien dengan kelompok usia 13-15 tahun sebanyak 234 orang (35,7%), dan terakhir dari kelompok usia 7-12 tahun sebanyak 153

orang (23,4%). Jumlah pasien anak usia sekolah dengan kelainan refraksi yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 204 orang (31,1%) dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 451 orang (68,9%). Dengan demikian, pasien yang mengalami kelainan refraksi pada anak laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan pasien dengan jenis kelamin perempuan. Jenis kelainan refraksi tertinggi yang dijumpai dari pasien anak usia sekolah yang memeriksakan mata di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya adalah miopia sebanyak 594 orang (83,8%) dan yang terendah adalah anisometropia sebanyak 4 orang (0,6%).

Mengenai distribusi diagnosis kelainan refraksi pada anak usia sekolah dapat dibedakan berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, dan penatalaksanaan hasil diagnosis kelainan refraksi. Hasil terhadap ketiga hal itu dapat disampaikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 2. Distribusi Diagnosis Kelainan Refraksi

Diagnosis

7-12 tahun

n=655 13-15 tahun

16-18 tahun

Miopia

125

195

229

(19,0%)

(29,8%)

(34,9%)

Hipermetropia

5 (0,8%)

17

7 (1,1%)

(2,6%)

Astigmatism

23 (3,5%)

22

28

(3,4%)

(4,3%)

Anisometropia

0 (0,0%)

0

4

(0,0%)

(0,6%)

Berdasarkan Kelompok Usia Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa miopia merupakan diagnosis yang paling sering dijumpai pada semua kelompok usia. Pada kelompok usia 712 tahun diagnosis miopia ditemui sebanyak 125 (19,0%). Pada kelompok usia 13-15 tahun juga ditemukan hal yang sama yaitu miopia sebanyak 195 (29,8%). Pada kelompok usia 16-18 tahun juga ditemukan diagnosis miopia seperti kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun sebanyak 229 (34,9%). Sementara itu, diagnosis yang paling sedikit dijumpai bahkan tidak ada yakni Anisometropia. Pada kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun jenis diagnosis ini tidak dijumpai dan pada kelompok usia 16-18 tahun hanya dijumpai 4 orang (0,6%).

Tabel 3. Distribusi Diagnosis Kelainan Refraksi Berdasarkan Jenis Kelamin

Diagnosis

n=655

Laki-laki

Perempuan

Miopia

173 (26,4%)

376 (57,4%)

Hipermetropia

8 (1,2%)

21 (3,2%)

Astigmatism

22 (3,3%)

51 (7,9%)

Anisometropia

1 (0,2%)

3 (0,4%)

Data pada Tabel 3 menunjukkan jenis kelainan refraksi yakni miopia merupakan diagnosis yang paling sering ditemui pada pasien dengan berjenis kelamin laki-laki

maupun perempuan. Namun demikian, kelainan refraksi miopia lebih dominan dialami paisen dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 376 orang (57,4%) dibandingkan yang dialami pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 173 orang (26,4%). Sementara itu, kelainan refraksi anisometropia jarang ditemui pada pasien anak usia sekolah dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Data menunjukkan anak usia sekolah yang mengalami kelainan refraksi anisometropia pada laki-laki sebanyak 1 orang (0,2%) dan pada pasien perempuan sebanyak 3 orang (0,4%). Dengan demikian kelainan refraksi anisometropia lebih banyak dijumpai pada anak usia sekolah dengan jenis kelamin perempuan.

Tabel 4. Penatalaksanaan Hasil Diagnosis Kelainan Refraksi

Penatalaksanaan

n=655

7-12 tahun

13-15 tahun

16-18 tahun

Kacamata

100

150

168

(15,3%)

(22,9%)

(25,6%)

Kontak Lens

0 (0,0%)

0 (0,0%)

0 (0,0%)

Pembedahan

0 (0,0%)

0 (0,0%)

0 (0,0%)

Tabel 4 di atas menunjukkan penatalaksanaan hasil diagnosis kelainan refraksi yang dialami pada anak usia sekolah. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pemberian kacamata untuk semua kelompok usia merupakan penatalaksanaan yang paling sering dijumpai. Pada kelompok anak usia 7-12 tahun, penatalaksanaan pemberian kacamata dilakukan terhadap 100 orang pasien (15,3%). Terhadap kelompok anak usia 13-15 tahun juga ditemukan hal yang sama yaitu pemberian kacamata kepada 150 orang (22,9%) dan pada kelompok anak usia 16-18 tahun sebanyak 168 orang (25,6%). Sementara itu, dalam penatalaksanaan hasil diagnosis kelainan refraksi, tidak ditemukan adanya pasien pada semua kelompok anak usia sekolah yang diberikan kontak lens dan tindakan pembedahan.

PEMBAHASAN

Prevalensi merupakan proporsi untuk populasi yang mempunyai karakteristik tertentu dalam rentang waktu khusus sehingga prevalensi merupakan suatu proporsi dan bukan suatu rata-rata. Untuk mengukur penyakit dalam suatu populasi dapat dilakukan dengan menghitung angka kejadiannya. Menghitung frekuensi suatu penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara dan prevalensi merupakan salah satunya cara pengukurannya, selain dengan cara insidensi. Sementara itu, kelainan refraksi ialah kondisi dimana cahaya yang masuk ke mata tidak dapat difokuskan dengan jelas. Hal tersebut membuat bayangan objek kabur atau tidak fokus. Hal ini dipicu oleh bola mata yang terlalu panjang atau terlalu pendek, perubahan bentuk kornea, dan penuaan lensa mata 14.

Kelainan refraksi bisa dialami oleh seluruh kelompok usia mulai dari anak-anak hingga dewasa ataupun lansia. Secara umum, diperkiran sekitar 5%-15% dari seluruh anak mengalami kelainan refraksi 14. Penelitian yang dilakukan oleh Kannan.dkk16 di India yang melibatkan 1300 anak, ditemukan 28,82% sampel yang berjenis kelamin laki-laki dan 26,95% lainnya berjenis kelamin perempuan yang mengalami kelainan refraksi 16. Hal yang hampir sama juga dijumpai pada penelitian di Poliklinik mata Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar untuk tahun data 20162021. Mengenai anak dengan kelompok usia 7-18 tahun yang mengalami kelainan refraksi dan dijadikan sampel penelitian ini sebanyak 655 orang anak. Keseluruhan jumlah sampel tersebut jika dikelompokan dalam usia pasien yang mengalami kelainan refraksi, maka jumlah tertinggi dijumpai pada kelompok usia 16-18 tahun sebanyak 40,9%, kelompok usia 13-15 tahun sebanyak 35,7%, dan pada kelompok usia 7-12 tahun sebanyak 23,4%. Data tersebut menunjukkan kelainan refraksi tertinggi sebagian besar dijumpai pada anak SMA. Kelainan refraksi pada anak-anak di tingkat SMA tidak terlepas dari kemampuan anak-anak dalam mengendalikan diri, memilih, dan memilah waktu untuk berinteraksi dengan sarana teknologi informasi seperti gatget, hp android, computer, televisi, dan lain sebagainya. Disamping itu juga disebabkan oleh anak SMA bersangkutan telah mengalami kelainan refraksi sejak SD atau SMP.

Anak usia sekolah 7-18 tahun yang mengalami kelainan refraksi jika dikaji berdasarkan jenis kelaminnya, maka diperoleh data bahwa jumlah pasien yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 31,1% dan 68,9% berjenis kelamin perempuan. Hal ini terjadi karena pada umumnya aktivitas perempuan lebih jarang dilakukan di luar rumah sehingga potensi terkena kelainan refraksi mata akan lebih tinggi daripada laki-laki. Hampir seluruh kelompok usia yang menjadi sampel penelitian ini didiagnosis dengan kelainan refraksi, akan tetapi kelompok usia 16-18 tahun sedikit lebih banyak dibandingkan dengan kelompok usia 712 tahun dan 13-15 tahun. Hal ini terjadi diperkirakan karena adanya peningkatan aktivitas penglihatan jarak dekat dan penggunaan alat elektronik seperti gadget 17.

Diagnosis kelainan refraksi yang terjadi pada anak terbagi menjadi miopia, hipermetropia, astigmatism, dan anisometropia. Menurut Kannan et. al. bahwa dari 1300 jumlah anak dengan usia 5-15 tahun yang diteliti ditemukan sebanyak 300 orang diantaranya mengalami hipermetropia, 612 orang anak mengalami miopia, dan sebanyak 383 orang anak mengalami astigmatism 16. Pada penelitian ini, kelainan refraksi yang sering dijumpai adalah miopia ditemukan sebanyak 594 orang (83,8%), kemudian diikuti oleh astigmatism sebanyak 73 orang (11,2%), hipermetropia 29 orang (4,4%), dan anisometropia 4 orang (0,6%). Hal tersebut sama dengan yang dilakukan oleh Mihartari dkk. di RSUP Sanglah pada tahun 2017, dimana diagnosis tertinggi kedua yang ditemui di RSUP Sanglah adalah myopia 17.

Dalam 10 (sepuluh) penyakit mata terbanyak di dunia, miopia menjadi urutan pertama dan memiliki angka kejadian tertinggi yakni 83,3%. Hal tersebut juga dapat ditemui di seluruh kelompok usia anak sekolah yang diteliti di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya, yakni pada kelompok usia 7-12 tahun diagnosis miopia ini ditemui 19,0%, yang kemudian diikuti oleh astigmatism 3,5%, hipermetropia 0,8%, dan anisometropia tidak ada. Pada kelompok usia 13-15 tahun, miopia masih merupakan kelainan refraksi yang paling sering terjadi yakni 29,8%, kemudian diikuti oleh astigmatism sebanyak 3,4%, hipermetropia sebanyak 2,6%, dan anisometropia juga tidak ada. Pada kelompok usia 16-18 tahun, miopia juga merupakan kelainan refraksi yang paling sering ditemui sebanyak 34,9%, yang kemudian diikuti juga oleh astigmatism sebanyak 4,3%, hipermetropia sebanyak 1,1%, dan anisometropia sebanyak 0,6%. Dengan demikian, Miopia merupakan diagnosis yang paling sering ditemui pada pasien anak usia sekolah 7-18 tahun, disusul dengan astigmatism, hipermetropia, dan terakhir anisometropia yang hanya dijumpai pada pasien anak usia 16-18 tahun.

Distribusi diagnosis kelainan refraksi berdasarkan jenis kelaminnya dijumpai miopia sebanyak 26,4% pada pasien yang berjenis kelamin laki-laki. Astigmatism merupakan diagnosis kedua yang sering juga ditemukan pada pasien laki-laki yakni sebanyak 3,3%. Pada pasien dengan jenis kelamin perempuan, miopia juga merupakan diagnosis tertinggi sebanyak 57,4%, disusul astigmatism sebagai diagnosis tertinggi kedua sebanyak 7,9%. Adanya prevalensi astigmatism pada anak sering dikaitkan dengan adanya penambahan usia anak dan juga lokasi tempat tinggal di daerah pedesaan atau perkotaan 17. Sementara itu, kelainan refraksi berupa miopia pada dasarnya berkaitan dengan jenis kelamin, penambahan usia, lokasi tempat tinggal yang berada di daerah perkotaan, tingkat pendidikan dari orang tua, peningkatan aktivitas penglihatan jarak dekat dan penggunaan barang elektronik seperti gadget 17.

Berkenaan dengan penatalaksanaan hasil diagnosis kelainan refraksi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.4. dapat dilihat terhadap anak dengan kelompok usia 7-12 tahun diberikan kacamata sebanyak 15,3%, dan tidak ditemukannya adanya pemberian kontak lens serta tindakan pembedahan atau operasi. Pada kelompok usia 13-15 tahun, pemberian kacamata juga paling banyak dilakukan kepada pasien yaitu sebanyak 22,9%, dan juga tidak ditemukkan adanya pemberian kontak lens serta tindakan pembedahan atau operasi. Pada kelompok usia 16-18 tahun pemberian kacamata juga paling sering dilakukan kepada pasien yaitu sebanyak 25,6%, dan tidak ada pemberian kontak lens serta tindakan operasi atau pembedahan. Dengan demikian, kacamata adalah salah satu pilihan yang sering dilakukan pada koreksi kelainan refraksi terhadap anak usia sekolah 718 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya. Dalam

membantu kelainan refraksi dengan pemberian kacamata, perlu memperhatikan hasil pemeriksaan dengan menggunakan Snallen Chart untuk mendapatkan tajam penglihatan yang mendekati kesempurnaan. Anak yang mengalami kelainan refraksi didalam pemakaian kacamata, juga agar melakukannya secara rutin setiap hari. Penggunaannya dilakukan selama anak beraktivitas seperti aktivitas melihat jarak dekat dalam membaca, menggunakan barang elektronik berupa gadget, dan aktivitas outdoor seperti berpergian ke sekolah atau keluar rumah. Apabila pemakaiannya tidak rutin atau tidak adekuat maka akan berpotensi mengganggu proses belajarnya, menurunkan fungsi penglihatan yang dapat mengurangi kualitas kehidupannya. Hal ini sama seperti hasil penelitian di China yang menyatakan kepatuhan pemakaian kacamata juga berhubungan dengan performa akademik anak 18.

Keterbatasan Studi

Studi ini memiliki keterbatasan pada data yang digunakan data sekunder dan deskriptif sehingga ada pencatatan yang kurang lengkap. Pelaksanaan penelitian yang dilakukan di rumah sakit juga kurang mampu merepresentasikan populasi anak usia 7-18 tahun yang memiliki prevalensi kelainan refraksi akibat penyimpan data pasien yang belum optimal.

SIMPULAN DAN SARAN

Menurut hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Profile Penderita Kelainan Refraksi Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Pada Tahun 2016-2021”, adapun kesimpulannya, yakni:

  • 1.    Dari 655 pasien anak yang menjadi subjek penelitian dan diperkirakan mengalami kelainan refraksi didapatkan hasil bahwa pasien dengan usia 16-18 tahun berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan pasien usia 13-15 tahun dan usia 7-12 tahun, serta pasien dengan jenis kelamin perempuan memiliki jumlah lebih banyak daripada pasien dengan jenis kelamin laki-laki.

  • 2.    Hampir seluruh pasien mengalami kelainan refraksi dengan diagnosis terbanyak adalah miopia. Diagnosis miopia juga merupakan diagnosis tersering yang ditemukan pada seluruh kelompok usia dan pada pasien dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Pada pasien yang berjenis kelamin perempuan miopia merupakan diagnosis tersering. Dari data yang diperoleh juga terdapat 73 anak mengalami astigmatism, 29 anak mengalami hipermetropia dan 4 anak mengalami anisometropia.

Mengenai saran terhadap hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dikemukakan, yakni:

  • 1.    Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan studi berbasis populasi dan dapat memperluas ruang lingkup penelitian pada anak usia 7-18 tahun sehingga

dapat memberikan data prevalensi kelainan refraksi pada anak usia sekolah yang mampu mempresentasikan populasi.

  • 2.    Diharapkan pula pada petugas di bagian Rekam Medis agar dapat menyimpan data dengan baik sehingga apabila dilakukan penelitian yang bersifat hospital-based peneliti dapat lebih mudah untuk memperoleh data yang diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004. h.64-83.

  • 2.    Mughrabi H. Specific Features and Mechanisms of Fatigue in The Ultrahigh - Cycle Regime. International Jounal of Fatigue. 2006; 28(11):1501-8.

  • 3.    Rosenfield, Mark. Computer Vision Syndrome: Accomodative & Vergence Facility. Journal of Behavioral Optometry. 2010;21(5):119-122.

  • 4.    Saw S, Hong R, Zhang M, Fu Z, Ye M, Tan D et al. Near-Work Activity and Myopia in Rural and Urban Schoolchildren in China. Journal of Pediatric Ophthalmology & Strabismus. 2001;38(3):149-155.

  • 5.    American Academy of Ophthalmology. Pediatric ophthalmology and strabismus. Section 6. Singapore: Basic and Clinical Science Cource. 2011. p.245- 260.

  • 6.    American Optometric Association. Care of The Patient with Myopia. U.S.A.: American Optometric Association. 2006.

  • 7.    Saw SM, Gazzard G, Yen ECS, Chua WH. Myopia and Associated Pathological Complications. Ophthalmic and Physiological Optics. 2005;25(5):381-391.

  • 8.    Foster PJ, Jiang Y. Epidemiology of Myopia. Cambridge Ophthalmology Symposium; 2014. h.202-208.

  • 9.    Matheos M, Rares LM, Saerang JSM. Perbandingan Angka Kejadian Miopia antara Mahasiswa Informasika dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal e-Clinic. 2015;3(1):224-8.

  • 10.    Pan CW, Ramamurthy D, Saw SW. Worldwide Prevalence and Risk Factors For Myopia. Opthalmic and Physiological Optics. 2011;32(1):3-16.

  • 11.    Beuerman RW. Myopia: animal models to clinical trials. Singapore: World Scientific. 2014.

  • 12.    Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018 [Internet]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018 [cited 5 September 2021]. Available from: https://www.kemkes.go.id/article/view/19070400001/pr ofil-kesehatan-indonesia-tahun-2018.html.

  • 13.    Adile AV, Tongku Y, Rares LM. Kelainan Refraksi pada Pelajar SMA Negeri 7 Manado. Jurnal e-Clinic. 2016;4(1):458-61.

  • 14.    APJII. Laporan Survei Internet APJII 2019 – 2020

[Internet]. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2020 [cited 5 September 2021]. Available from: https://www.apjii.or.id/survei.

  • 15.    Direktorat P2PTM. 4 Jenis Kelainan Refraksi [Internet]. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular. 2019 [5 September 2021]. Available from: http://p2ptm.kemkes.go.id/ infographic/4-jenis-kelainan-refraksi.

  • 16.    Kannan et al. Refractive error and associated risk factors in 6-12 years schoolchildren. National Journal of Physiology,    Pharmacy    and    Pharmacology.

2016;6(6):554-8.

  • 17.    Mihartari P, Sutyawan I, Triningrat A. Gambaran Umum Kelainan Refraksi pada Pasien Anak Usia 6-12 Tahun di Divisi Refraksi dan Lensa Kontak Poliklinik Mata RSUP Sanglah Tahun 2014 [Internet]. 2017 [18 Oktober 2021]. Available                                      from:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/36443.

  • 18.    Murdiman H, Wildan A, Maharani. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pemakaian Kacamata Pada Anak Sekolah. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 2018;7(2):1063-70.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2023.V12.i11.P10

62