ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.10,OKTOBER, 2022


Diterima:2021-11-29 Revisi:2022-08-28 Accepted: 25-09-2022

HUBUNGAN USIA, JENIS OPERASI, DAN WAKTU OPERASI DENGAN OUTCOME PASCA-OPERASI FRAKTUR TIBIA TERBUKA DERAJAT III DI RSUP SANGLAH DENPASAR PADA TAHUN 2018-2020

Komang Diah Kurnia Kesumaputri1*, I Wayan Subawa2, Kadek Ayu Candra Dewi2, Putu Feryawan Meregawa2 1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

2Departemen Orthopaedi dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia

*e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Fraktur tibia terbuka merupakan salah satu fraktur ekstremitas bawah yang sering terjadi di dunia, terutama di Kota Denpasar. Secara klinis, fraktur tibia terbuka derajat III memiliki risiko terjadinya outcome yang lebih buruk, seperti kejadian infeksi dan gangguan penyembuhan tulang yang lebih tinggi dibandingkan derajat I dan II, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut terkait faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara beberapa faktor risiko, yaitu usia, jenis operasi, dan waktu operasi terhadap outcome pasca-operasi pada fraktur tibia terbuka derajat III dari segi klinis, radiologis, dan fungsional berdasarkan kriteria Johner-Wruhs. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dan meneliti pasien fraktur tibia terbuka derajat III yang menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2018-2020. Berdasarkan hasil pengambilan data, terdapat 31 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang diambil berupa karakteristik dan outcome pasca-operasi yang dinilai menggunakan kriteria Johner-Wruhs yang terdiri atas 4 kategori. Dari hasil uji korelasi Kendall Tau, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan outcome (p=0,215) dan terdapat hubungan yang signifikan antara waktu operasi dengan outcome (p=0,021). Sementara hasil uji Fisher’s Exact tidak menemukan hubungan yang signifikan antara jenis operasi dengan outcome (p=0,720). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa waktu operasi (debridement) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap outcome pasca-operasi dibandingkan dengan usia dan jenis operasi. Waktu debridement juga memiliki hubungan yang searah dengan outcome yang berarti semakin lama waktu debridement, maka outcome yang dialami pasien semakin buruk.

Kata kunci: fraktur tibia terbuka, jenis operasi, outcome, usia, waktu operasi

ABSTRACT

Open tibial fracture is one of the most common lower extremity fractures in the world, especially in Denpasar City. Clinically, grade III open tibial fracture has higher risk of worse outcome, such as infection and bone healing complication than grade I and II, thus it should be evaluated further regarding risk factors affecting that occurrence. This research aims to know the relationship between several risk factors, those are age, surgery type, and time to surgery with postoperative outcomes in grade III open tibial fractures in terms of clinical, radiological, and functional based on Johner-Wruhs criteria. This research used cross-sectional method and used patients with grade III open tibial fracture who underwent surgery at Sanglah Denpasar General Hospital in 20182020. Based on the data collection, there were 31 patients fulfilled the inclusion and exclusion criteria. The data collected were characteristics and postoperative outcome assessed using Johner-Wruhs criteria which consisted of 4 categories. From Kendall Tau correlation test, there was no significant relationship between age and outcome (p=0.215) and a significant relationship between time to surgery and outcome (p=0.021). Moreover, the results of Fisher’s Exact Test did not find significant relationship between surgery type and outcome (p=0.720). Based on the results, it can be concluded that time to surgery (debridement) has significant effect on postoperative outcome compared to age and surgery type. Time to debridement also has unidirectional relationship with outcome, which means the longer time to debridement, the worse outcome experienced by the patient.

Keywords: open tibial fracture, surgery type, outcome, age, time to surgery

PENDAHULUAN

Fraktur tibia merupakan kondisi terputusnya kontinuitas tulang tibia yang terjadi akibat trauma dengan high-energy ataupun low-energy.1 Fraktur tibia menjadi salah satu kasus fraktur ekstremitas bawah yang sering terjadi di dunia setiap tahunnya dengan insiden 51.7 per 100.000 orang.2 Kejadian fraktur tibia dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan ada atau tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia atau lingkungan luar, yaitu fraktur tibia tertutup dan fraktur tibia terbuka.

Berdasarkan data kasus fraktur tibia di Kota Denpasar tahun 2015-2016, fraktur tibia terbuka lebih banyak terjadi dibandingkan kasus fraktur tibia tertutup dengan persentase 62,5% sehingga fraktur tibia terbuka menjadi kasus yang lebih urgensi saat ini.3 Fraktur tibia terbuka merupakan kondisi diskontinuitas tulang tibia dimana terdapat hubungan antara fragmen fraktur dengan bagian luar tubuh melalui luka pada kulit dan jaringan lunak. Berdasarkan klasifikasi Gustilo dan Anderson, fraktur terbuka dapat dikategorikan menjadi tiga derajat berdasarkan keadaan jaringan lunak yang berada di sekitar trauma, yaitu derajat I, II, serta III (IIIA, IIIB, dan IIIC).4

Secara klinis, penanganan awal pada fraktur tibia terbuka dilakukan dengan menangani luka dengan memberikan antibiotik spektrum luas, suntik antitetanus, dan debridement.5 Selanjutnya, penanganan fraktur tibia terbuka dilanjutkan dengan tindakan rekognisi, reduksi, imobilisasi, serta rehabilitasi.6 Setelah menjalani perawatan luka hingga rehabilitasi, pasien fraktur tibia terbuka diharapkan mendapatkan outcome atau hasil terapi yang sesuai dengan risiko komplikasi yang minimum serta terjadi penyatuan tulang secara sempurna (union) sehingga pasien mampu melakukan aktivitas fungsional dengan baik. Namun, outcome pada pasien fraktur tibia terbuka tentu akan berbeda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko pada outcome fraktur tibia terbuka dikategorikan menjadi tiga, yaitu faktor terkait cedera (seperti tipe fraktur, derajat fraktur, mobilitas pada lokasi fraktur, dan suplai darah); pasien (seperti usia, kebiasaan merokok, komorbiditas, serta terapi nutrisi dan obat); serta operasi (seperti teknik operasi dan waktu operasi).7

Berdasarkan penelitian sebelumnya di Singapura, pasien dengan fraktur tibia terbuka derajat III berisiko mengalami outcome yang lebih buruk, seperti komplikasi infeksi dan gangguan penyatuan tulang dibandingkan derajat I dan II.8 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fraktur tibia terbuka derajat III menjadi urgensi saat ini dan outcome pasca-operasinya perlu dievaluasi lebih lanjut.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya, terdapat beberapa studi korelatif yang sudah meneliti outcome pasca-operasi fraktur tibia terbuka derajat III berdasarkan usia, jenis operasi, dan waktu operasi.9-11 Sementara itu, saat ini di Indonesia masih sedikit jumlah studi korelatif mengenai

faktor risiko yang mempengaruhi outcome pasca-operasi fraktur tibia terbuka derajat III yang dapat membuktikan ataupun mendukung penelitian tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengevaluasi hubungan antara outcome pasca-operasi pasien fraktur tibia terbuka derajat III di RSUP Sanglah Denpasar dengan usia, jenis operasi, dan waktu operasi pasien.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik crosssectional yang dilakukan sejak Maret hingga September 2021 dengan mengambil data sekunder berupa rekam medis pasiden di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik oleh pihak Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar melalui surat kelaikan etik dengan nomor 90/UN14.2.2.VII.14/LT/2021. Data yang dikumpulkan berupa karakteristik (usia, jenis kelamin, jenis operasi, dan waktu operasi) serta outcome pasca-operasi yang dinilai dengan kriteria Johner-Wruhs yang terdiri atas 4 kategori, yaitu buruk (poor), cukup baik (fair), baik (good), dan sangat baik (excellent). Data penelitian ini dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan uji korelasi Kendall Tau dan Fisher’s Exact.

Sampel penelitian ini diperoleh dengan metode consecutive sampling dengan populasi terjangkau yaitu pasien fraktur tibia terbuka derajat III yang menjalani penanganan operasi di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2018-2020. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini, yaitu fraktur tibia terbuka derajat IIIA-C, usia ≥20 tahun, serta sudah melakukan follow-up minimal 1 tahun pasca-operasi. Sementara kriteria eksklusi sampel, yaitu pasien dengan riwayat fraktur tibia sebelumnya.

HASIL

Dari seluruh populasi terjangkau, terdapat 31 pasien fraktur tibia terbuka derajat III yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil analisis univariat pada Tabel 1. menunjukkan distribusi pasien berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin, jenis operasi, dan waktu operasi. Usia dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga dengan mayoritas sampel berada pada rentang usia 20-44 tahun, yaitu sebanyak 14 pasien (45,2%) dan paling sedikit pada rentang usia 45-59 tahun, yaitu sebanyak 5 pasien (16,1%). Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas sampel adalah laki-laki dengan jumlah 23 pasien (74,2%), sedangkan perempuan berjumlah 8 pasien (25,8%).

Jenis operasi yang dijalani pasien dikategorikan menjadi dua berdasarkan penanganan luka dan tindakan fiksasi awal (initial fixation). Debridement + Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) merupakan jenis operasi yang paling banyak dijalani oleh pasien fraktur tibia terbuka derajat III di RSUP Sanglah Denpasar dengan

jumlah 17 pasien (54,8%) dengan rincian 16 pasien (94,1%) menjalani operasi ORIF plate screw (PS) dan 1 pasien (5,9%) menjalani operasi ORIF intramedullary nailing (IMN). Distribusi tersebut tidak jauh berbeda dengan 14 pasien (45,2%) lainnya yang menjalani operasi debridement + Open Reduction and External Fixation (OREF).

Waktu operasi atau debridement dikategorikan menjadi dua berdasarkan interval waktu sejak terjadinya trauma hingga mendapatkan tindakan debridement. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien menjalani debridement >12 jam pasca-trauma dengan jumlah 21 pasien (67,7%) dan 10 pasien (32,3%) lainnya menjalani debridement ≤12 jam pasca-trauma.

Tabel 1. Karakteristik pasien fraktur tibia terbuka derajat III di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2018- 2020

Karakteristik                   Frekuensi (N=31)

Persentase (%)

Usia

20-44 tahun                                       14

45-59 tahun                                       5

≥60 tahun                                       12

Jenis Kelamin

Laki-laki                                            23

Perempuan                                    8

Jenis Operasi

Debridement + ORIF                           17

Debridement + OREF                         14

Waktu Operasi

≤12 jam pasca-trauma                            10

>12 jam pasca-trauma                            21

45,2

16,1

38,7

74,2

25,8

54,8

45,2

32,3

67,7

Dalam penelitian ini, outcome pasca-operasi pasien fraktur 1 pasien (3,2%) mengalami valgus dalam rentangan 6-10o; 2 tibia terbuka derajat III dinilai berdasarkan 14 kriteria Johner- pasien (6,5%) mengalami nyeri derajat berat, 5 pasien (16,1%) Wruhs dari segi klinis, radiologis, dan fungsional seperti yang dengan derajat sedang; dan 20 pasien (64,5%) dengan derajat tercantum pada Tabel 2. Outcome tersebut dinilai setelah pasien ringan. Sedangkan pada kriteria outcome klinis dan radiologis menjalani follow-up minimal 1 tahun pasca menjalani operasi lainnya, tidak ada yang mengalami anteversi, rekurvasi, rotasi, awal. Dari segi outcome klinis dan radiologis, 9 pasien (29%) maupun pemendekan pada ekstremitas yang mengalami fraktur mengalami komplikasi infeksi; 2 pasien (6,5%) mengalami non- tibia terbuka.

union; 1 pasien (3,2%) mengalami amputasi transfemoral; 1 pasien (3,2%) mengalami gangguan neurovaskuler derajat berat;

Tabel 2. Distribusi outcome pasca-operasi berdasarkan kriteria Johner-Wruhs

Jenis Outcome

Ada

Tidak ada

Infeksi Non-union Amputasi

9 (29%)

2 (6,5%)

1 (3,2%)

22 (71%)

29 (93,5%)

30 (96,8%)

Tidak ada

Minimal

Sedang

Berat

Gangguan neurovaskuler

30 (96,8%)

0 (0%)

0 (0%)

1 (3,2%)

Tidak ada

2-5θ

6-10θ

>10θ

Varus/valgus

30 (96,8%)

0 (0%)

1 (3,2%)

0 (0%)

Tidak ada     0-5o

6-10θ

11-20θ

>20θ

Anteversi/rekuvarsi

31 (100%)    0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

Rotasi

31 (100%)    0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

Tidak ada   0-5 mm

6-10 mm

11-20 mm

>20 mm

Pemendekan

31 (100%)    0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

Normal

>80%

>75%

<75%

Mobilitas lutut

23 (74,2%)

5 (16,1%)

0 (0%)

3 (9,7%)

Normal

>75%

>50%

<50%

Mobilitas pergelangan kaki

24 (77,4%)

3 (9,7%)

0 (0%)

4 (12,9%)

Mobilitas sendi subtalar

>75%

>50%

<50%

27 (87,1%)         2 (6,45%)                    2 (6,45%)

Tidak ada         Kadang      Sedang               Berat

(ringan)

Nyeri

4 (12,9%)         20 (64,5%)    5 (16,1%)               2 (6,5%)

Normal               Pincang tidak       Pincang signifikan

signifikan

Cara berjalan

11 (35,5%)                 13 (41,9%)              7 (22,6%)

Memungkinkan      Terbatas     Sangat           Tidak mungkin

terbatas

Aktivitas berat

2 (6,5%)          10 (32,2%)    11 (35,5%)              8 (25,8%)

Sementara pada outcome pasca-operasi fraktur tibia terbuka derajat III dari segi fungsional, terdapat 3 pasien (9,7%) dengan mobilitas lutut <75% dan 5 pasien (16,1%) dengan mobilitas lutut >80%; 4 pasien (12,9%) dengan mobilitas pergelangan kaki <50% dan 3 pasien (9,7%) dengan mobilitas pergelangan kaki >75%; 2 pasien (6,45%) dengan mobilitas sendi subtalar <50% dan 2 pasien (6,45%) dengan mobilitas sendi subtalar >50%; 7

pasien (22,6%) mengalami pincang signifikan dan 13 pasien (41,9%) mengalami pincang tidak signifikan; 8 pasien (25,8%) tidak dapat melakukan aktivitas berat, 11 pasien (35,5%) sangat terbatas dalam melakukan aktivitas berat, 10 pasien (32,3%) terbatas dalam melakukan aktivitas berat, serta 2 pasien (6,5%) lainnya dapat melakukan aktivitas berat tanpa adanya hambatan.

Tabel 3. Distribusi outcome pasca-operasi berdasarkan klasifikasi Johner-Wruhs

Klasifikasi Outcome Pasca-Operasi

Frekuensi (N=31)

Persentase (%)

Sangat baik

1

3,2

Baik

8

25,8

Cukup baik

10

32,3

Buruk

12

38,7

Setelah dinilai berdasarkan kriterianya, outcome pasca-operasi pasien selanjutnya diklasifikasikan menjadi 4, yaitu sangat baik, baik, cukup baik, dan buruk. Dari hasil penelitian yang tercantum pada Tabel 3., diketahui bahwa pasien paling banyak

mengalami outcome buruk, yaitu sebanyak 12 pasien (38,7%) dan paling sedikit mengalami outcome sangat baik, yaitu sebanyak 1 pasien (3,2%).

Tabel 4. Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Kendall Tau antara usia dengan outcome pasca-operasi

Usia

Outcome Pasca-Operasi

Total   Nilai P       Koefisien Korelasi

Sangat baik

Baik

Cukup baik

Buruk

20-44 tahun

Frekuensi % dalam outcome

1 100%

5

62,5%

4 40%

4

33,3%

14

45,2%

45-59 tahun

Frekuensi % dalam outcome

0

0%

1

12,5%

1

10%

3 25%

5

16,1%    0,215             0,202

≥60 tahun

Frekuensi % dalam outcome

0

0%

2 25%

5 50%

5

41,7%

12

38,7%

Total

Frekuensi % dalam outcome

1 100%

8 100%

10 100%

12 100%

31

100%

Dari hasil uji korelasi Kendall Tau antara usia dengan outcome pasca-operasi pada Tabel 4., diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,215 (Sig. (2-tailed) atau p>0,05) yang menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara kedua variabel. Sementara itu, nilai koefisien korelasi antara usia dengan outcome pasca-

operasi sebesar 0,202 menunjukkan korelasi yang sangat lemah. Nilai positif pada koefisien korelasi juga menunjukkan hubungan yang searah antara usia dan outcome pasca-operasi. Hal tersebut berarti ketika usia pasien semakin tua, maka outcome pasca-operasi yang dialami pasien semakin buruk.

Tabel 5. Hasil tabulasi silang dan uji Fisher’s Exact antara jenis operasi dengan outcome pasca-operasi

Jenis Operasi

Outcome Pasca-Operasi          Total            Nilai P

Sangat    Baik    Cukup   Buruk

baik               baik

Debridement + ORIF   Frekuensi

1          5         4         7           17

% dalam outcome Debridement + OREF   Frekuensi

% dalam outcome

100%   62,5%   40%   58,3%    54,8%

0,720

0         3         6         5          14

0%    37,5%   60%   41,7%    45,2%

Total          Frekuensi

% dalam outcome

1          8         10        12          31

100%   100%   100%   100%    100%

Dari hasil uji Fisher’s Exact antara jenis operasi dengan outcome pasca-operasi pada Tabel 5., didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,720 (Exact Sig. (2-sided) atau

p>0,05) yang menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara kedua variabel.

Tabel 6. Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Kendall Tau antara waktu operasi dengan outcome pasca-operasi

Waktu Operasi

Outcome Pasca-Operasi

Total

Nilai P

Koefisien Korelasi

Sangat baik

Baik

Cukup baik

Buruk

≤12 jam     Frekuensi

1

5

2

2

10

% dalam outcome

100%

62,5%

20%

16,7%

32,3%

0,021

0,394

>12 jam     Frekuensi

0

3

8

10

21

% dalam outcome

0%

37,5%

80%

83,3%

67,7%

Total      Frekuensi

1

8

10

12

31

% dalam outcome

100%

100%

100%

100%

100%

Dari hasil uji korelasi Kendall Tau antara waktu operasi dengan outcome pasca-operasi pada Tabel 6., diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,021 (Sig. (2-tailed) atau p<0,05) yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Sementara itu, nilai koefisien korelasi antara waktu operasi dengan outcome pasca-operasi sebesar 0,394 menunjukkan adanya korelasi yang cukup kuat. Nilai positif pada koefisien korelasi juga menunjukkan hubungan yang searah antara waktu operasi dan outcome pasca-operasi. Hal tersebut berarti semakin lama waktu operasi pasca-trauma, maka outcome pasca-operasi yang dialami pasien semakin buruk.

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini, kelompok usia 20-44 tahun lebih sering mengalami fraktur tibia terbuka derajat III dengan persentase 45,2% dibandingkan kelompok usia lainnya. Hasil penelitian di Irak yang serupa dengan hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa fraktur tibia paling banyak terjadi pada kelompok usia 20-40 tahun dengan persentase 42,9%.12 Hal tersebut dapat terjadi karena kelompok usia 20-44 tahun termasuk kategori usia produktif yang aktif dalam melakukan berbagai pekerjaan maupun aktivitas yang berisiko menyebabkan terjadinya fraktur tibia terbuka, seperti kecelakaan saat bekerja dan kecelakaan lalu lintas.12

Usia tidak mempengaruhi outcome pasca-operasi pasien fraktur tibia terbuka secara signifikan (p=0,215) dan memiliki kekuatan korelasi yang sangat lemah sesuai dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini juga serupa dengan penelitian di Cina yang menyatakan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian infeksi pasca-operasi dengan nilai p sebesar 0,960 (p>0,05).13 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana terdapat 9 pasien yang mengalami kejadian infeksi pasca-operasi dan distribusinya tidak jauh berbeda pada ketiga kelompok usia, yaitu usia 20-44 tahun, 45-59 tahun, dan ≥60 tahun. Sementara itu, terdapat perbedaan pada hasil penelitian ini dengan penelitian di Malaysia yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian non-union dengan nilai p=0,03 (p<0,05) dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian infeksi dengan nilai p=0,193 (p>0,05) dengan rincian 10 kasus non-union dan 17 kasus infeksi.14 Penelitian tersebut menyatakan bahwa terjadi keterlambatan (delayed) penyembuhan tulang pada kelompok usia yang lebih tua. Sedangkan pada penelitian ini, terjadi 2 kasus non-union masing-masing pada kelompok usia 20-44 tahun dan 45-59 tahun sehingga hasil analisisnya berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian fraktur tibia terbuka derajat III paling banyak dialami oleh laki-laki dengan persentase 74,2%. Hasil ini sejalan dengan penelitian di Brazil yang menunjukkan bahwa laki-laki berusia produktif mendominasi kasus fraktur tibia terbuka dengan

persentase 85%.15 Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan laki-laki lebih banyak bekerja berat dan di tempat outdoor yang mengharuskannya lebih sering berkendara sehingga mudah mengalami kecelakaan kerja maupun kecelakaan lalu lintas.15

Dari jenis operasinya, sebanyak 54,8% dari seluruh sampel penelitian ini menjalani operasi ORIF dengan 94,1% pasien menjalani operasi ORIF PS. Dalam penelitian di Turki pada tahun 2014, disebutkan juga bahwa teknik operasi ORIF, seperti plate screw atau IMN dapat menjadi pilihan terapi definitif pada pasien fraktur tibia terbuka derajat IIIA guna menurunkan risiko terjadinya infeksi serta gangguan lainnya dalam proses penyembuhan luka.16 Sementara untuk derajat IIIB dan IIIC, teknik operasi OREF dapat diterapkan karena memudahkan perawatan jaringan lunak (soft tissue), memberikan fiksasi yang kuat atau kaku, serta pelepasan fiksatornya yang mudah.16

Serupa dengan faktor usia, jenis operasi juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan outcome pasca-operasi fraktur tibia terbuka derajat III (p=0,720). Terdapat beberapa penelitian yang hasilnya serupa dengan penelitian ini, namun penelitian tersebut menggunakan jenis operasi yang berbeda dari penelitian ini, salah satunya penelitian di Indonesia pada tahun 2018 yang menggunakan sampel pasien yang menjalani operasi ORIF dan minimally invasive plate osteosynthesis (MIPO). Dari hasil analisis chi-square, didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan pada outcome pasca-operasi pasien yang menjalani operasi ORIF maupun MIPO.17

Waktu operasi (debridement) dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2, yaitu ≤12 jam dan >12 jam pasca-trauma dengan lebih banyak pasien yang menjalani debridement >12 jam pasca-trauma (persentase 67,7%). Pengkategorian ini serupa dengan penelitian di Inggris yang juga membagi waktu debridement menjadi ≤12 jam dan >12 jam pasca-trauma.18 Pembagian tersebut sesuai dengan rekomendasi dari National Institute for Health and Care Excellence (NICE) mengenai waktu inisial pemberian terapi debridement pada pasien fraktur tibia terbuka. Dari hasil penelitian tersebut juga diketahui bahwa pasien lebih banyak menjalani debridement >12 jam, yaitu sebanyak 72 pasien (62%).18

Berbeda dengan usia dan jenis operasi, waktu operasi memiliki hubungan yang signifikan dan korelasi yang cukup kuat dengan outcome pasca-operasi fraktur tibia terbuka derajat III. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian di India pada tahun 2021 yang meneliti pengaruh waktu debridement dengan outcome pasca-operasi (infeksi dan union) fraktur tibia terbuka.19 Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa pasien yang menjalani debridement >12 jam pasca-trauma mengalami kejadian infeksi lebih tinggi, sementara derajat union yang lebih baik terjadi pada pasien yang menjalani debridement ≤12 jam. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan pada outcome pasca-operasi (kejadian infeksi dan union) pasien yang menjalani debridement ≤12 jam dan >12 jam dengan nilai p sebesar 0,0055 (p<0,01). Dengan hasil tersebut, waktu debridement <12 jam dapat menjadi cut off point yang realistis dalam menangani kasus fraktur tibia terbuka. Dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa kejadian infeksi dan union tidak hanya dipengaruhi oleh waktu debridement, tetapi juga dipengaruhi oleh waktu administrasi

antibiotik serta proses debridement dan irigasi yang tepat oleh tim bedah yang berpengalaman.19

Dalam penelitian ini, outcome buruk paling banyak dialami oleh sampel penelitian dengan persentase 38,7%. Hasil outcome pasca-operasi pada penelitian ini berbeda dengan penelitian lainnya karena bersifat multifaktorial dan menggunakan variabel bebas yang berbeda. Salah satunya pada penelitian di Turki yang meneliti outcome pasca-operasi fraktur tibia terbuka derajat III berdasarkan jenis operasi yang digunakan, yaitu ORIF dan OREF serta menggunakan variabel kontrol berupa waktu dan jenis terapi tahap awal yang diberikan kepada pasien, yaitu pemberian antibiotik profilaksis, antitetanus, debridement, dan irigasi.18 Sementara pada penelitian ini, outcome pasca-operasi diteliti dengan menggunakan 3 variabel bebas, yaitu usia pasien, jenis operasi, dan waktu operasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, mayoritas pasien fraktur tibia terbuka derajat III berusia 20-44 tahun, berjenis kelamin laki-laki, menjalani operasi debridement + ORIF, dan menjalani debridement >12 jam pasca-trauma. Dari hasil uji korelasi, waktu operasi (debridement) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap outcome pasca-operasi dibandingkan faktor usia dan jenis operasi yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap outcome pasca-operasi. Waktu debridement juga memiliki hubungan yang searah dengan outcome pasca-operasi yang berarti semakin lama waktu debridement, maka outcome yang dialami pasien semakin buruk.

Melalui penelitian ini, tenaga kesehatan dan institusi kesehatan diharapkan mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi outcome pasca-operasi sehingga dapat memberikan pelayanan optimal guna mencapai outcome yang lebih baik. Kepada peneliti selanjutnya, juga diharapkan meneliti faktor risiko lainnya untuk menambah sumber literasi dan menjadi acuan dalam perawatan pasien fraktur tibia terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Raducha JE, Swarup I, Schachne JM, Cruz AI, Fabricant PD. Tibial shaft fractures in children and adolescents. JBJS Rev. 2019;7(2):1-10.

  • 2.    Wennergren D, Bergdahl C, Ekelund J, Juto H, Sundfeldt M, Möller M. Epidemiology and incidence of tibia fractures in the Swedish Fracture Register. Injury. 2018;49(11):2068-2074.

  • 3.    Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Profil Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2017. Denpasar: Dinas Kesehatan Provinsi Bali; 2017.

  • 4.    Kim PH, Leopold SS. Gustilo-Anderson classification. Clin Orthop Relat Res. 2012;470(11):3270-3274.

  • 5.    Diwan A, Eberlin KR, Smith RM. The principles and practice of open fracture care. Chin J Traumatol. 2018;21(4):187-192.

    • 6.    Smeltzer CS, Bare BG. Textbook of Medical Surgical Nursing. 13rd edition. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins; 2013.                                       14.

    • 7.    Zura R, Mehta S, Della RGJ, Steen RG. Biological risk factors for nonunion of bone fracture. JBJS Rev. 2016;4(1):1-12.

    • 8.    Lua JY, Tan VH, Sivasubramanian H, Kwek EB.   15.

    Complications of open tibial fracture management: risk factors and treatment. Malays Orthop J. 2017;11(1):18-22.

    • 9.    Avilucea FR, Sathiyakumar V, Greenberg SE, Ghiam

    M, Thakore RV, Francois E, et al. Open distal tibial 16. shaft fractures: a retrospective comparison of medial plate versus nail fixation. Eur J Trauma Emerg Surg.

    2016;42(1):101-106.                                    17.

    • 10.    Fernandes M, Peres LR, Queiroz A, Lima JQ, Turíbio FM, Matsumoto MH. Open fractures and the incidence of infection in the surgical debridement 6 hours after trauma. Acta Ortop Bras. 2015;23(1):38-42.              18.

    • 11.    Sohn HS, Chung JY, Song HK. Analysis of complications and clinical outcomes in the treatment of segmental tibial fractures according to the method of internal fixation. Asian J Surg. 2019;42(7):740-745.

    • 12.    Awwad NY. Epidemiology of fractures among patients 19. attending Azadi Teaching Hospital in Kirkuk City. Thi-Qar Medical Journal. 2020;20(2):66-75.

    • 13.    Li J, Wang Q, Lu Y, Feng Q, He X, Li Z, et al. Relationship between time to surgical debridement and


the incidence of infection in patients with open tibial fractures. Orthop Surg. 2020;12(2):524-532.

Yusof NM, Khalid KA, Zulkifly AH, Zakaria Z, Amin MAM, Awang MS, et al. Factors associated with the outcome of open tibial fractures. Malays J Med Sci. 2013;20(5):47-53.

Jana FC, de Paula CM, Alves BAF, Ferreira PM, Ayres JC, Alves R. Analysis of the characteristics of patients with open tibial fractures of Gustilo and Anderson type III. Rev Bras Ortop. 2016;51(2):143-149.

Aslan A, Uysal E, Ozmeric A. A staged surgical treatment outcome of type 3 open tibial fractures. ISRN Orthop. 2014;2014:1-7.

Oktavia R, Hanafiah H. The Outcomes of Tibial Fracture Patients Who Underwent ORIF Compared to MIPO. 1st edition. London: Taylor & Francis Group; 2018.

Hendrickson SA, Wall RA, Manley O, Gibson W, Toher D, Wallis K, et al. Time to Initial Debridement and Wound Excision (TIDE) in severe open tibial fractures and related clinical outcome: A multi-centre study. Injury. 2018;49(10):1922-1926.

Kumar TKJ, Mathew J, Pai PK, Rajasubramanya P, Rehman F. Timing of debridement of open tibial fractures during the COVID-19 lockdown in India. International Journal of Orthopaedics Sciences. 2021;7(1):742-745.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2022.V11.i10.P17

106