DERMATITIS KONTAK AKIBAT KERJA PADA PEKERJA GARMEN

I Made Stepanus Biondi Pramantara

I Made Brathiarta

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ABSTRAK

Dermatitis kontak akibat kerja adalah dermatitis yang terjadi karena kontak dengan bahan-bahan yang ada di tempat kerja, dan hal ini tidak terjadi bila penderita tersebut tidak bekerja. Pada pekerja tekstil, angka kejadian dermatitis kontak akibat kerja menempati urutan ke empat dari seluruh penyakit kulit akibat kerja pertahunnya di Finlandia. Dermatitis kontak terdiri atas dua macam, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik (DKA) yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik (reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)). Untuk menetapkan bahan penyebab dermatitis kontak diperlukan anamnesis yang teliti tentang, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel dan diperlukan juga investigasi ke tempat kerja untuk mengamati pekerjaan dan bahan apa saja yang biasanya kontak dengan pasien pada saat pasien bekerja. Beberapa bahan yang paling sering menimbulkan dermatitis akibat kerja pada pekerja garmen adalah resin, formaldehid dan zat pewarna (dye). Penanganan dermatitis kontak dapat dibagi menjadi terapi farmakologi dan non-farmakologi. Cara terbaik mengatasi dermatitis kontak akibat kerja adalah pencegahan dengan menghindari kontak terhadap bahan penyebab. Prognosis jangka panjang dermatitis kontak akibat kerja sangat buruk, meskipun usaha pengobatan yang terbaik dan mengganti jenis pekerjaan telah dilakukan.

Kata kunci : Dermatitis Kontak, garmen, alergi, iritan

ABSTRACT

Occupational contact dermatitis is a dermatitis that occurs due to contact with the materials that exist in the workplace, and this is not the case if the person does not work. In the textile workers, the incidence of occupational contact dermatitis ranks fourth of all occupational skin diseases annually in Finland. Contact dermatitis is of two kinds, namely contact dermatitis (DKI) arising through non-immunologic mechanisms and allergic contact dermatitis (DKA) as a result of specific immunologic mechanism (slow type hypersensitivity reaction (type IV)). To assign a material cause of contact dermatitis required a careful history taking about, a complete medical history, physical examination and patch test and is also required investigation into the workplace to observe the work and what materials are usually in contact with the patient when the patient works. Some of the materials most commonly cause dermatitis due to work in garment workers are resins, formaldehyde and dyes. Handling contact dermatitis can be divided into non-pharmacological therapy and pharmacology. The best way to overcome work-related contact dermatitis is prevention by avoiding contact of the material causes. Long-term prognosis of occupational contact dermatitis is very bad, despite the best efforts of treatment and change the type of work has been done.

Keyword : contact dermatitis, garment, allergic, irritant

Pendahuluan


Finlandia, dermatitis kontak pada pekerja

Beragam industri semakin berkembang seiring dengan semakin meningkatnya persaingan antar industri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, tentu semakin meningkat pula kasus-kasus di bidang kesehatan yang berkaitan dengan industri. Salah satu industri tersebut adalah industri garmen. Kebutuhan produksi yang meningkat mendorong peningkatan tenaga kerja yang produktif.[1] Proses industri garmen sebagian besar dikerjakan oleh tenaga kerja manusia sehingga risiko pekerja terhadap pekerjaannya pun juga tinggi.

Dermatitis kontak adalah salah satu penyakit kulit akibat kerja yang paling sering terjadi. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja (PAK), dan merupakan 8595% kasus penyakit kulit karena pekerjaan di Amerika.[1,2] Sedangkan di

tekstil menempati urutan ke-4, yaitu sekitar 0,6 kasus dari 1000 orang pekerja per-tahunnya.[3]

Dermatitis kontak secara umum merupakan suatu keadaan inflamasi noninfeksi pada kulit yang diakibatkan oleh senyawa yang kontak dengan kulit tersebut.[2] Dikenal dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) yang merupakan respon nonimunologi dan dermatitis kontak alergik (DKA) yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik.[1-5]

Dermatitis kontak akibat kerja membawa dampak yang cukup besar baik bagi pekerja itu sendiri maupun bagi pabrik. Oleh karena itu, dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja garmen perlu diketahui oleh seorang dokter agar dapat memberikan pegobatan secara tepat, efektif dan rasional.

Definisi dan Epidemiologi

Dermatitis kontak akibat kerja adalah dermatitis eksogen yang terjadi karena kontak dengan bahan-bahan yang ada di tempat kerja, dan hal ini tidak terjadi bila penderita tersebut tidak bekerja.[3] Dermatitis kontak terdiri atas dua macan, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik (DKA) yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik (reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)).[5]

DKI timbul pada 80% dari seluruh kasus dermatitis kontak, sedangkan DKA hanya terjadi kurang lebih 20%.[4] Prevalensi pada wanita dua kali lipat daripada laki-laki.[5] Variasi angka kejadian dermatitis kontak akibat kerja tergantung pada derajat dan bentuk industrialisasi suatu negara dan minat dokter kulit setempat terhadap dermatitis kontak akibat kerja. Pada pekerja tekstil, angka kejadian dermatitis kontak di Finlandia sekitar 0,6 kasus dari 1000

orang pekerja pertahunnya.[3] Namun, terdapat kasus yang tidak dilaporkan, yaitu diperkirakan mencapai 20-50 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan.[5]

Etiologi dan Patogenesis

Pada industri garmen pekerjaan seperti memotong dan menjahit pakaian masih dilakukan secara manual sehingga kesempatan pekerja untuk terpapar bahan iritan maupun alergen semakin besar. Bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan dermatitis kontak pada pekerja garmen antara lain bahan iritan (pemutih, fiberglass, formaldehid) dan alergen (pottasium dichromate atau mordant, bahan yang terbuat dari karet, epoxy resin atau perekat, p-phenylediamine atau pewarna kain, nickel sulfate, dimethylthiourea.[3,6,7] Namun, zat kimia yang paling sering menjadi alergen pada kain adalah pewarna pakaian (dyes) dan resin.[7]

DKI dapat tampak setelah pemaparan tunggal maupun berulang

pada agen yang sama. Beberapa mekanisme dapat menggambarkan proses terjadinya DKI. Bahan kimia dapat merusak sel dermal secara langsung melalui absorpsi langsung melewati membran sel kemudian merusak sistem sel. Setelah terdapat sel yang mengalami kerusakan maka akan merangsang mediator inflamasi. Sebagai contoh pada kasus dermatitis kontak akibat iritan kuat. Bahan iritan kuat akan menembus ke dalam sel kulit kemudian mengakibatkan kerusakan sel sehingga memicu pelepasan asam arakidonat dari fosfolipid dengan bantuan fosfolipase. Asam arakidonat kemudian diubah oleh siklooksigenase menghasilkan prostaglandin dan tromboksan dan lipooksigenase menghasilkan leukotrin. Prostaglandin dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan mempengaruhi saraf, leukotrin meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah tersebut serta berefek kemotaktik

kuat terhadap eosinofil, netrofil dan makrofag. Mediator pada inflamasi akut adalah histamin, serotonin, prostaglandin, leukotrin, sedangkan sitokn berikutnya adalah IL-1, IL-2, IL-3, dan TNFα2. Reaksi ini bukanlah akibat reaksi imun spesifik dan tidak membutuhkan pemaparan sebelumnya.[5]

Pada DKA, terdapat 2 fase pada proses terjadinya dermatitis. Pertama, fase sensitisasi (induksi atau aferen). Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka oleh bahan kontaktan. Hapten (antigen) menembus kulit, kemudian mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis menjadi komplek antigen protein. Kemudian sel langerhans menyajikan antigen kepada sel T CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen. Selanjutnya sel langerhans mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan

merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari. [5]

Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang interferon gamma (INF). IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin. Sehingga kemudian terjadi keradangan kulit[5]

Gejala Klinis

Bila diperhatikan tangan merupakan daerah yang terbanyak terkena dermatitis kontak akibat kerja, sedangkan pada kasus yang jarang bisa meliputi wajah, kaki dan anggota tubuh lainnya. Tanda dan gejala pada DKA akut berupa makula, eritema, batasnya kurang tegas, edema, papul, vesikel, dan eksudasi. Rasa gatal pada DKI akut hampir sama dengan DKA akut, tetapi yang membedakan adalah ditemukan bula dan rasa seperti terbakar. DKA dan DKI dapat berlangsung kronis yaitu ditandai dengan adanya kulit menebal, likenifikasi, warna hiperpigmentasi, skuama dan erosi.[3,5]

Beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit terhadap paparan, antara lain riwayat penyakit kulit sebelumnya, jumlah dan konsentrasi paparan bahan kimia, dan faktor lingkungan (suhu, kelembaban, tipe pekerjaan). Iritan kimia kuat, baik asam maupun basa, dapat mengakibatkan

gejala dengan reaksi inflamasi dari sedang sampai parah. Sedangkan, iritan yang lebih ringan (detergen, sabun, pelarut) membutuhkan pemaparan yang berulang untuk mengakibatkan dermatitis.[3,5]

Diagnosis Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Pekerja Garmen

Untuk menetapkan bahan penyebab dermatitis kontak diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel dan diperlukan juga investigasi ke tempat kerja untuk mengamati pekerjaan dan bahan apa saja yang biasanya kontak dengan pasien pada saat pasien bekerja.[5,7]

Anamnesis merupakan hal pertama yang dilakukan dan bertujuan untuk mengetahui kausa. Beberapa hal yang harus ditanyakan, yaitu kegiatan pasien sehari-hari di tempat kerja, riwayat atopi, perjalanan penyakit, riwayat kontaktan dan pengobatan yang

pernah diberikan oleh dokter maupun dilakukan sendiri, obyek personal (pakaian, sepatu lama, kosmetika, kaca mata, jam tangan), riwayat medis umum dan faktor psikologik serta ditanyakan juga kegiatan di rumah.[5]

Pemeriksaan fisik pada dermatitis kontak alergik didapatkan adanya eritema, edema, dan papula, disusul dengan pembentukan vesikel. Apabila vesikel tersebut pecah, maka akan membentuk dermatitis yang basah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya, maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis. Sedangkan, pada DKI ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi bengkak, kemerahan dan dapat menjadi bula dan bila pecah mengeluarkan cairan, perih dan rasa terbakar, lesi pada umumnya berbatas tegas dan terlokalisasi pada daerah yang terkena bahan iritan [4,5]

Tes tempel merupakan teknik pemeriksaan yang harus dilakukan dalam menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergi.[8] Lokasi tes tempel biasanya dilakukan pada punggung. Tes ini menggunakan antigen standar, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E. Test. Bahan alergen dibiarkan menempel selama 48 jam, kemudian dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Pembacaan berikut dilakukan biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini dilakukan untuk membedakan antara reaksi alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, sehingga perlu diberi informasi agar pasien melapor, bila hal itu terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi. Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Reaksi alergi biasanya menjadi

lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo). Sedangkan reaksi iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo).[5,8]

Diagnosis Banding Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Pekerja Garmen[5]

Berbagai diagnosis banding yang harus dipertimbangkan adalah :

  • 1.    Dermatitis atopic, erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat -tempat tertentu seperti lipatan siku, lipatan lutut disertai riwayat atopik pada penderita atau keluarganya.

  • 2.    Dermatitis numularis, merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif dengan lesi berukuran sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada ekstensor ekstremitas.

  • 3.    Dermatitis dishidrotik, erupsi bersifat kronik residif, sering dijumpai pada telapak tangan dan telapak kaki, dengan efloresensi berupa vesikel yang terletak di dalam.

  • 4.    Dermatomikosis, infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur dengan efloresensi kulit bersifat polimorf, berbatas tegas dengan tepi yang lebih aktif.

  • 5.    Dermatitis seboroik, pada muka terdapat di sekitar ala nasi, alis mata dan di belakang telinga.

  • 6.    Liken simplek kronikus, bersifat kronis dan redisif, sering mengalami iritasi atau sensitisasi. Harus dibedakan dengan DKA bentuk kronik.

Penatalaksanaan

Terapi non-farmakologi DKI [2]

  • 1.    Pencucian sesegera mungkin pada area yang terpapar bahan iritan untuk mengurangi waktu kontak iritan dengan kulit.

  • 2.    Edukasi untuk menghindari beberapa bahan yang dapat menyebabkan respon iritasi pada kulit.

  • 3.    Penggunaan baju pelindung, sarung tangan, dan peralatan proteksi lainnya dan sebaiknya diganti secara periodik.

  • 4.    Menggunakan krim penghalang (barrier cream) kulit sebelum kontak dengan bahan iritan.

Terapi non-farmakologi DKA [2]

Membersihkan bagian yang terkena dengan cara mengompres menggunakan air hangat (32,2º C) atau lebih dingin. Pencucian menggunakan sabun hipoalergenik dan jangan menggosok bagian yang ruam.

Terapi Farmakologi Dermatitis Kontak Pengobatan yang diberikan dapat berupa pengobatan   topikal   dan sistemik,

disesuaikan dengan  keadaan klinis

dermatitis kontak akut atau kronis. [2,5,10]

Untuk pengobatan dermatitis kontak yang akut, obat topikal yang diberikan dapat berupa kompres larutan garam fisiologis pada lesi akut yang basah, selain itu diberikan kortikosteroid ringan (hidrokortisone 1-2.5%) yang mempunyai efek anti inflamasi, imunosupresi, dan vasokonstriksi bila lesi sudah mengering. [2,5,10]

Pengobatan sistemik pada lesi dermatitis kontak yang akut dapat diberikan antihistamin yaitu reseptor antagonis H1 merupakan obat pilihan pertama. Jika lesi berat dan luas, dapat diberikan kortikosteroid seperti prednison atau prednisolon dan Antibiotika jika terjadi infeksi sekunder seperti amoksisilin atau eritromisin. [5,10]

Pada pengobatan dermatitis kontak yang kronik pengobatan topikalnya dapat diberikan kortikosteroid yang mempunyai efek lebih poten seperti krim desoksimetason 0,025%. Sedangkan untuk pengobatan sistemik dapat diberikan antihistamin. [5,10]

Pencegahan Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Pekerja Garmen

Cara yang terbaik dalam mengatasi penyakit kulit akibat pekerjaaan adalah pencegahan. Hal ini dapat dilakukan dengan identifikasi bahan-bahan kimia yang berbahaya, pemeriksaan sebelum diterima sebagai pekerja (preemployment

screening), dan kontrol bahan-bahan berbahaya oleh pengusaha, pekerja, pemerintah, dan profesi dibidang kesehatan untuk mencegah penyakit kulit akibat kerja.[9]

Prognosis

Beberapa penelititan menunjukan bahwa prognosis jangka panjang dermatitis kontak akibat kerja sangat buruk, meskipun usaha pengobatan yang terbaik dan mengganti jenis pekerjaan telah dilakukan.[3] Kira-kira 25% pekerja dapat sembuh total, 50% lainnnya mengalami perbaikan tetapi masih mengalami dermatitis secara periodik serta 25% sisanya mengalami dermatitis yang menetap atau bahkan mengalami perburukan. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki prognosis bergantung pada pengobatan yang tepat, memberikan edukasi dan menghindarkan bahan-bahan yang menjadi penyebab dermatitis kontak akibat kerja.[9]

Ringkasan

Dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit kulit akibat kerja yang paling sering terjadi. Pada pekerja garmen, angka kejadian dermatitis kontak akibat kerja di Finlandia menduduki peringkat keempat dari semua penyakit kulit akibat kerja yaitu sekitar 0,6 kasus dari 1000 orang pekerja pertahunnya. Pekerjaan seperti memotong dan menjahit pakaian di industri garmen masih dilakukan secara manual sehingga kesempatan pekerja untuk terpapar bahan iritan maupun alergen semakin besar sehingga menyebabkan timbulnya resiko dermatitis kontak akibat kerja juga semakin besar. Dermatitis kontak akibat kerja terdiri atas dua jenis, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik (DKA) yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik (reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)). Beberapa bahan yang paling sering

menimbulkan dermatitis akibat kerja pada pekerja garmen adalah resin, formaldehid dan zat pewarna (dye). Untuk menetapkan bahan penyebab dermatitis kontak diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel dan diperlukan juga investigasi ke tempat kerja untuk mengamati pekerjaan dan bahan apa saja yang biasanya kontak dengan pasien pada saat pasien bekerja. Penanganan dermatitis kontak dapat dibagi menjadi terapi farmakologi dan non-farmakologi. Cara terbaik mengatasi dermatitis kontak akibat kerja adalah pencegahan dengan menghindari kontak terhadap bahan penyebab. Prognosis dermatitis kontak pada pekerja adalah 25% pekerja dapat sembuh total, 50% nya mengalami perbaikan tetapi masih mengalami dermatitis secara periodik dan 25% sisanya mengalami dermatitis yang menetap atau bahkan mengalami perburukan

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Nuraga W, Lestari F, Kurniawidjaja ML. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industry Cibitung Jawa Barat. Makara, Kesehatan. 2008; 12(2):63-70

  • 2.    Sumantri MA, Febriani HT, Musa ST. Dermatitis Kontak. 2007. [diakses : Januari 2009]. Diunduh dari URL: pharma-c.blogspot.com.

  • 3.    Rycroft RJG. Occupational Contact Dermatitis. In : Frosch et al, ed. Textbook of Contact Dermatitis. New York : Springer-Verlag, 2003:341-85.

  • 4.    Mark JG, Elsner P, Deleo VA. Allergic And Irritant Contact Dermatitis. Contact and Occupational Dermatology. 3th ed. St. Louis: Mosby, Inc; 2003.p.3-15

  • 5.    Trihapsoro I. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library; 2003.

  • 6.    Naria Evi. Resiko Pemajanan Formaldehid Sebagai Bahan Pengawet Tekstil Di Lingkungan Kerja. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library; 2004.

  • 7.    Van der Walle HB. Irritant Contact Dermatitis. In : Menne et al, ed. Hand eczema. Florida : CRC Press, 2003:133-39.

  • 8.    Tailor JS. Occupational Skin Disease. In : Irwin FM et al, ed. Fitzpatrick’s. Dermatology in General Medicine. United         States:McGraw-Hill,

2003:1309-29.

  • 9.    Mark JG, Elsner P, Deleo VA. Evaluation of The Worker In The Office And At The Work Site. Contact and Occupational Dermatology. 3th ed. St. Louis: Mosby, inc, 2003;p.314-20

  • 10.    Perry AD and Trafelli JP. Hand Dermatitis: Review of Etiology, Diagnosis, and Treatment. Jabem. 2009;22:325-30.

11