DIAGNOSE AND MANAGEMENT TINEA FASCIALIS
on
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TINEA FASIALIS
-
1I Pt Agus Suryantara P. 2 L.M Rusyati 3 I.G.K Darmada
-
1 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
-
2,3 Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Penyakit jamur kulit di Indonesia cukup banyak terjadi mengingat negara ini tropis yang beriklim panas ditambah higiene yang kurang sempurna. Dermatofitosis merupakan penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk dimana dikenal beberapa bentuk dermatofitosis misalnya Tinea Corporis ataupun Tinea Cruris. Tinea Fasialis juga merupakan salah satu bentuknya. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, hasil pemeriksaan sediaan langsung yang positif dan biakan. Pengobatan penyakit ini meliputi pemberian oba-obatan topikal ataupun sistemik. Yang penting dalam penatalaksaan kasus ini adalah dalam hal pencegahannya meliputi menjaga kulit tetap kering.
Keywords : Tinea, Fasialis
DIAGNOSE AND MANAGEMENT TINEA FASCIALIS
ABSTRACT
Fungi disease on skin is often occur at Indonesia because it is a tropic country that has hot climate and also correlate wit bad hygiene. Dermatofitosis is fungi disease on the keratinizing tissue and differentiate as many class such as Tinea Corporis or Tinea Cruris. Tinea fascialis include in this form. The diagnose this disease from anamnesis, clinical manifetation, and also test result from the tissue. Management for this tineacomprise to topical and systemic. The important one in management this disease is prevention management include in control of skin dryness.
Keywords : Tinea, Fasialis
daerah-daerah lain di Indonesia.
PENDAHULUAN
Sebagai negara tropis yang beriklim panas dan lembab, ditambah higiene yang kurang sempurna, infestasi jamur kulit di Indonesia cukup banyak.1 Infeksi jamur pada kulit meliputi berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur atau ragi pada kulit, rambut dan kuku. Dari segala macam penyakit jamur kulit, yang merupakan tipe infeksi superfisial dan kutan, maka pitiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidosis kulit yang tersering ditemui.2
Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ( RSCM/ FKUI ) Bagian Mikologi Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin pada tahun 1992 ditemukan 2500 penderita dari 19.000 jumlah pengunjung bagian tersebut seluruhnya. Ini berarti kurang lebih 13 % penderita penyakit jamur kulit. Keadaan itu hampir sama dengan
Demikian pula keadaan di rumah sakit Dr. Sutomo, Surabaya, dermatomikosis superfisialis masih merupakan penyakit kulit yang banyak ditemui. Keadaan polikilinik rumah sakit di kota-kota lain diperkirakan tidak banyak berbeda.1 Data dari RSUD Kabupaten Buleleng didapatkan penderita penyakit jamur yaitu pada tahun 2004 sebanyak 240 kasus, tahun 2005 sebanyak 390 kasus dan semester I tahun 2006 sebanyak 162 kasus.3
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita, yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk yakni, epidermis ( Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis ), rambut ( Tinea kapitis ), kuku ( Tinea unguinum ).3 Selain bentuk tersebut juga ada
bentuk khusus yaitu tinea imbrikata, tinea favosa, tinea fasialis dan tinea sirsinata. 3
Selain bentuk tersebut juga ada
bentuk khusus yaitu tinea imbrikata,
tinea favosa, tinea facialis dan tinea sirsinata.
Dermatofitosis ini terjadi oleh karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang terserang, biasanya pada tempat yang lembab dengan maserasi
atau ada trauma sebelumnya. Higiene
juga berperan untuk timbulnya penyakit
ini.3
Pada dasarnya, jamur ada dimana-mana, hanya sebagian kecil saja yang dapat menimbulkan penyakit, sebagian besar lainnya tidak bersifat patogen, namun bisa menjadi patogen bila ada faktor-faktor predisposisi terentu baik fisiologis maupun patologis. Faktor-faktor predisposisi fisologis meliputi kehanilan dan umur, sedangkan yang termasuk faktor
predisposisi patologis adalah keadaan umum yang jelek, penyakit tertentu, iritasi setempat, dan pemakaian obat-obat tertentu seperti antibiotika, kortikosteroid dan sitostatik.4
Dari berbagai macam penyakit jamur kulit, yang merupakan tipe infeksi superfisial dan kutan, maka pitiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidosis kulit yang tersering ditemui. Penyakit jamur pada kulit merupakan salah satu penyakit rakyat yang masih banyak terdapat di Indonesia. Kurangnya pengetahuan mengenai kebersihan merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam pemberantasannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami akan membahas salah satu topik pada dermatofitosis yaitu tinea facialis.
Definisi
Tinea fasialis adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas pada kulit yang tidak berambut, yang
terjadi pada wajah, memiliki karakteristik sebagai plak eritema yang melingkar dengan batas yang jelas.. Pada pasien anak-anak dan perempuan, infeksi dapat muncul pada permukaan wajah, termasuk bibir atas dan dagu. Pada pria, kondisi ini dikenal sebagai tinea barbae ketika infeksi dermatofit terdapat di daerah berjenggot. 5,6
Epidemiologi
Tinea fasialis merupakan penyakit yang biasa terjadi. Ini terjadi di seluruh dunia. Namun, seperti dengan infeksi jamur kulit lainnya, lebih umum terjadi di daerah tropis dengan suhu tinggi dan kelembaban. Tinea fasialis dapat muncul pada segala usia dimana puncaknya terjadi pada anak-anak dan mereka yang berusia 20-40 tahun. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita mungkin lebih sering terinfeksi daripada pria . Pada wanita, infeksi dermatofit pada wajah dapat didiagnosis
sebagai tinea fasialis, sedangkan infeksi-infeksi lain yang terjadi pada pria di daerah yang sama didiagnosis sebagai tinea barbae. Data menunjukkan perbandingan penderita wanita dan pria adalah 1,06:1. 6
Etiopatogenesis
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Dermatofita terbagi dalam 3 genus yaitu : Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Belum banyak
penelitian yang menjelaskan jenis terbanyak dermatofita yang terdapat pada tinea fasialis tapi ada beberapa sumber mengatakan di
Asia, Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyto rubrum merupakan penyebab tersering.6 Berikut adalah faktor-faktor risiko timbulnya penyakit ini:
-
1. Kontak dengan pakaian, handuk, atau apapun yang sudah berkontak dengan penderita
-
2. Kontak kulit ke kulit dengan penderita atau hewan peliharaan
-
3. Umur 12 tahun ke bawah
-
4. Lebih sering menghabiskan waktu di tempat yang tertutup
-
5. Penggunaan obat-obatan
glukokortikoid topikal dalam jangka waktu yang lama
Patogenesis dari tinea ini juga masih belum begitu jelas. Dikatakan bahwa dermatofit merilis beberapa enzim, termasuk keratinases, yang
memungkinkan mereka untuk
menyerang stratum korneum dari epidermis sehingga menyebabkan kerusakan. 6 ada juga teori patogenesis yang mengungkapkan adanya invasi epidermis oleh dermatofit mengikuti pola biasa pada infeksi yang diawali dengan pelekatan antara artrokonidia dan keratinosit yang diikuti dengan penetrasi melalui sel dan antara sel serta perkembangan dari respon penjamu.
Perlekatan : Pada stratum korneum, fase pertama dari invasi dermatofit melibatkan infeksi artrokonidia ke keratinosit. Secara in vitro, proses ini komplit dalam waktu 2 jam setelah kontak, dimana stadium germinasi dan penetrasi keratinosit timbul. Berbagai dermatofit menunjukkan kerja yang sama, yang tidak terpengaruhi oleh sumber keratinosit. Dermatofit ini harus bertahan dari efek sinar ultraviolet, temperatur dan kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan flora normal, dan dari asam lemak yang bersifat fungistatik
Penetrasi ; Diketahui secara luas dermatofit bersifat keratinofilik. Kerusakan yang ditimbulkan di sekitar penetrasi hifa diperkirakan berasal dari proses digesti keratin. Dermatofit akan menghasilkan enzim-enzim tertentu (proteolitik), termasuk enzim keratinase dan lipase, yang dapat mengakibatkan dermatofit tersebut akan
menginvasi stratum korneum dari epidermis. Proteinase lainnya dan kerja mekanikal akibat pertumbuhan hifa mungkin memiliki peran. Meskipun demikian, masih sulit untuk membuktikan mekanisme produksi enzim oleh dermatofit dengan aktivitas keratin- specific proteinase. Trauma dan maserasi juga memfasilitasi proses penetrasi ini.
Pertahanan tubuh dan imunologi ;
Deteksi imun dan kemotaktik dari sel-sel inflamasi terjadi melalui mekanisme yang umum. Beberapa jamur memproduksi faktor kemotaktik yang memiliki berat molekul yang rendah, seperti yang diproduksi oleh bakteri. Komplemen lainnya yang teraktivasi, membuat komplemen yang tergantung oleh faktor kemotaktik. Keratinosit mungkin dapat menginduksi kemotaktik dengan memproduksi IL-8 sebagai respon kepada antigen seperti trichophytin. Kandungan serum dapat
menghambat pertumbuhan dermatofit, sebagai contohnya antara lain unsaturated transferrin dan asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea (derivat undecenoic acid).
Gejala
Penderita mengeluh gatal yang kadang-kadang meningkat waktu berkeringat serta rasa terbakar memburuk setelah paparan sinar matahari (fotosensitivitas). Namun, kadang kadang, penderita tinea fasialis dapat memberikan gejala yang asimptomatis.5,6
Gambaran Klinis
Kelainan yang dilihat dari Tinea fasialis dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong , berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang sering disebut dengan central
healing. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.5,6
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, hasil pemeriksaan sediaan langsung yang positif dan biakan. Hal-hal yang dapat kita temukan dari anamnesis, antara lain : a) rasa gatal di bagian wajah, disertai sensasi terbakar, dan memburuk setelah paparan sinar matahari. b) Ada riwayat kontak dengan hewan peliharaan, c) Ada riwayat kontak langsung dengan
penderita dermatofitosis, d) Ada riwayat penggunaan bersama barang-barang penderita dermatofitosis, misalnya handuk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran klinis seperti yang sudah disebutkan diatas.
Kadang – kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 nm. Beberapa spesies dermatofit tertentu yang berasal dari genus Microsporum menghasilkan substansi yang dapat membuat lesi menjadi warna hijau ketika disinari lampu Wood dalam ruangan yang gelap. Dermatofit yang lain, seperti T. schoenleinii memproduksi warna hijau pucat. Ketika hasilnya positif, ini akan sangat berguna.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora.2,5 Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa,
sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet (artospora) pada kelainan kulit lama dan atau sudah diobati. 2,5
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud.2,5 Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.2,5
Diagnosis Banding
Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea fasialis pada umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan
diagnosis itu, misalnya dermatitis seboroika dan pitiriasis rosea.5
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea fasialis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Kulit kepala berambut juga sering terkena penyakit ini. Dermatitis seboroik adalah dermatosis kronik yang tersering, yang memiliki gambaran kemerahan dan skuama yang terjadi pada daerah-daerah yang memiliki kelenjar keringat yang aktif, seperti wajah dan kulit kepala, juga di daerah dada. Gejala yang timbul berupa gatal, sangat bervariasi, biasanya gatal semakin memburuk dengan meningkatnya perspirasi. Pada pemeriksaan fisis ditemukan, makula atau papul berwarna kemerahan atau keabu-abuan dengan skuama kering berwarna putih. Ukurannya bervariasi,
antara 5-20 mm. Berbatas tegas, sering terdapat krusta dan celah pada telinga luar bagian belakang. Skuama yang terdapat pada kulit kepala inilah yang sering disebut sebagai ketombe. Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroika adalah skuamanya yang berminyak dan kekuningan.
Kelainan pada pitiriasis rossasea memiliki kemiripan dengan tinea fasialis, Rosasea (papulopustular dan eritematotelangiektasia) ditandai dengan eritema persisten fasialis dan flushing bersama dengan telangiektasis, edema sentral wajah, rasa terbakar dan tertusuk, kasar dan bersisik atau kombinasi dari beberapa tanda dan gejala yang ada. Rasa terbakar dan tertusuk pada wajah dapat timbul pada papulopustular rosasea, tapi dapat muncul bersama eritematotelangiektasis rosasea. Pada kedua subtipe, eritema dapat muncul di regio periorbita. Edema dapat ringan maupun berat, sering
ditemukan pada glabella dan dahi. Phymatous rosasea ditandai dengan orifisium patulosa folikular, penebalan kulit, dan kontur permukaan wajah yang irregular di daerah yang konveks. Phymatous rosasea dapat muncul di hidung dan di dagu, dahi, kelopak mata dan telinga. Perbedaannya pada pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea fasialis, skuamanya halus sedangkan pada tinea fasialis kasar. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya.5
Pengobatan
Pengobatan topikal3 :
a) Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salep (Salep Whitfield)., b) Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 310), c) Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 1% dll.
Pengobatan sistemik3 :
minggu dan untuk anak-anak 5
a) Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea fasialis adalah 34 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan. Aktif hanya melawan dermatofit, kurang efektif daripada Triazoles. Efek samping yang dapat ditimbulkan, antara lain: nyeri kepala, mual/muntah, fotosensitivitas. Infeksi T. rubrum dan T. tonsurans dapat kurang berespon. Sebaiknya diminum dengan makanan berlemak untuk memaksimalkan penyerapan. b) Ketokonazol 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. c) Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder. Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan deriivat azol seperti itrakonazol, flukonazol dll. Itrakonazol: untuk dewasa 400 mg/hari selama 1
mg/kg/hari selama 1 minggu. Sediaannya 100 mg dalam kapsul; solusio oral (10 mg/ml) dalam intravena. Untuk Triazole, kerjanya membutuhkan pH asam pada lambung agar kapsulnya larut. Flukonazol: orang dewasa 150–200 mg/minggu selama 4– 6 minggu, sedangkan anak-anak 6 mg/kg/minggu selama 4–6 minggu. Sediaan fluconazole tablet 100, 150,
200 mg; suspense oral (10 or 40 mg/ml); dan intravena 400 mg.
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, antara lain : 7,8
-
1. Penyebaran infeksi ke area yang lain
-
2. Infeksi bakteri pada lesi
-
3. Dermatitis kontak atau kelainan kulit yang lain
-
4. Efek samping dari pengobatan
Pencegahan
Ringkasan
Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah terjadi tinea fasialis antara lain :7,8 a) Mengurangi kelembaban dari tubuh penderita dengan menghindari berkeringat yang berlebihan. b) Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing, anjing, atau kontak penderita lain. c) Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di kaki. d) Meningkatkan hygiene dan memperbaiki makanan. e) Faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelaian endokrin yang lain, leukemia, harus dikontrol.
Prognosis
Prognosis dari dermatofita bergantung pada bentuk klinis, penyebab spesies dermatofita dan hospesnya sendiri, termasuk sosial budaya dan status imunologisnya. Tapi pada umumnya prognosis penyakit ini adalah baik.2,5,7,8
Tinea fasialis adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas pada kulit yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah. Kasus ini dapat muncul pada segala usia dimana puncak kasus terjadi pada anak-anak dan yang berusia 20-40 tahun. Dermatofita penyebab tersering Tinea fasialis terbagi dalam 3 genus yaitu : Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Patogenesis dari tinea ini juga masih belum begitu jelas. Ada teori yang menjelaskan tentang patogenesis dimana patogenesis dijelaskan sebagai berikut : perlengkatan, penetrasi, pertahanan serta imunologi tubuh. Penderita kasus ini biasanya akan datang dengan mengeluh gatal yang kadang-kadang meningkat waktu berkeringat serta rasa terbakar memburuk setelah paparan sinar matahari. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, hasil
pemeriksaan sediaan langsung yang positif dan biakan. beberapa penyakit kulit yang dapat menyerupai kasus itu, misalnya dermatitis seboroika dan pitiriasis rosea. Pengobatan pada kasus ini meliputi pemberian obat topikal ataupun sistemik dan juga pemberian KIE untuk mencegah perburukan serta kambuhnya penyakit ini. Umumnya prognosis penyakit ini adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Budimulja,U.: Infestasi Jamur. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta
(1992).
-
2. Budimulja,U. Sunoto. Dan
Tjokronegoro, Arjatmo.:
Penyakit Jamur. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,Jakarta (1983).
-
3. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan Kelamin RSUP Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar (2000).
-
4. Harahap, Marwali. : Ilmu
Penyakit Kulit. Hipokrates,
Jakarta (1998).
-
5. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (2002).
-
6. Jacek C. Tinea Faciei. Medscpae Reference Drug, Diseases and Procedures. (2009) Diunduh : http://emedicine.medscape.com/ article/1118316-overview#showall
-
7. Sularsito, Sri Adi. Dkk.: Dermatologi Praktis.
Perkumpulan Ahli Dermato – Venereologi Indonesia, Jakarta (1986).
-
8. Kasansengari, Urip Suherman. Dkk.: Kumpulan Naskah
Simposium Dermato- Mikologi. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin Fakultas Kedokteran
Soetomo, Surabaya (1982).
Universitas Airlangga/ RS Dr.
12
Discussion and feedback