ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL.10 NO.4,APRIL,

2021




Diterima:18-03-2021 Revisi:25-03-2021 Accepted: 19-04-2021

IDENTIFIKASI BAKTERI Streptococcus suis SEROTIPE 2 DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION

PADA DARAH BABI DI RUMAH POTONG HEWAN KOTA DENPASAR I Gede Pradnya Wisnu Murthi1, Made Agus Hendrayana2, Ni Nengah Dwi Fatmawati2, Ni Nyoman Sri Budayanti,2

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departement Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Kebiasaan masyarakat Bali yang mengkonsumsi olahan daging babi mentah seperti lawar merah dan komoh dapat meningkatkan resiko infeksi bakteri Streptococcus suis. Pada tahun 2017 di Bali, ditemukan kasus meningitis dengan 7 kasus dan sudah diambil sampel darahnya serta didapatkan 2 sampel darah yang positif terkena MSS (Meningitis Streptococcus suis). Strain yang paling umum menyebabkan meningitis dan paling ganas yaitu Streptococcus suis serotipe 2. Kasus infeksi bakteri Streptococcus suis banyak ditemukan pada pasien yang pekerjaannya kontak langsung dengan babi, seperti peternak babi dan pekerja rumah potong hewan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah darah babi di tempat pemotongan babi di kota Denpasar terkontaminasi bakteri Streptococcus suis, berapa persentase darah babi yang terkontaminasi Streptococcus suis, dan berapa persentase kontaminasi bakteri Streptococcus suis serotipe 2 dari sampel darah yang sudah positif terkontaminasi bakteri Streptococcus suis. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional deskriptif dengan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional) yang variabel nya diukur pada waktu tertentu dalam penelitian dan diambil dalam jangka waktu sekali penelitian. Penelitian ini menggunakan metode polymerase chain reaction ( PCR) untuk mengidentifikasi bakteri. Hasil dari penelitin ini yaitu tidak ditemukan adanya kontaminasi bakteri Streptococcus suis pada 24 sampel darah babi yang diambil di rumah potong hewan Kota Denpasar, atau persentasenya 0 %. Kontaminasi bakteri Streptococcus suis serotipe 2 juga ditemui hasil yang sama yaitu 0 %. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu tidak ada kontaminasi bakteri Streptococcus suis dan Streptococcus suis serotipe 2 pada sampel darah babi yang di ambil di rumah potong hewan Kota Denpasar. Hasil ini didapatkan karena faktor tingginya tingkat higenitas di rumah potong hewan tersebut, dan sedikitnya persentase bakteri ini di darah babi sehat.

Kata kunci: Streptococcus suis, Streptococcus suis serotipe 2, polymerase chain reaction.

ABSTRACT

The habit of Balinese who consume processed raw pork such as lawar merah and komoh can increase the risk of Streptococcus suis bacterial infection. In 2017 in Bali, 7 cases of meningitis were found, blood samples were taken and 2 blood samples were positive of MSS (Meningitis Streptococcus suis). The most common strain causing meningitis and virulent is Streptococcus suis serotype 2. Cases of Streptococcus suis infection are found in patients whose work is in direct contact with pigs, such as pig farmers and slaughterhouse workers. The objective of this research is to find out whether pig blood in a pig slaughterhouse in Denpasar is contaminated with Streptococcus suis bacteria, what percentage of pig blood is contaminated with Streptococcus suis, and what percentage of bacterial contamination of Streptococcus suis serotype 2 from blood samples that have been positively contaminated by Streptococcus suis bacteria. Type of research is a descriptive observational study with a cross sectional study design whose variables are measured at a certain time in the study and taken within a period of once the study. This study uses the PCR method to identify bacteria. Results: There was no bacterial contamination of Streptococcus suis in 24 swine blood samples taken at Denpasar City abattoirs, or the percentage was 0%. Bacterial contamination of Streptococcus suis serotype 2 also found the same result

that is 0%. The conclusion of this research is, there was no bacterial contamination of Streptococcus suis and Streptococcus suis serotype 2 in pig blood samples taken at the slaughterhouse in Denpasar. This result was obtained because of the high level of hygiene in the slaughterhouse, and the least percentage of these bacteria are found in the blood in healthy pigs.

Keywords: Streptococcus suis, Streptococcus suis seotype 2, polymerase chain reaction.

PENDAHULUAN

Salah satu patogen yang paling umum menyebabkan meningitis adalah Streptococcus suis. Patogen ini biasanya ditemukan pada babi, selain dapat menyebabkan meningitis, Streptococcus suis dapat menyebabkan endokarditis, dan sepsis pada manusia. Melihat konsumsi daging babi yang tinggi dan banyaknya masyarakat memelihara babi, infeksi Streptococcus suis endemik di Asia Tenggara, seiring dengan banyaknya laporan kasus wabah dan kohort meningitis Streptococcus suis. Kasus meningitis Streptococcus suis terjadi di seluruh dunia, terutama pada orang yang memiliki kontak kerja dengan babi, seperti pekerja rumah potong hewan dan tukang jagal. Gejala meningitis yang disebabkan oleh Streptoccous suis dengan bakteri piogenik meningitis lainnya adalah sama seperti sakit kepala, panas, muntah, dan sindrom meningeal lainnya.1

Pada tahun 2009 wabah infeksi Streptococcus suis terjadi di Negara Vietnam dan juga di China pada tahun 1998 dan 2005.2 Sedangkan pada tahun 2012 total infeksi Streptococcus suis sebanyak 1584 kasus dengan kasus terbanyak terdapat di Thailand.3 Pada tahun 2009, tercatat 700 kasus infeksi Streptococcus suis pada manusia terjadi di sebagian besar Asia Tenggara. Semua korban yang sakit dan meninggal dunia adalah para peternak babi, pekerja di tempat pemotongan babi, juru masak yang mengolah daging babi yang terinfeksi, dan warga yang mengkonsumsi daging babi.4 Pada tahun 2017 ditemukan kasus meningitis dengan 7 kasus dan sudah diambil sampel darahnya serta didapatkan 2 sampel darah yang positif terkena MSS (Meningitis Streptococcus suis). Pasien ini terkena meningitis dikarenakan memakan olahan daging babi mentah seperti lawar merah dan komoh.5

Streptococcus suis adalah bakteri agen penyebab penyakit zoonosis yang menginfeksi babi dan manusia.2 Biasanya orang yang terinfeksi Streptococcus suis adalah orang yang kontak langsung dengan babi, seperti peternak babi, orang yang berkerja di pemotongan daging babi, inspektor daging, dan pengonsumsi daging babi yang tidak matang.6

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengangkat tema ini karena semakin banyaknya di temukan kasus-kasus MSS (Meningitis Streptococcus suis), terutama di Bali.

Banyak kebiasaan serta adat di Bali yang cenderung meningkatkan penyebaran infeksi bakteri Streptococcus suis, seperti budaya memakan olahan daging mentah serta olahan makanan dengan bahan darah babi mentah yang sebenarnya tidak boleh karena dapat meningkatkan penyebaran MSS. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat bali semakin resah untuk menkonsumsi daging babi, khususnya olahan makanan seperti lawar merah dan juga komoh. Dimana makanan ini mengandung darah babi segar atau mentah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional) yang variabel nya diukur pada waktu tertentu dalam penelitian dan diambil dalam jangka waktu sekali penelitian yang bertujuan untuk mengetahui Untuk mengetahui apakah darah babi di tempat pemotongan babi di kota Denpasar terkontaminasi bakteri Streptococcus suis, berapa persentase darah babi yang terkontaminasi Streptococcus suis, dan berapa persentase kontaminasi bakteri Streptococcus suis serotipe 2 dari sampel darah yang sudah positif terkontaminasi bakteri Streptococcus suis. Sampel dalam penelitian ini adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan rumus Lemeshow, dengan mendapatkan total sampel sebanyak 24. Penelitian ini sudah mendapatkan kelaikan etik oleh Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitass Udayana dengann nomor 2019.01.1.1077.

Prosedur penelitian ini dimulai dari pengambilan sampel di rumah potong hewan Kota Denpasar. Sampel darah diambil sebanyak 24 sampel, dan disimpan di EDTA tutup ungu. Selanjutnya prosedur yang dilakukan yaitu melakukan isolasi DNA darah. Sampel darah yang di simpan di pendingin disiapkan dan di homogen. Langkah pertama yaitu menyiapkan waterbath pada suhu 70 o C dan siapkan elusion buffer (50 μl x 4 (jumlah sampel)) lalu diinkubasi di waterbath. Masukan sampel darah yang sudah dihomogenkan sebanyak 200 μl ke centrifuge tube 1,5 ml yang sudah di beri label sesuai nomor sampel. Tambahkan 200 μl binding buffer ke dalam tube tersebut. Tambahkan proteinkinase

sebanyak 40 μl lalu di vortex hingga homogen. Setelah itu diinkubasi pada suhu 70 o C selama 10 menit. Setelah itu tambahkan 100 μl isopropanolol, lalu di vortex agar homogen. Masukan ke dalam spin collum yang sudah berisi filter tube lalu di centrifuge 8000 rpm selama 1 menit. Collective tube dibuang lalu diganti yang baru. Tambahkan Inhibitor Removal Buffer (4A) sebanyak 500 μl lalu di centrifuge 8000 rpm selama 1 menit. Collection tube dibuang dan diganti baru. Tambahkan Wash Buffer 400 μl lalu di centrifuge 8000 rpm selama 1 menit. Collection tube dibuang dan diganti dengan centrifuge tube 1,5 ml lalu di centrifuge 8000 rpm selama 1 menit. Buang centrifuge tube dan ganti dengan yang baru, lalu masukan 25 μl Elusion Buffer ke dalam tube tersebut lalu di centrifuge 8000 rpm selama 1 menit. Buang filter tube dan simpan centrifuge tube yang berisi DNA pada suhu -80 o C.

Proses selanjutnya yaitu polymerase chain reaction, dengan tahapan sebagai berikut :

  • 1.    Membuat Primer Kerja (WS)

Primer stok 100 μM, primer kerja 10 μM V1 = 5 μl primer stok + 45 μl RNase free water (50 μl)

  • 2.    Mix PCR 1 kali reaksi

Tabel 1. Mix PCR 1 kali reaksi.

16s rRNA

Cps2J

TM

TA

TM

TA

F

66oC

61o C

62 oC

57o C

R

62o C

56o C

60 oC

50o C

Siklus PCR

1.

2.


3.


Pre Denaturasi Denaturasi Annealing Ekstensi Final Ekstensi


= 95 o C selama 2 menit

= 95 o C selama 1 menit

= 52 o C

= 74 o C selama 1 menit

= 74 o C selama 5 menit

Elektroforesis

Agarose 1,5% (ukuran basa 294bp), 1,5 % x 70 gr = 1,05 gr

Fluorescene = EtBr, Gelred

Agarose 1,05 dicampurkan buffer 70 ml lalu di homogenkan. Masukan ke microwave dengan suhu 100o C selama 2 menit. Keluarkan dengan menggunakan sarung tangan lalu diamkan hingga suhunya hangat atau suhunya sekitar 65 o C Tuangkan ke wadah lalu diamkan hingga gel membeku. Jika sudah membeku, masukan sampel DNA yang sudah di PCR tadi ke wells bagian atas gel. TBE untuk running 0,5 x 1 jam = 50 volt.

HASIL

Primer

16s rRNA

cps2J

Jumlah

1 kali

14 kali

4 kali

MM

5 μl

70 μl

20 μl

F

0,3 μl

4,2 μl

1,2 μl

R

0,3 μl

4,2 μl

1,2 μl

H2O

4 μl

56 μl

16 μl

Total

9,6 μl

134,4 μl

38,4 μl


DNA = 0,4 μl, sehingga jika ditambah dengan mix PCR akan menjadi 10 μl. Untuk menghitung melting temperature (Tm) menggunakan rumus Tm = {(G+C)x4} +{

(A+T)x2 }, Sedangkan annealing Temperatur

(Ta) = Tm – 5 dan Tm – 10.

Primer 16s rRNA :

Forward :

5’-CAGTATTTACCGCATGGTAGATAT-3’

Reverse :

5’-GTAAGATACCGTCAAGTGAGAA-3’

Primer Cps2J

Forward :

5’-GTTGAGTCCTTATACACCTGTT -3’

Reverse :

5’-CAGAAAATTCATATTGTCCACC-3’

Tabel 2. Temperature Melting dan Temperature Anealing untuk PCR.


Gambar 1. Hasil elektroforesis sampel 1-11 tidak terbentuk pita dan kontrol positif terbentuk pita dengan panjang amplikon 294 bp.


Gambar 2. Hasil elektroforesis sampel 12 tidak terbentuk pita, kontrol negatiftidak terbentuk pita dan 3 sampel isolat terbentuk pita dengan panjang amplikon 459 bp.


Tabel 3. Hasil Elektroforesis sampel 1-12

No.                   Hasil

Sampel

  • s1     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s1     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s3     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s4     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s5     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s6     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s7     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s8     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • s9     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

s10    Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

s11     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

s12    Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

(+)    Terbentuk pita dengan panjang

amplikon 294bp (positif 16s rRNA)

(-)     Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

  • i1     Terbentuk pita dengan Panjang

amplikon 459bp (positif Cps2J)

  • i2     Terbentuk  pita   dengan  Panjang

amplikon 459bp (positif Cps2J )

  • i3     Terbentuk  pita   dengan  Panjang

amplikon 459bp (positif Cps2J)

Berdasarkan hasil elektroforesis, dapat dilihat bahwa pada sampel 1-12 dan sampel negatif tidak terbentuk pita. Sedangkan sampel positif terbentuk pita, untuk 3 sampel positif 16s rRNA dengan primer Cps2J juga membentuk pita. Tidak terbentuknya pita menandakan sampel tersebut tidak terkontaminasi bakteri Streptococcus suis, untuk sampel 1-12 hasilnya semua negatif. Untuk kontrol negatif juga hasilnya negatif. Terbentuknya pita menandakan sampel tersebut positif, kontrol 16s rRNA positif terkontaminasi Streptococcus suis. Kontrol yang di PCR untuk nantinya dijadikan kontrol pada Cps2J juga mendapatkan hasil positif terkontaminasi Streptococcus suis serotipe 2.

Gambar 3. Hasil elektroforesis sampel 13-22 tidak terbentuk pita dan kontrol positif terbentuk pita dengan panjang amplikon 294 bp

Gambar 4. Hasil elektroforesis sampel 23, 24, kontrol negative tidak terbentuk pita dan kontrol positif terbentuk pita dengan panjang amplikon 294 bp.

Tabel 4. Hasil Elektroforesis sampel 13-24

No.

Sampel

Hasil

S13

Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

S14

Tidak terbentuk pita (hasil negatif)

S15

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S16

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S17

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S18

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S19

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S20

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S21

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S22

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S23

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

S24

Tidak   terbentuk   pita   (hasil

negatif)

(+)     Terbentuk pita dengan panjang

amplikon 294bp(positif 16s rRNA)

(-)      Tidak terbentuk pita (hasil

negatif)

Berdasarkan hasil elektroforesis, sampel 13-24 dan sampel negatif tidak terbentuk pita. Sedangkan kontrol positif terbentuk pita.

PEMBAHASAN

Identifikasi bakteri Streptococcus suis pada darah babi bertujuan untuk mengidentifikasi kontaminasi bakteri di rumah potong hewan Kota Denpasar, khususnya hewan babi. Bakteri Streptococcus suis merupakan bakteri patogen yang    dapat menyebabkan    meningitis

Streptococcus suis. Pada penelitian ini, sampel darah babi diambil secara acak sebelum dilakukan pemotongan hewan babi di rumah potong hewan. Penelitian sejenis yang dilakukan dengan jumlah sampel 33 yang diambil dari darah babi atau cairan serebrospinal yang sebelumnya sudah teridentifikasi terinfeksi bakteri Streptococcus suis, didapatkan hasil 100 % sampel positif

Streptococcus suis serotipe 2. 7 Penelitian ini menggunakan metode yang sama, yaitu PCR. Primer yang digunakan juga sama 16s rRNA dan Cps2j. Penelitian tersebut mendukung peneliti bahwa identifikasi bakteri Streptococcus suis dapat menggunakan sampel darah atau cairan serebrospinal dan dapat menggunakan metode PCR. Hasil negatif yang diperoleh peneliti kemungkinan besar karena sampel darah berasal dari babi sehat bukan dari babi yang sebelumnya sudah teridentifikasi infeksi.

Bakteri Streptococcus suis paling banyak ditemukan menginfeksi organ otak, kasus yang paling umum dijumpai yaitu meningits Streptococcus suis (MSS). Biasanya untuk mengetahui adanya infeksi bakteri ini atau tidak, sampel yang diteliti adalah cairan serebrospinal. Hal tersebut berbeda dengan peneliti yang menggunakan sampel darah babi. Akan tetapi sebelum infeksi bakteri ini baik per oral maupun lesi/luka, Streptococcus suis akan menginvasi barrier pembuluh darah & menuju organ target melalui darah terlebih dahulu. Darah merupakan alat transport bakteri ini sebelum sampai ke target yang akan di infeksi, sehingga bakteri ini akan tetap ada di dalam darah. 2 Hal tersebut menguatkan bahwa hasil negatif dari peneliti bukan karena kesalahan dalam memilih sampel apa yang akan diambil, akan tetapi memang tidak adanya bakteri tersebut di sampel babi.

Streptococcus suis dapat ditemukan pada darah pada babi yang terinfeksi. Invasi sel dapat

dianggap sebagai langkah pertama perkembangan penyakit sistemik. Streptococcus suis dapat masuk ke sirkulasi sistemik terutama melalui tonsil palatina, setelah adhesi dan invasi sel epitel dan interaksi dengan sel-sel dari myeloid lineage. Setelah Streptococcus suis mencapai jaringan atau aliran darah, itu tergantung pada sel fagosit dari sistem kekebalan tubuh genetik. Namun, dengan tidak adanya antibodi spesifik, Streptococcus suis mampu melawan fagositosis dan bertahan dalam darah pada konsentrasi tinggi. Kelangsungan hidup bakteri sangat tergantung pada produksi Capsular polysaccharide (CPS). CPS melindungi Streptococcus suis dari fagositosis yang dimediasi oleh neutrofil dan monosit / makrofag. Struktur halus dari CPS Streptococcus suis serotipe 2 menunjukkan keberadaan galaktosa (Gal), Gal 6-linked, 3, Gal 4-linked, 4-linked N-acetyl-glucosamine (GlcNAc), dan 3, 4-linked rhamnose. CPS Streptococcus suis, mirip dengan Streptococcus Grup B, juga mengandung residu asam N-asetil-neuramin (asam sialat) yang terkait dengan rantai CPS. Asam sialat kapsuler telah terbukti penting dalam mencegah pengendapan protein komplemen C3 pada permukaan GBS, oleh karena itu menghalangi aktivasi jalur alternatif dan memungkinkan resistensi GBS terhadap pembunuhan intraseluler yang bergantung pada opsonin. Dua serotipe paling penting yang menyebabkan penyakit pada manusia (serotipe 2 dan 14) memiliki asam sialat.2 Hal tersebut mendukung peneliti untuk mengambil sampel darah babi, akan tetapi peneliti mengambil sampel babi yang tergolong sehat karena diambil di rumah potong hewan. Hal tersebut yang menyebabkan hasil dari penelitian ini tidak ditemukan satu pun bakteri Streptococcus suis.

Pada babi yang sehat, bakteri Streptococcus suis menjadi flora normal di rongga hidung, tonsil, dan saluran bagian atas. Hal ini menjadikan alasan peneliti sulit menemukan bakteri ini di darah babi yang sehat.8 Tingginya tingkat higenitas di rumah potong hewan Kota Denpasar, baik saat babi berada di kandang maupun saat pemotongan juga mempengaruhi tidak ditemukannya Streptococcus suis pada 24 sampel babi. Pemerikasaan rutin dilakukan sebelum proses pemotongan. Biasanya 3-4 dokter hewan ditugaskan untuk memeriksa babi sebelum di potong.9

Pada tahun 2017, di Bali ditemukan kasus meningits dengan jumlah 7 kasus. Setelah sampel darah pasien diambil dan di periksa, didapatkan 2 sampel darah positif terinfeksi MSS (Meningitis Streptococcus suis). Pasien tersebut terinfeksi karena makan olahan daging babi mentah seperti komoh dan lawar merah.5

Streptococcus suis, merupakan agen penyebab penyakit zoonosis yang menginfeksi babi dan manusia.2 Biasanya orang yang terinfeksi bakteri ini adalah orang yang kontak langsung dengan babi, seperti peternak babi, orang yang berkerja di pemotongan daging babi, inspector daging dan pengonsumsi daging babi yang tidak matang6. Melihat kasus ini pernah ditemukan di Bali, dan mengingat budaya untuk mengkonsumsi daging babi mentah sangat tinggi mendukung peneliti untuk melakukan penelitian ini. Disamping itu, karena penyebaran bakteri ini sangat rentan saat pemotongan hewan, peneiti memilih rumah potong hewan sebagai tempat pengambilan sampel.

Berdasarkan informasi yang diperoleh saat pengambilan sampel, jumlah babi yang dipotong perharinya kurang lebih 150 babi. Sebelum di potong, babi ini diletakkan di kandang. Keadaan kandangnya lumayan bersih, keadaan udara dan cahaya bagus. Proses pemotongan dimulai sekitar pukul 00.00, babi akan dibariskan lalu di setrum hingga mati lalu digantung. Saat inilah peneliti mengambil sampel. Setelah itu leher babi akan ditusuk dengan pisau, lalu darah keluar hingga habis. Selanjutnya babi akan dimasukan ke air panas agar memudahkan proses menghilangkan bulu. Setelah itu babi akan di potong untuk di edarkan ke seluruh Bali. Petugas rumah potong hewan disana menggunakan APD yang lengkap, dimulai dengan memakai sepatu boot, handscoon, dan masker. Hal tersebut sangat mencegah penyebaran bakteri maupun parasite yang berasal dari babi. Cacing pita merupakan parasit yang paling sering ditemui pada babi di rumah potong hewan Kota Denpasar.9

Penelitian ini memiliki kelemahan yaitu jumlah subjek penelitian yang kurang banyak dan tempat pengambilan sampel yang hanya satu tempat. Sehingga diperlukan penelitian selanjutnya, yang menggunakan sampel lebih banyak dan tempat pengambilan sampel yang lebih banyak.

SIMPULAN

Tidak terdapat kontaminasi bakteri Streptococccus suis pada darah babi di rumah potong hewan Kota Denpasar. Persentase bakteri Streptococcus suis 0%. Persentase bakteri Streptococcus suis serotipe 2 sebesar 0%.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan pada penelitian ini, peneliti mengajukan beberapa saran yakni perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel darah babi yang lebih banyak dan tidak mencakup satu lokasi sehingga dapat menghasilkan data yang representative.

Untuk masyarakat yang mengolah daging babi, diperlukan perhatian khusus dalam mengolah daging sesuai pengolahan produk makanan standar dengan higienitas yang baik dan penyimpanan produk dengan suhu yang cukup, agar terhindar dari kontaminasi bakteri .

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    van Samkar A, Brouwer MC, Schultsz C, van der Ende A, van de Beek D. Streptococcus suis meningitis:   a

systematic review and meta-analysis. PLoS neglected tropical diseases. 2015 Oct 27;9(10):e0004191.

  • 2.    fittipaldi n, segura m, grenier d, Gottschalk M. Virulence factors involved in the pathogenesis of the infection caused by the swine pathogen and zoonotic agent Streptococcus suis.

Future      microbiology.       2012

Feb;7(2):259-79.

  • 3.    Huong VT, Ha N, Huy NT, Horby P, Nghia HD, Thiem VD, Zhu X, Hoa NT, Hien TT, Zamora J, Schultsz C. Epidemiology, clinical manifestations, and outcomes of Streptococcus suis infection in humans. Emerging infectious diseases. 2014 Jul;20(7):1105.

  • 4.    Salasia SI, Artdita CA, Slipranata M, Artanto S. Diagnosis Infeksi Streptococcus suis serotipe-2 pada Babi Secara Serologi dengan Muramidase Released Protein.  Jurnal Veteriner.

2015;16(4):489-96.

  • 5.    RadarBali. 2017.  Serangan Bakteri

Meningitis Meluas, Temukan 38 Kasus di Seluruh Bali. [diakses: 9 juli 2017]. Tersedia                              di:

http://radarbali.jawapos.com/read/2017/ 03/14/9085/serangan-bakteri-meningitis-meluas-temukan-38-kasus-di-seluruh-bali/4

  • 6.    Zalas-Więcek P, Michalska A, Grąbczewska E, Olczak A, Pawłowska M, Gospodarek E. Human meningitis caused by Streptococcus suis. Journal of medical microbiology. 2013 Mar 1;62(3):483-5.

  • 7.    Nutravong T, Angkititrakul S, Panomai N, Jiwakanon N, Wongchanthong W, Dejsirilert S, Nawa Y. Identification of major Streptococcus suis serotypes 2, 7, 8 and 9 isolated from pigs and humans in upper northeastern Thailand. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2014 Sep 1;45(5):1173.

  • 8.    Hughes JM, Wilson ME, Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C.

Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clinical Infectious Diseases. 2009 Mar 1;48(5):617-25.

  • 9.    BaliExpress. 2017. Tempat Ini Siapkan Belasan Jagal, untuk Apa?. [diakses: 14 November 2019 2017]. Tersedia di:

https://baliexpress.jawapos.com/read/20

17/10/30/23137/tempat-ini-siapkan-belasan-jagal-untuk-apa

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2021.V10.i4.P11

74