KARAKTERISTIK PASIEN EPILEPSI RAWAT JALAN DI POLIKLINIK SARAF RSUP SANGLAH PADA BULAN AGUSTUS – DESEMBER 2018
on
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 10 NO.6,JUNI, 2021
DOAJ
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Diterima: 2020-12-18 Revisi: 2020-12-23Accepted: 02-06-2021
KARAKTERISTIK PASIEN EPILEPSI RAWAT JALAN DI POLIKLINIK SARAF RSUP SANGLAH PADA BULAN AGUSTUS – DESEMBER 2018
Trisha Anindya1, I Gusti Ngurah Ketut Budiarsa2, Dewa Putu Gde Purwa Samatra2 1ProgramStudi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 2Departemen/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Epilepsi adalah serangan berupa perpindahan sel saraf otak yang tidak normal, terjadi secara berulang-ulang, dan bisa mengakibatkan gangguan motorik, sensorik, atau fungsi mental sementara. WHO menyebutkan bahwa sekitar 50 juta penduduk dunia menderita epilepsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien epilepsi rawat jalan di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2018. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif dan studi potong lintang. Analisis data menggunakan software SPSS versi 25 untuk mendapatkan karakteristik pasien epilepsi rawat jalan berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi, jenis bangkitan, hasil EEG, tingkatan pendidikan, serta terapi OAE yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien epilepsi rawat jalan di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah pada bulan Agustus dengan Desember 2018 memiliki angka tertinggi pada kelompok usia dewasa (18 sampai 65 tahun) sebesar 80,3% dengan didominasi oleh jenis kelamin laki-laki (52,5%). Epilepsi simtomatik adalah etiologi yang paling sering terjadi pada pasien rawat jalan dengan persentase 80,3%. Sebagian besar pasien epilepsi rawat jalan memiliki jenis bangkitan umum (32,7%) serta hasil EEG yang tidak tercatat dalam rekam medis (62,3%). Tingkat pendidikan tertinggi pada pasien epilepsi rawat jalan adalah SMA (41,0%) dan monoterapi menjadi terapi OAE terbanyak yang digunakan (67,2%).
Kata Kunci: Epilepsi, Karakteristik, Obat Antiepilepsi
ABSTRACT
Epilepsy is some bouts on the form of abnormal and irregular brain nerve cells translocation, occurs repeatedly, and give the motoric, sensoric, or temporary mental function disruption effects. WHO declared that 50 million people of the world as epilepsy sufferer. This research aims to identify the characteristics of epilepsy outpatients sufferer in Neurology Polyclinic of Sanglah Hospital in months August untill December 2018. The research methods is descriptive with cross-sectional studies. Data analysed by SPSS software 25 version to obtain the characteristics of epilepsy outpatients sufferer based on age, gender, etiology, kind of seizure, EEG results, education level, and AED therapy that has been used. Result shows epilepsy outpatients sufferer in Neurology Polyclinic of Sanglah Hospital in months August until December 2018 have highest rank in adult age group (18 untill 65 years old) around 80,3% , dominated by male gender (52,5%). Symptomatic epilepsy is the most often etiology occurs in outpatients sufferer with 80,3% percentage. The majority of epilepsy outpatients sufferer have generalized seizure (32,7%) and unrecorded EEG result in medical record
(62,3%). The highest education level of epilepsy outpatients sufferer is Senior High School (41,0%) and monotherapy is the most used AED therapy.
Keywords: Epilepsy, Characteristic, Antiepileptic Drug
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah kondisi timbulnya serangan berupa perpindahan sel saraf otak yang abnormal, tak beraturan, terjadi berulang kali, serta mengakibatkan gangguan motorik, sensorik, atau fungsi mental sementara.1 Hampir 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi dan membuat epilepsi ini menjadi salah satu penyakit neurologis yang paling umum di dunia.2 Studi epidemiologi di Jepang telah menunjukkan bahwa kejadian epilepsi secara signifikan terjadi lebih banyak pada lansia dan anak-anak dibandingkan dengan kelompok usia yang lain. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan epilepsi bisa terjadi di luar rentang usia tersebut. Epilepsi sejatinya dapat menyerang seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal umur dan status sosial. Penyakit ini memiliki ciri-ciri khusus di setiap kelompok usianya termasuk aspek etiologi, manifestasi klinis, dan reaksi terhadap pengobatan.3 Insidensi epilepsi paling tinggi terjadi pada negara-negara berkembang oleh karena risiko untuk terkena kondisi atau penyakit yang mengarah pada cedera otak lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.4
Di Indonesia angka kejadian epilepsi bisa dikatakan cukup tinggi karena prevalensinya berkisar antara 0,5% sampai 2%. Setidaknya terdapat 700.000 hingga 1.400.000 kasus epilepsi yang terjadi di Indonesia dan mengalami pertambahan sebanyak 70.000 kasus baru tiap tahunnya. Sekitar 40% hingga 50% kasus menyerang anak-anak.5 Epilepsi idiopatik umum adalah jenis epilepsi yang insidennya paling sering. Kejadiannya sekitar 20% hingga 40% dari seluruh kasus epilepsi dan dimulai dari masa kanak-kanak atau remaja.6
Dalam upaya penatalaksanaan epilepsi secara menyeluruh dan tepat sasaran, penentuan diagnosis yang tepat sangat diperlukan. Data demografi penyebaran penyakit di suatu wilayah merupakan salah satu alat pendukung yang bisa digunakan dalam mempertimbangkan diagnosis yang tepat serta dapat membantu klinisi menentukan penanganan lanjutan yang sesuai untuk suatu penyakit. Akan tetapi, penelitian demografi yang membahas tentang usia, jenis kelamin, etiologi, jenis bangkitan, hasil electroencephalogram (EEG), tingkatan pendidikan, serta terapi obat anti epilepsi (OAE) pada pasien epilepsi rawat jalan tidak begitu banyak diadakan di daerah Bali. Oleh sebab itu, sangat penting diadakan penelitian yang
memiliki visi untuk mendapatkan karakteristik pasien epilepsi, khususnya pada pasien rawat jalan.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian berupa penelitian deskriptif retrospektif yang bertujuan untuk melihat karakteristik pasien epilepsi rawat jalan dengan mengambil tempat di Instalasi Rekam Medis RSUP Sanglah, Denpasar. Rancangan penelitiannya yakni cross-sectional (potong-lintang) serta dilakukan dalam rentang waktu antara bulan September hingga Oktober 2019. Sampel penelitian yang ditetapkan sebesar jumlah populasi yang ada atau total sampling karena mempunyai kasus kurang dari 100 dan peneliti yang terdahulu belum menetapkan jumlah sampel yang wajib diikutkan dalam penelitian. Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah semua pasien dengan diagnosa epilepsi yang dirawat jalan, rutin berobat ke Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, serta tercatat dalam rekam medik pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2018. Sedangkan kriteria eksklusi dari penelitian adalah pasien epilepsi rawat jalan yang baru berobat pertama kali atau sudah pernah berobat di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah Denpasar bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2018 tetapi data rekam mediknya tidak lengkap. Variabel penelitian ini berupa epilepsi, usia, jenis kelamin, etiologi, jenis bangkitan, hasil EEG, tingkatan pendidikan, dan terapi OAE.
Surat keterangan kelayakan etik bernomor 685/UN14.2.2.VII.14/LP/2019 tertanggal 26 Maret 2019 telah diterbitkan oleh pihak Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana untuk penelitian ini. Penelitian juga mendapat izin penelitian dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan RSUP Sanglah Denpasar berupa bukti surat yang diberikan dengan nomor
LB.02.01/XIV.2.2.1/16518/2019.
Instrumen penelitian yang digunakan berupa rekam medis. Rekam medis yang dipakai harus mencantumkan informasi subyek penelitian yakni epilepsi, usia, jenis kelamin, etiologi, jenis bangkitan, hasil EEG, tingkatan pendidikan, terapi OAE serta Microsoft Excel 2013 untuk mencatat data yang didapat. Data dikumpulkan dan dilakukan analisis univariat memakai perangkat lunak SPSS 25. Data tersebut diolah serta ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi pasien terdiagnosa epilepsi dan dirawat jalan di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah pada Bulan Agustus sampai dengan Desember 2018 berdasarkan 24
usia, jenis kelamin, etiologi, jenis bangkitan, hasil EEG, tingkatan pendidikan, dan terapi OAE.
HASIL
Total pasien rawat jalan yang terdiagnosis epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah dan tercatat dalam rekam medis periode bulan 1 Agustus 2018 sampai dengan bulan 31 Desember 2018 berdasarkan kriteria inklusi maupun eksklusi adalah sebanyak 61 orang. Data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan software SPSS 25 untuk mendapat karakteristik pasien epilepsi rawat jalan berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi, jenis bangkitan, hasil EEG, tingkatan pendidikan, dan terapi OAE yang digunakan. Karakteristik tersebut disajikan dalam bentuk tabel distributif.
Tabel 1. Karakteristik Pasien Epilepsi Rawat Jalan di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah pada Bulan Agustus – Desember 2018 (N=61)
Karakteristik |
N (%) |
Usia | |
Anak di bawah umur (0-17 tahun) |
9 (14,8) |
Dewasa (18-65 tahun) |
49 (80,3) |
Setengah baya (66-79 tahun) |
3 (4,9) |
Jenis Kelamin | |
Laki-laki |
32 (52,5) |
Perempuan |
29 (47,5) |
Etiologi | |
Idiopatik |
12 (19,7) |
Simtomatik |
49 (80,3) |
Jenis Bangkitan | |
Fokal |
29 (47,5) |
Umum |
32 (52,5) |
Hasil EEG | |
Normal |
15 (24,6) |
Tidak Normal |
8 (13,1) |
Tidak Tercatat |
38 (62,3) |
Tingkatan Pendidikan | |
Tidak Berpendidikan |
9 (14,8) |
SD |
8 (13,1) |
SMP |
6 (9,8) |
SMA |
25 (41,0) |
Sarjana |
11 (18,0) |
Akademi |
2 (3,3) |
Terapi OAE | |
Monoterapi |
41 (67,2) |
Politerapi |
20 (32,8) |
EEG = electroencephalogram; OAE = obat anti epilepsi; SD = Sekolah dasar; SMP = Sekolah menengah pertama; SMA= Sekolah menengah atas
PEMBAHASAN
Berdasarkan karakteristik usia, pemilik angka tertinggi yakni pasien dengan kelompok usia dewasa (18 sampai 65 tahun) sebesar 49 orang (80,3%). Hasil menunjukkan terdapat kesesuaian dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Tingginya angka pasien epilepsi pada kelompok usia dewasa diungkapkan pula dalam penelitian yang dilakukan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou di Manado tahun 2017.7 Akan tetapi, hasil penelitian tidak sama dengan yang dikemukakan Tanaka dkk.3 bahwa kelompok usia yang lebih sering terkena epilepsi adalah usia anak-anak atau lansia yang berumur lebih dari 65 tahun. Bertentangan juga dengan penelitian di wilayah Asia yang menunjukkan hasil kelompok usia anak-anak dan lansia yang berumur lebih dari 65 tahun memiliki angka tertinggi bagi kelompok usia yang rentan terjangkit epilepsi.4 Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa sebagian besar epilepsi terjadi pada kelompok umur dewasa kemungkinan besar disebabkan oleh keterbiasaan manusia yang menjalani banyak pekerjaan di usia produktifnya. Bahaya serta paparan yang didapat saat bekerja dapat menjadi etiologi dari epilepsi itu sendiri. Tercetusnya bangkitan dapat terjadi apabila faktor risiko itu dipicu lagi dengan gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurang tidur.8
Untuk karakteristik jenis kelamin, angka tertinggi dimiliki oleh pasien berjenis kelamin laki-laki yakni sebesar 39 orang (52,5%). Hasil tersebut tampak sama dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Maryam dkk.9 pada pasien epilepsi di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode Januari sampai dengan Desember 2016 dengan hasil persentase pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 55,7%. Dominasi pasien epilepsi laki-laki juga ditemukan pada hasil penelitian Tjandrajani dkk.10 dan Sigar dkk.7 dengan masing-masing persentase 53,9% dan 77,1%. Sesuai dengan penelitian yang tercantum dalam laporan kelompok studi epilepsi PERDOSSI6 dimana menjelaskan bahwa prevalensi di negara Asia jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Meski penyebab pastinya belum diketahui, namun perbedaan ini diperkirakan karena hormon sangat memengaruhi epilepsi. Hormon seks pada perempuan yaitu estrogen dan progesteron memengaruhi ambang kejang sampai batas tertentu sehingga laki-laki lebih mudah terjangkit epilepsi.11
Untuk karakteristik etiologi, epilepsi simtomatik memiliki angka tertinggi yakni sebesar 49 orang (80,3%). Hasil tersebut menunjukkan kesamaan dengan hasil penelitian milik Maryam dkk.9 yang juga mendapatkan distribusi etiologi epilepsi terbanyak di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode Januari sampai dengan Desember 2016 dengan jumlah 59 orang (84,3%) menderita epilepsi simtomatik. Dominasi epilepsi simtomatik juga terdapat dalam penelitian yang bertempat di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou di Manado pada tahun 2017 dengan persentase 57,1%.7 Hasil tersebut bertentangan dengan yang dicantumkan dalam PERDOSSI6 yaitu epilepsi idiopatik umum adalah pola yang paling sering ditemukan dengan angka kejadian sekitar 20% hingga 40% dari seluruh kasus epilepsi dan dimulai dari masa kanak-kanak atau remaja. Penelitian juga tidak sama dengan pemaparan yang menyebutkan sebesar 60% kasus epilepsi tidak dapat ditentukan penyebab pastinya atau bisa disebut sebagai epilepsi idiopatik, dimana epilepsi ini diduga berasal dari kondisi genetika.12
Berdasarkan jenis bangkitan, subyek penelitian yang mencapai angka terbesar adalah subyek bejenis bangkitan umum sejumlah 36 orang (32,7%). Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian terhadap hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tjandrajani dkk.10 Penelitian tersebut mendapat data bahwa jenis bangkitan umum dialami oleh 111 (78,7 %) pasien di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita di Jakarta pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Hal serupa juga dikemukakan pada penelitian di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode Januari sampai dengan Desember 2016 kalau sebagian besar pasien epilepsi memiliki riwayat bangkitan umum.9 Penelitian milik Sigar dkk.7 membuktikan dominasi jenis bangkitan umum pada pasien epilepsi di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou di Manado.
Berdasarkan karakteristik hasil EEG, sebanyak 38 (62,3%) pasien epilepsi yang dirawat jalan di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah periode bulan Agustus sampai Desember 2018 tidak tercatat hasil EEG di dalam rekam medis mereka. Hanya 23 orang (37,7%) yang di rekam medisnya tercatat hasil EEG, dengan sejumlah 15 orang (24,6%) menunjukkan hasil EEG yang normal, sementara 8 orang (13,1%) menunjukkan hasil EEG yang tidak normal. Hasil penelitian tersebut tidak mengalami kesesuaian ataupun kesamaan terhadap hasil penelitian yang
sebelumnya sudah pernah dilakukan. Menurut Desforges dkk.13, EEG dapat dijadikan penentu perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti-konvulsan dan membantu proses tapering off pada dosis obat anti-konvulsan bagi pasien yang sudah bertahun-tahun mengonsumsinya. Kelainan dalam EEG ada dua jenis, yakni kelainan fokal sebagai wujud prediksi terdapat lesi struktural pada otak serta kelainan umum sebagai wujud prediksi adanya kelainan genetik atau metabolik pada pasien.
Berdasarkan tingkatan pendidikan, yang memiliki angka tertinggi yaitu subyek dengan tingkat pendidikan terakhir di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 25 orang (41,0%). Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh Sigar dkk.7 di Manado yang melibatkan 813 pasien epilepsi rawat jalan menunjukkan hasil kalau pasien epilepsi dominan memiliki tingkat pendidikan SMA yakni sebesar 18 orang (51,5%). Hasil ini mungkin disebabkan oleh gangguan fungsi kognitif yang dialami sebagian besar penderita epilepsi sehingga mereka hanya mampu untuk melaksanakan pendidikan hingga SMA. Bisa juga dikarenakan tekanan lingkungan sosial yang memberikan stigma bahwa penyandang epilepsi tidak mampu bersekolah sehingga mengakibatkan rasa tidak percaya diri pada penderita epilepsi dalam melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya yang membutuhkan proses berpikir lebih kritis.14
Berdasarkan karakteristik terapi OAE yang digunakan, subyek pengguna terapi OAE monoterapi memiliki angka tertinggi yakni 41 orang (67,2%). Hasil menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian dengan hasil penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Maryam dkk.9 di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode Januari sampai dengan Desember 2016. Penelitian tersebut mendapatkan data bahwa pasien penderita epilepsi lebih banyak menggunakan terapi OAE monoterapi yakni 54 orang (77,1%). Penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou di Manado juga menyimpulkan bahwa pasien epilepsi lebih banyak menggunakan terapi OAE monoterapi.7 Hal ini sejalan dengan yang terkandung dalam PERDOSSI6 terkait terapi pertama pasien epilepsi lebih bagus memakai monoterapi berdosis kecil yang secara bertahap dinaikkan dosisnya sampai mendapatkan angka dosis efektif. Jika bangkitan epilepsi masih tidak bisa terkontrol, OAE yang pertama kali digunakan dapat diganti dengan OAE jenis lain yang
mekanisme kerjanya berbeda dengan OAE
sebelumnya. OAE jenis ketiga baru ditambahkan apabila reaksi obat terhadap pasien epilepsi belum bekerja efektif meski sudah menggunakan dosis OAE yang maksimal. Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbul efek samping atau terjadi bangkitan yang tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat serta adanya faktor presipitasi seperti penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan, maka penyesuaian dosis ringan mungkin bermanfaat. Bila masalahnya adalah kemunculan bangkitan, maka diperlukan titrasi OAE ke dosis yang lebih besar atau sampai ke dosis maksimal yang dapat ditoleransi.
SIMPULAN DAN SARAN
Pasien epilepsi rawat jalan di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2018 lumrah terjadi di kelompok usia dewasa (18 sampai 65 tahun) dan didominasi dengan pasien yang berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar pasien memiliki etiologi simtomatik, jenis bangkitan umum, dan tingkat pendidikan terakhir hingga SMA. Hasil EEG di rekam medis pasien epilepsi rawat jalan lebih banyak tidak tercatat dan yang menggunakan terapi OAE monoterapi lebih sering dijumpai daripada yang politerapi.
Penelitian deskriptif ini memiliki beberapa kekurangan, sehingga dibutuhkan penelitian analitik lebih lanjut untuk mencari hubungan hasil EEG dengan tingkat bebas kejang pasien epilepsi, penelitian terkait prevalensi jenis OAE yang paling efektif digunakan, penelitian tentang hubungan antara jenis kelamin dengan risiko epilepsi, serta penelitian terkait hubungan antara usia dengan angka kejadian epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Sander JW, Shorvon SD. Epidemiology of the epilepsies. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry 1996;61(5):433–443.
-
2. World Health Organization. Epilepsy. 2016. Tersedia di:
https://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs 310/en.
-
3. Tanaka A, Akamatsu N, Shouzaki T, Toyota T, Yamano M, Nakagawa M, et al. Clinical characteristics and treatment responses in new-onset epilepsy in the elderly. Seizure [Internet].2013;22(9):772–5. Tersedia di: https://dx.doi.org/10.1016/j.seizure.2013.6.5.
-
4. Megiddo I, Colson A, Chisholm D, Dua T, Nandi A, Laxminarayan R. Health and
economic benefits of public financing of epilepsy treatment in India: An agent-based simulation model. Epilepsia. 2016;57(3):464– 74.
-
5. Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari Pediatr.
2016;13(2):123.
-
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi Kelima. Airlangga University Press; 2014.
-
7. Sigar RJ, Kembuan MAH, Mahama CN. Gambaran Fungsi Kognitif pada Pasien Epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Jurnal e - Clinic (eCl). 2017;5(2):340.
-
8. Hauser SL, Longo DL, Kasper DL, Fauci AS, Jameson JL, Loscalzo J, et al. Disease of the nervous system. Harrison Neurology in Clinical Medicine (EdisiAKetiga). [e-book] McGraw-Hill. 2013;231-44.
-
9. Maryam IS, Wijayanti, IAS, Tini K. Karakteristik Klinis Pasien Epilepsi di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Periode Januari-Desember 2016. Callosum Neurology. 2018;1(3):90.
-
10. Tjandrajani A, Widjaja JA, Dewanti A, Burhany AA. 2012. Karakteristik Kasus Epilepsi di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita pada Tahun 2008-2010. Sari Pediatr 2012;14(3):145.
-
11. Christensen J, Kjeldsen MJ, Andersen H, Friis ML, Sidenius P. Gender differences in epilepsy. Epilepsia. 2005;46:956-60.
-
12. Engelborghs S, D’Hooge R, de Deyn PP. Pathophysiology of epilepsy. Acta Neuro Belg [Internet] 2000;100:201–13. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/112336 74/
-
13. Desforges JF, Scheuer ML, Pedley TA. The Evaluation and Treatment of Seizures. New England Journal of Medicine.
2008;323(21):1468–1474.
-
14. Singh H, Ghacibeh GA. Epilepsy and cognition. J Autism Epil. 2016;1(2):1006.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2020.V10.i6.P05
27
Discussion and feedback