EMERGENCY UROLOGIC IN PREGNANCY
on
KEGAWATDARURATAN UROLOGI DALAM KEHAMILAN
Putu Surya Utami
Bagian/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Berbagai perubahan anatomi dan fisiologi terjadi selama proses kehamilan, yang dapat mempengaruhi semua sistem organ. Masalah emergensi urologis pada kehamilan memberikan tantangan dalam menegakkan diagnostik dan terapi. Masalah emergensi urologis pada wanita hamil meliputi infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, retensi urine akut, hematuria, plasenta percreta, nefrolithiasis, obstruktif uropati, dan keganasan saluran kemih. Pendekatan multidisiplin sangat diperlukan, dari anestetik dan tim obstetrik. Dalam ulasan ini, saya akan membahas masalah urologi umum yang terjadi selama kehamilan dan garis besar manajemennya.
Kata kunci: kehamilan, urologi, kegawatdaruratan
EMERGENCY UROLOGIC IN PREGNANCY
ABSTRACT
A variety of anatomical and physiological changes occurring during pregnancy, which can affect any organ system. Urological problems in pregnancy represent a diagnostic and therapeutic challenge. Urinary tract symptoms in pregnant women comprise urinary tract infection, acute pyelonephritis, acute urinary retention, hematuria, placenta percreta, nefrolithiasis, uropathy obstructive, and malignancy urologic. A multidisciplinary approach is necessary, from the anesthetic and obstetric team. In this review, I will discuss the common urological problems that occur during pregnancy and outline an approach to their management.
Keyword : pregnancy, urological, emergency
PENDAHULUAN
Berbagai perubahan anatomi dan fisiologi terjadi selama proses kehamilan, yang dapat mempengaruhi semua sistem organ. Selama kehamilan, sistem kardiovaskuler menjadi hiperdinamik, terjadi peningkatan aliran oksigen ke maternal dan jaringan fetus. Progesteron dan prostasiklin menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan menginduksi relaksasi vaskuler, cardiac output meningkat 30-50% dari 4-6L/mnt. Selain itu, pada trimester III, gravid uterus menekan pembuluh darah besar, menurunkan aliran darah vena ke jantung. Di samping terjadi peningkatan volume darah total 2540% selama kehamilan, volume plasma meningkat lebih dari 50%, menyebabkan hemodilusi relatif dan anemia fisiologik. Pada fase hiperdinamik ini, wanita hamil dapat mengalami perdarahan lebih dari 2 L dari volume darahnya sebelum menimbulkan perubahan pada laju jantung atau tekanan darah. Oleh karena itu, tanda-tanda klinis dari syok dapat tertunda. Kehamilan juga menimbulkan hiperkoagulasi di mana terjadi peningkatan faktor prokoagulan, penurunan fibrinolisis, dan peningkatan venostasis. Perubahan koagulopatik ini secara signifikan dapat meningkatkan risiko trombosis, di mana pada wanita hamil memiliki risiko 5 kali lipat untuk terjadinya tromboembolisme vena.1,2
Konsumsi oksigen juga meningkat 30-60% karena meningkatnya kebutuhan metabolik dari jaringan maternal dan fetus. Volume paru-paru maternal menurun karena perpindahan diafragma ke atas oleh karena terjadi pembesaran uterus dan juga penurunan compliance dinding dada. Oleh karena itu, kapasitas paru-paru total menurun sebanyak 5% di mana 10-25% terjadi penurunan pada kapasitas residual fungsional. Penurunan kapasitas residual fungsional dan peningkatan kebutuhan oksigen memicu pasien menjadi hipoksia dan hipokapnia jika depresi respiratori terjadi. Oksigenasi yang cukup dijaga melalui peningkatan ventilasi per menit dan peningkatan produksi eritrosit. Peningkatan ventilasi per menit juga berkontribusi untuk terjadinya alkalosis respiratori selama kehamilan, yang mana dapat dikompensasi dengan peningkatan ekskresi bikarbonat dari renal.1,2,3
PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN KENCING BAGIAN
ATAS DAN BAWAH SELAMA KEHAMILAN
Selama kehamilan, saluran kencing bagian atas dan bawah mengalami perubahan. Ginjal akan bergeser ke atas oleh karena desakan dari fetus yang membesar. Selain itu, ukuran ginjal juga membesar kurang lebih 1 cm karena peningkatan volume vaskuler renal dan ruang interstisial pada wanita hamil. Yang terpenting dari perubahan yang terjadi pada sistem genitourinari adalah dilatasi pada saluran kencing bagian atas, yang terjadi pada minggu ke-7 kehamilan pada 90% wanita hamil dan akan bertahan sampai 6 minggu postpartum. Hidronefrosis fisiologik ini disebabkan baik oleh faktor hormonal dan faktor mekanikal. Uterus yang membesar dapat secara langsung menekan ureter, sedangkan progesterone menghambat kontraksi otot polos ureter, sehingga menyebabkan ureterektasis. Dilatasi ureter lebih sering terjadi pada sisi kanan karena uterus mengalami dekstrorotasi, sedangkan ureter kiri lebih mendapat perlindungan dari kompresi kolon sigmoid yang berisi gas. Dilatasi saluran kencing bagian atas dapat meningkatkan stasis urinari, yang dapat menjadi faktor predisposisi bagi wanita hamil untuk terjadinya infeksi saluran kencing, pyelonefritis, dan nefrolitiasis. Biasanya, hidronefrosis fisiologik ini juga dapat menyebabkan rasa nyeri sehingga diperlukan analgetik, atau dapat dikurangi dengan memposisikan pasien miring kiri. Penempatan ureteral stent atau nephrostomy tube dapat membantu jika gejala masih berlanjut.1,5,6,7
Peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskuler sistemik selama kehamilan, dapat menyebabkan peningkatan aliran plasma renal dan glomerular filtration rate (GFR). Dalam beberapa studi, GFR meningkat sekitar 40-65% dan aliran plasma renal juga meningkat 50-85%. Peningkatan GFR menyebabkan penurunan serum kreatinin rata-rata yaitu dari 0,8 menjadi 0,5mg/dL. Oleh karena itu, sangat penting untuk diingat bahwa ekskresi obat-obatan tertentu dari renal juga dipengaruhi dan nilai serum kreatinin mengindikasikan renal injury. Hiperkalsiuria juga sering terjadi pada wanita hamil, karena peningkatan filtrasi kalsium renal dan peningkatan absorpsi kalsium intestinal. Namun, laju pembentukan batu masih belum berubah, di mana faktor inhihitor untuk produksi batu seperti sitrat, magnesium, dan glikoprotein juga mengalami peningkatan.1,5,6,7
Pada saluran kencing bagian bawah, anatomi buli-buli mengalami distorsi karena penekanan secara langsung oleh gravid uterus. Buli-buli berpindah secara
anterior dengan ekspansi lateral, di mana uterus yang membesar menekuk kubah buli-buli. Selain itu, peningkatan level estrogen dan progesterone sirkulasi menyebabkan hiperemia dan kongesti pada buli-buli dan mukosa uretra. Juga terdapat penurunan respon kontraktil pada leher buli-buli terhadap stimulasi alfa adrenergik, dan dengan penurunan pelvic support terhadap dinding vagina anterior dan faktor uretra, masing-masing perubahan ini dapat berkontribusi untuk terjadinya peningkatan laju inkontinensia selama kehamilan.1,5,6,7
MANIFESTASI KLINIS KEGAWATDARURATAN UROLOGI DALAM KEHAMILAN
Infeksi pada saluran kencing selama kehamilan bisa menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan untuk ibu dan fetus. Secara keseluruhan, infeksi saluran kencing biasa terjadi pada kehamilan, dengan prevalensi 4-7%, yang bermanifestasi sebagai bakteriuria asimtomatik, cystitis akut, atau pyelonefritis akut. Meskipun insiden infeksi saluran kencing pada ibu hamil dan tidak hamil hampir sama, risiko untuk berkembang menjadi pyelonefritis akut lebih besar pada ibu hamil.1,5,6,8
Karena adanya risiko pyelonefritis akut yang berhubungan dengan komplikasi pada ibu dan fetus, beberapa guideline akhir-akhir ini merekomendasikan untuk semua ibu hamil agar melakukan screening kurang lebih pada 16 minggu kehamilan untuk bakteriuria. Asymptomatic bacteriuria adalah adanya > 105 colony forming unit (CFU) single pathogen per milliliter urine dari spesimen yang dikumpulkan secara tepat tanpa adanya gejala awal. Bagaimanapun, jumlah bakterial serendah 102 CFU juga harus diperhatikan pada ibu hamil dan harus diterapi secara tepat. Patogen saluran kencing pada wanita hamil serupa dengan patogen pada wanita yang tidak hamil: Escherichia coli yang paling sering, diikuti dengan Klebsiella, dan Enterobacter.1,5,6,9
Acut cystitis terjadi kurang lebih 1-2% pada wanita hamil. Laju perkembangan dari asymptomatic bacteriuria menjadi symptomatic infection 3-4 kali lebih tinggi pada wanita hamil, yang disebabkan oleh perubahan anatomi dan fisiologi genitourinari yang berhubungan dengan kehamilan. Gejala frequency dan urgency juga sering terjadi
selama kehamilan, yang membuat gejala dan tanda klinis dari infeksi saluran kencing pada wanita hamil menjadi kurang jelas. Terapi cystitis akut dan asymptomatic bacteriuria adalah sama yaitu antibiotik oral selama 3-7 hari. Melakukan kultur juga penting untuk meyakinkan terapi yang diberikan sudah adekuat dan mengeluarkan adanya kemungkinan infeksi berulang atau persisten. Terapi antibiotik profilaksis dosis rendah, seperti 50-100 mg nitrofurantoin setiap hari bisa dipertimbangkan setelah terapi awal.1,5,6,8
Pyelonefritis akut terjadi pada 1-4% wanita hamil, dan lebih dari 20-40% wanita dengan asymptomatic bacteriuria yang tidak terawat akan berkembang menjadi pyelonefritis. Kebanyakan kasus pyelonefritis akut terjadi pada trimester ketiga, ketika hidronefrosis fisiologikal dan urine stasis terjadi. Bagaimanapun, terapi bakteriuria yang dilakukan sesegera mungkin dapat menurunkan insiden pyelonefritis akut sebanyak 90%. Gejala pyelonefritis akut pada wanita hamil serupa dengan yang terjadi pada wanita yang tidak sedang hamil, seperti demam, menggigil, mual, emesis, dan nyeri tekan pada costovertebral angle. Lebih dari itu, pyelonefritis akut pada wanita hamil dapat menyebabkan terjadinya anemia, gagal ginjal, acute respiratory distress syndrome, dan atau sepsis pada ibu, yang dapat mengarah ke prematuritas, berat badan lahir rendah, atau mortalitas fetal. Karena adanya risiko morbiditas dan mortalitas ini, pyelonefritis akut harus didiagnosis dan diterapi secara cepat.1,5,6,9
Wanita hamil yang menderita pyelonefritis akut sering memerlukan perawatan di rumah sakit dan memerlukan terapi dengan antibiotik parenteral. Terapi awal harus meliputi antibiotik berspektrum luas seperti ampisilin dengan gentamisin atau sefalosporin. Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dapat juga diberikan sebagai terapi antibiotik tunggal. Setelah memberikan respon dengan terapi parenteral, pasien dapat dipulangkan dengan pemberian antibiotik oral selama 2 minggu berikutnya. Pasien dengan infeksi saluran kencing yang berulang harus diterapi dengan antibiotik profilaksis berdosis rendah. Dengan demikian, penting sekali bagi kita untuk mengimplementasikan program screening untuk mendeteksi dan menterapi sedini mungkin asymptomatic bacteriuria, sehingga infeksi saluran kencing bagian atas pada populasi ibu hamil secara signifikan dapat diturunkan.1,5.6.8
Meskipun retensi urine postpartum lebih sering terjadi, retensi urine selama kehamilan terjadi pada 1 dari 3000 sampai 1 dari 8000 wanita. Retensi urine sering terjadi karena pembesaran retroverted uterus dengan entrapment fundus di bawah sacral promontory. Uterine fibroid atau abnormalitas anatomikal uterin lainnya dapat sebagai faktor predisposisi terjadinya retensi urine. Retensi urine akut secara klasik terjadi pada 12-14 minggu kehamilan dan hilang pada 16 minggu kehamilan, ketika uterus tumbuh keluar pelvis. Hal ini bisa diatasi dengan drainase buli-buli temporer atau kateterisasi intermiten, namun manipulasi bimanual terhadap uterus untuk posisi anteversi juga dapat dilakukan. Alternatif lainnya, Smith-Hodge pessary dapat dimasukkan secara temporer untuk menjaga anteversi uterin dan untuk menurunkan tekanan pada leher buli-buli.1,5,6
Hematuria selama kehamilan serupa dengan pasien nongravida. Satu hal yang penting adalah hematuria harus dibedakan dari perdarahan vaginal, dan kateterisasi ureteral dapat sebagai alat diagnosis. Gross atau mikroskopik hematuria > 3 RBC/hpf harus diperhatikan, dan penyebab organik seperti infeksi, urolitiasis, tumor, atau penyakit ginjal harus dikeluarkan, terutama pada pasien dengan faktor risiko seperti riwayat merokok, occupational exposure, atau umur lebih dari 40 tahun. Pada kasus tidak adanya penyebab organik yang dapat dibedakan, mikroskopik hematuria selama kehamilan dapat dikatakan idiopatik, yang diakibatkan dari perubahan fisiologikal pada renal selama kehamilan seperti ruptur vena kecil sekitar renal pelvis yang dilatasi. Terdapat teori “nutcracker” sebagai etiologi dari kebanyakan kasus hematuria selama kehamilan, di mana peningkatan tekanan intraabdominal pada gravid uterus menyebabkan kompresi pada vena renal kiri antara superior mesenterik arteri dan aorta. Kompresi vena renal kiri menyebabkan drainase venous kolateral meningkat untuk meluaskan varikositas renal, memungkinan ruptur pada renal kaliks, sehingga menyebabkan hematuria. Evaluasi lengkap untuk mengetahui etiologi mikroskopik hematuria dapat dilakukan setelah persalinan.1,5,6
Pada kasus dengan perdarahan yang banyak, ultrasonografi dan MRI dapat berguna untuk mengeluarkan diagnosis lesi saluran genitourinari, dan cystoscopy bisa
dilakukan untuk mengetahui lokasi perdarahan. Salah satu yang harus diperhatikan sebagai penyebab hematuria selama kehamilan adalah plasenta perkreta, yang mana plasenta dapat menginvasi melalui uterus ke dalam buli-buli. Insiden plasentasi abnormal terjadi kurang lebih 1 dari 7000 persalinan, yang mana plasenta perkreta meliputi 5-7% dari kasus ini. Plasenta perkreta dengan invasi buli-buli adalah kondisi yang mengancam jiwa dengan risiko perdarahan yang signifikan. Hanya 22% pasien dengan plasenta perkreta menunjukkan tanda gross hematuria, dan sering diagnosis ditegakkan agak terlambat, setelah berusaha untuk memisahkan plasenta dari buli-buli. Pelvic ultrasonography dapat menegakkan diagnosis, dan peningkatan alfa-fetoprotein maternal dengan tidak adanya fetal anomali juga mengindikasikan plasenta perkreta. Cystoscopy dapat mengidentifikasi lesi plasenta pada permukaan posterior dari dinding buli-buli, bagaimanapun biopsi buli-buli dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan sehingga harus dihindari. Berusaha untuk memisahkan adherent plasenta telah dilaporkan dapat menyebabkan perdarahan yang masif sehingga tidak dianjurkan. Sebagai gantinya, kebanyakan pasien dengan plasenta perkreta memerlukan histerektomi dengan parsial cystectomy sesegera mungkin setelah persalinan. Pada pasien tertentu, manajemen konservatif dengan penundaan histerektomi setelah manajemen medikal dengan methotrexate dapat diusahakan.1,5,6
Nefrolitiasis simtomatik terjadi kurang lebih 1 dari 1500 kehamilan. Di samping hiperkalsiuria dan peningkatan urinari stasis pada kehamilan laju pembentukan batu serupa dengan wanita yang tidak hamil. Hal ini karena perubahan metabolik yaitu peningkatan urinari sitrat, magnesium, dan glikoprotein yang memiliki efek protektif melawan pembentukan batu dan agregasi. Bagaimanapun, kebanyakan episode batu simtomatik terjadi selama trimester kedua atau ketiga, ketika dilatasi ureteral dan kompresi oleh gravid uterus terjadi. Hidroureteronefrosis fisiologis ini memberikan jalan bagi sejumlah besar kalkuli untuk bermigrasi ke ureter, menyebabkan obstruksi distal dan atau kolik ureterik.1,10
Secara tipikal, wanita hamil mengalami mual, muntah, hematuria, dan nyeri panggul atau abdomen selama episode batu akut. Lebih dari 42% dari wanita hamil dengan kolik renal dan nefrolitiasis memiliki pyuria pada pemeriksaan urinalisis.
Perubahan anatomi selama kehamilan bisa merubah lokalisasi dan penyebaran nyeri abdomen, sehingga dapat menyamarkan diagnosis. Selain itu, diagnosis nyeri abdominal yang disebabkan oleh obstruksi ureteral akut juga sulit untuk dibedakan dari hidronefrosis fisiologis selama kehamilan. Diagnosis dan manajemen yang cepat dan efisien sangat diperlukan, di mana kolik renal dari obstruksi ureteral pada wanita hamil dapat menginduksi terjadinya hipertensi, preeklamsia, atau onset persalinan prematur.1,10
Diagnostic imaging pada wanita hamil merupakan sebuah tantangan karena adanya risiko radiasi ion pada fetus yang sedang berkembang. Paparan radiasi terhadap fetus lebih merusak pada trimester pertama, selama pembelahan sel terjadi dengan cepat dan terjadi organogenesis, namun paparan intrauterin selama trimester kedua dan ketiga juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Secara kesulurahan, tidak terdapat konsensus mengenai batas paparan radiasi yang aman selama kehamilan. Beberapa studi melaporkan paparan radiasi 1cGy pada utero dapat meningkatkan risiko relatif terjadinya leukemia 1,6 kali lipat dan meningkatkan risiko kanker 3,2 kali lipat, sedangkan laporan lain menyatakan dosis radiasi kurang dari 5 cGy tidak menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterin atau anomali fetal lainnya.1
Secara umum, ultrasonografi abdominal merupakan modalitas utama yang digunakan pada wanita hamil untuk mengevaluasi nefrolitiasis. Ultrasonografi dapat mengvisualisasikan parenkim ginjal dan dapat memberikan gambaran apakah terdapat hidronefrosis atau tidak. Hidronefrosis fisiologis terjadi jika hidroureteronefrosis terdapat di bawah pelvic brim dan obstruksi ureteral distal harus dipertimbangkan. Namun sayang sekali, ultrasonografi dalam kehamilan dibatasi oleh hidronefrosis fisiologis dan visualisasi ureter yang buruk, dan sangat tergantung dari operator. Ultrasonografi memiliki sensitivitas yang terbatas yaitu 34-95% untuk mendeteksi batu pada wanita hamil.1
Penggunaan ultrasonografi Doppler menambah elemen fungsional untuk mengevaluasi obstruksi dan memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi obstruksi ureteral. Pada studi yang dilakukan pada 22 pasien hamil dengan obstruksi ureteral unilateral akut yang disebabkan oleh batu, studi menemukan penggunaan ultrasonografi Doppler berwarna dapat membantu membedakan obstruksi ureteral dari hidronefrosis fisiologis.1
Secara teori, sebelum kita memilih terapi apa yang akan diberikan kepada pasien, kita harus mempertimbangkan secara hati-hati mengenai lokasi batu, ukuran batu, dan umur kehamilan pasien. Lebih dari 64-70% pasien mengeluarkan batu secara spontan selama kehamilan, dan 50% mengeluarkan batu pada periode postpartum. Kebanyakan pasien hamil dengan episode batu akut tidak memerlukan intervensi, terapi konservatif dengan analgesia dan hidrasi lebih sering dipilih sebagai terapi lini pertama. Keamanan dari terapi ekspulsif medis selama kehamilan menggunakan calcium channel blocker atau alpha blocker belum dapat dipastikan. Jika terapi konservatif gagal, intervensi operasi dengan drainase temporer atau manajemen batu definitif harus dipertimbangkan, dan pasien perlu dirawat inap untuk memberikan terapi hidrasi intravena dan untuk memonitor kondisi fetus. Indikasi absolut dan relatif untuk intervensi operasi pada kehamilan serupa dengan pasien yang tidak hamil, indikasi ini meliputi nyeri yang tidak menghilang, mual, muntah, infeksi saluran kencing febril, uropati obstruktif, gagal ginjal akut, sepsis, dan obstruksi soliter ginjal.1,10
Drainase urinari temporer pada pasien hamil dengan obstruksi ureteral bisa menggunakan stent ureteral atau dengan penempatan nefrostomi perkutan. Penempatan stent ureteral retrograde dilakukan di bawah anastesi lokal dengan tuntunan ultrasound, atau bisa dengan anastesi general dengan fluoroscopy. Namun penggunaan stent ureteral dapat memperburuk gejala iritatif saluran kencing bagian bawah karena perubahan anatomik buli-buli oleh karena kompresi buli-buli oleh gravid uterus. Stent ureteral harus diganti setiap 4-8 minggu pada pasien hamil. Beberapa urologist menyarankan untuk dilakukan penempatan nefrostomi perkutan selama kehamilan selama obstruksi ureteral di atas stent ureteral untuk menghindari terjadinya stent encrustation yang dapat menyebabkan hiperkalsiuria dan hiperurikosuria. Nefrostomi perkutan dapat dilakukan dengan tuntunan ultrasound dengan menggunakan anestesi lokal. Encrustation dapat juga terjadi pada tuba nefrostomi, namun kateter ini dapat dimonitor, diubah lebih mudah, dan diirigasi jika diperlukan. Selain itu, penempatan nefrostomi perkutan pada wanita hamil dengan obstruksi harus dilakukan lebih awal untuk menghindari perubahan stent ureteral multiple. Kerugian penempatan nefrostomi perkutan meliputi adanya risiko perdarahan, memerlukan peralatan eksternal, dan terdapat kolonisasi bakterial pada kateter.1,10
Terapi definitif untuk penyakit batu pada kehamilan sangat terbatas. Shock wave lithotripsy merupakan kontraindikasi, dan ekstraksi batu perkutan tidak dianjurkan karena memerlukan waktu untuk fluoroscopy dan memposisikan pasien. Ureteroskopi dikatakan aman dan efektif dalam terapi nefrolitiasis pada semua trimester kehamilan, dengan stone free rate 70-100%. Sehingga ureteroskopi dipertimbangkan sebagai pendekatan lini pertama untuk manajemen penyakit batu simtomatik pada kehamilan. Hidroureteronefrosis fisiologis dapat memfasilitasi jalur untuk ureteroskopi di dalam ureter dan kemudian litotripsi dapat dilakukan. Penggunaan pneumatic litotripsi pada kehamilan tidak direkomendasikan karena adanya risiko gangguan pada pendengaran fetus meskipun data-data yang tersedia masih terbatas. Alternatifnya adalah dengan litotripsis laser yang dikatakan aman dan efektif.1,10
Secara umum, menejemen konservatif merupakan terapi lini pertama pada mayoritas pasien karena dilihat dari kebanyakan pasien dapat mengeluarkan batunya secara spontan, namun jiga intervensi diperlukan maka dapat dilakukan ureteroskopi untuk menghindari gejala eksaserbasi iritatif pada saluran kencing bagian bawah bila ditempatkan ureteral stent.1,10
Kehamilan dan keganasan memiliki kesamaan mengenai suatu hal yaitu antigen asing secara natural ditoleransi oleh sistem imun tubuh. Insiden terjadinya keganasan pada kehamilan 2,35 dari 10.000 kehamilan, dan insiden keganasan urologi juga jarang 1 terjadi.
Intervensi tindakan operasi dilakukan pada trimester kedua karena adanya potensial risiko aborsi pada trimester pertama dan persalinan prematur pada trimester ketiga. Bagaimanapun tumor yang agresif dan cepat meluas memerlukan intervensi yang cepat walaupun berisiko terjadinya mortalitas pada fetus. Tumor yang terjadi selama kehamilan tidak memiliki progresifitas yang lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil, dan terapinya sangat individual bergantung dari tingkat dan stadiumnya, dan mempertimbangkan juga umur fetus untuk menentukan waktu yang optimal untuk dilakukan intervensi operasi.1,5,6
Renal cell carcinoma adalah keganasan urologik tersering yang terjadi selama kehamilan, diikuti dengan angiomiolipoma. Tumor ureter dan buli-buli juga dilaporkan
pada pasien hamil, meskipun tumor ini jarang emergensi. Pheochromocytoma dan renal angiomyolipoma adalah 2 neoplasma yang menjadi emergensi urologi pada kehamilan yang memiliki potensial morbiditas dan mortalitas pada maternal dan fetus.1,5,6
-
1) Angiomyolipoma
Angiomyolipoma (AML) adalah massa pada ginjal yang tersering kedua yang diidentifikasi selama kehamilan setelah renal cell carcinoma. Terdapat predominasi wanita untuk angiomyolipoma, dan kurang lebih 20-30% dari lesi ini ditemukan pada pasien dengan sklerosis tuberus. Meskipun kebanyak angiomyolipoma simtomatik, pasien sering mengeluhkan nyeri panggul, hematuria, atau syok hipovolemik yang berhubungan dengan perdarahan. Perdarahan masif selama kehamilan merupakan komplikasi yang dapat berakibat fatal. Pertumbuhan angiomyolipoma yang cepat selama kehamilan disebabkan oleh pengaruh hormonal. Peningkatan tekanan abdominal dan volume darah sirkulasi selama kehamilan juga meningkatkan risiko terjadinya ruptur pada wanita hamil.1,5,6
Diagnosis angiomyolipoma dapat dikonfirmasi dengan menggunakan ultrasonografi atau MRI tanpa radiasi ionisasi. Angiografi dan embolisasi juga dapat digunakan sebagai diagnostik dan terapi pada pasien tertentu. Secara umum, karena peningkatan risiko ruptur dan perdarahan yang berhubungan dengan angiomyolipoma > 4 cm, operasi lebih dipilih sebelum kehamilan. Manajemen simtomatik angiomyolipoma selama kehamilan meliputi ekstirpasi dengan teknik terbuka atau laparoskopi, thermal ablation, atau embolisasi. Manajemen konservatif dengan observasi adalah mungkin jika pasien asimtomatik atau hemodinamik pasien tetap stabil. Pada pasien dengan perdarahan yang terus-menerus atau dengan hemodinamik yang tidak stabil, selektif angioembolisasi akan efektif dengan paparan radiasi atau kontras yang minimal.1,5,6
-
2) Pheochromocytoma
Secara keseluruhan insiden pheochromocytoma yang didiagnosis selama kehamilan adalah 1 dari 50.000 kehamilan. Meskipun kasus ini relatif jarang, pheochromocytoma dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan karena sangat berpotensial untuk terjadinya krisis hipertensif yang berat. Selama kehamilan, pasien secara tipikal memiliki gejala hipertensi, sakit kepala, palpitasi, serupa dengan gejala-
gejala pada pasien yang tidak sedang hamil. Berbeda dengan pre-eklamsia, pasien dengan pheochromocytoma mengalami hipertensi terlebih dahulu tanpa adanya proteinuria seperti pada pre-eklamsia. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan katekolamin dan metanefrin dengan pengumpulan urine 24 jam, dan ultrasonografi atau MRI dapat membantu untuk mengetahui lokasi tumor. Massa yang cerah pada gambaran MRI dapat membantu menegakkan pheochromocytoma dari adrenaloma incidental. Computed tomography dan meta-iodobenzylguanidine (MIBC) scanning biasanya dihindari karena berisiko terhadap fetus.1,5,6
Manajemen definitif untuk phechromocytoma juga harus sangat diperhatikan karena adanya risiko morbiditas dari hipertensi yang tidak terkontrol. Pemilihan terminasi kehamilan baik dilakukan pada awal kehamilan, di mana risiko terjadinya kematian fetus meningkat setelah operasi dilakukan (20-46%). Dengan ditegakkannya diagnosis sedini mungkin dan terapi yang tepat pada wanita hamil dengan pheochromocytoma dapat menurunkan laju mortalitas fetus dan maternal dari 46% dan 55% menjadi 4% dan 15%. Pasien harus distabilkan dengan medikasi sebelum dilakukan operasi ekstirpasi dengan alpha adrenergic blockade yaitu dengan phenoxybenzamine diikuti dengan beta adrenergic blockade. Hal penting yang perlu diingat, pemberian beta blockade tanpa didahului oleh alpha blockade dapat menyebabkan stimulasi alpha-adrenergic yang dapat menyebabkan krisis hipertensif yang berat atau mortalitas. Reseksi pheochromocytoma dianjurkan dilakukan setelah manajemen medis, dan laparoskopik adrenalektomi juga merupakan terapi yang aman dan efektif untuk manajemen pheochromocytoma selama kehamilan. Jika penegakkan diagnosis pheochromocytoma pada kehamilan terlambat dilakukan, persalinan pada trimester ketiga harus dilakukan segera setelah terjadi maturitas pada paru-paru fetus. Persalinan dengan cesarean section berhubungan dengan laju mortalitas maternal yang lebih rendah dari pada persalinan per vaginam (31% vs 19%), dan beberapa penulis juga menyarankan untuk dilakukan persalinan pada trimester ketiga dengan cesarean section diawali dengan reseksi tumor untuk menghindari penggunaan 2 anestesi.1,5,6
RINGKASAN
Kegawatdaruratan urologi pada pasien hamil meliputi infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, retensi urine akut, hematuria, plasenta percreta, nefrolithiasis, obstruktif uropati, dan keganasan saluran kemih. Kegawatdaruratan urologik dalam kehamilan memberikan tantangan bagi dokter dalam mendiagnosis dan memanajemen kasus tersebut. Tanda diagnostik sering menjadi kabur karena adanya perubahan fisiologis normal dan perubahan anatomi selama hamil. Modalitas imaging dalam kehamilan meliputi ultrasonografi dan MRI yag dikatakan aman dan sering dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan menuntun terapi. Pemilihan waktu dilakukannya operasi pada pasien hamil bersifat individual bergantung dengan status klinis pasien dan juga umur kehamilan. Pendekatan multidisiplin sangat diperlukan, dari anestetik dan tim obstetrik.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Thoman AA, Thomas AZ, Campbell SC, Palmer JS. Urologic Emergemcies in Pregnancy. UROLOGY. 2010; 76 (2): 453-460
-
2. Hill CC, Pickinpaugh J. Physiologic changes in pregnancy. Surg Clin North Am. 2008;88:391–401vii
-
3. lkus R, Popovich J. Respiratory physiology in pregnancy. Clin Chest Med. 1992;13:555–565
-
4. Everett HS, Williams TJ. The Urology Tract During Pregnancy. In: Campbell MF, Harrison JH. Urology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1970. P. 1981-1984
-
5. Loughlin KR. Management of Urologic Problems during Pregnancy. In: Potts JM. Essential Urology A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana Press; 2004. P. 1-16
-
6. Chaliha C, Stanton SL. Urological problems in pregnancy. BJU Int. 2002;89(5):469–476
-
7. FitzGerald MP, Graziano S. Anatomic and functional changes of the lower urinary tract during pregnancy. Urol Clin North Am. 2007;34:7–12
-
8. Lucas MJ, Cunningham FG. Urinary infection in pregnancy. Clin Obstet Gynecol. 1993;36:855–868
-
9. Millar LK, Cox SM. Urinary tract infections complicating pregnancy. Infect Dis Clin North Am. 1997;11:13–26
-
10. Biyani CS, Joyce AD. Urolithiasis in pregnancy. BJU Int. 2002;89:811–818
Table 1. Perubahan Fisiologis pada Kehamilan2,3,4
Sistem |
Perubahan Implikasi Klinis |
Kardiovaskuler |
Kompresi uterus terhadap Penurunan cardiac output vena kava Peningkatan venous stasis pada ekstremitas bawah |
Respirasi |
Penurunan FRC, Peningkatan risiko Peningkatan konsumsi hipoksemia perioperatif oksigen |
Hematologik |
Peningkatan faktor Peningkatan laju pembekuan dan tromboembolisme hiperkoagulabilitas |
Gastrointestinal |
Penurunan motilitas Peningkatan risiko gastrik dan penurunan aspirasi kompetensi sfingter gastroesofageal |
Renal |
Dilatasi collecting system Peningkatan risiko Peningkatan GFR pyelonefritis Perubahan renal clearance untuk beberapa obat |
Table 2. Kegawatdaruratan urologi pada pasien hamil1,5,6
Infeksi saluran kencing
Pyelonefritis akut
Akut urinary retention
Hematuria
Placenta percreta
Nefrolitiasis dan uropati obstruktif
Malignansi urologic
Angiomyolipoma
Pheochromocytoma
Tabel 3. Perubahan fisiologik normal selama kehamilan yang mempengaruhi saluran kencing1,5,6
Perubahan Fisiologik pada Saluran Kencing Selama Kehamilan |
Klinis |
Hidroureteronefrosis |
Urinari stasis dengan peningkatan risiko cystitis akut dan pyelonefritis |
Peningkatan aliran plasma renal dan |
Peningkatan ekskresi obat-obatan dari |
laju filtrasi glomerulus |
renal Ambang batas abnormal serum kreatinin yang lebih rendah |
Hiperkalsiuria dan hiperurikosuria |
Laju ureteral stent encrustation yang lebih cepat |
Kompresi buli-buli oleh uterus |
Penurunan kapasitas buli-buli Peningkatan LUTS dan inkontinensia Risiko retensi urine Peningkatan intoleransi terhadap ureteral stent |
LUTS: lower urinary tract symptoms
Tabel 4. Penggunaan Antibiotik Selama Kehamilan1
Obat Toksisitas |
Manfaat Klinis |
Aman selama kehamilan |
Toleransi bagus |
Penisilin (PNC G, |
Terapi utama infeksi |
ampisilin, amoksisilin) |
saluran kencing pada kehamilan PNC G efektif melawan group B Streptococcus |
Sefalosporin |
Terapi lini pertama yang bagus untuk pyelonefritis Tidak efektif melawan |
Enterococcus | |
Penggunaan dengan peringatan Nitrofurantoin |
Risiko anemia fetal pada Dapat dipertimbangkan |
Aminoglikosida |
trimester ketiga pada ibu sebagai profilaksis dengan defisiensi G6PD infeksi saluran kencing Penetrasi jaringan yang kurang cukup untuk mengatasi pyelonefritis akut Tidak aktif melawan Proteus Risiko ototoksisitas atau Sering digunakan dengan |
Sulfonamide |
nefrotoksisitas pada fetus ampisilin untuk merawat pyelonefritis akut Mencapai konsentrasi pada jaringan renal yang tinggi Meningkatkan risiko Insiden resistensi E. Colli |
Trimethoprim |
kelainan tuba neural yang tinggi disebabkan oleh metabolism antifolat pada trimester pertama Dapat menyebabkan neonatal hiperbilirubinemia dan atau kernicterus Risiko fetal anemia pada ibu dengan defisiensi G6PD Meningkatkan risiko Meningkatnya resistensi |
kelainan tuba neural E. Colli |
disebabkan oleh metabolism antifolat pada trimester pertama |
Kontraindikasi pada kehamilan
Fluoroquinolones |
Dapat merusak perkembangan cartilage |
Eritromisin |
Menyebabkan kolestasis maternal |
Klorampenikol |
Gray baby syndrome |
Tetrasiklin |
Menyebabkan defek pada gigi dan tulang |
18
Discussion and feedback