ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL.10 NO.2,MARET, 2021



Diterima:03-01-2020 Revisi:2-03-2021 Accepted: 12-03-2021

PERBEDAAN RERATA PANJANG LARVA LALAT PADA BANGKAI TIKUS WISTAR YANG TERPAPAR DOSIS LETAL DEKSTROMETORFAN DENGAN YANG TIDAK

TERPAPAR

Revina Amalia Saputra1, Ida Bagus Putu Alit 2, Kunthi Yulianti3

1Program StudiiPendidikan Dokter Fakultas KedokterannUniversitas Udayanaa

2Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Kedokteran Universitas Udayanaa e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penentuan waktu kematian penting dilakukan pada kematian tidak wajar. Salah satu cara menentukan waktu kematian adalah dengan entomologi forensik, terutama berdasarkan larva lalat sebagai salah satu temuan postmortem. Untuk itu, penting untuk mengetahui faktor-faktorryang mempengaruhiipertumbuhan larva lalat. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh konsumsi dekstrometorfan ante-mortem terhadap pertumbuhan larva lalat postmortem. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental post-testtonly with controllgroup dengan subyek tikuss wistar. Subyek dikontrol untuk jenis kelamin, usia, berat badan, kecacatan fisik, makanan dan minuman lalu diacak dalam kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok perlakuanndibunuh dengan pemberian dekstrometorfan hingga dosis letal, kelompok kontrol dibunuh dengan dislokasi servikal. Bangkai tikus diletakkan di tempat terbuka selama tujuh hari lalu panjang larva lalat diukur setiap hari pada hari kedua hingga kelima. Analisa uji beda dilakukan untuk semua hari pengukuran dengan aplikasi SPSS 23.0. Rerata panjang larva lalat pada hari kedua hingga kelima pada kelompok kontrol masing-masing adalah 2,97 mm, 7,90 mm, 13,14 mm, dan 15,40 mm. Pada kelompok perlakuan rerata panjang larva lalat masing-masing adalah 3,82 mm, 11,98 mm, 15,22 mm, dan 17,57 mm. Perbedaan rerata panjang larva ini signifikan dengan nilai p<0,001 untuk semua hari pengukuran dan beda rerata untuk masing-masing hari adalah 0,85 mm, 4,08 mm, 2,08 mm, dan 2,17 mm. Penelitian ini menemukan perbedaan signifikan panjang larva lalat pada semua hari pengukuran dengan larva ditemukan lebih panjang pada kelompok perlakuan. Penelitian ini adalah yang pertama mempelajari hubungan dekstrometorfan dengan laju pertumbuhan larva lalat.

Kata kunci: dekstrometorfan, larva lalat, entomologi forensik

ABSTRACT

Determination of the time of death is important to do on unnatural deaths. One way to do it is by forensic entomology, mainly based on flies larvae as one of the post-mortem findings. For this reason, it is importanttto know the factorssthat influence growth rate offflies larvae. This study aims to study theeeffect of ante-mortem dextromethorphan consumption on the growth of larvae post-mortem. This study used post testtonlyywith control grouppdesignnwith wistar rat subjects. Subjects were controlled for sex, age, weight, physical disability, food and drink and then randomized in the control and treatment groups. The treatment groups was killed by lethal dose of dextromethorphan, the control group was killed by cervical dislocation. Carcasses were placed in the open for seven days then the length of the flies larvae was measured every day on the second to fifth day. Mean difference analyses were carried out for all measurement days with the SPSS 23.0 application. The average length of flies larvae on the second to fifth day in the control group were 2.97 mm, 7.90 mm, 13.14 mm, and 15.40 mm, respectively. In the treatment group, the average length of flies larvae was 3.82 mm, 11.98 mm, 15.22 mm, and 17.57 mm, respectively. Length difference is significant with p values <0,001 for all measurement days and the mean difference for each day is 0.85 mm, 4.08 mm, 2.08 mm, and 2.17 mm. This study found a significant difference in the length of flies larvae on all measurement days with the larvae found longer in the treatmenttgroup. This research is the first toostudy theerelationship between dextromethorphan and flies larvae rate.

Keywords: dextromethorphan, flies larvae, forensic entomology

PENDAHULUAN

Kompleksitas permasalahan yanggmuncul di berbagai negara seperti Indonesia, mulai dari permasalahan ekonomi, sosial, dan religius sering menimbulkan depresi, penyalahgunaan obat bahkan berujung pada kematian. Menurut data WHO tahun 2015, kasus penyalahgunaan obat terutama narkoba menyebabkan kematian sebanyak 167.750 dari 450 juta penduduk. Pada tahun 2016, sekitar 5,6% dari total penduduk di seluruh dunia menggunakan narkoba dan sekitar 31 juta orang yang melakukan penyalahgunaan obat jatuh dalam keadaan yang membahayakan dan memerlukan penanganan di rumahhsakit.1

Salah satuuobat yang seringgdisalahgunakan terutama di kalangan remaja yakni obat derivat opioid seperti dekstrometorfan. Hal ini dikarenakan dekstrometorfan dapat diperoleh dan dikonsumsi secara bebas tanpa resep dokter, harganya sangat murah, serta dapat menimbulkan efek kesenangan atau euphoria pada individu jika dikonsumsi melebihi dosis yang dianjurkan. Penyalahgunaan dekstrometorfan dapat menimbulkan gangguan sistem saraf pusat, seperti kerusakan otak, disorientasi, halusinasi, dan dapat menimbulkan depresi saluran napas hingga kematian.2

Oleh karena peredaran dekstrometorfan yang terlalu bebas sehingga meningkatkan risiko terjadinya penyalahgunaan dan keracunan dekstrometorfan di berbagai negara. Berdasarkan data American Association of Poison Control Centers tahun 2000 terdapat peningkatan kasus penyalahgunaan dekstrometorfan terutama di kalangan remaja meningkat hingga 100% yakni dari 1.623 sampai 3.271 kasus.3 Pada tahun 2009, di Amerika Serikat dilaporkan terdapat lima orang remaja laki-laki meninggal karena mengonsumsi dekstrometorfan hingga overdosis untuk kesenangan semata.4 Di Indonesia yakni di RSUP DrrKariadiiSemarang pada tahunn2012, dilaporkan sebanyak dua orang meninggal setelah mengonsumsi 100 tablet dekstrometorfan yang dicampurkan kedalam minuman bersoda.5 Selain itu, di tahun yang sama di Cilacap dilaporkan terdapat dua siswa SMP meninggal setelah mengonsumsi dekstrometorfan dan di Garut ditemukan seorang remaja berusia 15 tahun meninggal dengan mulut berbusa setelah mengonsumsi pil dekstrometorfan bersama keempat teman lainnya.6 Pada Agustus 2018, di Padangsidimpuan publik digegerkan dengan berita kematian remaja putri berusia 13 tahun akibat mengonsumsi 30 butir pil dekstrometorfan yang dicampur ke dalam minuman keras.7

Kasus-kasus kematian karena dekstrometorfan yang diberitakan oleh media massa adalah kasus yang terungkap. Hal seperti ini menunjukkan gambaran fenomena gunung es, dimana kasus yang terungkap lebih sedikit dibandingkan kasus yang terjadi di masyarakat. Bila tidak ada regulasi dari pemerintah yang mengatur masalah peredaran obat dekstrometorfan di pasaran maka potensi peningkatan kasus kematian akan semakin meningkat. Jika terdapat kematian akibat penyalahgunaan obat derivat opioid seperti dekstrometorfan khususnya yang terlambat terdeteksi maka peran post-mortem interval (PMI) dalam mengidentifikasi mayat menjadi sangat penting.8 Investigasi kasus kematian salah satunya bisa dengan entomologi forensik yakni dengan memanfaatkan pertumbuhan serangga yakni lalat yang ditemukan pada tubuh mayat.9

Faktor-faktor yang mempengaruhi PMI salah satunya adalah keberadaan zat kimia (obat) yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan perkembangan lalat. Ciliphoridae dan Sarcophagidae merupakan dua famili lalat yang paling sering digunakan dalam investigasi kasus kematian.10

Walaupun telah terdapat beberapa studi mengenai kasus kematian akibat penyalahgunaan dekstrometorfan terutama pada remaja namun penelitian tentangghubungan dekstrometorfan dengan panjang larva lalat khususnya di Bali belum ada data yang dipublikasikan sehingga penelitian ini merupakan penelitian baru. Berdasarkannpertimbanganntersebuttmaka peneliti berkeinginan mempelajari lebih lanjut mengenai hubungan dekstrometorfan dengan panjang larva lalat khususnya di Bali.

BAHANNDAN METODEEEE

Penelitian ini merupakanNpenelitian eksperimentalLmenggunakan hewan coba dengan rancanganNpost-test onlyYwith control group design yang bersifat analitik. PenelitianNini telah mendapatkan ethical clearance untuk melakukan penelitian menggunakan hewan coba berupa tikus wistar.PPenelitian dilaksanakannselama 3 bulan yaitu Mei hingga Juli 2019. PopulasiPpenelitian ini adalahPtikus galur wistarP(Rattus norvegicus strain Wistar).

Teknik pemilihan sampel yaitu consecutive sampling dengan kesesuaian terhadap kriteriaainklusi lalu dilakukan pengambilan secara acak hingga memenuhi jumlah sampel yang

dibutuhkan. PenelitianOdilakukanPsetelah memperoleh perizinan penelitian dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan Keterangan Ethical Clearance Nomor: 675/UN14.2.2.VII.14/LP/2019Ptertanggal 22 Maret 2019. Sampel dialokasikan ke dalam 2 kelompok yakni kontrol dan perlakuan. Besar sampel penelitian eksperimental dihitung berdasarkan rumus Federer: (n-1)(t-1)≥15. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan 18 ekor tikus pada setiap kelompok sehingga pada penelitian ini karena menggunakan 2 kelompok maka total sampel berjumlah 36 ekor tikus.

Dilakukan adaptasi tikus selama 1 minggu dengan diberi makan dan minumMsecara ad libitumMserta penggantian sekam setiap dua hari sekali. Lalu pada hari ke-7, sebanyak 18 ekor tikus pada kelompok perlakuan dilakukan pemberian larutan dekstrometorfan dengan dosis 150 mg/tikus (LD50 dekstrometorfan 350 mg/kgBB/tikus) dengan cara disonde. Selanjutnya ditunggu hingga 24 jam karena kandungan dekstrometorfan mencapai level puncak atau toksisitas dalam tubuh. Setelah kelompok perlakuan telah mati, kemudian di hari ke-8 dilakukan dislokasi servikal pada 18 ekor tikus pada kelompok kontrol. Setelah semua tikus dipastikan mati, kemudian dibuat irisan di bagian ventral tubuh tikus hingga tampak organ dalam tikus dengan menggunakan scalpel.

Bangkai tikus wistar diletakkan ke dalam box plastik berukuran (60x40x18)cm di lokasi vegetasi pantai yakni di Pulau Serangan dengan alokasi box P1 merupakan kelompok perlakuan dan P2 kontrol dimana masing-masing box tersebut berisi 18 ekor tikus.

Dilakukan pengamatan lalat serta larvanya pada bangkai tikus yang membusuk yakni pada hariMke-2 hingga hariMke-5. Kemudian dilakukan pengumpulan larva yakni dengan mengambil 3 ekor larva per tikus yang berukuran terbesar dengan menggunakan pinset. Selanjutnya, larva dimasukkan ke dalam botol plastikMyang berisi alkohol 70% yang telah diberi kertas labelMdimana P1 untuk kelompok perlakuan dan P2 untuk kontrol. Semua larva lalat yang berada dalam botol berisi alkohol 70% dikeluarkan satu per satu kemudian diukur panjangnya dengan calliper digital dalam satuan milimeter. Kemudian, rerata panjang semua larva lalat dihitung dari bangkai tikus yang terekspose dan yang tidak terekspose dekstrometorfan. Perhitungan rerata panjang meliputi rerata panjang larva per tikus.

HASIL

Pengukuran rerata panjang larva pada bangkai tikus kelompok kontrol dan perlakuan dilakukanMsetiapMhari mulai dari hari ke-2 hingga hari ke-5. Pada hari ke-2, panjang larva pada kelompok kontrol ditemukan 2,97 ± 0,35 mm dan pada kelompok perlakuan ditemukan sepanjang 3,82 ± 0,31 mm. Pada hariMke-3, panjang larva pada kelompok kontrol dan perlakuan masing-masing adalah 7,90 ± 0,76 mm dan 11,98 ± 0,82Mmm. Pada hari ke-4, panjang larva masing-masing kelompok kontrol dan perlakuan adalah 13,14 ± 0,78 mm dan 15,22 ± 0,62 mm. Terakhir, pada hari ke-5 rerata panjang larva masing-masing kelompok kontrol dan perlakuan adalah 15,40 ± 0,80 mm dan 17,57 ± 0,45 mm.

Karakteristik rerata panjang larva pada kelompokMkontrol danMperlakuanMdari hari ke-2 hingga hariMke-5 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik rerata panjang larva (dalam mm ± SB)

Hari ke-2

Hari ke-3

Hari ke-4

Hari ke-5

Kontrol

2,97 ±

7,90 ±

13,14

15,40

0,35

0,76

± 0,78

± 0,80

Perlakuan

3,82 ±

11,98

15,22

17,57

0,31

± 0,82

± 0,62

± 0,45

Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa rerata panjang larva padaMkelompok perlakuanMlebih panjang dari kelompokMkontrol.

Analisa beda rerata panjang larva pada hari ke-2 hingga hari ke-5 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisa beda rerata panjang larva pada hari ke-2 hinggaAhari ke-5

Beda Rerata

Nilai p

Hari ke-2

0,85 mm

< 0,001a

Hari ke-3

4,08 mm

< 0,001b

Hari ke-4

2,08 mm

< 0,001b

Hari ke-5

2,17 mm

< 0,001b

aAnalisa t-test independent, bAnalisa Mann-Whitney

Berdasarkan Tabel 2, analisa uji beda dilakukan dengan uji parametrik t-test dan analisa Mann-Whitney pada uji non-parametrik sesuai hasil uji normalitas. Sebaran data pada hari ke-2 ditemukan dengan sebaran normal sementaraApada hariAke-3, ke-4, danAke-5 ditemukan bukan dengan sebaran normal. Analisa uji beda

menemukan perbedaan rerata panjang larva yang signifikan untuk semua periode pengukuran, mulai hari ke-2 hingga hari ke-5. Rerata panjang larva pada kelompok perlakuan secara konsisten ditemukan lebih panjang pada semua pengukuran dengan selisih panjang larva mancapai 0,85 mm pada hariAke-2, 4,08 mm pada hariAke-3, 2,08 mm padaAhari ke-4, dan 2,17 mm padaAhari ke-5. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan dekstrometorfan pada bangkai tikus secara signifikan mempengaruhi panjang larva lalat.

Perubahan panjang larva dari hari ke hari disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Perubahan panjang larva dari hari ke hari

Berdasarkan gambar 1, dapat dilihat perubahan panjang larva dari hari ke hari untuk kelompok kontrol dan perlakuan. Walaupun pada pengukuran pertama (hari ke-2) perbedaan rerata panjang larva untuk kelompok kontrol dan perlakuan tidak jauh berbeda, terdapat perbedaan dalam laju pertumbuhan panjang larva antara kelompokAkontrolAdan perlakuan. Pada kelompok kontrol, rerata pertumbuhan panjang larva per hari adalah 4,14 mm. Sementara, pada kelompok perlakuan pertumbuhan panjang larva per hari mencapai 4,58 mm.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian, pengukuran rerata panjang larva dari hari ke hari untuk kelompok kontrol dan perlakuan masih sesuai dengan temuan pada penelitian Verma dan Paul, yaitu pada hari ke-2 panjang larva sekitar 2-5 mm. Pada hari ke-3 rerata panjang larva 10-11 mm, dan pada hari ke-4 hingga ke-5 rerata panjang larva mencapai 14-17 mm.10 Pada penelitian Rusidi dan Yulianti, panjang minimal larva pada hari ke-2 di lokasi vegetasi pantai (pulau Serangan) adalah 2 mm dan pada hari ke-3 rerata panjang larva

maksimal mencapai 13 mm.11 HalAtersebutAsesuai dengan temuanAdalamApenelitianAini yakni pada hari ke-2, rerata panjang larva untuk kelompok kontrol dan perlakuan masing-masing adalah 2,97 mm dan 3,82 mm. Sedangkan pada hari ke-3 rerata panjang larva untuk kelompok kontrol dan perlakuan masing-masing adalah 7,90 mm dan 11,98 mm. Pada hari ke-4, rerata panjang larva untuk kelompok kontrol dan perlakuan masing-masing 13,14 mm dan 15,22 mm. Pada hari ke-5 yang merupakan hari terakhir ditemukan larva, rerata panjang larva untuk kelompok kontrol dan perlakuan masing-masing 15,40 mm dan 17,57 mm. Jadi dapat disimpulkan, rerata panjang larva yang ditemukan pada penelitian iniArentangannya tidakAjauhAberbedaAdenganAhasil    penelitian

Verma dan Paul.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa tikus yang mati akibat toksisitas dekstrometorfan ditemukan dengan larva lebih panjang pada pemeriksaan post-mortem untuk semua periode pengukuran yakni dari hari ke-2 hingga hari ke-5. Selain itu, laju pertumbuhan larva pada kelompok perlakuan lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol.AdapunApenelitianAsebelumnya    yang

hampir serupa dengan penelitianAini yaitu yang dilakukanAolehAOliveira tahun 2009 mengenai beberapa obat seperti morfin dan buscopan justru memperlambat pertambahan panjang larva Chrysomya megacephala.12 Selain itu, ada beberapa obat-obatan yang dikonsumsi antemortem dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva, seperti kokain dan metamfetamin ditemukan mempercepat perkembangan larva Parasarcophaga ruficornis, barbiturat ditemukan dapat meningkatkan panjang larva Calliphora vicina pada temuan post-mortem.10 Temuan-temuan tersebut mengukuhkan kemungkinan bahwa terdapat peran obat-obatan yang dikonsumsi ante-mortem terhadap pertumbuhan larva lalat pada mayat, terutama jika obat-obatan tersebut merupakan penyebab kematian dan dikonsumsi dalam dosis yang mendekati atau melewati dosis letal.

Selain keberadaan zat kimia atau obat, faktor yang krusial mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan lalat adalah suhu.10 Lalat yang termasuk dalam filum arthropoda merupakan hewan poikiloterm sehingga suhu sangat penting dalam mempengaruhi aktivitas enzimatik dalam tubuh larva yang dapat mempengaruhi panjang larva. Serangga akan mengalami percepatan pertumbuhan pada suhu yang lebih tinggi dan sebaliknya akan mengalami perlambatan pada suhu yang lebih rendah.13 Genus lalat yang banyak 12

ditemukan pada lokasi vegetasi pantai yakni di Pulau Serangan adalah Lucillia, Calliphora, dan Sarcophaga. Lalat famili Calliphoridae muncul lebih dulu kemudian disusul oleh lalat dari famili Sarcophagidae keesokan harinya. Oleh sebab itu, lalat Calliphoridae dan Sarcophagidae berperan penting dalam entomologi forensik terutama untuk investigasi kasus kematian dan penentuan PMI.11

Beberapa       penelitian       mengenai

dekstrometorfan mempelajari sebarannya pada jenazah, terutama pada kerangka. Analisa kandungan   dekstrometorfan   pada   kerangka

ditemukan    berbeda-beda    pada    kondisi

pembusukkan yang berbeda. Perbedaan konsentrasi ini terutama terlihat pada tulang tibia.14 Selain itu, analisa terhadap kandungan dekstrometorfan pada kerangka mayat model tikus juga ditemukan dapat membedakan pola konsumsi dekstrometorfan ante-mortem.15 Temuan-temuan ini merujuk pada kemungkinan adanya retensi dekstrometorfan pada jaringan setelah kematian. Dekstrometorfan pada jaringan ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan organisme yang mengonsumsi jaringan tersebut, diantaranya adalah larva lalat.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi awal untuk mengevaluasi efek dekstrometorfan terhadap pertumbuhan panjang larva pada tikus wistar yang dilakukan selama empat hari. Hasil penelitian ini menemukan bahwa panjang larva meningkat secara signifikan ketika diberi dekstrometorfan dibandingkan kelompok kontrol, namun perlu dilakukan penelitianAlebih lanjut untuk     mengetahui     mekanisme     kerja

dekstrometorfan      dalam      mempengaruhi

pertumbuhanApanjang larva lalat. Satu teori yang peneliti ketahui bahwa terdapat hubungan antara dekstrometorfan terhadap panjang larva lalat yang dipengaruhi oleh suatu mekanisme ke sistem saraf pusat (SSP). Dekstrometorfan merupakan turunan senyawa morfin sehingga memiliki mekanisme kerja mirip morfin yang memiliki efek yang sangat spesifik ke SSP serangga yang mengontrol berbagai macam hormon salah satunya adalah hormon pertumbuhan.

Fakta-faktaPpenelitianAsebelumnya    yang

mendukung hasil penelitian ini adalah adanya pengaruh obat yakni morfin dapat mempengaruhi mekanisme kontrol growth hormone pada SSP serangga yakni hormon ecdyson dan juvenille yang dapat mempengaruhi pertumbuhan lalat. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan dekstrometorfan dapat mempengaruhi hormon pertumbuhan lalat yakni ecdyson dan juvenille yang berperan penting dalam metamorfosis lalat. Kadar ecdyson dan juvenille yang tinggi akan merangsang proses perkembangan larva yakni larva-to-larva  molt.  Proses metamorfosis lalat

terjadi jika kadar ecdyson tinggi dan juvenille rendah.16

Hasil penelitian ini menunjukkan beda rerata panjang larva pada hari ketiga mencapai 4,08 mm sehingga yang merupakan clinically important hanya di hari ketiga saja. Hal ini berhubungan dengan mekanisme induksi ke growth hormone pada sistem saraf pusat lalat yakni hormon ecdyson dan juvenille. Pada hari ketiga, konsentrasi hormon ecdyson dan juvenille yang sangat tinggi akan merangsang proses pertumbuhan panjang larva sehingga larva yang ditemukan lebih panjang. Sedangkan pada hari keempat dan kelima, beda rerata panjang larva untuk kelompok kontrol dan perlakuan sebesar 2,08 mm dan 2,17 mm. Angka tersebut tidak jauh berbeda walaupun signifikan secara analisis namun tidak terlalu signifikan secara klinis. Hal ini dikarenakan adanya efek penghambatan pada hormon juvenille sehingga pertumbuhan panjang larva menjadi terhambat.16

Pada penelitian ini, larva lalat dari satu tikus dapat bercampur dengan larva dari tikus yang lain dalam satu box karena larva bersifat mobile, untuk mengendalikan agar larva itu spesifik pada masing-masing sampel baik dari kelompok kontrol dan perlakuan maka diharapkan agar meletakkan satu ekor tikus ke dalam satu box.

Penelitian ini memiliki kelemahan yaitu penempatan 18Aekor tikus padaAkelompok kontrol dan 18 ekor tikusApadaAkelompok perlakuan yang diletakkan kedalam dua box yang terpisah, terdiri dari box P1 untuk kelompok perlakuan dan box P2 untuk kelompok kontrol serta tidak adanya proses identifikasi spesies pada pengukuran panjang larva lalat. Menurut penelitian Verma dan Paul, spesies larva yang berbeda dapat memiliki dimensi tubuh larva yang berbeda, walaupun tidak jauh. Akan tetapi, variasi antar-spesies ini dapat mempengaruhi seandainya terdapat heterogenitas spesies larva pada model mayat tikus yang digunakan dalam penelitian ini.

SIMPULAN DAN SARANnnn

Simpulan dari hasil penelitian ini bahwaAterdapat perbedaanAbermakna rerata panjang larva lalat pada tikus wistar yang terpapar dekstrometorfan dengan yang tidak, terutama pada hari ketiga.

PenelitiAmengajukanAbeberapa saran yakni perlu dilakukan penelitianAulangan untuk mempelajari hubungan konsumsi dekstrometorfan ante-mortem terhadap panjang larva post-mortem untuk mempelajari reproducibility dari hasil temuan ini. Pada penelitian lanjutan yang mempelajari hubungan konsumsi dekstrometorfan 13

ante-mortem terhadap panjang larva post-mortem harus melakukan identifikasi spesies larva lalat untuk mengontrol kemungkinan adanya pengaruh heterogenitas spesies terhadap hasil pengukuran. Pada penelitian berikutnya diharapkan masing-masing tikus ditempatkan pada box yang terpisah sehingga larva yang terdapat pada satu tikus dengan tikus yang lain tidak tercampur.

DAFTAR PUSTAKAZZZZ

  • 1.    Bonauli, Nina. Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat Per Oral Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar. Semarang:   Universitas

Diponegoro. 2010.

  • 2.  Hapangama, A. dan Kuruppuarachchi, K.

”Dextromethorphan abuse”. Ceylon Medical Journal, 2008;53(3):109.

  • 3.  Jody, K. ”Dextromethorphan abuse in

adolescence”. Arch Pediatri Adolescence Med, 2006;160(12):1217-1222.

  • 4.  Logan, B., Goldfogel, G., Hamilton, R., dan

Kuhlman, J. “Five deaths resulting from abuse of dextromethorphan sold over the internet”. Journal    of    Analytical    Toxicology,

2009;33(2):99-103.

  • 5.    Badan    POM,RI,    2012.    Mengenal

penyalahgunaan dekstrometorfan. Jakarta: Penerbit BPOM RI, 2012;13(6).1-3.

  • 6.    Republika Online. 2019. Salahgunakan obat batuk, dua siswa SMP tewas overdosis, diunduh                                 dari:

https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/ daerah/12/11/28/me78o5-salahgunakan-obat-batuk-dua-siswa-smp-tewas-overdosis

  • 7.    Detiknews. Mengkonsumsi 50 butir pil dextro, seorang  remaja tewas overdosis, 2019,

diunduh                                 dari:

https://news.detik.com/berita/2086652/mengko nsumsi-50-butir-pil-dextro-seorang-remaja-tewas-overdosis, pada 1 November 2019

  • 8.    Wells, J.D. dan Lamotte, L.R. “Estimating the post-mortem    interval.    In:     Forensic

Entomology: the Utility of Arthropods in Legal Investigations.“ New York: CRC Press, 2001.h.263.

  • 9.    Souza, A., Kirst, F. dan Krüger, R. “Insects of forensic importance from Rio Grande do Sul state in southern Brazil.” Revista Brasileira de Entomologia, 2008;52(4):641-646.

  • 10.    Reject Paul M.P., Verma, K. “Assessment of Post Mortem Interval, (PMI) from Forensic Entomotoxicological Studies of Larvae and

Flies.” Entomology, Ornithology & Herpetology: Current Research, 2013;2(1):1-4.

  • 11.    Rusidi, HA dan Yulianti, K. Gambaran Genus dan Panjang Larva Lalat pada Bangkai Tikus Wistar dengan Perbedaan Letak Geografis di Bali. Jurnal Medika Udayana, 2019;9(9):1-7.

  • 12.    Oliveira, H.G., Gomes, G., Morlin Jr, J.J., Von Zuben, C.J. dan Linhares, A.X. “The effect of Buscopan® on the development of the blow fly Chrysomya megacephala (F.)(Diptera: Calliphoridae).” Journal of forensic sciences, 2009;54(1):202-206.

  • 13.    Gennard, D.E. “Forensic Entomology An Introduction.” University of Lincoln, UK, 2007.h.1-38.

  • 14.    Unger, K.A. dan Watterson, J.H. “Analysis of dextromethorphan and dextrorphan in skeletal remains following decomposition in different microclimate conditions.” Journal of analytical toxicology, 2017;40(8):669-676.

  • 15.    Morrison, L.M., Unger, K.A. dan Watterson, J.H. “Analysis of Dextromethorphan and Dextrorphan in Skeletal Remains Following Differential     Microclimate     Exposure:

Comparison of Acute vs. Repeated Drug Exposure.” Journal of analytical toxicology, 2017;41(6):566-572.

  • 16.    Faizal I, D., Djoko B, A. dan Sidharta, B. Paparan Morfin Dosis Letal pada Bangkai Tikus terhadap Pertumbuhan Larva Sarcophaga Sp. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 2011;26(4):227-232.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2021.V10.i3.P02

14