TERAPI PENYAKIT GRAVES DENGAN SODIUM IODIDA-131

I Wayan Hartadi Noor1, Made Ratna Saraswati2

  • 1)    Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

  • 2)    Divisi Endokrinologi dan Metabolik, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Penyakit Graves merupakan penyebab tersering dari tirotoksikosis, dengan puncak insidens pada kelompok usia 20 sampai 40 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, dengan perbandingan 5 berbanding 1. Gejala yang paling mudah dikenali pada pasien ini adalah adanya opthalmofati Graves. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik. Pembesaran tiroid difus dan tanda-tanda tirotoksikosis biasanya adekuat untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan TSH dikombinasikan dengan FT4 merupakan pemeriksaan penunjang yang biasa dikerjakan pada pasien ini. Penatalaksanaan yang umum adalah dengan obat-obatan antitiroid serta dengan pembedahan. Terapi lain adalah dengan menggunakan sodium iodida-131, dimana terapi dengan agen ini memiliki keuntungan berupa pemberian yang sederhana, efektif, terjangkau, serta bebas dari rasa nyeri.

Kata Kunci: Penyakit Graves, Sodium Iodida-131

THERAPY OF GRAVES’ DISEASE WITH SODIUM IODIDE-131

ABSTRACT

Graves’ disease is the most common form of thyrotoxicosis, with a peak incidence in the 20-40 year of age group. Females are involved about five times more commonly than male. The easiest sign to recognize patients with Graves’ disease is the present of Graves’ ophthalmopathy. The diagnosis of Graves’ disease may sometimes base only on a physical examination and a medical history. Diffuse thyroid enlargement and sign of thyrotoxicosis, mainly ophthalmopathy and to lesser extent dermopathy, usually adequate for diagnosis. TSH test combined with FT4 test is usually the first laboratory test performs in these patients. The patients suffered Graves’ disease can be treated with antithyroid drug therapy or undergo subtotal Thyroidectomy. Another therapy is by using sodium iodide-131, where this therapy has advantages including easy administration, effectiveness, low expense, and absence of pain.

Keywords: Graves’ disease, Sodium Iodide-131

PENDAHULUAN

Penyakit Graves merupakan penyebab tersering dari tirotoksikosis, mencapai 60 hingga 80% dari total keseluruhan kasus tirotoksikosis. Penyakit ini jarang terjadi sebelum menginjak usia remaja, dengan puncak insiden pada kelompok usia 20-40 tahun, namun juga dapat terjadi pada usia lanjut. Penyakit Graves saat ini dianggap sebagai penyakit autoimun idiopatik.1

Tanda yang paling mudah untuk mengenali pasien dengan penyakit Graves adalah dengan adanya opthalmofati Graves.2 Diagnosis penyakit Graves kadang dapat ditegakkan berdasar pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pembesaran tiroid difus serta tanda-tanda tirotoksikosis terutama berupa opthalmofati dan dermofati biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis.3

Penatalaksanaan penyakit Graves mencakup beberapa metode. Salah satunya adalah menggunakan sodium iodida-131 sebagai Radioactive Iodine (RAI) therapy. Kelebihan terapi ini adalah cara pemberian yang sederhana, efektif, biayanya terjangkau, dan tidak menimbulkan rasa nyeri. Karena hal itulah penggunaan RAI sebagai terapi untuk penyakit Graves menunjutkan kecenderungan meningkat pada beberapa tahun terakhir.2,3

PENYAKIT GRAVES

Penyakit Graves merupakan jenis tersering dari tirotoksikosis, mencapai 60 hingga 80% dari total keseluruhan kasus tirotoksikosis. Perempuan mengalami angka kejadian lebih tinggi dari laki-laki, dimana perempuan 5 kali lebih sering terkena daripada laki-laki. Penyakit ini jarang terjadi sebelum menginjak usia remaja, dengan puncak insiden pada kelompok usia 20-40 tahun, namun juga dapat terjadi pada usia lanjut.1 Penyakit Graves saat ini dianggap sebagai penyakit autoimun idiopatik. Terdapat kecenderungan yang

kuat pada penyakit ini untuk diturunkan secara genetik pada keturunan penderita.

Penyakit ini dapat dicetuskan oleh beberapa faktor diantaranya stres, merokok, infeksi, asupan iodin yang tinggi, dan masa nifas.1

Pada penyakit Graves, limfosit T menjadi tersensitisasi dengan antigen pada kelenjar tiroid sehingga menstimulasi limfosit B untuk memproduksi antibodi untuk antigen kelenjar tiroid tersebut. Salah satu antibodi yang terbentuk adalah TSH-R Ab [stim], yang mampu menstimulasi sel tiroid untuk meningkatkan fungsinya. Keberadaan antibodi ini dalam darah mengindikasikan adanya penyakit ini atau dengan keadaan relaps dari penyakit Graves.

Penderita penyakit Graves dapat menunjukkan gejala seperti cemas, mudah marah, mudah lelah atau kelemahan otot, tidak tahan terhadap suhu panas, gangguan tidur, tremor pada tangan, denyut nadi yang cepat, aktifitas usus yang meningkat atau diare, penurunan berat badan, serta pembesaran kelenjar tiroid. Tanda yang paling mudah untuk mengenali pasien dengan penyakit Graves adalah dengan adanya opthalmofati Graves. Beberapa pasien dengan penyakit Graves juga menunjukkan penebalan dan kemerahan pada kulit ekstremitas bawah mereka, keadaan ini disebut dengan myxedema pretibialis atau dermofati Graves.2

Diagnosis penyakit Graves kadang dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pembesaran tiroid difus serta tanda-tanda tirotoksikosis terutama berupa opthalmofati dan dermofati biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis. Uji TSH dikombinasikan dengan uji FT4 biasanya merupakan pemeriksaan penunjang pertama yang dikerjakan pada pasien ini. Hasil yang sesuai dengan diagnosis penyakit ini adalah kadar TSH yang rendah dan kadar FT4 yang normal atau meningkat. Karena kombinasi dari kadar TSH yang rendah serta FT4 yang tinggi dapat terjadi pada

gangguan tiroid lainnya, kita dapat melakukan pemeriksaan Radioactive Iodine Uptake (RAIU) test atau Thyroid Scan untuk memastikan diagnosis. Pada RAIU, tingkat ambilan iodin yang tinggi menunjukkan penyakit Graves. Pada Thyroid Scan dari kasus penyakit Graves, iodin akan terlihat pada seluruh area dari kelenjar tiroid. Kita juga dapat mempertimbangkan untuk mengukur kadar TSH-R Ab. Mayoritas pasien dengan penyakit Graves memiliki antibodi ini di dalam darahnya, sementara pada pasien yang bukan dengan penyakit Graves tidak akan memiliki antibodi ini.1,2,3

Penatalaksanaan penyakit Graves mencakup beberapa metode. Pasien dapat diterapi dengan obat-obatan antitiroid seperti methimazole atau propylthyouracil. Pasien juga dapat menjalani subtotal thyroidectomy, biasanya diindikasikan pada pasien dengan kelenjar tiroid yang sangat besar atau multinodular. Obat-obatan penyekat beta misalnya propranolol juga efektif digunakan sebagai terapi tambahan pada manajemen tirotoksikosis, dimana banyak gejala tirotoksikosis menyerupai tanda stimulasi saraf simpatis. Terapi utama lainnya adalah dengan menggunakan sodium iodida-131 sebagai agen RAI. Kelebihan terapi ini adalah cara pemberian yang sederhana, efektif, murah, dan tidak menimbulkan rasa nyeri.1,2,3

SODIUM IODIDA-131

Terapi Radioactive iodine (RAI) menggunakan sodium iodida-131 telah menjadi modalitas terapi yang secara luas digunakan untuk penatalaksanaan hipertiroid pada pasien dewasa yang disebabkan oleh penyakit Graves di Amerika Serikat,4 sedangkan obat-obatan antitiroid tetap menjadi modalitas yang paling sering dipakai di Eropa dan Asia.3 Metode RAI sudah mulai dipakai untuk penatalaksanaan pada kelainan tiroid jinak maupun ganas sejak tahun 1940an. 131I adalah β-emitting radionuclide; dengan principal γ-ray sejumlah 364 KeV; dan principal β-particle dengan energi maksimum

0.61 MeV, energi rata-rata 0.192 MeV, dan jarak tembus di jaringan sejauh 0.8 mm. 131I merupakan satu-satunya isotop yang digunakan untuk terapi tirotoksikosis (isotop lainnya seperti 123I dipakai untuk keperluan diagnostik) karena waktu paruh yang panjang mencapai lebih dari 8 hari. Materi radioaktif ini diberikan secara oral dalam bentuk larutan sodium iodida-131.5 Prinsip penggunaan RAI sebagai terapi pada tirotoksikosis adalah berdasarkan fakta bahwa kelenjar tiroid menggunakan iodin intuk menghasilkan hormon tiroid, dan iodin hampir secara spesifik hanya diserap oleh kelenjar tiroid. Berdasarkan fakta tersebut, penggunaan varian radioaktif dari iodin sebagai terapi pada tirotoksikosis menjadi dapat diterima, karena secara teoritis bahan tersebut tidak akan mengakibatkan efek buruk atau kerusakan pada jaringan lain di luar kelenjar tiroid. Merujuk pada teori dasar tersebut, penggunaan sodium iodida-131 akan menjadi metode yang sempurna untuk menghancurkan jaringan kelenjar tiroid yang overaktif pada kasus penyakit Graves.1 mekanisme terapeutik dari RAI adalah sebagai berikut. Pada terapi RAI, pasien akan mendapat sodium iodida-131 secara oral. Kelenjar tiroid kemudian akan menyerap iodin radioaktif tersebut dari aliran darah sama seperti saat kelenjar ini menyerap iodin untuk menghasilkan hormon tiroid dan kemudian bahan ini akan masuk ke folikel-folikel penyimpanan. Efek radiasi dari isotop 131I akan menghancurkan jaringan tiroid secara bertahap, sehingga produksi hormon tiroid diharapkan akan menurun.2 Dalam beberapa minggu setelah pemberian sodium iodida-131, penghancuran dari jaringan kelenjar tiroid dibuktikan dari adanya pembengkakan dan nekrosis epitel, disrupsi folikel, edema, serta adanya infiltrasi leukosit. Pasien yang menjalani terapi ini mungkin tidak mendapati perubahan pada gejala penyakitnya dalam waktu singkat, karena terapi ini hasilnya tidak segera terlihat dan membutuhkan waktu selama beberapa minggu sampai bulan. Banyak kalangan menggunakan sodium iodida-

131 dosis tinggi untuk merusak kelenjar tiroid secara keseluruhan, namun beberapa

kalangan lebih menyukai pemberian dalam dosis yang lebih kecil sehingga diharapkan produksi hormon tiroid dapat mencapai rentang normal. Regimen tunggal RAI biasanya mampu menghilangkan tirotoksikosis secara tuntas, namun pada beberapa kasus lebih dari satu dosis dari terapi RAI diperlukan untuk mencapai tujuan terapeutik, terutama jika pada pemberian dosis pertama diberikan sodium iodida-131 dalam dosis yang lebih rendah atau dalam kasus penggunaan obat-obatan antitiroid sebagai terapi pendahuluan untuk mencapai keadaan eutiroid sebelum pemberian RAI.2,6

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI

Indikasi penggunaan RAI sebagai modalitas terapi pada pasien dengan penyakit Graves masih kontroversial. Di Amerika Serikat dimana penggunaan metode ini telah dilakukan secara luas, Sodium Iodida-131 merupakan terapi pilihan untuk mayoritas pasien yang berusia diatas 21 tahun.1 Kalangan lain percaya bahwa pada semua pasien dengan tirotoksikosis yang diakibatkan oleh penyakit Graves sebaiknya diberikan terapi pendahuluan berupa obat-obatan antitiroid sebelum pemberian RAI, dengan harapan akan terjadi remisi tanpa perlu diberikan bahan radioaktif yang notabene masih dianggap menakutkan oleh beberapa pihak. Namun remisi sangat jarang terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi tiroid yang sedang maupun berat. Pada kasus seperti ini, terapi menggunakan RAI merupakan terapi yang paling sesuai dan mungkin paling costeffective, karena akan menghilangkan tirotoksikosis secara permanen, dengan cepat dan aman.4,5

Terapi menggunakan sodium iodida-131 dikontraindikasikan pada wanita hamil, karena adanya pengaruh buruk dari radiasi pada perkembangan janin. Tes kehamilan mutlak diperlukan pada seluruh wanita pada usia subur yang akan menjalani pemberian

regimen Sodium Iodida-131.7 Pasien dinyatakan aman untuk mengalami kehamilan 6 bulan setelah menjalani terapi.3 Wanita yang sedang menyusui juga dikontraindikasikan untuk pemberian terapi ini, karena bahan radioaktif ini akan mengkontaminasi air susu pasien, sehingga akan masuk ke tubuh bayi pada saat menyusui dan terkonsentrasi pada kelenjar tiroid dari bayi, menyebabkan kerusakan kelenjar tiroid pada bayi sehingga terjadi keadaan hipotiroid pada bayi tersebut dan berujung pada kretinisme. Pasien dengan kondisi tirotoksikosis berat yang tak terkontrol juga dikontraindikasikan untuk pemberian regimen ini, karena setelah pemberian terapi ini akan terjadi kerusakan folikel tiroid sehingga akan terjadi pelepasan hormon tiroid secara mendadak ke dalam darah sehingga akan mengakibatkan krisis tiroid pada pasien dengan kondisi tersebut. 5

PERHATIAN SEBELUM MEMULAI TERAPI

Pasien yang akan memulai regimen RAI harus menghentikan segala jenis pengobatan atau obat-obatan yang mengandung unsur iodin dan menjalani diet bebas iodin untuk memastikan regimen RAI dapat diserap secara sempurna oleh kelenjar tiroid. Obat-obatan yang harus dihentikan sebelum pemberian regimen seperti obat-obatan antitiroid (misalnya propylthiouracil dan methimazole, dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum pemberian RAI), multivitamin (dihentikan 7 hari sebelum terapi), ekspektoran, agar, iodin lugol, potassium iodida (2-3 minggu sebelum terapi), bahan kontras radiografi intravena (3-4 minggu sebelum terapi), amiodaron (3-6 bulan atau lebih sebelum memulai terapi), hormon tiroid buatan (levothyroxine distop 3-4 minggu sebelum terapi).5 Bahan makanan yang mengandung iodin yang harus dihindari seperti garam beryodium, susu beriodium, makanan laut, dan sebagainya. Pengelolaan diet dan obat-obatan yang baik sebelum memulai regimen terapi sangat penting untuk memastikan regimen RAI ini dapat diserap dan bekerja maksimal. Pada pasien dengan

keadaan tirotoksikosis berat atau gangguan kardiovaskular, dianjurkan pemberian obat-

obatan antitiroid sebelum memulai regimen terapi. Pada pasien seperti ini, suatu keadaan eutiroid harus dicapai terlebih dahulu untuk meminimalisir terjadinya krisis tiroid akibat pelepasan cadangan hormon tiroid karena kerusakan folikel yang disebabkan oleh efek dari RAI, yang dapat terjadi setelah pemberian terapi.5 Untuk tujuan ini, pemberian methimazole lebih dianjurkan daripada propylthiouracil, karena propylthiouracil disinyalir dapat mengurangi efektifitas dari pemberian radioiodin. Lalu, pemberian methimazole dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum pemberian regimen radioiodin.7 Tujuannya adalah untuk menjaga efektifitas dari pemberian regimen RAI, karena pemberian obat-obatan antitiroid mengganggu organifikasi radioiodin, dan diduga bertindak sebagai penangkap radikal bebas, sehingga dapat mengurangi efek radiasi dari RAI. Beberapa ahli menyarankan pemberian sodium-iodida-131 dalam dosis yang lebih besar pada pasien yang mendapatkan pengobatan antitiroid sebelum memulai regimen RAI.8 Obat-obatan antitiroid dapat dilanjutkan 7 hari setelah pemberian sodium iodida-131.9 Pemberian obat-obatan penyekat beta dapat membantu untuk meringankan gejala simptomatis. Pemberian penyekat beta tidak perlu untuk dihentikan sebelum memulai terapi dengan sodium iodida-131.8 Tidak ditemukan adanya peningkatan resiko keganasan setelah terapi RAI pada pasien dewasa, namun banyak kalangan medis yang menghindari penggunaan RAI pada anak-anak maupun remaja karena secara teoritis ada resiko untuk menyebabkan keganasan.3 Pasien yang merokok juga dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokoknya, karena kebiasaan merokok berhubungan dengan perburukan opthalmofati Graves setelah terapi dengan sodium iodida-131. Pada pasien dengan pergantian iodin yang cepat, terapi juga dapat dikombinasikan dengan lithium karbonat, 900 mg/hari selama 6 hari, dimulai pada hari

pemberian RAI, untuk dapat meningkatkan efektifitas terapi RAI pada pasien dengan

ukuran kelenjar gondok yang kecil maupun besar (dengan menghambat pelepasan bahan radioaktif tersebut dari kelenjar tiroid, sehingga bahan tersebut akan berada lebih lama pada kelenjar tiroid, sehingga memaksimalkan efek radiasinya).8 Pada pasien dengan ukuran tiroid yang besar, namun menolak atau dikontraindikasikan untuk menjalani pembedahan (misalnya karena gangguan kardiovaskular), kombinasi RAI dengan lithium dapat secara efektif digunakan untuk mencapai keadaan hipertiroid yang terkontrol secara cepat, karena penambahan litium dapat mencegah peningkatan FT4 dan FT3 dalam serum yang dapat terjadi segera setelah pemberian terapi RAI. Kombinasi radioiodin dan lithium juga berguna pada keadaan opthalmofati Graves, karena mampu menurunkan resiko hipertiroidisme setelah pemberian terapi RAI, yang diketahui dapat memperburuk opthalmofati yang telah terjadi. Selain itu, penambahan lithium diasosiasikan dengan penyusutan kelenjar tiroid yang lebih cepat, yang terjadi terutama pada minggu pertama setelah pemberian iodin radioaktif.10

DOSIS PEMBERIAN

Walaupun RAI telah digunakan secara luas dalam terapi penyakit Graves, metode terbaik untuk menghitung dosis optimal pemberian sodium iodida-131 untuk mencapai keadaan eutiroid, tanpa resiko yang tinggi untuk mengalami relaps atau progresi ke arah hipotiroidisme, belum disepakati dan masih kontroversial.3,11 Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya perbedaan tujuan dari terapi (hipotiroid vs eutiroid) dan jarangnya studi komprehensif yang menghubungkan antara keefektifan antara berbagai protokol terapi dan hasil terapinya. Teknik yang digunakan oleh kalangan medis untuk menentukan dosis yang optimal beragam, dari teknik dosis tetap (tidak bergantung besarnya tiroid dan ambilan iodin), sampai perhitungan yang lebih kompleks yang

berdasarkan pada ukuran kelenjar (diestimasi secara pemeriksaan fisik atau dengan USG), ambilan radioiodin fraksional, dan kadangkala turnover radioiodin.11 Cara yang biasanya paling sering dipakai dalam praktik sehari-hari adalah dengan memberikan dosis tetap berdasarkan pada keadaan klinis pasien, seperti beratnya tirotoksikosis. Dosis sodium iodida-131 umumnya berkisar antara 185 MBq (5 mCi) hingga 555 MBq (15 mCi). Banyak kalangan yang menyukai pendekatan yang ditujukan untuk ablasi kelenjar tiroid (dibandingkan dengan eutiroidisme, yang memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terjadinya relaps), yang mengakibatkan hipotiroid dalam 5 sampai 10 tahun setelah pengobatan.3 Teknik lainnya, yang menggunakan formula berdasarkan berat kelenjar tiroid dan radioiodine uptake (RAIU), lebih rumit dan lebih mahal, karena untuk itu dibutuhkan pengecekan tingkat RAIU sebelum dosis sodium iodida-131 dapat dikalkulasi. Pada pasien tanpa gangguan jantung, RAI dapat diberikan langsung dengan dosis 2.96–7.4 MBq atau 80–200 µCi/g dari berat tiroid yang diestimasi berdasarkan pemeriksaan fisik ataupun USG. Dosis pemberian dikoreksi untuk RAIU berdasarkan rumus berikut:

Rumus koreksi dosis RAI.1

80 - 200 μCi∕g jaringan tiroid x estimasi berat kelenjar tiroid (g) Ambilan iodin radioaktif 24 jam

Beberapa studi menunjukkan bahwa teknik dosis yang disesuaikan berdasarkan estimasi berat tiroid dan RAIU tidak memiliki keuntungan dibandingkan dengan pemberian secara dosis tetap dan berkesimpulan bahwa walaupun keuntungan itu ada, keuntungan tersebut terlalu kecil dan tidak terlalu bermakna secara klinis. Selain itu, pemberian secara dosis tetap menyederhanakan metode pemberian, dengan biaya yang lebih rendah, serta angka kesuksesan yang lebih tinggi (dinyatakan sebagai eliminasi

hipertiroid 6 bulan pasca terapi), dibandingkan dengan penggunaan teknik dosis yang disesuaikan.11 Beberapa pasien mengalami relaps setelah pemberian satu regimen terapi, karena efek biologis dari radiasi bervariasi antar individual, dan keadaan hipotiroid tidak dapat dihindari pada beberapa keadaan walaupun menggunakan penghitungan 1

dosis secara akurat.

PERHATIAN PASCA TERAPI

Perburukan opthalmofati yang terjadi setelah pemberian RAI harus diantisipasi, dan pemberian prednisone, 40 mg/hari, ditapering selama 2 sampai 3 bulan, dapat membantu untuk mencegah perburukan.3 Pasien dengan keadaan hipertiroid yang berat dan pasien yang merokok lebih rentan untuk terjadinya perburukan pasca pemberian RAI, jadi pemberian prednison seperti yang dijelaskan diatas dapat menghindari perburukan yang mungkin terjadi. Prednison tidak mengganggu kerja dari RAI maupun mempengaruhi hasil akhir dari terapi, sehingga pemberian prednison dapat dilakukan tanpa kekhawatiran.12 Jika terapi menggunakan prednison gagal atau dikontraindikasikan, radiasi orbita posterior, menggunakan terapi sinar-X berenergi tinggi, akan membantu mengurangi proses eksaserbasi akut yang terjadi. Gangguan visus yang berat setelah pemberian RAI merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan dekompresi pada orbita. Pembedahan untuk memperbaiki fungsi otot-otot bola mata juga mungkin perlu dilakukan apabila terjadi gejala sisa setelah proses akut membaik. Sebagai tambahan, terapi lokal juga mungkin diperlukan, misalnya elevasi kepala untuk mengurangi edema periorbital dan air mata buatan untuk mengurangi gejala mata kering akibat exopthalmus. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, merokok juga harus dihindari setelah pemberian regimen terapi, untuk menghindari perburukan dari opthalmofati yang mungkin terjadi setelah pemberian regimen terapi.1,2

Penggunaan obat-obatan antitiroid untuk menghindari tirotoksikosis pasca RAI dapat

dilanjutkan dalam 7 hari setelah pemberian regimen radioaktif, tapi biasanya tidak diberikan kecuali terdapat bukti klinis dari rekurensi atau hgejala hipertiroid yang menetap.9 Beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan bahaya radiasi pada beberapa hari pertama setelah terapi secara umum adalah pasien perlu untuk menghindari kontak yang lama dan dekat dengan anak-anak dan wanita hamil selama beberapa hari mengingat bahaya radiasi dari isotop iodin pada kelenjar tiroid pasien yang mungkin dipancarkan oleh pasien pada lingkungannya. Mungkin juga dapat terjadi nyeri ringan akibat radiation thyroiditis pada 1 hingga 2 minggu setelah terapi. Keadaan hipertiroid dapat menetap selama 2 hingga 3 bulan sebelum efek RAI bekerja sempurna. Untuk alasan ini, obat-obatan penyekat beta atau obat-obatan antitiroid dapat digunakan untuk mengontrol gejala yang mungkin timbul selama masa ini. Pada keadaan hipertiroid yang persisten dapat diberikan RAI dosis kedua, diberikan 6 bulan setelah pemberian dosis pertama.1.3

HASIL TERAPI

Setelah pemberian RAI, kelenjar tiroid akan mengecil dan pasien umumnya akan menjadi eutiroid dalam waktu 2–6 bulan.1 Hipotiroid hampir merupakan hasil akhir terapi yang tak dapat dihindari setelah pemberian RAI, terjadi pada lebih dari 80% dari pasien yang diterapi secara adekuat. Resiko hipotiroid yang terjadi pasca terapi bergantung pada dosis yang diberikan. Pasien harus diinformasikan tentang kemungkinan ini sebelum memutuskan untuk menjalani terapi. Keadaan hipotiroid biasanya terjadi pada 6–12 bulan setelah terapi dan merupakan sebuah jaminan bahwa pasien tidak akan mengalami relaps dari hipertiroidnya. Studi follow-up jangka panjang menunjukkan bahwa terapi menggunakan RAI tidak menyebabkan infertilitas, kelainan

kongenital, maupun keganasan.1 Terapi yang inkomplit atau relaps yang terjadi lebih awal umumnya terjadi pada laki-laki, pada pasien yang berusia ˂ 40 tahun, dan terutama pada pasien yang sebelumnya mendapat pengobatan awal berupa obat-obatan antitiroid. Untuk pasien seperti ini, regimen kedua dari RAI mungkin diperlukan, dengan dosis yang lebih tinggi dari dosis inisial.4

FOLLOW-UP

Pasien yang mendapat regimen RAI memerlukan follow-up rutin selama tahun pertama pasca terapi. Selama masa ini pasien mungkin mengalami perburukan dari tirotoksikosis, dan harus ditatalaksana dengan baik untuk menghindari komplikasi lainnya terutama perburukan dari opthalmofatinya. Mayoritas pasien yang mndapat terapi RAI menjadi hipotiroid karena efek ablatif dari RAI. Kadar FT4 dan TSH pada serum harus dicek setiap 6 sampai 8 minggu sekali, dan jika terdeteksi hipotiroid, terapi penggantian hormon dengan T4, 0.05–0.2 mg perhari, diindikasikan secara absolut pada pasien tersebut, untuk mempertahankan kadar hormon tiroid yang normal serta untuk mengindari komplikasi jangka panjang dari keadaan hipotiroid (seperti aterosklerosis dan infark miokard).

RINGKASAN

Terapi iodin Radioaktif (RAI) menggunakan isotop 131I telah menjadi terapi yang secara luas digunakan untuk penatalaksaan hipertiroid pada pasien dewasa yang diakibatkan oleh penyakit Graves di Amerika Serikat. RAI dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui. Pasien yang akan menjalani terapi ini harus menghentikan penggunaan obat-obatan yang mengandung iodin, dan menjalani diet bebas iodin untuk memastikan efektifitas terapi yang akan dijalani. Pada pasien yang mengalami tirotoksikosis, pemberian obat-obatan antitiroid sebelum memulai regimen terapi diperlukan untuk menghindari terjadinya krisis tiroid, yang dapat terjadi setelah pemberian regimen terapi. Perburukan dari opthalmofati setelah pemberian terapi membutuhkan perhatian khusus, dan pemberian prednison, 40 mg/hari, ditaper selama 2 hingga 3 bulan diwajibkan pada pasien-pasien ini. Pasien harus menghindari kontak dekat dan lama dengan anak-anak dan ibu hamil setelah pemberian regimen terapi, untuk menghindari penyebaran efek radiasi ke kelompok tersebut. Keadaan hipotiroid hampir merupakan hasil akhir yang absolut dari pemberian regimen RAI, mencapai 80% dari keseluruhan pasien yang dirawat secara adekuat. Jika keadaan hipotiroid terjadi, pmberian T4, 0.05– 0.2 mg perhari, diindikasikan secara mutlak. Pasien yang menjalani terapi RAI membutuhkan monitoring selama hidup mereka, untuk menjamin kestabilan kadar hormon tiroid mereka, mencegah komplikasi lanjut akibat keadaan hipotiroid, dan memastikan kualitas hidup yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Greenspan FS. The Thyroid Gland. Dalam: Greenspan FS, Gardner DG, penyunting. Basic & Clinical Endocrinology. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2004. h.248-258.

  • 2.    Weetman AP. Graves Disease: Medical Progress. The New England Journal of Medicine. 2000; 343(17):1236-1248.

  • 3.    Jameson JL, Weetman AP. The Disorders of Thyroid Gland. Dalam: Braunwald E, Fauci A, Kasper D, Hoster S, Longo D, Jameson J, penyunting. Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi ke-16. New York: McGraw Hill; 2005. h.2113-2117.

  • 4.    Alexander EK and Larsen PR. High Dose 131I Therapy for the Treatment of Hyperthyroidism Caused by Graves Disease. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. 2002; 87(3):1073–1077.

  • 5.    Mumtaz M, Lin LS, Hui KC, Khir AS. Radioiodine I-131 for the Therapy Of Graves Disease. Malaysian Journal of Medical Sciences. 2009; 16(1):25-33.

  • 6.    Bonnema SJ, Bartalena L, Toft AD and Hegedus L. Controversies in Radioiodine Therapy: Relation to Ophthalmopathy, the Possible Radioprotective Effect of Antithyroid Drugs, and Use in Large Goiters. European Journal of Endocrinology. 2002; 147:1–11.

  • 7.    Fitzgerald PA. Endocrine Disorders. Dalam: McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, penyunting. Current Medical Diagnosis and Treatment 2008. Edisi ke-47. New York: McGraw Hill; 2007. h.716-720

  • 8.    Meier DA, Brill DR, Becker DV, Clarke SEM, Silberstein EB, Royal HD, and Balon HR. Procedure Guideline for Therapy of Thyroid Disease with 131Iodine. The Journal of Nuclear Medicine. 2002; 43(6):856–861.

  • 9.    Bonnema SJ, Bennedbæk FN, Gram J, Veje A, Marving J and Hegedus L. Resumption of Methimazole after 131I Therapy of Hyperthyroid Diseases: Effect on Thyroid Function and Volume Evaluated by a Randomized Clinical Trial. European Journal of Endocrinology. 2003; 149:485–492.

  • 10.    Bogazzi F, Bartalena L, Brogioni S, Scarcello G, Burelli A, Campomori A, Manetti L, Rossi G, Pinchera A and Martino E. Comparison of Radioiodine with Radioiodine plus Lithium in the Treatment of Graves Hyperthyroidism. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism. 1999; 84:499–503.

  • 11.    Leslie WD, Ward L, Salamon EA, Ludwig S, Rowe RC, and Cowden EA. A Randomized Comparison of Radioiodine Doses in Graves Hyperthyroidism. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. 2003; 88(3):978–983.

  • 12.    Jensen BE, Bonnema SJ, and Hegedus L. Glucocorticoids do not influence the effect of Radioiodine therapy in Graves disease. European Journal of Endocrinology. 2005; 153:15–21.

  • 13.    Brent GA. Graves Disease: Clinical Practice. The New England Journal of Medicine. 2008; 358(24):2594-2605.

15