LAPORAN KASUS SEORANG PENDERITA GANGGUAN GINJAL DENGAN INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Ni Made Vina Septiani, I Wayan Sudhana

Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Penyakit ginjal pada pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) telah menjadi peringkat keempat dalam penyebab kematian setelah sepsis, pneumonia, dan penyakit hati. HIV-associated nephropaty (HIVAN) adalah yang paling sering terjadi. Kami melaporkan sebuah kasus, pasien laki-laki, 48 tahun, yang mengalami sesak napas, batuk dan demam intermiten serta telah positif menderita HIV, tanpa pengobatan anti retroviral sebelumnya dan kadar CD4+ terakhir 89 sel/mm3. Ditemukan peningkatan BUN dan SC dari hari ke hari selama perawatan serta proteinuria +2 sebagai tanda adanya gangguan ginjal dengan tekanan darah yang normal dan tidak terdapat edema. Pada pasien tersebut diberikan obat antibiotik dan ACE inhibitor. Pasien dengan kecurigaan HIVAN pada kasus ini dapat berkembang progresif dan sangat cepat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Prognosis pasien dengan HIVAN apabila tidak ditangani dengan tepat akan berkembang menjadi end stage renal disease (ESRD) dalam 1-4 bulan dan memiliki angka mortalitas 4,7 kali lebih tinggi dari pasien HIV tanpa gangguan ginjal.

Kata kunci: Gangguan ginjal, infeksi human immunedeficiency virus, HIVAN

A CASE OF RENAL DISEASE IN HIV INFECTED PATIENT

ABSTRACT

Kidney diseases in human immunodeficiency virus (HIV) infected patients has been been fourth leading cause of death after sepsis, pneumonia, and liver disease. HIV-associated nephropathy (HIVAN) is the most common. We report a case, a male patient, 48 years, who experienced shortness of breath, cough and intermittent fever and has been reported as HIV positive, without previous antiretroviral treatment and last CD4+ count is 89 cells/mm3. There are elevated BUN and SC from day to day during treatment and proteinuria +2 as a sign of kidney disease with normal blood pressure and there was no edema. Patients given an antibiotic and ACE inhibitors as antiproteinuria. Patients with suspicion of HIVAN in this case can progress very rapidly and causes progressive decline in renal function. Prognosis of patients with HIVAN if not handled properly will develop end stage renal disease (ESRD) in 1-4 months and had a mortality rate 4.7 times higher than HIV patients without renal impairment.

Keywords: Renal diseases, human immunodeficiency virus infection, HIVAN

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal merupakan salah satu komplikasi penting dari infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan telah menjadi peringkat keempat dalam penyebab kematian setelah sepsis, pneumonia, dan penyakit hati. Fungsi ginjal ditemukan abnormal pada lebih dari 30% pasien yang terinfeksi HIV sejalan dengan penelitian oleh Women’s Interagency HIV Study (WIHS) dimana 32,6% pasien ditemukan dengan proteinuria ≥ +1 pada dipstick analysis.1 Penelitian lain oleh HIV Epidemiology Research Study menemukan bahwa 7,2% pasien diketahui telah memiliki penyakit ginjal pada awal perjalanan penyakitnya dan 14% lainnya menderita penyakit ginjal setelah 21 bulan masa observasi.1

Spektrum klinis penyakit ginjal terkait infeksi HIV sangat luas dan dapat terjadi pada HIV stadium berapapun. HIV-associated nephropathy (HIVAN) dengan glomerulosklerosis fokal segmental merupakan penyakit ginjal yang paling sering terjadi dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan berkembang sangat cepat. Di negara barat HIVAN merupakan masalah epidemi dengan angka pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%.2

Penyakit ginjal dapat dideteksi dengan melakukan skrining fungsi ginjal sejak awal diagnosis HIV ditegakkan sesuai anjuran oleh Infectious Diseases Society of America dan terbukti dengan pengobatan dini dengan HAART, ACE inhibitor dan kortikosteroid pada kondisi tertentu dapat mencegah terjadinya penyakit ginjal terminal dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya. Penyebab penyakit ginjal pada pasien HIV sangat beragam baik karena infeksi langsung HIV maupun infeksi oportunistik serta pengobatannya. Dilaporkan seorang pasien laki-laki, berusia 48 tahun, dengan riwayat menderita HIV sejak tahun 2010, tanpa pengobatan anti retroviral (ARV) dan jumlah CD4+ 89 sel/mm3. Ditemukan adanya peningkatan BUN dan SC dari hari ke hari selama perawatan serta proteinuria. Hal tersebut menunjukkan adanya gangguan ginjal yang perlu dicari penyebabnya dan diberikan terapi secara tepat.

KASUS

Pasien HDR, laki-laki, 48 tahun, datang ke Instalasi Rawat Darurat RSUP Sanglah dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit disertai batuk berdahak, demam intermiten, berkeringat malam hari, dan mudah lelah. Pasien mengalami penurunan berat badan dari 78 kg menjadi 70 kg dalam 3 bulan terakhir. Terdapat riwayat diare yang hilang timbul sejak 1 tahun serta penurunan nafsu makan dan mual kadang sampai muntah. Pasien menderita HIV sejak bulan november tahun 2010 dan jumlah CD4+ saat itu adalah 353 sel/mm3. Sampai saat ini pasien belum pernah meminum obat anti retroviral. Tidak terdapat riwayat hipertensi dan penyakit ginjal pada pasien maupun keluarga sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah 100/80 mmHg, Nadi 100x/menit, frekuensi pernapasan 28x/menit dan temperatur aksila 37,7oC. Terdengar ronkhi pada basal paru kanan dengan penurunan vokal fremitus serta redup saat perkusi. Batas jantung kiri melebar ke lateral dimana iktus kordis teraba pada sela iga VI, 2 cm lateral dari garis midklavikula. Tidak teraba ballotement dan tidak terdapat edema pada ekstrimitas. Pada foto thorax terkesan kardiomegali dan gambaran infiltrat pada parakardial kanan dan EKG menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Terjadi peningkatan BUN 23,16 mg/dL dan SC 1,2 mg/dL. Pada urinalisis terdapat proteinuria +2. Hasil pemeriksaan serial untuk BUN dan SC berturut-turut pada tanggal 8 September 2012 adalah BUN 25,63 mg/dL dan SC 1,3 mg/dL, kemudian meningkat sampai BUN 29 mg/dL dan SC 1,7 mg/dL pada tanggal 10 September 2012 dan pada 11 September 2012, BUN 29,30 mg/dL dan SC 1,8 mg/dL. Selama 4 hari perawatan terjadi peningkatan BUN dan SC dari hari ke hari. Dan hasil pemeriksaan CD4+ terbaru berjumlah 89 sel/mm3. Pasien didiagnosis dengan infeksi HIV stadium klinis IV menurut WHO dengan wasting syndrome, pneumonia, acute on chronic kidney diseases (ACKD) curiga HIVAN, serta observasi kardiomegali suspek kardiomiopati Fc II. Penanganan selama di rumah sakit berupa pemberian cefotaksim 1 gram sebanyak 3 kali/ hari

secara intravena, azitromisin 500 mg 1 kali/ hari secara intravena, parasetamol 500 mg 3

kali/hari secara oral, ambroksol 1 sendok makan 3 kali/hari, kotrimoksasol 960 mg 1 kali/hari, furosemid 20 mg 2 kali/hari secara intravena dan captopril tablet 25 mg 3 kali/hari..

DISKUSI

Human immunodeficiency virus merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan sehingga membuat tubuh rentan terhadap berbagai penyakit. HIV menyebabkan defisiensi imunitas selular melalui penurunan limfosit T-helper (sel CD4+). Untuk mendiagnosis HIV dapat dilakukan beberapa tes seperti tes antigen dan antibodi HIV serta tes yang menunjukkan defisiensi imun. Pada kasus ini pasien laki-laki berusia 48 tahun telah diketahui positif terinfeksi HIV sejak bulan november tahun 2010 dengan jumlah CD4+ saat itu 353 sel/mm3. Sejak saat itu pasien belum pernah mendapatkan ARV dan tidak kontrol secara rutin. Tanpa pengobatan ARV akan terjadi penurunan CD4 70-100 sel/mm3 per tahun sehingga semakin lama pasien HIV akan semakin rentan terhadap infeksi oportunistik maupun kelainan organik akibat infeksi HIV secara langsung.3 Pada pasien ini mengeluh sesak, batuk, dan demam serta pada pemeriksaan fisik terdapat ronkhi pada basal paru kanan serta foto thorax menunjukkan adanya infiltrat pada paru kanan yang sesuai dengan gambaran pneumonia. Hal ini menunjukkan adanya infeksi oportunistik pada pasien yang dapat memperburuk kondisi klinis pasien. Adanya wasting syndrome [penurunan berat badan > 10% dalam 30 hari tanpa ada penyebab lain selain infeksi HIV] menyebabkan pasien dikategorikan dalam stadium klinis IV menurut World Health Organization (WHO).

Pada kasus ini juga terdapat gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan BUN dan SC serta proteinuria. Berdasarkan pedoman Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative (K/DOQI), definisi Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan manifestasi: kelainan patologis atau terdapat tanda kelainan

ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan atau GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.4,5 Pada pasien didapatkan proteinuria +2 sebagai tanda kelainan struktural ginjal, Peningkatan BUN dan SC dari hari ke hari selama perawatan di rumah sakit menunjukkan adanya kondisi akut yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kelemahan pada kasus ini tidak tersedia pemeriksaan urinalisis, BUN, dan SC sebelumnya sehingga tidak diketahui kelainan tersebut sudah terjadi lebih dari 3 bulan atau belum agar bisa diklasifikasikan sebagai PGK.

Penyakit ginjal merupakan salah satu komplikasi yang penting pada pasien dengan infeksi HIV. Penyakit ginjal pada HIV dapat disebabkan oleh karena infeksi oportunistik, obat-obatan, imun kompleks, maupun infeksi langsung HIV pada epitel renal. Spektrum klinis penyakit ginjal terkait infeksi HIV sangat luas dan dapat terjadi pada HIV stadium berapapun. Mulai dari kondisi reversibel seperti acute kidney injury (AKI), gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Penyebab AKI dapat dibagi menjadi pre- renal, renal dan post-renal. Faktor pre-renal yang merupakan penyebab tersering AKI yaitu nekrosis tubular akut (35%) dan disebabkan oleh sepsis pada 50% kasus, sedangkan 25% kasus terjadi karena iskemia serta sisanya akibat penggunaan obat nefrotoksik seperti amfoterisin, pentamidin, dan penggunaan kontras intravena.6 Kondisi akut pada pasien ini dapat dicetuskan karena adanya infeksi oportunistik seperti pneumonia yang dapat menyebabkan sepsis yang berakibat pada penurunan volume efektif cairan intravaskuler ke ginjal.

Penyakit ginjal terkait HIV juga bisa bermanifestasi sebagai PGK. Secara histologis dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu HIV-associated nephropathy (HIVAN) dengan glomerulosklerosis fokal segmental, HIV-associated immune complex disease (HIV-IC), dan HIV-associated thrombotic thrombocytopenic purpura/haemolytic uraemic syndrome (HIV-TTP/HUS).7 HIVAN merupakan penyakit ginjal kronik yang paling sering terjadi dan

menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan berkembang sangat cepat yang

mungkin menjadi dasar penyakit pada kasus ini. HIVAN secara histopatologis ditandai dengan adanya glomerulosklerosis fokal segmental, dilatasi tubular, edema interstitial, infiltrat selular, dan dilatasi tubulus dengan amorphous cast yang berwarna pucat. Collapsing glomerulosclerosis merupakan varian yang paling sering karena hiperselularitas dari sel yang melapisi kapsula bowman.6,8

Pasien dengan HIVAN secara klinis menunjukan edema perifer yang minimal serta peningkatan tekanan darah yang tidak terlalu signifikan bahkan normal. Seperti yang ditunjukkan pada kasus ini yaitu tekanan darah pasien 100/80 mmHg tanpa ada riwayat hipertensi dan tidak ada edema pada ekstrimitas. Hal ini bisa disebabkan oleh HIVAN yang menyebabkan terjadinya salt wasting terkait HIVAN dan perubahan pada tekanan onkotik akibat peningkatan serum imunoglobulin.6 Diagnosis pasti dari HIVAN hanya bisa dibuat berdasarkan hasil biopsi ginjal. Namun, biopsi ginjal tidak dilakukan pada kasus ini dan jarang dilakukan pada kasus PGK.

Human immunodeficiency virus associated nefropathy dicurigai apabila terdapat gangguan fungsi ginjal tanpa ada penyebab lain yang mungkin selain infeksi HIV, adanya proteinuria, peningkatan rasio protein kreatinin, CD4+ <350 sel/mm3, viral load > 14000 kopi/mL, ras kulit hitam, ginjal normal atau sedikit membesar pada USG serta terdapat riwayat diabetes, hipertensi atau hepatitis C.8 Pada kasus ini didapatkan faktor resiko berupa CD4 + yang rendah [89 sel/mm3], adanya proteinuria, sedangkan viral load dan USG pada kasus ini tidak diperiksa. Walaupun sampai saat ini belum ada kriteria diagnosis yang pasti untuk HIVAN, namun parameter yang disebutkan dapat membantu penegakan diagnosis.

Penyakit ginjal terkait HIV spektrumnya sangat luas sehingga harus dilakukan pemeriksaan yang teliti dan skrinning adanya penyakit ginjal di awal diagnosis dan selanjutnya sesuai anjuran Infectious Diseases Society of America. Pemeriksaan rutin laju

filtrasi glomerulus (LFG), BUN, SC setidaknya setiap 6 bulan, urinalisis setidaknya setiap

tahun, untuk pasien yang menerima regimen tenofovir: LFG dihitung saat memulai terapi, 1 bulan setelah mulai terapi, dan setidaknya setiap 4 bulan sesudahnya. 8,9

Pada kasus HIVAN sebaiknya diberikan HAART secepat mungkin di awal diagnosis untuk menghambat progresifitas. Pada pasien HIV dengan bukti adanya nefropati, tekanan darah harus terkontrol dibawah 125/75 mmHg dan pemberian ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB) untuk pasien dengan proteinuria, Calcium channel blocker harus dihindari pada pasien yang mendapatkan terapi protease inhibitor.7 Pada awal diagnosis sebaiknya diberikan HAART dengan pertimbangan dosis disesuaikan dengan beratnya penyakit ginjal serta dipertimbangkan pemberian kortikosteroid apabila HAART tidak mampu memberikan hasil yang memuaskan. Pada pasien HIVAN dengan HAART tanpa ada bukti infeksi oportunistik aktif lain dapat diberikan terapi prednison 1 mg/ kg BB (dosis maksimum 80 mg/hari) selama 2 bulan dan dilanjutkan 2-4 bulan tappering off. Perkembangan HIVAN cukup cepat untuk menjadi penyakit ginjal terminal yang akan membutuhkan terapi pengganti ginjal baik hemodialisis rutin maupun transplantasi ginjal jika tersedia ahli yang kompeten. Dosis obat ARV yang disesuaikan hanya obat-obat yang di metabolisme di ginjal terutama golongan nukleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTIs) kecuali abacavir karena dieksresikan lewat urin dalam jumlah yang rendah. Pada kasus ini terdapat infeksi oportunistik yang masih aktif yaitu pneumonia, sehingga pada terapi untuk gangguan ginjal yang dialami pasien tidak diberikan kortikosteroid dan HAART. Pada pasien ini hanya diberikan ACE inhibitor sebagai antiproteinuria, serta antibiotik cefotaksim dan azitromisin untuk pengobatan pneumonia. HAART direncanakan akan diberikan saat pasien kontrol poliklinik dan infeksi oportunistik membaik.

Tanpa diberikan terapi menggunakan ACE inhibitor, HAART, kortikosteroid, pasien dengan HIVAN akan berkembang menjadi fase terminal dalam waktu 1-4 bulan setelah

diagnosis ditegakkan. Pasien dengan HIVAN memiliki mortalitas 4,7 kali lebih tinggi dibandingkan pasien HIV tanpa gangguan ginjal.10 Dengan perkembangan HAART angka harapan hidup 1 tahun pasien dengan HIVAN meningkat dari 53% menjadi 74%,10 hal ini menunjukan pentingnya penatalaksanaan yang adekuat pada pasien dengan HIVAN. Meskipun pasien dipulangkan dengan kondisi fisik baik tetap ditekankankan informasi harus kontrol ke poliklinik secara berkala untuk melihat perkembangan gangguan ginjal yang terjadi serta konseling untuk memulai terapi ARV secepatnya.

RINGKASAN

Penyakit ginjal terkait infeksi HIV memiliki spektrum klinis yang sangat luas. Bentuk tersering yang menyebabkan PGK adalah HIVAN dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan akan berkembang menjadi fase terminal dalam waktu 1-4 bulan setelah diagnosis ditegakkan tanpa terapi yang adekuat. Pada kasus, pasien telah diketahui positif terinfeksi HIV dan tidak pernah mendapatkan terapi ARV. Secara klinis terdapat wasting syndrome sehingga dikategorikan dalam stadium klinis IV menurut WHO serta pasien didiagnosis menderita infeksi oportunistik yaitu pneumonia. Selain itu, terdapat kelainan struktural ginjal yang dibuktikan dengan adanya proteinuria. Peningkatan progresif BUN dan SC dari hari ke hari selama perawatan juga menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal.namun tidak diketahui apakah sudah terjadi lebih dari 3 bulan karena tidak terdapat pemeriksaan urinalisis, BUN, dan SC sebelumnya. Kondisi akut yang memperburuk gangguan ginjal pada pasien ini dapat dicetuskan karena adanya infeksi oportunistik seperti pneumonia. Gangguan ginjal pada pasien dicurigai akibat HIVAN karena dari klinis tidak ditemukan adanya edema dan peningkatan tekanan darah. Dengan kadar CD4 yang rendah dan adanya proteinuria serta adanya penurunan fungsi ginjal tanpa ada penyebab lain yang mungkin selain infeksi HIV mampu menjadi dasar penegakan diagnosis HIVAN pada kasus. Untuk diagnosis pasti perlu dilakukan biopsi ginjal, namun pada pasien tidak dilakukan. Pada

kasus juga tidak dilakukan pemeriksaan viral load dan USG yang sebenarnya dapat menunjang diagnosis HIVAN. Terapi pada pasien ini diberikan ACE inhibitor sebagai antiproteinuria dan antibiotik sebagai terapi pneumonia. Tidak diberikan ARV dan kortikosteroid karena masih terdapat infeksi oportunistik yang aktif.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Andy, Choi. Update on HIV-Associated Nephropathy. Nephrology Rounds.2007;5(7):1-6.

  • 2.    Naheed Ansari. Kidney Involvement in HIV Infection, HIV-infection - Impact, Awareness and Social Implications of living with HIV/AIDS. 2011. [Diakses24 September 2012]. Diunduh dari: URL :http://www.intechopen.com/books/ hiv-infection-impact- awareness and socialimplications-of-living-withhiv-aids/kidney-involvement-in-hiv-infection

  • 3.    Pedoman Nasional: Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. h 9-10

  • 4.    Sudhana IW. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik Dalam: Suwitra K, Widiana GR, editor. Nephrology 2005 Symposium On Management of Pre-Dialytic Stage Chronic Kidney Disease. Denpasar: PERNEFRI; 2005. h 18-24.

  • 5.    Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2006. h 570-573.

  • 6.    Ross, Michael dan Klotman, PE. HIV Associated Nephropathy. AIDS. 2004;18(8):1089-99

  • 7.    Chloe Symeonidou, dkk. Imaging and Histopathologic Features of HIV-related Renal Disease. RadioGraphics. 2008; 28:1339–1354

  • 8.    Gupta, Samir dkk. Guidelines for the Management of Chronic Kidney Disease in HIV-Infected Patients: Recommendations of the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America.Clinical Infectious Diseases.2005; 40:1559–85

  • 9.    New York State Department of Health AIDS Institute. Kidney disease in HIV infected patients. [Diakses 24 September 2012]. Diunduh dari: URL: www.hivguidelines.org

  • 10.    Ansgar Rieke. HIV and Renal Function.HIV Medicine.2011;15:524-533

10