SYSTEMATIC REVIEW : HASIL LUARAN KLINIS TERHADAP TATALAKSANA MENINGITIS TUBERKULOSIS DI ASIA
on
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.2,FEBRUARI, 2022
Diterima: 22-12-2020 Revisi: 06-01-2021 Accepted: 2022-02-16
HASIL LUARAN KLINIS TERHADAP TATALAKSANA MENINGITIS TUBERKULOSIS DI ASIA
Putu Ardy Hartadi1, I Gusti Ngurah Ketut Budiarsa2, A. A. A. Meidiary2, Ida Ayu Sri Wijayanti2 1Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali 2Departemen/SMF Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Bali e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pendahuluan: Meningitis Tuberkulosis adalah manifestasi infeksi Mycobacterium tuberculosis yang paling berbahaya dan merupakan keadaan kegawatdaruratan medis. Sebagian besar pasien biasanya akan mengalami defisit neurologis sehingga dengan tatalaksana yang tepat dapat meminimalkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan Meningitis Tuberkulosis. Adapun tujuan dari systematic review ini adalah untuk mengetahui hasil luaran klinis terhadap tatalaksana Meningitis Tuberkulosis di Asia. Metode: Metode penulisan dalam artikel ini adalah systematic review, dimana literatur yang digunakan adalah studi yang tervalidasi selama bulan Januari 2015 sampai Oktober 2020, pencarian literatur dalam systematic review ini menggunakan tiga database yaitu Pubmed, Science Direct, dan ProQuest. Pencarian artikel atau jurnal menggunakan kata kunci: “Tuberculous Meningitis” and “Treatment” and “Clinical Outcome”. Sebanyak 1.143 artikel yang sesuai selanjutnya dilakukan eksklusi dari judul, abstrak, populasi, intervensi, dan outcome, sehingga diperoleh 12 artikel studi yang memenuhi kriteria. Selanjutnya dilakukan penilaian kualitas metodologi dari setiap artikel menggunakan The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal. Hasil: Penatalaksanaan dari Meningitis Tuberkulosis harus mencakup pendekatan secara holistik yang menghubungkan pemberian regimen terapi pada fase intensif, fase lanjutan, dan pemberian kortikosteroid. Studi berbasis bukti menunjukkan bahwa pemberian regimen HRZE/S minimal selama 6 bulan dilaporkan efektif sebagai terapi Meningitis Tuberkulosis. Pasien remaja dan dewasa dengan Meningitis Tuberkulosis memiliki prognosis atau hasil luaran klinis yang buruk. Selain itu, hasil pengumpulan data dari beberapa studi menunjukkan bahwa hasil pengobatan berhubungan dengan nilai BMRC dan koinfeksi HIV. Kesimpulan: Berdasarkan dari studi ini bahwa jenis pemberian terapi anti tuberkulosis menunjukkan penurunan angka mortalitas minimal selama 6 bulan.
Kata kunci: Meningitis Tuberkulosis, Tatalaksana, Hasil Luaran Klinis.
ABSTRACT
Background: Tuberculous Meningitis is the most dangerous manifestation of Mycobacterium tuberculosis infection and is a medical emergency. Most patients will usually experience a neurological deficit that proper management can minimize morbidity and mortality in patients with Tuberculous Meningitis. The purpose of this systematic review is to determine the clinical outcome of the management of Tuberculous Meningitis in Asia. Method: The method of writing in this article is a systematic review, where the literature used is a validated study from January 2015 to October 2020, the literature search in this systematic review uses three databases, namely Pubmed, Science Direct, and ProQuest. Search for articles or journals using keywords: "Tuberculous Meningitis" and "Treatment" and "Clinical Outcome". Over 1,143 suitable articles were excluded from titles, abstracts, population, interventions, and outcomes, in order to obtain 12 study articles that met the criteria. Furthermore, an assessment of the methodological quality of each article was carried out using The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal. Result: The management of Tuberculous Meningitis must include a holistic approach that links the administration of therapy regimens to the intensive phase, the follow-up phase, and the administration of corticosteroids. Evidence-based studies show that administering the HRZE / S regimen for at least 6 months is reported to be effective in treating tuberculous meningitis. Adolescent and adult patients with Tuberculous Meningitis have a poor prognosis or clinical outcome. In addition, data collected from several studies indicate that treatment outcome is associated with BMRC values and HIV coinfection. Conclusion: Based on this study, the type of anti-tuberculosis therapy showed a reduction in the mortality rate for at least 6 months.
Keywords: Tuberculous Meningitis, Treatment, and Clinical Outcome.
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama global dengan tingkat mortalitas dan https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2022.V11.i2.P15
morbiditas yang tinggi, dimana diperkirakan sekitar 2 – 3 juta individu terinfeksi bakteri meningitis dimana sekitar
5%-15% memiliki kemungkinan untuk menjadi penyakit TB aktif. Menurut perkiraan oleh WHO, terdapat sekitar 8,8 juta kasus Tuberkulosis baru setiap tahun sampai 2010, dimana 1,45 juta orang meninggal1. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis melalui droplet– droplet yang dikeluarkan dan bertebaran di udara yang dapat mengakibatkan infeksi dan dapat menyerang bagian tubuh mana saja umumnya paru– paru2.
Meningitis Tuberkulosis (MTB) adalah manifestasi infeksi Mycobacterium tuberculosis yang paling berbahaya dan merupakan keadaan kegawatdaruratan medis. Pasien dengan infeksi MTB dan dapat bertahan, cenderung akan mengalami defisit neurologi ataupun sekuel permanen. Diagnosis MTB sering terlambat atau tidak tepat karenas manifestasi klinis dari pasien MTB bervariasi mulai dari sindrom meningitis akut yang cepat hingga demensia progresif. Mendeteksi bakteri Mycobacterium tuberculosis complex dari cairan serebrospinalis masih menjadi tantangan karena angka sensitivitas yang xrendah. Kesulitan diagnosis bersifat bakteriologis karena sifat pausibasiler serta proses pengambilan spesimen yang. sulit dan invasif.3
Pengobatan anti-Tuberkulosis sebelum timbulnya koma adalah faktor terkuat untuk bertahan hidup dari Meningitis Tuberkulosis atau MTB. Kombinasi, dosis, frekuensi, dan durasi terbaik dari obat anti-tuberkulosis untuk Meningitis Tuberkulosis belum ditentukan. World Health Organization merekomendasikan regimen yang sama dengan penanganan Tuberkulosis paru yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol selama dua bulan diikuti oleh rifampisin dan isoniazid selama sepuluh bulan. Anak-anak umumnya memerlukan dosis yang lebih tinggi daripada orang dewasa untuk mencapai efek yang serupa4.
Berdasarkan uraian diatas diperlukan adanya rangkuman menyeluruh mengenai hasil luaran klinis terhadap tatalaksana meningitis tuberkulosis, sehingga tujuan dari systematic review ini adalah untuk mengetahui hasil luaran klinis terhadap tatalaksana meningitis tuberkulosis di Asia.
Metode penulisan dalam artikel ini adalah systematic review, dimana literatur yang digunakan adalah
studi yang tervalidasi selama bulan Januari 2015 sampai Oktober 2020, pencarian literatur dalam systematic review ini menggunakan tiga database yaitu Pubmed, Science Direct, dan ProQuest. Pencarian artikel atau jurnal menggunakan kata kunci: “Tuberculous Meningitis” and “Treatment” and “Clinical Outcome”. Hasil pencarian awal menghasilkan 1.143 artikel yang sesuai.Selanjutnya dilakukan eksklusi dari judul, abstrak, populasi, intervensi, dan outcome. Setelah menentukan kriteria eksklusi dan eksklusi maka diperoleh 12 artikel studi yang memenuhi kriteria (gambar 1). Dari 12 artikel tersebut selanjutnya dinilai menggunakan checklist The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal untuk menentukan kualitas metodologi dari studi yang didapatkan. Hasil critical appraisal yang memenuhi syarat dengan skor penelitian setidaknya mencapai 50% dan memenuhi kriteria dengan titik cut-off yang telah disepakati oleh peneliti. Sintesa hasil yang digunakan dengan metode deskriptif yang menggambarkan dan menjelaskan melalui narasi mengenai hasil penelitian yang dijelaskan.
Berdasarkan dari 1.143 artikel, dipilih yang berfokus pada studi mengenai jenis desain randomized control trial dan studi cohort, tatalaksana yang digunakan, analisis data, lokasi penerapan intervensi, hasil penerapan intervensi, dan dampak terhadap luaran klinis oleh subjek penelitian.
Karakteristik dari 12 artikel studi (tabel 3.1) yang terdiri dari 5 artikel prospective cohort, 4 artikel retrospective cohort, dan 3 artikel randonmised control trial yang diambil dari periode tahun 2015 sampai dengan tahun 2020. Populasi dalam studi dari artikel yang digunakan dalam systematic review ini merupakan populasi yang berasal dari 4 negara. Artikel studi yang termasuk dalam systematic review di ulasan ini sebanyak 6 penelitian dilakukan di India yaitu pada universitas, lembaga penelitian dan rumah sakit yang ada di India, sebanyak 3 studi dilakukan di Cina dan rumah sakit yang ada di Cina, penelitian dan studi juga dilakukan di Indonesia dan Malaysia.
Eksklusi (n = |
1.092) |
Study Design : Case sectional, book, editorial |
control, cross- |
Bahasa: bahasa selain Inggris dan Indonesia |
Mayoritas pasien
Eksklusi (n = 12)
Population : tidak sesuai pada pasien remaja hingga dewasa di Asia
Intervensi : tidak menggunakan obat anti tuberculosis sebagai tatalaksana
Skrining berdasarkan identifikasi abstrak (n = 39)
merupakan pasien laki – laki dimana seluruh pasien
Meningitis Tuberkulosis
Artikel yang sesuai dan bisa digunakan (n = 12)
Eksklusi (n = 27)
Population : tidak pada pasien remaja hingga dewasa di Asia
Intervention : tidak menggunakan obat anti tuberculosis sebagai tatalaksana
Outcome: tidak menjabarkan hasil luaran klinis maupun laboratorium
Gambar 1. Diagram Flow Pencarian Literatur Hasil Luaran Klinis Terhadap Tatalaksana Meningitis Tuberkulosis pada Pasien Remaja Hingga Dewasa di Asia
menerima pengobatan anti-tuberkulosis berupa kombinasi isoniazid, rifampicin, pirazinamid, ethambutol, dan streptomicin. Kemudian, hampir seluruh pasien Meningitis Tuberkulosis menerima terapi pengobatan kortikosteroid dan menerima perlakuan berupa follow-up paling tidak selama 6 bulan atau lebih. Karakteristik populasi dirangkun dalam tabel 3.1.
INTERVENSI TERAPI
Penatalaksanaan dari meningitis tuberkulosis harus mencakup pendekatan secara holistik yang menghubungkan pemberian regimen terapi pada fase intensif selama minimal 6 bulan dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama minimal antara 6 sampai 12 bulan disertai dengan pemberian kortikosteroid.
Studi berbasis bukti menunjukkan bahwa pemberian regimen rifampicin, isoniazid, pirazinamid, etambutol atau streptomicin (HRZE/S) minimal selama 6 bulan dilaporkan efektif sebagai terapi meningitis tuberkulosis. Selain itu, beberapa studi sebelumnya menunjukkan terjadi peningkatan perbaikan kondisi klinis pasien5,6. Studi menunjukkan adanya sekuel pada pasien setelah menjalani masa intensif di rumah sakit
Tabel 1 Karakteristik dari Studi yang Digunakan
Studi |
Tipe Studi |
Lokasi |
Tahun Penelitian |
Jumlah Pasien |
Fase Intensif |
Fase Lanjutan |
Penggunaan Kortikosteroid |
Follow Up (Bulan) |
Karakteristik Pasien | |||||
Pengobat an |
Durasi (Bulan) |
Pengobatan |
Durasi (Bulan) |
usia |
Perempua n |
Lost-to-followup |
HIV | |||||||
Brake et al (2015) |
Randomised Control Trial |
Indonesia |
2013 - 2015 |
60 |
HRZE |
6 |
HR |
12 |
semua |
> 6 |
16-49 |
5 |
NR |
12 |
Jha et al (2015) |
Prospective cohort |
India |
2012 - 2014 |
118 |
HRZS |
2 |
HR |
7 |
semua |
> 6 |
> 14 |
51 |
NR |
0 |
Misra et al (2015) |
Retrospective Cohort |
India |
2010 - 2014 |
74 |
HRZE |
6 |
HR |
7 |
semua |
NR > 18 |
> 14 |
28 |
NR |
NR |
Kalita et al (2016) |
Randomised Control Trial |
India |
2013 - 2015 |
57 |
HRZE |
6 |
HR |
12 |
semua |
6 |
37.36 + 20.6 |
13 |
NR |
NR |
Tai et al (2016) |
Prospective Cohort |
Malaysia |
2009 - 2014 |
41 |
HRZE |
2 |
HR |
10 bulan 16 hari |
sebagian |
NR (12 18) |
35 + 13.7 |
19 |
NR |
0 |
Yunivita et al (2016) |
Randomised Control Trial |
Indonesia |
2014 - 2015 |
30 |
HRZE |
6 |
NR |
NR |
semua |
6 |
18 - 81 |
12 |
NR |
6 |
Kalita et al (2017) |
Prospective Cohort |
India |
2015 - 2016 |
26 |
HRZE |
6 |
HR |
12 |
semua |
6 |
11 - 75 |
14 |
NR |
NR |
Li et al (2017) |
Retrospective Cohort |
China |
2012 - 2015 |
154 |
HRZE |
8 |
HR |
6 bulan 12 hari |
semua |
> 8 |
16 - 82 |
69 |
14 |
NR |
Bansod et al (2018) |
Prospective Cohort |
India |
2015 - 2017 |
107 |
HRZS |
2 |
HR |
7 |
semua |
6 |
12 - 58 |
54 |
NR |
5 |
Huo et al (2018) |
Retrospective Cohort |
China |
2011 - 2013 |
180 |
HRZE |
NR |
NR |
NR |
semua |
NR (> 6) |
18 – 50 |
71 |
NR |
NR |
Misra et al (2018) |
Prospective Cohort |
India |
2014 - 2017 |
79 |
HRZE |
6 |
HR |
12 |
semua |
6 |
12 - 62 |
43 |
NR |
0 |
Song et al Keter(a2n0g2a0n): HIV |
humCaonhiomrmt unodeficCiehnicnya virus,2H01i2so-n2ia0z1i8d, |
R rifa2m23picin |
, Z pHirRaZziEnamid, |
E e2tambutol, S sHtrReptomicin, N1R0 not reportesdemua |
12 |
16 - 82 |
99 |
29 |
NR |
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2022.V11.i2.P15
88
Tabel 2 Frekuensi Gejala dan Temuan Diagnostik
Karakteristik |
Jumlah Studi |
Jumlah Pasien dengan Karakteristik |
Jumlah Pasien yang di Periksa |
Perempuan |
12 |
500 |
1.149 |
Riwayat Kontak Tb |
1 |
41 |
180 |
Lost-to-follow-up |
2 |
43 |
377 |
Positif HIV |
3 |
23 |
197 |
BMRC Stage | |||
Stage I |
10 |
322 |
909 |
Stage II |
10 |
429 |
909 |
Stage II Diagnosis |
10 |
197 |
909 |
Possible |
10 |
243 |
909 |
Probable |
10 |
423 |
909 |
Definite |
10 |
268 |
909 |
Gejala Demam |
11 |
1.003 |
1.089 |
Sakit Kepala |
12 |
752 |
866 |
Kejang |
8 |
256 |
822 |
Muntah |
8 |
400 |
612 |
Penurunan Berat |
3 |
47 |
221 |
Badan | |||
Temuan Radiologi | |||
Abnormal Chest |
6 |
548 |
565 |
Basilar enhancement |
1 |
2 |
26 |
Hidrosefalus |
9 |
358 |
879 |
Infark |
8 |
157 |
729 |
Tuberkuloma |
10 |
311 |
1.001 |
Diagnostic Testing | |||
Positif Kultur dan |
9 |
406 |
909 |
PCR | |||
Outcome | |||
Jumlah Kematian |
7 |
193 |
716 |
Sequel |
9 |
235 |
879 |
Perbaikan Klinis |
9 |
565 |
985 |
(Singkatan: HIV Human Immunodeficiency Virus, BMRC the British Medical Research Council, PCR Polymerase Chain Reaction)
Angka mortalitas ditunjukkan oleh pasien meningitis tuberkulosis yang memperoleh terapi fase intensif dan fase lanjutan yang sesuai, hal ini disebabkan oleh efek samping obat dan kondisi klinis pasien yang cenderung memburuk. Berdasarkan dua studi menunjukkan angka mortalitas yang dominan. Selain itu faktor infeksi HIV juga memegang peranan penting terhadap hasil luaran klinis pasien. Berdasarkan dari beberapa studi sebelumnya menunjukkan adanya penurunan kualitas hidup pasien meningitis tuberkulosis.
6. PEMBAHASAN
Sistematik review ini menunjukkan bahwa hasil pengobatan untuk pasien remaja dan dewasa dengan.
Meningitis Tuberkulosis memiliki prognosis atau hasil luaran klinis yang buruk. Selain itu, hasil pengumpulan data dari beberapa studi menunjukkan bahwa hasil pengobatan berhubungan dengan nilai BMRC dan koinfeksi HIV.
Pada pasien-pasien Meningitis Muberkulosis dengan HIV positif memiliki mortalitas yang lebih tinggi. Menurut WHO, 9,2% kasus tuberkulosis baru adalah HIV positif (0,92 juta) dan 0,3 juta kematian yang dikaitkan dengan koinfeksi pada tahun 2017. Dalam sistematik review ini ditemukan bahwa kurang lebih 23 pasien dengan Meningitis Tuberkulosis adalah HIV positif. Data menyebutkan bahwa tuberkulosis koinfeksi dengan HIV memiliki hasil pengobatan yang cenderung buruk dan berakibat pada kematian17.
Diagnosis dini Meningitis Tuberkulosis merupakan tantangan besar untuk pengobatan dini karena ada keterbatasan dalam metode yang banyak digunakan saat ini, seperti sensitivitas yang rendah dari apusan basil tahan asam dan waktu yang lama dari kultur mikobakteri18. Dalam sistematik review ini, metode deteksi untuk CSF seperti kultur, polymerase chain reaction (PCR), dan acid-fast ditemukan sejumlah 406. Metode diagnostik molekuler tes amplifikasi asam nukleat (CSF) sebelumnya telah dimasukkan dalam kriteria diagnostik untuk meningitis tuberkulosis. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, kejang, mual muntah, dan penurunan berat badan merupakan gejala yang paling umum di antara pasien Meningitis Tuberkulosis. Manifestasi klinis ini merupakan gejala yang tidak spesifik sehingga dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis19. Oleh karena itu, dokter harus waspada terhadap penyakit ini, dan pasien yang dicurigai harus diobati dengan obat anti-tuberkulosis berdasarkan temuan klinis tanpa menunggu hasil tes konfirmasi.
Terapi anti-tuberkulosis yang efektif sangat penting untuk hasil pengobatan Meningitis Tuberkulosis. Beberapa jurnal diekslusi karena artikel teks yang tidak mencantumkan rejimen pengobatan. Seperti yang direkomendasikan oleh WHO, semua populasi sampel yang termasuk dalam studi ini dirawat setidaknya selama 6 bulan pengobatan fase intensif (terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin), diikuti dengan fase lanjutan (terdiri dari dari isoniazid, rifampisin). Dalam tinjauan sistematis ini, hanya mereka yang menyelesaikan pengobatan anti-tuberkulosis selama minimal 6 bulan yang dimasukkan. Studi ini menemukan bahwa mortalitas tinggi untuk kedua pengobatan setidaknya lebih dari 6 bulan.
Adanya bias ditemukan diantara studi. Pertama, tingkat keparahan penyakit di setiap penelitian berbeda, yang mungkin menjadi faktor yang menyebabkan bias. Kedua, dalam sitematik review ini, hanya dimasukkan penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Ketiga, mengeksklusi studi dengan jumlah pasien keluar lebih dari 10%. Meskipun, studi tersebut tidak dimasukkan dalam sistematik review ini, hasil pengobatan pasien dengan Meningitis Tuberkulosis konsisten dengan data yang ditampilkan20,21. Keempat, tingginya angka kematian akibat Meningitis Tuberkulosis dapat dikarenakan beberapa faktor, seperti stadium penyakit Meningitis Tuberkulosis, koinfeksi HIV, keterlambatan pengobatan, resistensi obat, penggunaan kortikosteroid atau kejadian stroke. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa koinfeksi HIV, resistansi obat, Meningitis Tuberkulosis stadium lanjut dan kejadian stroke berhubungan dengan luaran yang buruk dan mortalitas di antara pasien Meningitis Tuberkulosis22,23. Namun, dalam sistematik review ini data yang ditampilkan tidak dapat menilai semua hubungan yang disebutkan tadi dikarenakan studi yang diikutkan mencantumkan data yang tidak lengkap. Kelima, sistematik review ini tidak mengevaluasi efek penggunaan kortikosteroid pada hasil pengobatan pasien dengan Meningitis Tuberkulosis. Namun, pada randomized control trials sebelumnya menyebutkan
bahwa pasien Meningitis Tuberculosis mendapat manfaat dari penggunaan kortikosteroid21, dikarenkan masih adanya bias publikasi tertentu dalam beberapa studi, maka diperlukan penelitian kohort prospektif lebih lanjut dan randomized control trial (RCT) dengan penentuan sampel yang lebih besar lagi.
Berdasarkan dari studi ini bahwa jenis pemberian terapi anti tuberkulosis (HRZE) pada pasien dengan meningitis tuberkulosis selama 6 bulan menunjukkan penurunan angka mortalitas yang lebih baik dibandingkan kurang dari 6 bulan. Namun, sebagian besar pasien meningitis tuberkulosis memiliki luaran klinis yang buruk disebabkan oleh berbagai macam faktor. Penulis merekomendasikan untuk dilakukan penelitian lanjutan terkait pemanfaatan terapi anti tuberkulosis dalam jangka waktu yang lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Worldx Healthx Organization. Globalx Tuberculosisx Report.. Geneva, Switzerland:
WHO, 2015.
-
2. Agyeman A, Ofori-Asensoi R. Tuberculosis— anx toverview. Journal of Public Health and Emergency. 2017;1:7-7.
-
3. Sulistyowati T, Koendhori E, Kusumaningrum D, Mertaniasih N. Tuberculous Meningitis: The Microbiologicalx xLaboratory Diagnosis and Its Drugxs Sensitivity Pattern. Jurnal Respirasi. 2017;3(2):35.
-
4. Wilkinsons R, Rohlwink U, van Crevel R, Misra U, Mai N, Dooley K et al. Tuberculousis meningitis. Nature Reviews Neurology. 2017;13(10):581-598.
-
5. te Brakes L, Dian S, Ruesen C, Burger D, Ganiem A, Donders R et al.
Pharmacokinetics/pharmacodynamicsanalysisx ofx anx intensified regimens containingx arifampicin and moxifloxacinx for xtuberculous meningitis. International Journals of
Antimicrobial Agents. 2015;45(5):496-503.
-
6. Jha S, Garg R, Jain A, Malhotra H, Sharma P, Verma R, Definite (microbiologicallys xconfirmed) tuberculous meningitis: predictors and prognosticsx impact. Infection.
2015;43(6):639-645.
-
7. Misra U, Kalita J, Bhoi S, Betai S. Outcomex of tuberculousx meningitis patientsx requiringx xmechanical ventilations. Journal of Critical Care. 2015;30(6):1365-1369.
-
8. Kalita J, Betai S, Bhoi S, Misra U. Safetyx and efficacyx of xadditionals levofloxacinsx in xtuberculous meningitis: A randomizedx
controlled pilot study. Tuberculosis. 2016;98:1-6.
-
9. Tai M, Nor H, Kadir K, Rahmat K, Viswanathan S, Zain N et al. Paradoxicals Manifestationx is Commonx inx xHIV-negative Tuberculousx
Meningitis. Medicine. 2016;95(1):e1997.
-
10. Yunivita V, Dian S, Hayati E, Hanggono Achmad T, Ganiem A, Purnama Dewi A et al. Pharmacokineticsx and safety/tolerabilityx ofxhigher oral-and intravenousxdosesx
ofxrifampicin in adultxtuberculousxmeningitis
patients. International Journal of Antimicrobial Agents. 2016;48(4):415-421.
-
11. Kalita J, Singh R, Misra U, Kumar S. Evaluationx of cerebral arterial and venousx systemxxin xtuberculous meningitis. Journal of Neuroradiology. 2018;45(2):130-135.
-
12. Li K, Tang H, Li Q, Yang Y, Zhou Y, Ren M et al. Clinicalx features, long-termx clinicalx outcomes, and prognosticx factors of tuberculous meningitisx in Westx China: a multivariatex analysis of 154 adults. Expert Reviews of Anti-infective Therapy. 2017;15(6):629-635.
-
13. Bansod A, Gargi R, Rizvi I, Kumar N, Malhotra H, Jain A et al. Magnetic resonancex venographicx findings in patients with tuberculousx meningitis: Predictorsx and
outcome. Magnetic Resonance Imaging. 2018;54:8-14.
-
14. Huo Y, Zhan Y, Wu H, Liu G. Tuberculosisx meningitis: xEarly diagnosisx and treatmentx with clinicalx analysis of 180x patients. Radiology of Infectious Diseases. 2018;6(1):21-25.
-
15. Misra U, Kumar M, Kalita J. Seizures inx tuberculousx meningitis. Epilepsy Research. 2018;148:90-95.
-
16. Song X, Wen L, Yu X, Li M, Wang L, Li K. New-onset seizuresx in adults with tuberculousx meningitisx during long-termx follow-up:
Characteristics, functionalx outcomesxxxand risk
factors. International Journal of Infectious Diseases. 2020;93:258-263.
-
17. Tavares A, Fronteira I, Viveiros M, Couto I, Machado. D, Abecasis A et al. HIV and tuberculosisx co-infection amongx migrantsx in Europe: A systematicx review on the prevalence, incidencex and mortality. PLOS ONE. 2017;12(9):e0185526.
-
18. Méchaï F, Bouchaud O. Tuberculous meningitis: Challengesx in diagnosis and xxmanagement. Revue Neurologique. 2019;175(7-8):451-457.
-
19. Mezochow A, Thakur K, Vinnard C. Tuberculousx Meningitis in Children and xAdults: New Insightsx for an Ancient Foe. Current Neurology and Neuroscience Reports. 2017;17(11).
-
20. Heemskerk A, Bang N, Chau T, Phun N, Mai N, Loc P et al. Intensified Antituberculosis. Therapyx in Adults with Tuberculousx Meningitis. New Englandx Journal of Medicine. 2016;374(2):124-134.
-
21. Prasad K, Singh M, Ryan H. Corticosteroidsx for managing tuberculousx meningitis. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2016;.
-
22. Marais S, Pepper D, Schutz C, Wilkinson R, Meintjes G. Presentationx and Outcomesx of TuberculousxMeningitis in a xHigh HIV Prevalencex Setting. PLoS ONE.
2011;6(5):e20077.
-
23. Davis A, Meintjes G, Wilkinson R. Treatment ofxTuberculous Meningitis and Its
Complicationsx in Adults. Current Treatment Options in Neurology. 2018;20(3).
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2022.V11.i2.P15
92
Discussion and feedback