ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.11,NOPEMBER, 2020



Diterima:06-09-2020 Revisi:15-10-2020 Accepted: 02-11-2020

PREVALENSI KARIER Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus DAN Methicillin Resistant Staphylococcus aureus MAHASISWA ANGKATAN 2016, PENDIDIKAN DOKTER, FAKULTAS KEDOKTERAN, UNIVERSITAS UDAYANA

Hearty Indah Oktavian1, Ni Nyoman Sri Budayanti2*, Agus Eka Darwinata2, Made Agus Hendrayana2

  • 1.    Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

  • 2.    Bagian Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana *Penulis Korespondensi : [email protected]

ABSTRAK

Karier Staphylococcus aureus merupakan seseorang yang memiliki kolonisasi Staphylococcus aureus pada tubuhnya. Berdasarkan sensitivitas terhadap metisilin, secara klinis Staphylococcus aureus dibagi menjadi dua yaitu Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). MRSA sendiri merupakan salah satu jenis bakteri penyebab infeksi nosokomial. Petugas kesehatan dengan status karier MRSA dapat berpotensi sebagai sumber penyebaran infeksi nosokomial, sehingga penting dilakukan skrining kepada mahasiswa Pendidikan Dokter yang nantinya menjadi bagian dari petugas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi karier MSSA dan MRSA pada mahasiswa angkatan 2016, Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Udayana. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan cross-sectional. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa angkatan 2016, Program Studi Pendidikan Dokter, yang merupakan mahasiswa preklinik tingkat akhir di tahun 2019. Sampel penelitian adalah 30 mahasiswa angkatan 2016, yang telah terpilih berdasarkan teknik pengambilan sampel berupa stratified random sampling. Perlakuan pada sampel berupa swab nasal anterior dengan menggunakan lidi kapas steril. Spesimen akan diinokulasikan pada Staphylococcus medium. Koloni Staphylococcus yang terbentuk akan diidentifikasi ulang dengan uji katalase dan dilanjutkan dengan uji koagulase untuk identifikasi Staphylococcus aureus. Isolat dikonfirmasi sebagai MSSA apabila pada uji sensitivitas disk cefoxitin 30µg memiliki zona hambat lebih dari atau sama dengan 22 mm dan dikonfirmasi sebagai MRSA apabila memiliki zona hambat kurang dari atau sama dengan 21 mm. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi karier MSSA sebesar 33,33% dan karier MRSA adalah 0%.

Kata kunci : MSSA, MRSA, Mahasiswa angkatan 2016 Program Studi Pendidikan Dokter

ABSTRACT

Carriage Staphylococcus aureus is someone who has been proven to have MRSA colonization within his body. According to the methicillin sensitivity, Staphylococcus aureus is clinically divided into two, such as Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) and Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). MRSA is one of the bacteria which can cause nosocomial infection. Health care workers with MRSA carrier status are capable to diffuse the nosocomial infection, therefore it is important to do a screening to medical students who will be the health care workers. This research aims to identify the prevalence carriage MSSA and MRSA on Medical Students batch 2016, Medical Faculty, Udayana University. The descriptive https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum                                                                   37

doi:10.24843.MU.2020.V9.i11.P06

PREVALENSI KARIER Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus DAN Methicillin Resistant Staphylococcus aureus MAHASISWA ANGKATAN 2016,.. Hearty Indah Oktavian1, Ni Nyoman Sri Budayanti2*, Agus Eka Darwinata2,Made Agus Hendrayana2

observational method with a cross-sectional approach was applied in conducting this study. All Medical Students Batch 2016, Medical Faculty, Udayana University who are the preclinical undergraduate medical students in 2019 were employed as research population. The research samples were 30 medical student batch 2016 who were chosen by using stratified random sampling. The swab nasal anterior technique was applied by using sterile cotton swab in analyzing the samples. Specimens were going to be inoculated on the Staphylococcus medium and assembled Staphylococcus colony was going to be reidentified through the catalase test and continued with a coagulase test to identify Staphylococcus aureus. The isolate was confirmed as MSSA if disk cefoxitin 30µg had a inhibition zone that was more than or equivalent to 22 mm on sensitivity test as well as assured as MRSA if it had a inhibition zone was less than or equivalent to 21 mm. As a result, it pointed out 33.33% of MSSA carrier prevalence and 0% of MRSA carrier.

Keywords : MSSA, MRSA, Medical Students

PENDAHULUAN

Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapatkan pasien saat dirawat di dalam rumah sakit. Infeksi nosokomial menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian di rumah sakit sehingga menjadi masalah baru dalam bidang kesehatan baik di negara berkembang maupun negara maju.1 Salah satu agen terbanyak penyebab infeksi nosokomial di dunia adalah Staphylococcus aureus.1 Staphylococcus aureus dapat memicu berbagai penyakit seperti abses, infeksi kulit, dan pneumonia. Selama ini antibiotik merupakan senjata yang ampuh dalam penanganan kasus infeksi Staphylococcus aureus. Namun beberapa tahun belakangan ini, banyak Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik.2 Berdasarkan sensitivitas terhadap metisilin, secara klinis Staphylococcus aureus dibagi menjadi dua yaitu Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).2

MSSA merupakan bakteri Staphylococcus aureus yang masih sensitif terhadap antibiotik jenis metisilin. Sedangkan, MRSA merupakan bakteri Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap berbagai antibiotik jenis metisilin. Penggunaan antibiotik secara tidak rasional menyebabkan perubahan genetik pada bakteri Staphylococcus aureus yang berdampak pada kebalnya bakteri tersebut terhadap antibiotik jenis metisilin. Bakteri MRSA ini tidak hanya resisten terhadap metisilin melainkan dapat juga resisten terhadap berbagai antibiotika, seperti semua golongan betalaktam, makrolida (eritromisin), inhibitor sintesa protein (tetrasiklin, kloramfenikol), dan kuinolon.3 Sifat resisten terhadap berbagai jenis antibiotika inilah yang menyebabkan infeksi akibat MRSA akan sangat sulit untuk diobati dan lebih berbahaya dibandingkan MSSA. Dari sejak awal https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2020.V9.i11.P06

ditemukannya MRSA pada tahun 1961 di Inggris, prevalensi MRSA tiap tahunnya mengalami kenaikan sehingga meningkatkan morbiditas, penatalaksaan pemilihan antibiotika yang lebih sulit, rawat inap yang lebih lama sehingga biaya rumah sakit meningkat, dan peningkatan risiko mortalitas.2 Prevalensi MRSA kini mencapai 70% di Asia, sementara di Indonesia prevalensinya mencapai 28%.4

Infeksi nosokomial akibat MRSA dapat terjadi melalui pemasangan alat-alat kesehatan maupun karena adanya transmisi dari tenaga kesehatan yang telah mengalami kolonisasi MRSA (karier MRSA) kepada pasien. Mahasiswa Pendidikan Dokter yang nantinya menjadi salah satu bagian dari tenaga kesehatan perlu mendapat perhatian dan dilakukan skrining MRSA karena tenaga kesehatan dapat menjadi agen penyebar infeksi nosokomial. Skrining MRSA pada mahasiswa Pendidikan Dokter, Universitas Udayana diharapkan dapat menjadi upaya awal untuk menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial. Menimbang hal tersebut, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui prevalensi karier MSSA dan MRSA pada mahasiswa angkatan 2016, Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Udayana.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dari Februari hingga Juni 2019. Populasi target pada penelitian ini adalah calon petugas kesehatan. Populasi yang dapat dijangkau dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa angkatan 2016, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Teknik 38

pengambilan sampel berupa stratified random sampling dimana populasi dibagi menjadi sub populasi (strata) perempuan dan laki-laki. Pada setiap sub populasi (strata) nantinya akan dipilih sampel melalui proses simple random sampling dimana penarikan sampel dilakukan dengan cara mengundi Nomor Induk Mahasiswa (NIM) anggota sub populasi, sehingga peluang setiap anggota sub populasi untuk ditetapkan sebagai sampel penelitian adalah sama. Pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah mahasiswa angkatan 2016 Pendidikan Dokter FK Unud yang bersedia menjadi sampel penelitian dengan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi adalah mahasiswa yang memiliki kelainan anatomi hidung berat atau sedang mengalami ISPA.

Prosedur pengambilan sampel diawali dengan permintaan izin setelah diberikan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan kepada mahasiswa angkatan 2016 Pendidikan Dokter yang telah terpilih menjadi subyek penelitian. Pengambilan sampel didapat dari swab nasal anterior menggunakan kapas lidi steril yang telah dibasahi NaCl 0,9%. Hasil swab kemudian akan diidentifikasi keberadaan bakteri Staphyococcus aureus dan sensitivitasnya.

Identifikasi Staphylococcus aureus dilakukan dengan menginokulasikan hasil swab ke Staphylococcus medium dan mengamati koloni yang terbentuk. Koloni Staphylococcus akan diidentifikasi ulang dengan uji katalase dan dilanjutkan dengan uji koagulase.

Uji katalase dilakukan dengan meneteskan 12 tetes hidrogen peroksida 3% pada gelas objek yang telah ditambahkan koloni bakteri dan larutan NaCl 0,9%. Hasil positif Staphylococcus apabila terbentuk gelembung udara (berbuih). Setelah uji katalase positif, selanjutnya dilakukan uji koagulase untuk mengidentifikasi bakteri Staphylococcus aureus. Uji koagulase dilakukan dengan menggunakan kit Staphaurex yang merupakan suatu prosedur rapid agglutination slide. Staphaurex memiliki sensitivitas sebesar 99,8% dan spesifisitas sebesar 99,5%. Nilai prediktif positif Staphaurex adalah sebesar 99,6% dan nilai prediktif negatif sebesar 99,8%.5 Tahapan uji koagulase Staphaurex adalah dengan meneteskan reagen Staphaurex sebanyak 1 tetes diatas lingkaran card reaction untuk setiap kultur yang akan diuji. Kemudian mengambil koloni Staphylococcus dan mencampurkan pada lingkaran card reaction yang sudah ditetesi reagen

Staphaurex dengan cara menggosok menggunakan ose. Selanjutnya memutar card reaction secara hati-hati selama 20 detik dan mengamati adanya aglutinasi. Hasil positif Staphylococcus aureus apabila terbentuk penggumpalan.5

Identifikasi MRSA dilakukan dengan metode difusi cakram atau disebut juga dengan tes Kirby Bauer. Tahapan metode difusi cakram adalah dengan melakukan pemindahan koloni Staphylococcus aureus ke media Mueller Hinton Agar, kemudian meletakkan disk cefoxitin 30µg, dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24-48 jam.

Kepekaan isolat Staphylococcus aureus terhadap cefoxitin 30μg mengikuti pedoman dari Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI), dimana Staphylococcus aureus dikatakan resisten cefoxitin apabila zona hambat yang terjadi ≤21mm dan masih sensitif apabila zona hambat ≥22mm.6

Penelitian ini telah mendapat izin kelayakan etik dari Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan nomor surat 394/UN14.2.2.VII.14/LP/2019.

HASIL

Berdasarkan kriteria inklusi, kriteria eksklusi, dan kesediaan menjadi subjek penelitian, terdapat 30 mahasiswa yang memenuhi kriteria penelitian, dengan frekuensi mahasiswa berjenis kelamin laki-laki berjumlah 15 orang (50%) dan perempuan berjumlah 15 orang (50%). Subjek dalam penelitian ini sebagian besar berusia 21 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sebanyak 10 sampel (33,33%) teridentifikasi positif Staphylococcus aureus, dimana dari 10

sampel tersebut 6 sampel mahasiswa berjenis kelamin sampel (40%) berjenis


Sedangkan 20 teridentifikasi


sampel sebagai


(60%) merupakan perempuan dan 4 kelamin   laki-laki.

(66,67%) lainnya Coagulase-Negative

Staphylococci (CNS).

Uji sensitivitas Staphylococcus aureus menunjukkan hasil bahwa keseluruhan sampel positif Staphylococcus aureus masih sensitif terhadap antibiotik cefoxitin (MSSA) dan tidak ditemukan adanya bakteri Staphylococcus aureus yang resisten (MRSA).

Tabel 1. Distribusi bakteri isolat pada subjek penelitian

Jenis kelamin

Interpretasi

MSSA

MRSA

CoagulaseNegative Staphylococci (CNS)

Laki-laki

4 (26,67%)

0 (0%)

11 (73,33%)

Perempuan

6 (40%)

0 (0%)

9 (60%)

Total

10 (33,33%)

0 (0%)

20 (66,67%)

PEMBAHASAN

Prevalensi kolonisasi Staphylococcus aureus pada mahasiswa dalam penelitian ini adalah sebesar 33,33%. Dari 30 sampel swab nasal anterior yang diperiksa, ditemukan sebanyak 10 sampel positif Staphylococcus aureus dan kejadian kolonisasi Staphylococcus aureus pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro dimana didapatkan prevalensi kolonisasi Staphylococcus aureus sebesar 32% dengan kejadian pada perempuan (47,1 %) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (24,2%).7 Namun, penelitian tersebut menyatakan bahwa jenis kelamin tidak memiliki kemaknaan atau dengan kata lain bukan menjadi faktor risiko terhadap kejadian kolonisasi Staphylococcus aureus, melainkan dipengaruhi oleh perbedaan aktivitas dan pola hidup individu.7 Penelitian yang dilakukan oleh Shah D.R tahun 2011 melaporkan angka prevalensi Staphylococcus aureus yang lebih tinggi, yaitu pada tenaga medis dan paramedis instalasi perawatan intensif Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi Surakarta yaitu sebesar 62,5%.8 Adanya variasi kejadian kolonisasi Staphylococcus aureus pada nasal anterior populasi manusia ini didukung oleh pernyataan Brown A. F dkk., yang menyebutkan bahwa kolonisasi Staphylococcus aureus pada nasal anterior populasi manusia antara 20% hingga 80%.9

Penggunaan cefoxitin dalam mendeteksi MRSA telah banyak digunakan. Terdapat penelitian yang membandingkan beberapa metode fenotipik dengan metode PCR sebagai gold standard dalam mendeteksi gen mecA dan ditemukan bahwa metode difusi cakram cefoxitin memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 100% sama dengan metode PCR. Media CHROMagar™ MRSA memiliki sensitivitas 98,13% dan

spesifisitas sebesar 100%. Metode difusi cakram oxacillin dan oxacillin screen agar masing-masing memiliki sensitivitas sebesar 95,42% dan 97,22%. Metode difusi cakram cefoxitin dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk mendeteksi MRSA.10

Ditemukannya prevalensi karier MSSA sebesar 33,33% dan karier MRSA sebesar 0% dalam penelitian ini, hampir sama dengan hasil penelitian lain oleh Treesirichod dkk pada mahasiswa kedokteran preklinik tahun ketiga di Universitas Srinakharinwirot Thailand yang menemukan sebesar 29,7% karier MSSA dan tidak ditemukan adanya karier MRSA.11 Penelitian Kitti dkk. menemukan karier MSSA sebesar 15% dan karier MRSA sebesar 1% pada kelompok dewasa muda di Thailand.12 Sebaliknya, prevalensi yang cukup tinggi dilaporkan pada penelitian Shah D.R yang mendapatkan prevalensi karier MSSA sebesar 45% dan karier MRSA sebesar 17,5%.8 Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan oleh perbedaan tempat penelitian dimana penelitian oleh Shah D.R dilakukan di rumah sakit dengan responden yang terdiri dari dokter, perawat, dan mahasiswa keperawatan, sedangkan penelitian ini dilakukan di komunitas mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter yang belum mendapatkan kontak dalam jangka waktu lama dengan lingkungan rumah sakit. Seseorang yang bekerja di fasilitas kesehatan dalam jangka waktu yang lama terbukti memiliki faktor risiko untuk terjadinya kolonisasi MRSA pada tubuhnya.13 Tingginya prevalensi karier MRSA pada petugas kesehatan dan mahasiswa kedokteran fase klinik dikaitkan dengan paparan jangka panjang dengan lingkungan rumah sakit dan interaksi rutin dengan pasien.

Terdapat penelitian yang membandingkan kejadian kolonisasi Staphylococcus aureus antara mahasiswa kedokteran preklinik dengan mahasiswa kedokteran fase klinik dan hasilnya menunjukkan bahwa karier Staphylococcus aureus pada mahasiswa fase klinik (45%) lebih besar dibandingkan pada mahasiswa preklinik (25%). Penelitian tersebut juga menunjukkan tingkat karier MRSA yang secara signifikan lebih tinggi pada mahasiswa fase klinik (29%) dibandingkan mahasiswa preklinik (10%).14 Tingkat kolonisasi MRSA juga tergantung pada prevalensi lokal MRSA.

Penelitian lain menyatakan bahwa semakin lama bekerja sebagai petugas layanan kesehatan, semakin besar risiko menjadi karier MRSA, dengan hasil penelitian sebesar 62,9% karier MRSA pada petugas layanan kesehatan yang

bekerja selama lebih dari 10 tahun, dibandingkan dengan 37,1% karier MRSA pada petugas layanan kesehatan yang kurang dari 10 tahun.15

Prevalensi karier MRSA bervariasi dalam berbagai lingkup populasi. Berdasarkan literature review oleh Wong, disebutkan bahwa dalam studi tingkat komunitas, prevalensi karier CA-MRSA pada masyarakat umum berkisar antara 0% sampai 23,5%, sedangkan pada rumah sakit berkisar antara 0,7% hingga 10,4%.16 Faktor yang mempengaruhi variasi kejadian karier MRSA dalam berbagai studi dapat dibagi menjadi faktor demografis (termasuk usia, jenis kelamin, etnis, pendidikan dan ekonomi), medis (riwayat penggunaan antibiotik yang tidak rasional, rawat inap, berbagai bentuk infeksi atau penyakit, dan peralatan invasif), dan lainnya.16 Namun, penelitian yang dilakukan oleh Treesirichod dkk menyatakan bahwa tidak terdapat kolerasi yang signifikan secara statistik antara karier dan faktor risiko demografi.11

Tidak ditemukannya karier MRSA pada mahasiswa angkatan 2016, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana merupakan suatu hal yang baik dimana tidak perlu dilakukan eradikasi bakteri MRSA sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran MRSA. Hal ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa preklinik tingkat akhir ini sudah layak memasuki fase klinik di rumah sakit, tanpa harus dikhawatirkan menjadi sumber penyebaran MRSA di rumah sakit maupun dalam setting komunitas.

Penelitian ini memiliki kelemahan yaitu jumlah subjek penelitian yang kurang memadai dan tidak mengkaji lebih dalam terkait hubungan antara karakteristik subjek penelitian maupun faktor risiko dengan kejadian karier MRSA. Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan identifikasi karier secara genotype seperti dengan metode PCR, sehingga gen yang secara fenotip tidak terlihat saat uji sensitivitas antibiotik dapat terdeteksi.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Nasution LH. Infeksi Nosokomial. MDVI. 2012;39(1):36-41.

  • 2.    Ajmal AN, Mir F, Aslam M, Hafeez R dan Attique R. Nosocomial Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Frequency in a Tertiary Care Hospital, Lahore, Pakistan. Biomedica. 2009;25:97-100

  • 3.    Yuwono H. Pandemi Resistensi Antimikroba : Belajar dari MRSA. 2010;(1):2837–50.

  • 4.    Chen CJ, Huang YC. New Epidemiology of Staphylococcus aureus Infection in Asia. Clin Microbiol Infect. 2014;20(7):605-32

  • 5.    Anonim.     Staphaurex*.     ThermoFisher

Scientific Microbiology Division.   2017

[diakses tanggal 3 September 2019]. Tersedia di: https://www.e-labeling.eu/TSMX7819/EN

  • 6.    Clinical and Laboratory Standards Institute. Performance standards for antimicrobial susceptibility     testing:     twenty     third

informational supplement. CLSI Document M100-S23. 2013;33(1):75

  • 7.    Anjartama GM, Hadi P, Farida H. Faktor Risiko Kolonisasi Staphylococcus aureus pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 2017;6(3):1473-9

  • 8.    Shah DR. Skrining Methicillin Resistant Staphylococcus aureus terhadap Tenaga Medis, Tenaga Keperawatan, dan Mahasiswa Keperawatan Instalasi Perawatan Intensif (Intensive Care Unit dan Ruang Gawat Bedah) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011

  • 9.    Brown AF, Leech JM, Rogers TR, McLoughlin RM. Staphylococcus aureus Colonization: Modulation of Host Immune Response and Impact on Human Vaccine Design. Front. Immunol. 2014;4:507.

  • 10.    Koupahi H, Jahromy SH, Rahbar M. Evaluation of Different Phenotypic and Genotypic Methods for Detection of Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Iran J Pathol. 2016;11(4):370 – 376

  • 11.    Treesirichod A, Hantagool S, Prommalikit O. Nasal    Carriage    and    Antimicrobial

Susceptibility of Staphylococcus aureus Among Medical Students at The HRH Princess Maha Chakri Sirindhorn Medical Center, Thailand: A cross sectional study. J Infect Public Health. 2013;6:196-201

  • 12.    Kitti T, Boonyonying K, Sitthisak S. Prevalence      of      Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus Among University Students in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2011;42(6):1498-1504

  • 13.    Sganga G, Tascini C, Sozio Ehtt, Carlini M, Chirletti P, Cortese F et al. Focus on The Prophylaxis, Epidemiology and Therapy of Methicillin Resistant Staphylococcus aureus Surgical Site Infections and a Position Paper on Associated Risk Factors: The Perspective

of an Italian Group of Surgeon. World journal of Emergency Surgery. 2016;11(1):26

  • 14.    Bhatta DR, Hamal D, Shrestha R, Parajuli R, Baral N, Subramanya SH, Nayak N, Gokhale S. Nasal and Pharyngeal Colonization by Bacterial Pathogens: A Comparative Study between Preclinical and Clinical Sciences Medical  Students.  Canadian Journal of

Infectious     Diseases     and    Medical

Microbiology. 2018;Volume2018:6

  • 15.    Egwuatu CC, Ogunsola FT, Egwuatu TO, Oduyebo OO. Prevalence and Risk Factors for Carriage       of       Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) Among Healthcare Workers in a Tertiary Institution in Nigeria. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS). 2013;8(4):9-13

  • 16.    Wong JWH, Ip M, Tang A, Wei VWI, Wong SYS, Riley S, Read JM, Kwok KO. Prevalence and Risk Factors of Community Associated Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Carriage in Asia-Pacific Region From 2000 to 2016:  a Systematic Review and Meta

Analysis. Clinical Epidemiology 2018. 2018;10:1489-1501

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i11.P06

42