ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.11,NOPEMBER, 2020



Diterima:03-09-2020 Revisi:12-10-2020 Accepted: 02-11-2020

PENGETAHUAN DAN PERSEPSI MAHASISWA UNIVERSITAS UDAYANA ANGKATAN TAHUN 2017 TERHADAP KEBERADAAN PELAYANAN BANK JARINGAN DI INDONESIA

Luh Ari Devanita S1, Henky2,Dudut Rustyadi2, Ida Bagus Putu Alit2

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

  • 2Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Koresponding Author: Luh Ari Devanita S Email: [email protected]

ABSTRAK

Pelayanan bank jaringan adalah salah satu upaya untuk menggiatkan kesadaran masyarakat untuk bersedia terlibat dalam kegiatan transplantasi jaringan sebagai pendonor. Bank jaringan telah lama beroperasi dan telah diakui oleh WHO serta diatur dalam beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun, jumlah bank jaringan yang saat ini tersedia di seluruh dunia, khususnya di Indonesia sangat sedikit. Jumlahnya belum mampu memenuhi permintaan ketersediaan jaringan untuk ditransplantasikan terkait keperluan medis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan dan persepsi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap keberadaan pelayanan bank jaringan di Indonesia. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif potong lintang dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Penelitian melibatkan 354 mahasiswa aktif S1 Universitas Udayana yang terpilih menggunakan teknik pengambilan sampel acak bertingkat. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner, diperoleh 145 orang (41,0%) dalam tingkat pengetahuan baik, 64 orang (18,1%) dalam tingkat pengetahuan sedang, dan 145 orang (41,0%) dalam kategori kurang. Kemudian, 337 orang (95,2%) menyatakan setuju terhadap pelaksanaan pelayanan bank jaringan ini. Adapun isu-isu etika yang diajukan adalah penerapan kebijakan presumed consent (opt-out) di beberapa negara, sistem alokasi donor kadaver, sertifikasi kematian dan pemastian kematian, penggunaan jaringan dari fetus/janin dan ari-ari, transplantasi jaringan dari donor hidup, penjualan jaringan untuk ditransplantasikan dan xenotransplantasi (penggunaan graft yang berasal dari hewan). Posisi mahasiswa adalah bervariasi terkait isu-isu etika tersebut dan berkaitan dengan budaya serta nilai-nilai yang diyakininya.

Kata kunci : Bank jaringan, pengetahuan dan persepsi, bioetika

ABSTRACT

Tissue bank service is an effort to increase public awareness to participate in tissue transplant activities as a donor. Tissue banks have been operated since a long time ago around the world, including Indonesia. They have been recognized by WHO and regulated in several regulations in Indonesia. However, currently, the number of tissue banks in the world, especially in Indonesia, is insufficient. The number of available tissue banks are inadequate to meet the demand for the availability of graft for medical purposes. The purpose of this study was to determine the knowledge and perception of Udayana University’s students’ batch 2017 for the existence of tissue bank services in Indonesia. The study design is cross-sectional descriptive using a questionnaire as a research instrument. The study involved 354 active undergraduate students of Udayana University who were selected using multistage random sampling techniques.

Based on the results of questionnaire, there are 145 people (41.0%) with good knowledge, 64 people (18.1%) with average knowledge, and 145 people (41.0%) with poor knowledge. Then, 337 people (95.2%) agreed to implement this tissue bank service. The ethical issues that arise today are the application of presumed consent (opt-out) policies in several countries, cadaver donor allocation systems, death certification and death determination, tissue used from the fetus and the placenta, tissue transplantation from living donors, tissue selling for transplantation and xenotransplantation (utilising animal derived-graft). In relation to ethical issues concerning the proposed tissue bank services, the position of students varies. These students's position are related to the culture and values they believe in.

Keywords: Tissue bank, knowledge and perception, bioethics


PENDAHULUAN

Transplantasi jaringan adalah proses pengangkatan jaringan dari satu organisme, kemudian diimplantasikan melalui proses

pembedahan ke organisme lain yang diharapkan mampu memberikan struktur dan/atau fungsi seperti normal kembali. Transplantasi jaringan pada manusia merupakan terapi yang sangat bermanfaat pada gangguan fungsi jaringan tubuh berat dan merupakan terapi alternatif terbaik dalam upaya untuk pemulihan kegagalan jaringan karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan terapi lain yang tergolong konservatif.1

Upaya menggiatkan kesadaran masyarakat untuk bersedia terlibat dalam transplantasi jaringan salah satunya adalah pengadaan pelayanan bank jaringan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan/atau Sel, bank jaringan dan/atau sel didefinisikan sebagai suatu badan hukum yang bertujuan untuk menyaring, mengambil, memproses, menyimpan dan mendistribusikan jaringan biologi dan/atau sel untuk keperluan pelayanan kesehatan.2

Seperti halnya organ, terjadi ketimpangan antara jumlah permintaan dengan ketersediaan beberapa jenis jaringan untuk ditransplantasikan. Menurut data WHO, pada tahun 2016 hanya terdapat sejumlah 108 juta pendonor jaringan secara global dari jumlah total populasi 7 miliar manusia di seluruh dunia dengan diantaranya hanya 62 negara yang telah mampu secara mandiri kebutuhan jaringannya. Sementara sejumlah 34 negara bergantung pada donor jaringan yang bersumber dari keluarga pasien dan sisanya harus membayar donor.3 Selain itu, seiring makin meningkatnya jumlah kecelakaan kerja dan kebakaran yang terjadi di masyarakat, kebutuhan jaringan tulang dan jaringan amnion sebagai bahan penyambung tulang dan penutup luka bakar juga semakin meningkat. Menurut data Bank Jaringan Riset Badan Tenaga https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2020.V9.i11.P04

Nuklir Nasional hanya diterima 2000 jaringan setiap tahunnya, jauh sangat minim dibandingkan dengan puluhan ribu permintaan jaringan tulang dan amnion ini setiap tahunnya.4

Ketimpangan jumlah permintaan dan persediaan jaringan untuk ditransplantasikan ini diklaim terjadi akibat masih banyaknya isu etika terkait pelaksanaan pelayanan bank jaringan yang berkembang saat ini. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk dilakukan penelitian terkait pengetahuan dan persepsi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap keberadaan pelayanan bank jaringan di Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang dengan populasi yang menjadi sasaran penelitian adalah seluruh mahasiswa aktif S1 Universitas Udayana angkatan 2017. Berdasarkan data yang diperoleh dari Unit Sumber Daya Informasi Universitas Udayana (USDI Unud), jumlah mahasiswa aktif Universitas Udayana angkatan tahun 2017 adalah 4461 orang dan tersebar di 13 fakultas.

Prosedur pengambilan sampel menggunakan teknik pengambilan sampel acak bertingkat (multistage random sampling) yang dipilih dengan pertimbangan karena populasi berukuran cukup besar dan heterogen. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah mahasiswa aktif Universitas Udayana angkatan tahun 2017 dan menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian. Sedangkan, kriteria eksklusi adalah menyatakan menolak untuk berparti sipasi dalam penelitian dan tidak bersedia menandatangani informed consent.

Jumlah sampel minimum ditentukan dengan menggunakan rumus besaran sampel data proporsi pada populasi infinit.5

Tidak diketahui besarnya estimasi proporsi dalam populasi, sehingga digunakan p = 0,5 untuk

memberikan jumlah sampel yang cukup. Besar kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir yang ditetapkan oleh peneliti adalah 5% (d=0,05). Diketahui bahwa untuk α = 0,05, besarnya zι-a∕2 adalah 1,96.6

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dibutuhkan minimal 354 orang responden untuk menjadi sampel penelitian. Kemudian, responden dipilih berdasarkan teknik pengambilan sampel acak bertingkat. Tahap pertama dilakukan dengan pengambilan sampel acak sederhana pada 13 kelompok fakultas. Selanjutnya tahap kedua dilakukan dengan pengambilan sampel acak sederhana pada masing-masing program studi/jurusan sesuai dengan kelompok fakultas yang terpilih pada tahap pertama. Sistem pengacakan dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2013 sampai didapatkan jumlah sampel yang cukup.

Variabel penelitian adalah tiga jenis, yakni pengetahuan mahasiswa, persepsi mahasiswa, dan posisi mahasiswa terhadap isu etika. Terkait dengan variabel ketiga, terdapat tujuh buah isu etika terkait pelayanan bank jaringan yang diberikan, yaitu penerapan kebijakan presumed consent (opt-out) di beberapa negara, alokasi donor kadaver, sertifikasi kematian dan pemastian kematian, penggunaan jaringan dari fetus/janin dan ari-ari, transplantasi jaringan dari donor hidup, penjualan jaringan untuk ditransplantasikan, dan xenotransplantasi (penggunaan graft yang berasal dari hewan).

Instrumen penelitian ini adalah kuesioner atau angket yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan sebelumnya dilakukan uji validitas serta reliabilitas. Pengujian validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan terhadap 30 orang responden awal yang memiliki karakteristik sama dengan populasi target.7 Kuesioner terdiri dari 30 butir pertanyaan dengan tiap variabel memiliki masing-masing 10 pertanyaan. Variabel pertama diukur dengan bentuk pertanyaan pilihan ganda dengan total skor 10, sedangkan untuk variabel kedua dan ketiga diukur dengan pernyataan yang disusun dalam skala Likert. Pernyataan positif memiliki hasil tertinggi 5 dan terendah adalah 1, peraturan ini berlaku sebaliknya pada pernyataan negatif.

Penelitian ini dilakukan di Universitas Udayana. Adapun pengambilan data penelitian dilakukan dalam rentang waktu 8 minggu, yakni pada bulan Juni-Juli 2019. Data-data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

Untuk variabel pengetahuan mahasiswa, jawaban dari seluruh sampel dinilai dan dilakukan pengkategorian berdasarkan rerata dari 30 jawaban responden sebelumnya pada uji validitas yaitu 5. Tingkat pengetahuan mahasiswa pada kategori baik apabila total skor lebih dari 5, sedang apabila sama dengan 5, dan kurang apabila kurang dari 5. Kemudian, untuk variabel persepsi mahasiswa, total skor adalah 50. Pengkategorian dibagi menjadi setuju terhadap pelaksanaan pelayanan bank jaringan apabila total skor ≥ 25 dan tidak setuju terhadap pelaksanaan pelayanan bank jaringan apabila total skor < 25. Pada variabel ketiga, pengkategorian untuk masing-masing isu etika adalah setuju apabila total skor untuk masing-masing isu ≥ 50% dan tidak setuju apabila total skor < 50%.

Penarikan kesimpulan didasarkan pada tabel interpretasi dari besaran persentase berikut:8

Tabel 1. Interpretasi persentase

Besaran Persentase

Interpretasi

90%-100%

Sangat tinggi

80%-89%

Tinggi

70%-79%

Cukup tinggi

60%-69%

Sedang

50%-59%

Rendah

49% ke bawah

Sangat rendah

Penelitian dinyatakan laik etik oleh Komisi Etik Penelitian FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar dengan dikeluarkannya surat bernomor 1891/ UN14. 2. 2. VII. 14/LP/2019.

HASIL

  • 1.    Pengetahuan mahasiswa

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner yang telah dibagikan kepada 354 orang sampel, diketahui bahwa data berdistribusi normal yaitu rerata total skor 5,08, nilai tengah 5,00, dan nilai tersering muncul 5 dengan distrbusi sebagai berikut:

Gambar 1. Histogram data total skor pengetahuan mahasiswa

Selanjutnya, berdasarkan hasil statistik deskriptif yang telah didapatkan dilakukan pengkategorian total skor sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi pengetahuan mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017

terhadap pelaksanaan pelayanan      bank

jaringan di Indonesia secara umum

Pengetahuan Mahasiswa

Frekuensi

(n=354)

Persen tase (%)

Baik

145

41,0

Sedang

64

18,1

Kurang

145

41,0

Kemudian, dilakukan analisis per butir pertanyaan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 3. Analisis distribusi jawaban responden per butir pertanyaan

No Soal

Jumlah Responden Menjawab Benar (n=354)

Persentase (%)

1.

163

46,1

2.

257

72,6

3.

221

62,4

4.

236

66,7

5.

143

40,4

6.

97

27,4

7.

214

60,5

8.

188

53,1

9.

152

42,9

10.

119

33,6

2. Persepsi mahasiswa

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner yang telah dibagikan kepada 354 orang sampel dan dilakukan pengkategorian terhadap jawaban sampel, hasil penelitian distribusi persepsi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap pelayanan bank jaringan di Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Distribusi persepsi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap pelaksanaan pelayanan bank

jaringan di Indonesia secara umum

Persepsi Mahasiswa

Frekuensi (n=354)

Persentase (%)

Setuju

337

95,2

Tidak setuju

17

4,8

3. Posisi mahasiswa terhadap isu etika

Secara umum, posisi mahasiswa terhadap setiap isu-isu etika yang diajukan adalah

bervariasi.

Tabel 5. Distribusi posisi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap isu penerapan kebijakan presumed consent (opt-out) di beberapa negara

Posisi       Frekuensi  Persentase

Mahasiswa     (n=354)      (%)

Setuju           119         33,6

Tidak setuju        235         66,4

Tabel 6. Distribusi posisi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap isualokasi donor kadaver

Posisi       Frekuensi   Persentase

Mahasiswa     (n=354)       (%)

Setuju           270          76,3

Tidak setuju        84          23,7

Tabel 7. Distribusi posisi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap isu sertifikasi kematian dan pemastian kematian

Posisi       Frekuensi   Persentase

Mahasiswa     (n=354)       (%)

Setuju           264          74,6

Tidak setuju        90          25,4

Tabel 8. Distribusi posisi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap penerapan isu penggunaan jaringan dari fetus/janin dan ari-ari

Posisi       Frekuensi   Persentase

Mahasiswa     (n=354)       (%)

Setuju          240          67,8

Tidak setuju        114          32,2

Tabel 9. Distribusi posisi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap isu transplantasi jaringan dari donor hidup

Posisi       Frekuensi   Persentase

Mahasiswa     (n=354)      (%)

Setuju           306         86,4

Tidak setuju        48          13,6

Tabel 10. Distribusi posisi mahasiswa Universitas Udayana angkatan tahun 2017 terhadap isu penjualan jaringan untuk ditransplantasikan

Posisi

Frekuensi

Persentase

Mahasiswa

(n=354)

(%)

Setuju

207

58,5

Tidak setuju

147

41,5

Tabel 11. Distribusi posisi mahasiswa Universitas

Udayana   angkatan   tahun

2017   terhadap

xenotransplantasi

Posisi

Frekuensi

Persentase

Mahasiswa

(n=354)

(%)

Setuju

210

59,3

Tidak setuju

144

40,7

PEMBAHASAN

  • 1.      Pengetahuan mahasiswa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa pada kategori baik hanya pada tingkat rendah (41,0%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi terkait pelayanan bank jaringan di Indonesia. Selain itu, banyaknya isu etika yang berkembang di tengah masyarakat serta aspek budaya terkait pelayanan bank jaringan di Indonesia, memengaruhi sudut pandang dan membuat pengetahuan tentang pelayanan bank jaringan di Indonesia menjadi sulit berkembang.9

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner, aspek pertanyaan mengenai tujuan pelaksanaan bank jaringan merupakan yang paling banyak dijawab benar dan tergolong cukup tinggi (72,6%). Namun, pertanyaan terkait sistem pelayanan bank jaringan di Indonesia merupakan yang paling sedikit dijawab benar dan tergolong sangat rendah (27,4%). Hal ini menujukkan masih perlu digalakkannya sosialisasi oleh pemerintah terkait sistem serta alur pelayanan bank jaringan di Indonesia, sehingga masyarakat diharapkan menjadi lebih paham dan keikutsertaan dalam pelayanan mengalami peningkatan.

  • 2.      Persepsi mahasiswa

Jumlah mahasiswa yang setuju terhadap pelayanan bank jaringan di Indonesia tergolong sangat tinggi (95,2%). Hal ini sejalan dengan begitu banyaknya manfaat dari pelayanan bank jaringan yang telah disampaikan dalam penelitian Sawitri dan Andriani.10 Hasil penelitian menunjukkan afirmasi positif pelayanan bank jaringan sebagai upaya menggiatkan kesadaran masyarakat untuk bersedia terlibat dalam kegiatan transplantasi jaringan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.62 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan/atau Sel.2

  • 3.       Posisi mahasiswa terhadap isu etika

Posisi mahasiswa terhadap setiap isu-isu etika yang diajukan adalah bervariasi berkaitan dengan budaya dan nilai-nilai yang diyakininya.

  • i.        Penerapan kebijakan presumed consent

(opt-out) di beberapa negara

Lebih dari setengah mahasiswa menyatakan tidak setuju terhadap kebijakan presumed consent (optout) di beberapa negara (66,4%). Hal ini bersesuaian dengan pernyataan yang menyatakan bahwa kebijakan presumed consent mengarahkan pada tindakan pemaksaan dan tidak menghormati otonomi.11 Pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat sosial, budaya, sikap religius terkait keutuhan tubuh saat kematian, serta tingginya nilai https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2020.V9.i11.P04

serta moral yang dianut oleh masyarakat Indonesia semakin membuat kebijakan presumed consent sulit untuk dapat diterima oleh masyarakat.12

  • ii.    Alokasi donor kadaver

Sebagian besar mahasiswa (76,3%) menyatakan setuju perlu dibuatkan sistem alokasi donor kadaver yang sesuai dengan kebutuhan medis, diterima secara etika, dan berlandaskan prinsip keadilan.

Prinsip bioetika, salah satunya adalah respect for autonomy, harus ditegakkan dalam pelaksanaan sebuah sistem alokasi donor kadaver yang baik. Hal ini termuat dalam prinsip pertama dari 11 petunjuk prinsip WHO Guiding Principles on Human Cell, Tissue and Organ Transplantationt.13 Permasalahan etik dimulai dari advance directive, yaitu instruksi tertulis yang disiapkan oleh seseorang untuk memandu perawatan medisnya apabila dinilai sudah tidak mampu membuat keputusan sendiri.14 Dalam transplantasi jaringan kadaver, perdebatan muncul karena seseorang yang telah meninggal tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait pengambilan jaringan tubuhnya, terutama di negara yang menerapkan kebijakan ‘opt-in’, termasuk Indonesia. Dalam kebijakan ‘opt-in’, seseorang semasa hidupnya dapat mengekspresikan keinginannya untuk mendonorkan jaringan tubuh secara sukarela ke bank jaringan ketika ia sudah meninggal nanti. Isu etika akan muncul dalam kondisi orang tersebut telah meninggal, kemudian pihak keluarga tidak memberi izin proses donor jaringan tubuh. Akibatnya, terjadi benturan antara otonomi individu dan otonomi keluarga.

Otonomi individu terkait dengan unsur-unsur persetujuan setelah penjelasan (informed consent) yang harus terpenuhi terlebih dahulu, yaitu diberikan secara sukarela, setelah memperoleh dan memahami informasi yang cukup, dan dilakukan penetapan terhadapnya.15 Keinginan seseorang semasa hidupnya ini harus diperhatikan dan tidak dapat diabaikan begitu saja karena kepentingan individu semasa hidupnya diwarisi setelah kematian.16

Di sisi lain, keputusan mengenai donasi seharusnya berada di tangan keluarga dan secara moral bermasalah apabila pengadaan jaringan tidak berdasar pada persetujuan keluarga.17 Pelaksanaannya secara psikologis dapat melukai hati keluarga yang tengah berduka.

Dikatakan bahwa sangat penting untuk menghormati advance directive seseorang. Apabila yang bersangkutan semasa hidupnya

telah menyatakan sikap setujunya secara sah untuk mendonorkan bagian tubuhnya, maka otonomi individu sebaiknya dapat lebih dihormati dibandingkan dengan otonomi keluarga karena kondisi emosional keluarga yang sedang berduka dianggap meragukan untuk dapat mengambil keputusan secara bijak dan valid.18 Namun, pendapat ini tidak sesuai dengan pasal 24 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan/atau Sel yaitu pengambilan jaringan dari donor jenazah harus mendapatkan persetujuan dari keluarga terdekat atau ahli waris lain yang sah.2

Selain prinsip respect for autonomy, prinsip bioetika lain juga harus ditegakkan, yaitu beneficence, non-maleficence, dan justice.16 Donor kadaver akan meningkatkan jumlah ketersediaan graft. Namun, perlu diingat bahwa setiap tindakan medis tidak akan terlepas dari risiko, termasuk transplantasi jaringan. Menyiapkan tim dokter yang mumpuni dan bantuan teknologi kesehatan yang memadai akan meminimalisir risiko kegagalan operasi transplantasi.9 Sistem pelaksanaannya pun harus memerhatikan aspek keadilan untuk terwujudnya kebahagiaan dan kenyamanan bersama

Peraturan hukum terkait pelaksanaan sistem pelayanan bank jaringan di Indonesia sebaiknya dapat disesuaikan kembali agar lebih toleran terhadap otonomi individu apabila pemberian keputusan dinilai sahih menurut unsur-unsur persetujuan setelah penjelasan. Penyesuaian ini memenuhi prinsip respect of autonomy individu yang bersangkutan dan berdampak positif bagi kepentingan masyarakat luas, mengingat akan semakin banyak graft yang dapat diperoleh. Namun, di sisi lain, penyesuaian ini akan berdampak pada semakin maraknya kemungkinan tindak jual-beli jaringan secara ilegal di tengah masyarakat apabila pengawasan terhadap sistem pelayanan tidak dilakukan dengan baik.

  • iii.    Sertifikasi kematian dan pemastian kematian

Penerapan kematian batang otak, bukan berhentinya jantung berdetak, sebagai konsep kematian disetujui oleh lebih dari setengah mahasiswa (74,6%) dan tidak sesuai terhadap pernyataan sebagian besar masyarakat Indonesia masih memahami konsep berhentinya jantung berdetak sebagai konsep kematian. Pemahaman yang baik oleh masyarakat pada konsep kematian

batang otak dapat meningkatkan ketersediaan graft untuk transplantasi jaringan.12

  • iv.    Penggunaan jaringan dari fetus/janin dan ari-ari

Lebih dari setengah mahasiswa (67,8%) menyatakan setuju terhadap penggunaan fetus/janin dan ari-ari pada proses transplantasi jaringan. Hal ini tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat Bali yang secara umum mengubur fetus/janin dan ari-ari setelah dilahirkan. Pernyataan setuju oleh sebagian besar mahasiswa kemungkinan disebabkan oleh perkembangan pengetahuan masyarakat terkait sel punca (stem cell) dalam jaringan fetus/janin dan ari-ari. Hal ini sejalan dengan telah diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 32 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel juga Undang Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 64 ayat (1).19,20

  • v.    Transplantasi jaringan dari donor hidup

Jumlah mahasiswa yang menyatakan setuju terhadap penjaminan kerahasiaan identitas antara calon pendonor dan resipiennya tergolong tinggi (86,4%). Penjaminan kerahasiaan identitas pendonor memang sudah seharusnya dilakukan karena tidak ada korelasi yang bermakna antara penerima transplantasi jaringan dan identitas pendonornya. Konsep ini sesuai dengan hasil dari sebuah survei di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa sekitar 90% responden menerima teman atau koleganya sebagai pendonor dan sekitar 80% juga setuju untuk menerima donor yang sifatnya altruistik atau tidak dikenal.21 Pelaksanaannya di Indonesia pun telah didukung oleh pasal 23 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan/atau Sel.2

Namun, perkembangan terbaru adalah penetapan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2016 tentang Transplantasi Organ, khususnya pasal 36 dan 37 yang mendukung pengungkapan identitas antar donor-resipien.22 Kedua pasal ini berpedoman pada kaidah double equipoise, diversity, dan trust.23

Ketika calon penerima transplantasi jaringan mengetahui identitas calon pendonor, hal ini dapat memengaruhi faktor psikologi kedua belah pihak dan mengakibatkan penolakan yang tidak rasional. Penolakan dapat terjadi hanya karena adanya perbedaan agama, ras, etnis dengan pendonor. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu

didata dari pendonor adalah catatan mengenai keadaan   biologis   jaringan yang akan

ditransplantasikan bukan justru mencantumkan identitas sosial dari individu pendonor, sehingga diharapkan profesionalisme dapat tetap terjaga.

Perdebatan etik selanjutnya adalah kebijakan reciprocal justice yang merupakan kebijakan suatu negara sebagai bentuk penghargaan untuk meningkatkan keikutsertaan dalam pelayanan bank jaringan. Kebijakan ini memungkinkan donor mendapatkan insentif dari negara berupa prioritas alokasi donor apabila di masa depan yang bersangkutan justru memerlukan donor jaringan, keuntungan pajak, diskon asuransi kesehatan, maupun santunan biaya pemakaman.24 Penerapannya saling bertolak belakang dengan konsep altruisme dan memungkinkan pengungkapan kerahasiaan identitas donor kepada pihak yang lebih luas selain bank jaringan.

Bentuk kebijakan lain adalah social justice. Social justice merujuk pada hubungan sosial yang bersifat sama atau sederajat (egaliter) dengan berpedoman pada prinsip kesetaraan dan solidaritas, memahami serta menghargai setiap hak asasi manusia, dan mengakui martabat setiap kehidupan manusia.25

John Rawls menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kekebalan yang didirikan berdasarkan keadilan yang bahkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan tidak boleh mengesampingkannya dan ketidakadilan hanya dapat ditoleransi jika perlu dan hanya untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar.26 Teori ini dikenal sebagai justice as fairness.27

  • 1.    Prinsip pertama

Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas seluruh sistem sosial dalam kebebasan hakiki yang kompatibel dengan kebebasan untuk semua.

  • 2.    Prinsip kedua

Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:

  • a.    Memberikan keuntungan terbesar bagi kalangan yang tidak diuntungkan, konsisten dengan just saving principle

  • b.    Memberikan kesempatan yang adil kepada semua institusi dan perseorangan dalam segala kondisi.

Prinsip pertama dikenal sebagai prinsip kebebasan (liberty principle). Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang wajib memperoleh hak yang sama, misalnya hak menyatakan pendapat, dan mengadakan asosiasi.26 Sedangkan, prinsip kedua tersusun atas dua bagian, yaitu prinsip perbedaan (the

difference principle) dan prinsip persamaan kesempatan yang adil (the fair equality of opportunity principle). Prinsip ini menegaskan kondisi ketidaksetaraan diatur sebagaimana mestinya sehingga memberikan keuntungan terbesar bagi golongan yang dianggap paling tidak beruntung dalam masyarakat. Prinsip-prinsip ini disusun secara berurutan. Urutan ini mengindikasikan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan dasar yang dilindungi oleh prinsip pertama tidak dapat dibenarkan atau dikompensasi dengan keuntungan sosial-ekonomi yang lebih besar.26

Teori ini sesuai dengan kondisi realitas sosial masyarakat dimana kondisi ketimpangan selalu hadir. Perbedaan pencapaian tiap individu terkait dengan tatanan alamiah yang dimiliki tanpa pernah individu yang bersangkutan memilihnya. Contohnya, seseorang tidak dapat memilih terlahir dengan berkulit terang atau gelap atau dalam keluarga kaya atau miskin. Hal-hal inilah yang memunculkan adanya ketimpangan sosial di tengah kehidupan bermasyarakat. Rawls pun menganggap bahwa dalam sebuah kompetisi sosial, kondisi awal sangat berperan penting. Keadilan baginya adalah bersikap bijak kepada masing-masing perseorangan dalam kondisi aslinya ketika yang bersangkutan berada dalam suatu garis awal yang sama.26

Beauchamp mengatakan bahwa keadilan harus melibatkan kaum minoritas dalam porsi yang lebih besar daripada biasanya karena statusnya yang sering tereksploitasi dan dilayani dengan tidak cukup baik dalam pelayanan sosial.28 Hal ini sesuai dengan konsep affirmative action ebagai bentuk praktis implementasi konsep justice of fairness.26 Pernyataan ini pun sejalan dengan komitmen social justice yaitu melampirkan sebuah urgensi moral khusus untuk memulihkan kondisi mereka yang prospek hidupnya buruk di berbagai dimensi kesejahteraan.29

Dalam konteks transplantasi jaringan, perdebatan etik berkaitan dengan cara memilih prioritas calon resipien dari daftar tunggu dengan adil dan berpedoman pada prinsip kesetaraan dan solidaritas. Salah satu contoh sistem yang dapat diadopsi adalah sistem akumulasi poin dengan menggunakan beberapa variabel sebagai aspek penentunya, seperti waktu tunggu, kesesuaian imunologis, tingkat kegawatdaruratan medis, usia calon resipien, domisili, dan lain-lain. Sistem ini diharapkan mampu menyetarakan antar golongan

sehingga dapat mengatasi ketidakadilan yang terjadi.

  • vi.    Penjualan jaringan untuk ditransplantasikan

Hasil penelitian menyatakan bahwa setengah dari jumlah mahasiswa (58,5%) menyatakan setuju jaringan tubuh yang diserahkan kepada bank jaringan rentan untuk diperjualbelikan secara ilegal. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan bank jaringan di Indonesia masih rendah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi yang lebih giat oleh pihak terkait. Sosialisasi yang dilakukan harus mencakup kejelasan atau transparansi sistem pelayanan bank jaringan, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat meningkat dan akan berdampak pada tingkat partisipasi dalam sistem pelayanan.

Penjualan bank jaringan bertentangan dengan prinsip kelima dari WHO Guiding Principles on Human Cell, Tissue and Organ Transplantation. 13 Isu ini juga bertentangan dengan pasal 21 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan/atau Sel dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 26 ayat (2) dan (3).2,20

Penjualan jaringan dinilai sebagai tindakan penghinaan terhadap altruisme sertahuman dignity yang merupakan prinsip pertama dari 15 prinsip bioetika dalam The UNESCO Universal Declaration on Bioethics and Human Rights.30 Berdasarkan teori deontology oleh Immanuel Kant, setiap orang diwajibkan untuk selalu melakukan tindakan yang menunjukkan rasa hormat terhadap harkat dan martabat manusia karena percaya bahwa setiap manusia memiliki nilai yang melebihi harga.

Namun, berdasarkan teori utilitarian, pembayaran insentif atas donor jaringan dapat dibenarkan apabila dilakukan secara sukarela tanpa paksaan karena dilakukan terhadap tubuh sendiri. Hal ini juga dinilai bermanfaat bagi masyarakat luas dalam hal meningkatkan ketersediaan graft. Teori utilitarian dikatakan akan mendukung segala cara untuk meningkatkan pengadaan jaringan dan menyelamatkan nyawa.31 Membiarkan praktik penjualan jaringan berisiko mempromosikan gagasan bahwa beberapa orang memiliki nilai lebih rendah daripada yang lain.32 Penjualan jaringan juga merujuk pada tindak pemaksaan dan ekploitasi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, mengarahkan kepada buruknya kualitas pelayanan kepada donor dan

penerima sebagai konsekuensi buruknya standar seleksi donor dan skrining penyakit menular, menguntungkan pengusaha dan dokter yang hanya mementingkan keuntungan finansial diri sendiri, serta bertentangan dengan otonomi pasien. Oleh karena itu, sistem pengawasan yang baik dari bank jaringan terhadap setiap proses pengambilan jaringan tubuh calon donor diharapkan mampu menekan tindak jual-beli jaringan secara ilegal di tengah masyarakat.

  • vii.    Xenotransplantasi (penggunaan graft yang berasal dari hewan)

Jumlah mahasiswa yang menyatakan setuju dan tidak setuju pada isu xenotransplantasi hampir sama (59,3% dan 40,7%). Mahasiswa yang menyatakan setuju sejalan dengan sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2003 di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa transplantasi jaringan menggunakan graft dari hewan telah membantu untuk mempersempit kesenjangan yang terjadi antara ketersediaan dan permintaan jaringan untuk ditransplantasikan. Pemanfaatan jaringan hewan sebagai graft diperbolehkan secara hukum nasional, diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan/atau Sel. Bahkan dalam pasal 21 ayat (2) disebutkan bahwa jaringan yang berasal dari hewan dapat diperjual-belikan sesuai ketentuan perundang-undangan.2

Namun, mahasiswa yang menyatakan tidak setuju sejalan dengan pernyataan yang mengkhawatirkan jenis hewan yang akan digunakan, penularan penyakit antara hewan dan manusia yang mungkin terjadi, serta kesejahteraan hewan yang digunakan selama proses pengambilan jaringan.12

Melalui perspektif utilitarian, implementasi xenotransplantasi dinilai akan menemui beberapa hambatan. Xenotransplantasi yang dilakukan dalam skala besar akan menimbulkan biaya perawatan yang sangat besar untuk ditanggung masyarakat, terkait produksi graft bebas patogen melibatkan pemeliharaan hewan di lingkungan yang dikontrol ketat dan pengembangan sumber daya berkelanjutan untuk pengawasan menjadi sangat tinggi. Perdebatan etis juga muncul proteksi publik yaitu risiko infeksi zoonosis yang dapat mengancam masyarakat luas.34

Peter Singer menyebutkan bahwa hewan adalah korban utama sejarah dan pemeliharaan hewan untuk keperluan industri manusia mungkin adalah tindak kriminal paling buruk

sepanjang sejarah. Ia berpendapat manusia tidak dibenarkan menganggap spesies mereka secara alami berbeda dan lebih unggul daripada spesies lainnya (spesiesisme).35 Dengan demikian,   Singer   berkomitmen bahwa

xenotransplantasi secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan   karena   didasarkan pada

keyakinan bahwa manusia adalah kategori yang terpisah dan memperlakukan hewan sebagai sarana semata dan bentuk pelanggaran terhadap animal rights.36

Di sisi lain, melalui sudut pandang teori deontology, xenotransplantasi justru disambut positif. Teori ini menilai rasionalitas sebagai satu-satunya faktor suatu tindakan untuk dapat diterima secara moral37 dengan fakta bahwa ciri khas umat manusia adalah kepemilikan akal. Sehingga, manusia layak untuk dihormati dan dipandang bermartabat.38 Manfaat potensial dan peningkatan kesejahteraan manusia dapat membenarkan hilangnya nyawa hewan.34

Sistem pelayanan bank jaringan di Indonesia dinilai masih perlu dilakukan beberapa penyesuaian terhadap perdebatan terkait etika di tengah masyarakat. Sistem pelayanan bank jaringan yang baik haruslah mampu mengakomodasi dalam batas tertentu setiap isu perdebatan etik yang muncul, sehingga benturan antar kepentingan dapat diminimalisir. Penyesuaian yang dapat dilakukan, misalnya sistem alokasi donor kadaver yang lebih toleran terhadap otonomi individu apabila otonomi individu dinilai memenuhi unsur-unsur kesahihan persetujuan setelah penjelasan, pemastian terjaminnya kerahasiaan identitas donor-resipien, transparansi layanan, dan tindak hukum secara tegas terhadap setiap temuan tindak jual-beli jaringan.

SIMPULAN

Simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah tingkat pengetahuan mahasiswa pada kategori baik hanya pada tingkat rendah, jumlah mahasiswa yang setuju terhadap pelayanan bank jaringan di Indonesia tergolong sangat tinggi, dan posisi mahasiswa terhadap setiap isu-isu etika yang diajukan adalah bervariasi dimana posisi mahasiswa ini berkaitan dengan budaya dan nilai-nilai yang diyakininya. SARAN

Perlu dilakukan sosialisasi oleh pemerintah dan petugas terkait secara lebih mendalam tentang pelayanan bank jaringan di Indonesia dan penyesuaian terhadap peraturan-peraturan terkait agar sistem pelayanan bank jaringan di Indonesia https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2020.V9.i11.P04

dapat lebih sesuai dengan nilai-nilai dan budaya yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Hanafiah J, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.

  • 2.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan/atau Sel; 2013.

  • 3.    Suhendra. Defisit Stok Jaringan yang Tak Kunjung Terpecahkan [Online]. 2016 [Diakses 8 Juli 2017]. Tersedia di:https://tirto.id/defisit-stok-jaringan-yang-tak-kunjung-terpecahkan-bn3V.

  • 4.    ANTARA News. Indonesia Butuhkan Puluhan Ribu Jaringan Ketuban. [Online]. 2008 [Diakses         8         Juli         2017].

Tersediadi:https://www.antaranews.com/berita/ 107191/indonesia-butuhkan-puluhan-ribu-jaringan-ketuban.

  • 5.    Jackson. Multistage Random Samples: Definition, Selection & Examples. 2016.

  • 6.    Gamel. Besar Sampel dan Teknik Sampling. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2016.

  • 7.    Aji A, Marleni, N. Monograf Survei Kepuasan. Edisi 1. Magelang: UNIMA Press; 2018.

  • 8.    Nugraha O P. Statistik Parametrik. Yogyakarta: UGM Press; 2013.

  • 9.    Soetjipto P. Transplantasi Jaringan Manusia: Universitas Indonesia; 2010.

  • 10.    Sawitri R, Andriani. Pelayanan Bank Jaringan RSUP Fatmawati. Fatmawati Hospital Journal [Online].                             2016;2:2.

Tersediadi:http://jurnal.fatmawatihospital.com/ pdf/PelayananBankJaringanRSUPFatmawati.pd f.

  • 11.    Jarvis R. Join the club: a modest proposal to increase availability of donor transplantation. Med Ethics. 2007;21:199-204.

  • 12.    Abouna. Ethical Issues in Organ and Tissue Transplantation., dalam Experimental and Clinical Transplantation: USA; 200: 125-138.

  • 13.    WHO. World Health Organization Guiding Principles on Human Cell, Tissue and Organ Transplantation [Online]. 2017. [Diakses 21 Juni

2017].Tersediadi:http://www.searo.who.int/Lin kFiles/BCT_WHO_guiding_priciples_organ_tr ansplantation.pdf

  • 14.    Thompson A E. Advance Directive. JAMA. 2015; 313(8): 868.

  • 15.    Kerridge I, Lowe M, Stewart C. Ethics and Law for the Health Professions. Edisi 4. Sydney: The Federation Press; 2013.

  • 16.    Downie J, Shea A, Rajotte C. Family Override of Valid Donor  Consent  to Postmortem

Donation:  Issues  in Law and Practice.

Transplantation proceedings.  2008;  40(5):

1255-1263.

  • 17.    Cherry M J, Fan R, Evans K K. Family-Based Consent to Organ Transplantation: A Cross-Cultural Exploration. Journal of Medicine and Philosophy. 2019; 44: 521-533.

  • 18.    Henky H. Ethico-legal conflict in daily forensic medical practice: two examples from Indonesia. Egyptian Journal of Forensic Science. 2017; 7(1): 18.

  • 19.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel; 2018.

  • 20.    Undang Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. 2009.

  • 21.    Spital A. Evolution of Attitudes at US toward Kidney Donation by Friends and Altruistic Stranger. Transplantation. 2000; 69:  1728

1731.

  • 22.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2016 tentang Transplantasi Organ; 2016.

  • 23.    University of Health Network Bioethics Program. Ethical Guidelines for the Evaluation of Living Organ Donors. 2016.

  • 24.    Moorlock G, Ives J, Draper H. Altruism in organ donation: an unnecessary requirement?. Journal of Medical Ethic. 2014; 40(2): 134

138.

  • 25.    Zajda J. dkk. Education and Social Justice. 2006.

  • 26.    Rawls J. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press: 2003.

  • 27.    Boongaling J K. The Case Against a Free Market for Human Organs in the Philippines. Asia-Pacific Social Science Review.  2015;

15(1): 63-77.

  • 28.    Beauchamp T L. Standing on Principles: Collected Essays. 2010.

  • 29.    Powers M. Social Justice in Public Health., dalam Social Justice; 2006. h. 80-99.

  • 30.    UNESCO. Bioethics Core Curriculum; 2008.

  • 31.    Kerstein S. Is it ethical to purchase human organs?. 2016.

  • 32.    Hippen B, Ross L F, Sade R M. Saving Lives Is More Important Than Abstract Moral Concerns: Financial Incentives Should Be Used to Increase Organ Donation. Ann Thorac Surg. 2009; 88(4): 1053-1061.

  • 33.    Alpinar-Sencan Z, Baumann H, Biller-Andorno N. Does Organ Selling Violate Human Dignity?. Monash Bioeth. 2017; 34: 189.

  • 34.    Krishna M, Lepping P. Ethical Debate: Ethics of Xenotransplantation. British Journal of Medical Practitioners. 2011; 4(3): 425.

  • 35.    Singer P. Animal Liberation; 2015.

  • 36.    Anderson M. Xenotransplantation:   A

Bioethical Evaluation. J Med Ethics. 2006: 32. h. 205-208.

  • 37.    Manesh S B, Samani R O, Manesh S B. Ethical Issues of Transplanting Organs from Transgenic Animals into Human Beings. Cell Journal. 2014; 16(3): 353-360.

  • 38.    Misselbrook D. Duty, Kant, and Deontology. British Journal of General Practice. 2013;

63(609): 211.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i11.P04

30