ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.9,SEPTEMBER, 2020



Diterima:06-08-2020 Revisi:12-08-2020 Accepted: 14-09-2020

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI DAN FAKTOR

LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA

TIGA KECAMATAN SUSUT KABUPATEN BANGLI TAHUN 2016

I Kadek Rai Suardita1, Ida Bagus Subanada2

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Koresponding : I Kadek Rai Suardita

Email : kadekraisuardita@yahoo.com

ABSTRAK

Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, hal ini dikarenakan masih tingginya angka kesakitan diare yang menimbulkan kematian terutama pada balita. Faktor sosio-demografi dan lingkungan seperti tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, umur ibu, sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja dan jenis lantai rumah sering dikaitkan sebagai faktor-faktor yang berhubungan secara tidak langsung dan langsung dengan kejadian diare pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosio-demografi dan faktor lingkungan dengan kejadian diare pada balita di Desa Tiga, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Metode penelitian menggunakan desain potong-lintang analitik. Populasi sampel penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita yang menderita diare dan tidak diare dengan metode exhaustive sampling yang menghasilkan 192 data sampel (96 data untuk masing-masing kelompok). Data diambil dari wawancara dan pengamatan langsung di tempat tinggal responden. Hasil analisis multivariat mendapatkan tingkat pendidikan ibu dan kebiasaan buang tinja yang tidak baik berhubungan dengan kejadian diare [RP=3,731 (IK95% 1,619-8,597), p=0,002; RP=7,884 (IK95% 3,59817,275), p=<0,0001, berturut-turut], namun tidak didapatkan hubungan antara jenis pekerjaan ibu, umur ibu, sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja, dan jenis lantai rumah dengan kejadian diare [RP=0,871 (IK95% 0,654-1,162), p=0,358; RP=0,781 (IK95% 0,3171,924), p=0,592; RP=4,841 (IK95% 0,354-66,262), p=0,237; RP=0,000 (IK95% 0,00-.), p=0,999; RP=1,117 (IK95% 0,612-2,040), p=0,733, berturut-turut]. Disimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu terbukti berhubungan dengan kejadian diare pada balita.

Kata kunci : Diare, Balita, Faktor Lingkungan, Faktor Sosio-demografi.

ABSTRACT

Diarrhea is one of the public health problems in Indonesia. The high incident rate of diarrhea frequently leads to death, especially in infants. Socio-demographic and environmental factors such as mother’s level of education, mother’s occupations, mother’s age, source of consumed water, types of latrine, and types of house flooring are often associated as both indirect and direct factors that cause diarrhea in infants. The aims of this study was to determine the relationship between socio-demographic and environmental factors with the incident of diarrhea in infant in Tiga village, Susut sub-district, Bangli regency. This study used analytic cross-sectional method. Mothers, who were having children under five years old either suffering from diarrhea or not, were included as respondents by using exhaustive sampling method. At the end, 192 data samples were collected (96 data for each group). Data was obtained from interviews and direct observations conducted at respondent's house. Multivariate analysis showed that mother’s level of education and improper human waste disposal habit were associated with diarrhea [PR=3.731 (95%CI 1.619-8.597), p=0.002; PR=7,884 (95%CI 3.598-17.275), p=<0.0001, respectively], while types of mother’s occupations, mother’s age, source of consumed water, types of latrine, and types of house flooring were not associated with diarrhea [PR=0.871 (95%CI 0.654-1.162), p=0.358; PR=0.781 (95%CI 0.317-1.924), p=0.592; PR=4.841 (95%CI 0.354-66.262), p=0.237; PR=0,000 (95%CI 0.00-), p=0.999; PR=1.117 (95%CI 0.612-2.040), p=0.733, respectively]. It was concluded that mother’s level of education was associated with the incident of diarrhea in infants.

Keywords : Diarrhea, Children Under Five Years Old, Environmental Factors, Sociodemographic Factors.

PENDAHULUAN

Diare merupakan buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih dalam sehari).1 Diare yang terjadi anak masih merupakan masalah kesehatan dengan mortalitas yang tinggi terutama pada anak umur 1 sampai 4 tahun. World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadi 3,9 milyar kejadian diare di dunia pada tahun 1999 dengan 2,3 juta kematian, sebagian besar adalah balita. Secara keseluruhan, di Indonesia diperkirakan 40 juta balita mengalami diare setiap tahunnya dengan kematian sebanyak 200.000 sampai dengan 400.000 balita. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2004, mortalitas akibat diare 23 per 100.000 penduduk, sedangkan pada balita 75 per 100.000 balita.2 Penyebab tersering diare pada anak adalah faktor infeksi, malabsorpsi makanan, dan faktor psikologis, selain itu banyak faktor lain yang mempengaruhi angka kejadian diare baik secara langsung maupun

tidak langsung. Faktor penyebab diare secara langsung utamanya dari faktor lingkungan dan perilaku. Faktor lingkungan dan perilaku sangat berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Faktor lingkungan yang paling dominan berkaitan dengan diare, yaitu sumber air yang digunakan, jenis jamban, faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan perilaku manusia, selain itu jenis lantai rumah yang berhubungan dengan tingkat kelembaban tempat tinggal. Faktor penyebab diare secara tidak langsung yaitu umur ibu, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan ibu balita yang berkaitan dengan perilaku hidup sehat. Gejala klinis dan tanda-tanda diare pada anak biasanya ditandai dengan anak menjadi gelisah dan cengeng yang disertai peningkatan suhu tubuh, tinja anak menjadi lebih encer bisa disertai lendir atau darah, lecet pada anus, gangguan intake, mual muntah, dan dehidrasi. Pada umumnya penanganan diare pada anak adalah dengan mencegah dan menangani dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan penyerapan, menangani penyebab diare yang spesifik, dan gangguan gizi.3

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014, kasus diare pada tahun tersebut diperkirakan sekitar 87.845 terus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sekitar 86.493 kasus, yang mendapat penanganan sebanyak 69.817 kasus (79,5%) dengan morbiditas 214 per 1000 penduduk. Tingginya kasus diare tersebut membuat diare dan gastroenteritis menjadi penyebab tingginya rawat inap di rumah sakit.3 Sementara di Kabupaten Bangli prevalens angka kejadian diare merupakan yang terbanyak kedua di Bali sebanyak 6,5% setelah Kabupaten Buleleng. Rerata prevalens tersebut lebih bedar daripada rerata yang terjadi di Provinsi Bali 5,2%. Kabupaten Bangli memiliki 4 kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Susut. Data yang diperoleh dari Puskesmas Susut I menyatakan bahwa diare merupakan sepuluh penyakit terbanyak yang setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Tahun 2007-2009 angka kejadian diare mengalami peningkatan yaitu 308 pada tahun 2007, 350 pada tahun 2008, dan 498 kasus pada tahun 2009. Berdasarkan distribusinya, umur kelompok balita merupakan kelompok umur dengan kasus terbanyak di Puskesmas Susut I selama tahun 2009 sampai dengan bulan April 2010. Puskesmas Susut I mempunyai 5 desa sebagai wilayah kerjanya salah satunya adalah Desa Tiga yang menjadi desa dengan jumlah kasus diare terbanyak yaitu 251 atau 37,8% dari total 663 kasus berdasarkan dokumentasi di Puskesmas Susut I pada tahun 2009 sampai dengan bulan April 2010.4

Berdasarkan hasil penelitian Yulisa tentang faktor yang memengaruhi kejadian diare pada balita, didapatkan tingkat pendidikan, sumber air minum, jenis jamban keluarga, jenis lantai rumah berhubungan dengan kejadian diare pada balita, serta tidak ada pengaruh jenis pekerjaan ibu dan umur ibu dengan kejadian diare pada balita, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irianto diketahui bahwa faktor sosio-demografi dan lingkungan yang mempengaruhi kejadian diare pada balita yaitu pendidikan orangtua, pekerjaan ibu, sumber air minum dan jenis tempat pembuangan tinja merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi kejadian diare pada balita, sedangkan umur ibu dan jenis lantai rumah tidak berhubungan dengan kejadian diare pada balita.5,6 Penelitian lain juga dilakukan oleh

Purwidiana diketahui bahwa umur ibu, jenis pekerjaan ibu, jenis lantai rumah berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita, sedangkan pendidikan, sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja tidak berpengaruh dengan kejadian diare pada balita.7 Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai faktor sosio-demografi (tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan umur ibu) dan faktor lingkungan (sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja, dan jenis lantai rumah) yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita di Desa Tiga, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan studi potong-lintang analitik, dengan kriteria inklusi: ibu balita yang berdomisili di Desa Tiga, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, ibu balita dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas, dan ibu balita bersedia menjadi responden penelitian, sedangkan kriteria eksklusi: ibu balita terdapat gangguan jiwa, ibu balita yang memiliki balita dengan kelainan kongenital pada saluran cerna, dan ibu balita yang memiliki balita dengan gizi buruk (klinis dan antropometri).5,6 Definisi operasional variabel (DOV) untuk diagnosis diare yaitu balita mengalami buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih dalam sehari). Tingkat pendidikan ibu dikatakan rendah apabila: tidak pernah menempuh pendidikan dasar (SD), berhenti SD, tidak menuntaskan SD, pendidikan hanya sampai lulus SD, jenjang pendidikan tidak sampai lulus sekolah menengah pertama (SMP), sedangkan tingkat pendidikan ibu dikatakan sedang apabila: pendidikan hanya sampai lulus SMP, pernah menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA) namun berhenti, pendidikan hanya sampai lulus SMA, dalam proses pendidikan di perguruan tinggi, melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi tetapi berhenti total atau cuti sementara waktu, sedangkan tingkat pendidikan ibu dikatakan tinggi apabila: menuntaskan pendidikan perguruan tinggi, melanjutkan ke jenjang gelar yang lebih tinggi di perguruan tinggi.5 Pekerjaan ibu dikatakan bekerja apabila: petani, buruh, pedagang atau wiraswasta, TNI, POLRI, dan PNS, sedangkan pekerjaan ibu dikatakan tidak bekerja apabila ibu rumah

tangga, dan pengangguran. Umur ibu dikatakan umur risiko tinggi apabila umur dibawah 20 tahun, dan umur diatas 35 tahun, sedangkan dikatakan umur risiko rendah apabila ibu berumur antara 20 tahun sampai 35 tahun. Sumber air minum dikatakan sumber tidak terlindung apabila bersumber dari sungai, sumur, dan air hujan yang tidak dimasak, sedangkan dikatakan sumber air minum terlindung apabila bersumber dari Perusahaan air minum (PAM), sungai, air hujan yang dimasak. Jenis tempat pembuangan tinja dikatakan jamban tidak sehat apabila: tidak mempunyai jamban, jamban tanpa tangki septik, berak di kebun atau di sungai, sedangkan dikatakan jamban sehat apabila memiliki jamban dengan tangki septik atau jamban leher angsa. Jenis lantai rumah dikatakan kedap air apabila lantai rumah berupa semen, dan porselin, sedangkan lantai rumah dikatakan tidak kedap air apabila lantai berupa tanah.5,6,7

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode exhaustive sampling sampai sampel yang diperlukan terpenuhi. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara dan pengamatan langsung di tempat tinggal responden, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait, yaitu puskesmas, bidan desa, dan kantor kepala desa. Besar sampel yang dibutuhkan berdasarkan besar perhitungan sampel masing-masing variabel dengan α=0,05 dan β=0,20 maka didapatkan besar sampel minimal untuk variabel yang diteliti adalah 192 untuk masing-masing kelompok. Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis bivariat uji Kai-kuadrat. Variabel perancu akan dikontrol dengan analisis multivariat regresi logistik. Hasil dikatakan bermakna bila p<0,05. Penelitian ini telah mendapatkan izin kelaikan etis dari Komisi Etik Penelitian FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.

HASIL

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2016, didapatkan 200 subjek yang memenuhi kreteria inklusi, kemudian 8 subjek dieksklusi karena responden memiliki balita dengan gizi buruk. Dari 192 subjek yang menjadi sampel didapatkan pemberian ASI tidak eksklusif, penggunaan botol susu, kebiasaan cuci tangan, kebiasaan membuang tinja balita, penyediaan air minum keluarga, dan kebiasaan anggota keluarga BAB yang tidak baik, serta riwayat pemberian imuniasasi campak yang kurang. Berikut tabel karakteristik subjek disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan analisis bivariat didapat bahwa ibu dengan pendidikan rendah dan sedang berhubungan dengan kejadian diare [RP=11,038 (IK95% 1,661-73,354), p= <0,0001; RP=6,000 (IK95% 0,098-40,091), p=0,009, berturut-turut], didapatkan juga ibu dengan umur risiko tinggi, sumber air tidak terlindungi, dan jamban tidak sehat juga berhubungan dengan kejadian diare [RP=1,414 (IK 95% 1,075-1,859), p=0,019; RP=2,143 (IK 95% 1,767-2,599), p=<0,0001; RP=2,012 (IK 95% 1,613-2,509), p=<0,0001, berturut-turut], sedangkan ibu balita yang bekerja dan jenis lantai rumah yang tidak kedap air tidak berhubungan dengan kejadian diare pada balita (Tabel 2).

Pada analisis multivariat (regresi logistik) didapat bahwa tingkat pendidikan ibu dan kebiasaan membuang tinja yang tidak baik berhubungan dengan kejadian diare [RP=3,731 (IK95% 1,619-8,597), p=0,002; RP=7,884 (IK95% 3,598-17,275), p=<0,0001, berturut-turut], sedangkan umur ibu, sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja, kebiasaan cuci tangan keluarga, penyediaan air minum keluarga, dan kebiasaan anggota keluarga BAB tidak berhubungan dengan kejadian diare (Tabel 3).

Tabel 1. Karakteristik Subjek.

No.            Yaiiabel

Diare

Ci=SS

TidakDiare n=?6

1. Pemberian ASI (tidak eksklusif), n(%)

13(13,?%)

7(7,3%)

2. Penggunaan botol susu (tidak baik), n(%)

14(14,6%)

6(6,25%)

3. Kebiasaan cuci tangan (kurang dan cukup). n(%)

77(80%)

95(98%)

4. Kebiasaati membuang tinja balita (tidak baik). n(%)

82(85%)

33(31%)

5. Penyediaan air minum untuk keluarga (tidak baik). n(%)

1S(1S,S%)

1(1%)

6. Kebiasaananggcta IceluaigaBAE (tidak baik), n(%)

25(26%)

3(3%)

7. Pemberiaan imunisasi campak (kurang dan cukup), n(%)

23(24%)

13(14%)

Tabel 2. Analisis Bivariat Faktor Sosio-demografi dan Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita.

Diare

No. Variabel

Ya n=96

Tidak ιι=96

RP ( K95¾ )

P

1. Tingkat

Pendidikan Ibu

Rendah Sedang Tinggi

-1

54

1

11

72

13

11,038(1,661-73,354) 6,000 (0,898-40,091)

Kontrol

<0,0001

0,009

2. Pekerjaan Ibu

Bekerja

Tidak bekerja

61

35

67

29

0,871 (0,654-1,162)

0,358

3. UmurIbu

Risiko tinggi

Risiko rendah

37

59

22

7+

1,414 (1,075-1,859)

0,019

4. Sumber Air Minum

Tidak terlindungi Terlindungi

20

76

1

95

2,143 (1,767-2,599)

<0,0001

5. TempatPembuangan Jambantidaksehat Tinja              Jamban sehat

23

73

3

93

2,012(1,613-2,509)

<0,0001

6. Jenis Lantai Rumah

Tidak kedap air Kedap air

91

4

92

1,117(0,612-2,040)

0,733

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Logistik Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Diare

No.       Variabel

PJ51IKS 5%)

P

1. Tingkat Peadidikan Ibu

3,731 (1,61W97)

0,02

2. UmurIbu

Ci7Sl (0,317-1,924)

0,592

3. Sumber Air Minum

4,841 (0,3:4-66262)

0,237

4. Jenis Tempat Pembuangan Tinja

OiOOO (0,000-.)

0,999

5. Kebiasaan Cuci Tangan Keluarga

0,310 (OiOSSlIiOS:)

0,067

6. Kebiasaaji Membuang Tinja Balita

7,884 (3,598-17,275)

<0,0001

7. Penyediaan Air AIinum Keluarga

2,408 (0,093 -62:330)

0,597

S. Kebiasaan Anggota KeluargaBAB

0i000 (0,000-.)

Oi 999

DISKUSI

Pada penelitian ini dilakukan studi potong-lintang analitik untuk mengetahui hubungan faktor sosio-demografi dan lingkungan dengan kejadian diare pada balita. Berdasarkan analisis yang dilakukan, tingkat pendidikan ibu yang rendah dan sedang meningkatkan hampir 3 kali lipat risiko terkena diare [RP=3,731 (IK95% 1,619-8,597), p=0,002]. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yulisa dan Irianto yang menunjukkan ada pengaruh tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita. Dalam penelitian tersebut, ditemukan ibu balita dengan pendidikan rendah dan sedang masih banyak, sama halnya dengan data yang diperoleh dari penelitian ini.5,6 Masyarakat yang memiliki pendidikan rendah menjadikan mereka kurang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam mencegah terjadinya penyakit menular, seperti diare. Tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan pengetahuannya, salah satunya tentang kesehatan.8 Masyarakat dengan pendidikan lebih akan tinggi lebih mengutamakan tindakan pencegahan daripada pengobatan, serta menyadari pentingnya PHBS dalam mencegah penularan penyakit seperti diare.9 Berbeda halnya dengan penelitian Purwidiana yang menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita.7 Hal ini diduga karena pada penelitian

tersebut memiliki besar sampel dan menggunakan DOV yang berbeda dengan penelitian ini. Besar sampel yang digunakan pada penelitian tersebut lebih kecil daripada besar sampel pada penelitian ini, sementara itu DOV tingkat pendidikan ibu yang digunakan pada penelitian tersebut, dibagi menjadi: ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dan rendah, sedangkan pada penelitian ini, tingkat pendidikan ibu dibagi menjadi: ibu dengan tingkat pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Selain itu karakteristik responden disuatu daerah yang berbeda-beda diduga menjadi penyebab perbedaan hasil penelitian ini.

Pada penelitian ini didapatkan hasil kebiasaan membuang tinja yang tidak baik meningkatkan hampir 8 kali lipat risiko terkena diare [RP=7,884 (IK95% 3,598-17,275), p=<0,0001]. Kebiasaan membuang tinja yang tidak baik menyebabkan semakin pendeknya rantai penularan diare di masyarakat, kebiasaan membuang tinja di sungai, danau, dan kebun menyababkan lingkungan menjadi tercemar, yang mempermudah penularan diare. Kebiasaan membuang tinja yang tidak baik juga sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang dimiliki masyarakat, semakin tinggi penddikan suatu masyarakat, semakin tinggi pula kesadaran yang dimiliki tentang kesehatan dan pencegahan terhadap penyakit.8

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purwidiana, menunjukkan ada pengaruh antara umur ibu dengan kejadian diare pada balita.7 Hal yang berbeda didapatkan pada penelitian ini, yaitu umur ibu tidak berhubungan dengan kejadian diare [RP=0,781 (IK95% 0,317-1,924), p=0,592]. Hal ini diduga karena besar sampel dan DOV yang digunakan berbeda. Pada penelitian ini sampel yang digunakan lebih besar dan DOV umur ibu dibagi menjadi umur ibu risiko tinggi yaitu umur diatas 35, dan dibawah 20 tahun, sedangkan umur ibu risiko rendah yaitu umur 20 sampai 35 tahun, sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Purwidiana, DOV umur ibu dibagi menjadi umur ibu risiko tinggi yaitu umur diatas 40, dan dibawah 20 tahun, sedangkan umur ibu risiko rendah yaitu umur 20 sampai 40 tahun.7 Selain itu perbedaan karakteristik setiap daerah juga diduga menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini, namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yulisa yang mendapatkan umur ibu tidak berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita. Pada penelitian Yulisa tersebut didapatkan banyak ibu yang berumur diatas 40 tahun memiliki balita yang tidak mengalami diare.5 Persamaan hasil penelitian ini diduga karena DOV yang digunakan sama dan karakteristik tempat dilakukannya penelitian ini mirib dengan tempat penelitian tersebut dilakukan. Menurut WHO seorang perempuan dikatakan ideal menjadi seorang ibu ketika berumur 20-35 tahun karena pada umur tersebut perempuan sudah siap secara mental menjadi seorang ibu, berbeda halnya perempuan yang berumur dibawah 20 tahun belum memiliki mental yang matang untuk menjadi seorang ibu, demikian juga ketika berumur diatas 35 tahun yang memiliki kecenderungan fisik yang sudah melemah dalam merawat anaknya.8

Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi penting yang berkaitan dengan penyakit, seperti diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral misalnya air minum, jari tangan yang terkontaminasi, dan makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar. Menurut Departemen Kesehatan, air minum yang bersumber dari sungai, danau, dan tempat penampungan yang tercemar selama ini merupakan penyebab tersering menjadi

penyebab tingginya kejadian diare.8,9 Pada penelitian ini, sumber air minum tidak berhubungan dengan kejadian diare [RP=4,841 (IK95% 0,354-66,262), p=0,237]. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Purwidiana.7 Persamaan hasil penelitian ini diduga karena persamaan DOV yang digunakan dan karakteristik daerah penelitian ini dengan daerah penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan Yulisa didapatkan hasil yang berbeda.5 Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian tersebut diduga karena perbedaan besar sampel yang digunakan, besar sampel pada penelitian ini lebih besar daripada penelitian tersebut dan DOV yang digunakan juga berbeda, pada penelitian ini sumber air minum dibagi menjadi: sumber air terlindung terdiri dari air PAM, sungai, sumur, hujan yang dimasak, dan sumber air minum tidak terlingdung dibagi menjadi: air sungai, sumur, hujan yang tidak dimasak, sementara itu pada penelitian yang dilakukan Yulisa sumber air minum dibagi menjadi: sumber air terlindung terdiri dari air PAM, sungai, sumur dan sumber air minum tidak terlingdung dibagi menjadi: air sungai, sumur, dan air hujan.5

Pada penelitian ini didapatkan, jenis tempat pembuangan tinja tidak berhubungan dengan kejadian diare [RP=0,000 (IK95% 0,00-.), p=0,999]. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purwidiana.7 Persamaan hasil penelitian ini diduga karena persamaan DOV yang digunakan serta daerah pada penelitian ini memiliki karakteristik yang mirib dengan dengan daerah penelitian tersebut. Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari bagian kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak baik menurut aturan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit, seperti diare, yang salah satu penulurannya melalui tinja. Jenis tempat pembuangan tinja seperti jamban cemplung, jamban air sudah tidak dianjurkan saat ini, dan lebih dianjurkan penggunaan jamban leher angsa, karena risiko pencemaran terhadap lingkungan dan penyebaran penyakit sangat tinggi.8,9 Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Yulisa.5 Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian tersebut diduga karena besar sampel yang digunakan berbeda, pada penelitian ini menggunakan sampel yang lebih besar daripada penelitian tersebut serta

perbedaan karakteristik responden antara satu daerah dengan daerah yang lain berbeda.

Ibu balita yang bekerja atau menjadi wanita karir cenderung memiliki waktu terbatas untuk mengurus anaknya, hal tersebut berdampak pada tumbuh kembang anak tersebut, kebersihan, dan kesehatan anaknya. Pemberian ASI pada balita sangat penting karena kandungan ASI sangat diperlukan untuk pertahanan tubuh balita terhadap penyakit, salah satunya diare. Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu terbatas untuk memberikan ASI yang cukup dan baik, sehingga balita menjadi rentan sakit dan terkena diare.8 Pada penelitian ini didapatkan, pekerjaan ibu tidak berhubungan dengan kejadian diare [RP=0,871 (IK95% 0,654-1,162), p=0,358]. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulisa.5 Persamaan tersebut diduga karena DOV yang digunakan sama, namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Purwadiana, yang mendapatkan hasil ibu yang bekerja cenderung memiliki balita menderita diare.7 Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian tersebut diduga karena karakteristik responden antara satu daerah dengan daerah yang lain berbeda, dan perbedaan besar sampel, penelitian ini menggunakan sampel yang lebih besar daripada penelitian tersebut.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulisa didapatkan ada pengaruh antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada balita, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Purwadiana didapatkan tidak ada hubungan.5,7 Pada penelitian ini jenis lantai rumah didapatkan tidak berhubungan dengan kejadian diare [RP=1,117 (IK95% 0,6122,040), p=0,733]. Persamaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Purwidiana diduga karena DOV dan karakteristik daerah penelitian memiliki persamaan, sedangkan perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulisa diduga karena besar sampel yang digunakan berbeda, penelitian ini menggunakan sampel yang lebih besar daripada penelitian tersebut, pada penelitian ini menggunakan DOV yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulisa, pada penelitian ini jenis lantai rumah dibagi menjadi: lantai rumah kedap air, yang terdiri dari semen, dan porselin dan lantai rumah tidak kedap air

terdiri dari tanah.5,7 Pada penelitian yang dilakukan oleh Yulisa, DOV jenis lantai rumah dibagi menjadi lantai rumah kedap tidak air yang terdiri dari tanah, dan kayu dan lantai rumah kedap air terdiri dari semen, dan porselin.5 Selain hal tersebut, perbedaan hasil penelitian terjadi mungkin karena perbedaan karakteristik responden daerah penelitian. Lantai yang basah dan berdebu dapat menjadi sarang penyakit. Lantai rumah yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Jenis lantai rumah tinggal mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada anak balita, lantai yang lembab akan memungkinkan berkembangnya bakteri dan kuman penyebab diare. Penggunaan lantai rumah yang terbuat dari tanah sudah tidak dianjurkan lagi, karena kelembaban yang bertahan lama ketika musim hujan terjadi, yang memungkinkan untuk perkembangan bakteri yang dapat menimbulkan penyakit pada penghuninya.8

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu balita berhubungan dengan kejadian diare, sedangkan jenis pekerjaan ibu, umur ibu, sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja, dan jenis lantai rumah tidak berhubungan dengan kejadian diare pada balita. Pada penelitian ini juga didapatkan kebiasaan membuang tinja balita yang tidak baik berhubungan dengan kejadian diare.

SARAN

Tingkat pendidikan ibu dan kebiasaan buang tinja yang tidak baik terbukti berhubungan dengan kejadian diare pada balita, sehingga perlu dilakukan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan serta pengadaan sekolah kejar paket A, B, C, dan universitas terbuka untuk ibu balita yang putus sekolah. Pada penelitian ini juga didapatkan kebiasaan membuang tinja balita yang tidak baik berhubungan dengan kejadian diare, sehingga perlu penelitian lebih lanjut dengan menjadikan variabel tersebut sebagai variabel yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.  Junanto I. Asuhan Keperawatan pada Anak

dengan Diare Akut di Ruang Kanthil Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas. Digital Library Journal. 2012; 22(2): 11-4.

  • 2.  Departemen     Kesehatan     Republik

Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011: Situasi Diare di Indonesia. depkes.go.id [ diakses tanggal 7 Januari 2016        ].        Tersedia        di:

http://www.depkes.go.id/resources/downlo ad/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2011.pdf.

  • 3.    Gusti A, Tangking K. Lama Rawat Inap Penderita Diare Akut Pada Anak Usia Di Bawah Lima Tahun dan Faktor yang Berpengaruh di Badan Rumah Sakit Umum Tabanan tahun 2011. Community Health

Journal. 2013; 12(3): 23-8.

  • 4.  Dinas Kesehatan Provinsi Bali.  Profil

Kesehatan Provinsi Bali Tahun2014:

Situasi Diare di Bali. depkes.baliprov.go.id. [ diakses tanggal 10 Januari 2016].

Tersediadi:

http://www.depkes.go.id/resources/downlo ad/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2015/ 17_Bali_2015.pdf

  • 5.    Yulisa. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (Studi pada Masyarakat Etnis Dayak Kelurahan Kasongan Baru Kecamatan Kentingan Hilir Kabupaten Kentingan Kalimantan Tengah) Tahun 2007. Undip E-journal. 2008; 23(2): 12-21.

  • 6.    Irianto J, Soesanto S, Supraptini I, Irianti, S, Anwar A. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan. 2013; 12 (3): 7796.

  • 7.    Purwidiana A. Pengaruh Faktor Sosio-demografi dan Kebersihan Lingkungan terhadap Angka Kejadian Diare di Sragen Tahun 2009. Jurnal Medika. 2009; 21(2): 156-63.

  • 8.    Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Edisi ke-2. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. h. 57-8.

  • 9.    Widyastuti P. Epidemiologi Diare. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2005. h. 45-7.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i9.P07

45