ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.7,JULI, 2020



Diterima:17-07-202  Revisi:21-07-2020 Accepted: 23-07-2020

DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENOLAKAN OTOPSI PADA KASUS KEMATIAN YANG DIDUGA TIDAK WAJAR

Putu Pradnyasanti Laksmi1, IB Putu Alit2, Henky2

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Denpasar

Koresponden : Putu Pradnyasanti Laksmi Email: [email protected]

ABSTRAK

Dalam mencari penyebab kematian pada kasus kematian tidak wajar, maka pihak yang berwenang dapat meminta bantuan dokter forensik untuk melakukan pemeriksaan jenazah (otopsi). Namun pada pelaksanaannya, otopsi mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Adapun beberapa alasan terkait penolakan otopsi tersebut, dapat dilihat dari faktor internal, eksternal, maupun impersonal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi penolakan otopsi pada kasus kematian yang diduga tidak wajar tersebut. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional melalui wawancara yang dilakukan terhadap keluarga dari jenazah yang dapat dihubungi dengan keterangan diperlukan pemeriksaan luar (PL), yang diambil dari buku register Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah pada periode Agustus 2018 sampai Februari 2019. Dari 89 responden penelitian ini, didapatkan sebanyak 87,6% menolak untuk dilakukan otopsi, dan 88,5% dari jumlah tersebut juga menolak untuk melanjutkan ke jenjang hukum apabila sewaktu-waktu dipanggil.

Kata kunci: Kematian tidak wajar, otopsi, penolakan otopsi

ABSTRACT

In searching for the cause of death in cases of unnatural death, the authorities might request for the assistance of forensic doctor to carry out an examination (autopsy). But during its implementation, autopsy had decreased from year to year. As for several reasons related to the autopsy refusal, it could be examined through the internal, external and impersonal factors. The aim of this study was to determine the factors that plays important role in autopsy refusal in these allegedly unnatural cases of death. This study used a cross-sectional method through interviews conducted with the family of the deaths whom could be contacted with information on the need for an external examination (PL), taken through the registration data of Forensic Medicine Installation of Sanglah Hospital from August 2018 to February 2019. Out of the 89 respondents involved in this study, it was found that 87.6% had refused to perform an autopsy, and 88.5% of that number also refused to proceed to the level of law if at any time called.

Keywords: Unnatural death, autopsy, autopsy refusal

PENDAHULUAN

Kematian tidak wajar adalah kematian yang terjadi akibat suatu peristiwa seperti bunuh diri,pembunuhan maupun kecelakaan. Termasuk di dalamnya kematian akibat dari tindak kekerasan maupun keracunan. Di Indonesia, terjadinya kematian menyebabkan timbulnya rangkaian pengurusan terhadap jenazah oleh penyidik dan atau penyelidik terkait untuk membantu mencari penyebab kematian. Dalam hal ini, pihak berwenang terkait dapat meminta bantuan oleh ahli yang dalam hal ini salah satunya merupakan dokter forensik untuk melakukan pemeriksaan pada jenazah. Baik hanya pemeriksaan fisik (luar) maupun hingga pembedahan atau otopsi sebagaimana yang dituliskan pada pasal 133 ayat (1) dan (2) KUHAP. Salah satu contoh dimana otopsi harus dilakukan yakni pada kasus pembunuhan. Dimana pada kasus tersebut, pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan mencoba mencari metode pembunuhan dengan melihat adanya tanda-tanda luka fisik; baik yang disebabkan oleh senjata api, senjata tajam, bekas jeratan, adanya jejak racun maupun zat kimia, maupun memar akibat hantaman oleh benda tumpul.

Otopsi, berasal dari bahasa Yunani Autopsia yang berarti ‘melihat dengan mata sendiri’, dalam hal ini lebih dikenal sebagai pemeriksaan post-mortem dimana dalam terminologi ilmu kedokteran berarti pemeriksaan terhadap jenazah. Termasuk organ tubuh dan susunannya. Baik untuk tujuan kepentingan ilmu kedokteran, maupun membantu dalam proses tindakan kriminal.1 Dilaksanakannya tindakan otopsi medikolegal apabila dalam suatu kasus terdapat kematian yang tergolong; 1) akibat dari suatu tindak kekerasan; 2) mendadak atau tidak terprediksi; 3) memicu kecurigaan publik; 4) kondisi tubuh yang tidak memungkinkan untuk dilakukan hanya pemeriksaan fisik; 5) jenazah yang akan dikremasi; 6) merupakan ancaman kesehatan masyarakat.2 Otopsi dilakukan apabila dalam kasus kematian yang dianggap tidak wajar dan bersifat mendadak tersebut penyebabnya masih dirasa ganjil sehingga pihak berwenang merasa diperlukan adanya pemeriksaan lebih lanjut. Adapun sebelum dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap jenazah, penyidik diwajibkan untuk menjelaskan kepada pihak keluarga perihal maksud dan tujuan diadakannya pemeriksaan bedah jenazah sebagaimana yang tertulis dalam pasal 134 KUHAP.

Sekalipun otopsi sudah dirasa memiliki fungsi yang jelas serta merupakan proses wajib dalam tindakan hukum, namun tingkat pelaksanaan pemeriksaan jenazah khususnya otopsi mengalami penury dari tahun ke tahun hingga mencapai hanya 15% dari total angka kematian.3 Hal ini terus

berlanjut pada tahun berikutnya, sekalipun jumlahnya bervariasi di tiap negara. Seperti contoh di Indonesia, khususnya di Bali. Meskipun jumlah pasti untuk masalah penolakan terhadap otopsi belum tercatat, namun sumber lain mengatakan di Denpasar pada awal semester tahun 2005, 69 dari total 2.068 angka kematian yang ada dianggap tidak wajar. Atas dasar hukum dasar tertulis yang diberlakukan di Indonesia, maka kasus kriminal yang berujung kematian tidak wajar tersebut wajib dilaporkan pada pihak berwenang dimana nanti akan diproses lebih lanjut melalui proses yang berlaku dan berlanjut ke pemeriksaan post-mortem. Berawal dari pemeriksaan fisik/luar, sampai pemeriksaan dalam atau otopsi.

Salah satu dari sekian banyaknya faktor yang menyebabkan mengapa pihak keluarga cenderung menolak untuk melaksanakan diadakannya pemeriksaan bedah jenazah seperti otopsi adalah, pihak keluarga cenderung merasa kasihan dan duka apabila jenazah tersebut ‘dibongkar’ untuk diperiksa. Faktor lain juga termasuk didalamnya kepercayaan serta tradisi yang menyebabkan adanya konflik terhadap adanya pembedahan jenazah tersebut. Kebudayaan masyarakat di Timur yang notabene sangat berpegang kuat terhadap kepercayaan dan kukuh terhadap tradisi lama lebih cenderung menolak otopsi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di bagian Barat; yang dimana cenderung lebih terbuka dengan kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan. Selain itu, kurangnya informasi mengenai tujuan otopsi di masyarakat juga merupakan faktor yang berpengaruh. Sehingga dalam hal ini terdapat kesenjangan terhadap aspek medikolegal antara hak asasi dari individu serta hak asasi dari kebijakan yang berwenang, yang dimana dalam hal ini adalah keadilan dan kebijakan hukum.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consecutive sampling, yakni metode pemilihan sampel dimana setiap responden yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah; 1) Keluarga yang bersedia untuk mengisi kuesioner; 2) Merupakan wali pengampu dari pengambil keputusan (surrogate decision makers); 3) Mengetahui kondisi terakhir jenazah. Sedangkan kriteria eksklusi adalah; 1) Warga negara asing; 2) Usia responden <24 tahun; 3) Keluarga tidak dapat dihubungi.

Total sampel pada penelitian ini yang dipilih dengan metode consecutive sampling berjumlah 89 orang, dengan rincian sesuai dengan

lokasi penelitian yang dilaksanakan di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah. Penelitian ini telah dinyatakan laik etik oleh persetujuan dari Komisi Etik Penelitian (KEP) FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar dengan nomor 2018.01.01.1103.

HASIL

Karakteristik responden pada penelitian berikut dipaparkan berdasarkan hubungan responden terhadap jenazah, bagaimana cara kematian berdasarkan catatan register Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, serta apakah responden mengizinkan otopsi atau tidak. Termasuk di dalamnya apakah dalam prosesnya, terdapat surat permintaan visum (SPV) dari pihak yang berwajib.

Tabel 1. Karakteristik Responden/Sampel

Variabel

Frekuensi (n = 89)

Presentase (%)

Hubungan responden dengan jenazah

Pasangan

13

14,6

Anak

40

44,9

Orang tua

4

4,5

Saudara kandung

32

36

Cara kematian berdasarkan catatan register

Death on arrival

7

7,9

Trauma

20

22,5

Datang meninggal

42

47,2

Titip jenazah

11

12,4

Titipan RS lain

1

1,1

Apakah mengizinkan otopsi

Ya

11

12,4

Tidak

78

87,6

Apakah terdapat SPV

Ya

18

20,2

Tidak

6

6,7

Tanpa keterangan

65

73

Tabel 1 menunjukan, dari total 89 responden, sebanyak 40 diantaranya merupakan anak kandung dari jenazah. Sedangkan sebanyak 13 orang lainnya merupakan pasangan 4 orang di antaranya merupakan orang tua, serta 32 orang lainnya merupakan saudara kandung. Berdasarkan catatan register yang didapatkan dari Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, sebanyak 7 jenazah DOA, 20 jenazah meninggal akibat trauma, 42 jenazah dinyatakan datang meninggal, 11 jenazah merupakan jenazah yang dititipkan oleh keluarga, sedangkan 1 jenazah merupakan titipan dari Rumah Sakit lain. Adapun dari total 89 responden, sebanyak 11 di antaranya mengizinkan untuk melakukan otopsi, sedangkan sebanyak 78 orang lainnya menolak. Serta dilihat pula dari total 89 responden, dari keterangan catatan register Instalasi Kedokteran Forensik, sebanyak 18 kematian terdapat SPV, sebanyak 6 lainnya tidak terdapat SPV, serta 65 sisanya tanpa keterangan

oleh karena berdasarkan informasi yang didapatkan bahwa, seringkali pada kasus kematian yang diduga tidak wajar, SPV datang terlambat.

Tabel 2. Alasan Keluarga Jenazah Menolak Otopsi

Variabel

Frekuensi (n = 78*)

Presentase (%)

Alasan menolak otopsi Menghabiskan

13

14,6

banyak waktu Adanya

9

11,5

kepercayaan yang melarang Usia jenazah

26

33,3

Pandangan

9

11,5

masyarakat

Kurang memahami

20

25,6

otopsi      beserta

prosedurnya Lain-lain

1

1,3

Berdasarkan keterangan dari tabel di atas, telah diambil 78 data dari 89 kuesioner yang telah diolah berdasarkan jumlah yang menolak untuk diberlakukannya otopsi. Sebanyak 13 responden atau 14,6% dari total 78 responden menyatakan menolak otopsi dengan alasan karena dirasa terlalu menghabiskan banyak waktu, sehingga dapat menghambar proses penguburan jenazah. Sebanyak 9 atau 11,5% lainnya menolak dikarenakan larangan dari kepercayaan yang dianut. Sebanyak 26 atau 33,3% beralasan bahwa usia jenazah yang terlalu muda atau cenderung tua menjadi alasan yang memberatkan karena merasa kasihan. Sebanyak 9 atau 11,5% lainnya merasa malu sebab masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal masih memiliki pandangan yang negatif serta pengetahuan minim terhadap otopsi. Sebanyak 20 atau 25,6% menyatakan belum sepenuhnya memahami otopsi serta prosedurnya serta 1 atau 1,3% responden memilih ikhlas sehingga merasa otopsi sudah tidak diperlukan lagi.

Kemudian oleh sebab itu, dari jumlah tersebut ditanyakan pula ketersediaan responden apabila kedepannya diminta untuk melanjutkan ke jenjang hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang penolakan otopsi pada kasus kematian yang pada keadaannya mendapatkan SPV, maka didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 3.   Kebersediaan   Keluarga untuk

Melanjutkan ke Jenjang Hukum

Variabel                 Frekuensi Presentase

(n = 78)       (%)

Kebersediaan melanjutkan ke jenjang hukum Ya                      9          10,1

Tidak                  69         77,5

Berdasarkan keterangan pada tabel tersebut, dapat diketahui bahwa sebanyak 9 responden atau sekitar 10,1% dari jumlah yang menolak menyatakan bersedia untuk melanjutkan ke jenjang hukum, namun 69 atau sekitar 77,5% sisanya menolak.

Tabel 4. Alasan Menolak Melanjutkan ke Jenjang Hukum

Variabel                 Frekuensi Presentase

(n = 69)       (%)

Alasan menolak melanjutkan ke jenjang hukum

Kendala   proses

13

14,6

hukum

Biaya

14

15,7

Non-litigasi

25

28,1

Pandangan

4

4,5

masyarakat

Lain-lain

13

14,6

Berdasarkan dari keterangan pada tabel di atas, dari total 69 responden yang menolak untuk melanjutkan hukum, telah diberikan pertanyaan lanjutan mengenai alasan yang membuat mereka memilih menolak.

Maka, sebanyak 13 atau 14,6% menolak diakibatkan oleh adanya kekhawatiran terhadap adanya kendala yang menjadikan proses hukum menjadi lebih panjang. Sebanyak 14 atau 15,7% mengaku takut apabila memerlukan biaya yang banyak apabila diperlukan dalam prosesnya . Sebanyak 25 atau 28,1% memilih proses hukum diselesaikan secara adat atau kekeluargaan. Sebanyak 4 atau 4,5% merasa malu pada masyarakat sekitar apabila didatangi polisi serta sebanyak 13 atau 14,6% memilih oleh karena keluarga sudah merasa ikhlas terhadap kepergian alm./almh. Sehingga tidak merasa perlu untuk melanjutkan proses hukum, namun menyatakan siap apabila sewaktu-waktu harus memenuhi panggilan.

PEMBAHASAN

Pada kasus kematian yang diduga tidak wajar, otopsi atau pemeriksaan post-mortem merupakan proses yang wajib dalam tindakan hukum. Pernyataan ini, didukung oleh hukum yang tertulis sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 122 ayat (1) disebutkan bahwa, “Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Yang kemudian didukung oleh pasal 133 KUHAP ayat (1) dan (2) sehubungan dengan tindakan otopsi.4

Namun, sekalipun sudah memiliki fungsi yang jelas, tingkat pelaksanaan pemeriksaan jenazah khususnya otopsi mengalami penurunan

dari tahun ke tahun. Pada penelitian ini, didapatkan sebanyak 12,4% dari total kasus yang mengizinkan untuk diberlakukannya otopsi terhadap jenazah, sedangkan 87,6% lainya menolak. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan di Belanda dengan hasil sebanyak 81%.5 Hal ini, tentunya bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, dimana Visum et Repertum menjadi termasuk sebagai alat bukti sah seperti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) sub. B dan sub. E KUHAP.6 Dalam kasus kematian yang diduga tidak wajar serta diperlukannya Visum et Repertum oleh pihak yang berwajib, maka dapat dijatuhkan pula sanksi terhadap pihak keluarga yang menolak otopsi, sebagaimana yang tercantum pada pasal 222 KUHP karena dianggap menghalang-halangi pemeriksaan jenazah.

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa alasan yang menjadi faktor pemberat pihak keluarga untuk mengizinkan otopsi. Sebanyak 14,6% menganggap pelaksanaan otopsi membuang waktu yang dapat menghambat proses pemakaman jenazah. Dimana dalam beberapa kepercayaan memiliki aturan bahwa proses penguburan jenazah tidak boleh ditunda kecuali dalam batas kebutuhan mengurusnya, atau menunggu datang kerabat dan/atau tetangganya yang tidak terlalu lama menurut pandangan umum.7 Lebih lanjut, sebanyak 11,5% jenazah percaya bahwa dalam kepercayaan yang dianut, adalah dilarang untuk dilakukan otopsi pada jenazah, sebab keluarga masih berpegang pada keyakinan terhadap larangan untuk melukai maupun menghancurkan tubuh sekalipun orang tersebut sudah meninggal.8 Jumlah ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan di Nigeria pada tahun 2009 dengan jumlah penolakan sebanyak 25,3%.9 Adapun terhadap permasalahan otopsi tersebut, dalam hukum agama tersebut mengajarkan untuk menghormati orang yang sudah meninggal dan larangan menyakiti tubuh jenazah. Namun, disebutkan pula bahwa otopsi dapat dan/atau bahkan wajib dilakukan apabila dalam keadaan darurat dan menyangkut kemaslahatan manusia dengan kewajiban untuk mengembalikan jenazah dalam keadaan seperti semula dan semua potongan dari organ atau jasad mayat harus dikubur.

Sebanyak 33,3% menolak dengan alasan usia jenazah yang dianggap terlalu tua sehingga pihak keluarga memilih mengikhlaskan, sedangkan apabila usia jenazah terlalu muda, pihak keluarga merasa kasihan apabila dalam prosesnya jenazah akan rusak.9

Di sisi lain, sebanyak 25,6% menolak otopsi dengan alasan bahwa masih kurangnya pengetahuan lebih lanjut mengenai otopsi. Dimana jumlah ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Belanda dengan jumlah 0,6%.5 Hal ini menyebabkan sulitnya untuk mengurus administrasi serta dalam

pembuatan Visum et Repertum yang memerlukan persetujuan dari pihak keluarga jenazah. Kurangnya pengetahuan mengenai otopsi, berdampak langsung terhadap persepsi keluarga terlebih adanya rasa takut apabila jenazah akan dimutilasi.

Dengan adanya penolakan terhadap otopsi, maka sesuai dengan pasal 222 KUHAP yang menyebutkan akan adanya sanksi penjara selama-lamanya 9 bulan karena menghalangi pemeriksaan jenazah, sebanyak 11,5% responden mengaku siap untuk menjalani proses hukum apabila sewaktu-waktu diharuskan untuk memenuhi pangilan, dengan 88,5% lainnya menolak.

Terdapat beberapa kendala yang menjadikan pihak keluarga menolak untuk membawa kasus ke jenjang hukum lebih lanjut. Satu diantaranya adalah dimana keluarga memilih untuk menyelesaikan secara adat atau kekeluargaan sebagai angka tertinggi yaitu 35,3%. Dimana khususnya di Bali, terdapat tiga praktek penjatuhan sanksi terhadap penyelesaian perkara di luar pengadilan yang disebut Tri Danda, yaitu; Jiwadanda yang berupa permintaan maaf serta dikeluarkan dari keanggotaan banjar; Arthadanda yakni membayar denda dengan uang rupiah; serta Sangaskaradanda dimana pelanggar hukum diwajibkan untuk melaksanakan upacara mecaru sebab dianggap telah melakukan perbuatan yang dianggap leteh (tidak suci).10 Selain itu, sebanyak 20,6% menganggap bahwa masalah ekonomi menjadi Kendala. Terlebih dalam pelaksanaannya, terdapat kekhawatiran dari pihak keluarga terhadap jumlah biaya yang diperlukan dalam proses hukum. Sebanyak 20,6% mengkhawatirkan adanya Kendala dalam keberlangsungan prosesnya. Di antaranya menolak apabila sewaktu-waktu, untuk mengurus keberlanjutan hukum, diperlukan untuk dilakukannya penggalian kubur jenazah untuk dilakukan otopsi. Terutama khusus untuk keluarga yang beragama Hindu, mendapatkan kendala apabila jenazah sudah menjalani upacara ngaben. Sebanyak 2,9% lainnya menolak oleh karena masih merasa malu apabila diketahui oleh tetangga maupun masyarakat di daerah sekitar apabila sewaktu-waktu rumah didatangi oleh polisi. Dan sebanyak 20,6% lainnya tidak memberikan alasan.

Berdasarkan data tersebut, telah diolah kembali mengenai penting-tidaknya pemberian pengetahuan mengenai otopsi pada masyarakat pada umumnya. Sebanyak 95,5% merasa bahwa pemberian pengetahuan dasar terhadap otopsi dirasa perlu dengan sebanyak 40,7% diantaranya memiliki harapan agar masyarakat memahami tujuan serta keuntungan dari otopsi yang sebagaimana fungsinya untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti. Sebanyak 9,3% beranggapan bahwa pentingnya pengetahuan dasar mengenai otopsi adalah agar masyarakat lebih

bersedia untuk melakukan otopsi apabila dalam proses pelaksanaannya secara hukum diwajibkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sebanyak 7% beranggapan bahwa masyarakat memang diwajibkan untuk tahu, sementara sebanyak 24,4% beranggapan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai otopsi masih dirasa belum terlalu baik mengingat masih adanya kepercayaan bahwa otopsi dapat merusak jenazah, rasa takut tentang mutilasi serta tidak lengkapnya jenazah pada saat dikuburkan. Sementara sebanyak 18,6% sisanya menganggap bahwa pemberian pengetahuan otopsi dirasa sebagai sekedar pengetahuan tambahan saja.

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan pula bahwa di tengah kehidupan masyarakat, sudah terbentuk living law terkait penolakan otopsi tersebut. Dimana hukum yang mengatur tentang pelaksanaan otopsi dianggap sudah dirasa tidak efektif oleh karena dianggap tidak mengikuti kaidah sosial yang berkembang di masyarakat. Sehingga, diperlukan penyusunan aturan baru mengenai pelaksanaan pemeriksaan jenazah melalui Sociological Jurisprudence.11

SIMPULAN

Dalam rentang waktu dari bulan Oktober 2018-Februari 2019 di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, ditemukan sebanyak 87,6% menolak otopsi dari total kasus kematian yang diduga tidak wajar. Sebanyak 88,5% dari jumlah yang menolak otopsi, menolak untuk melanjutkan apabila diharuskan untuk melanjutkan ke jenjang hukum. Sebanyak 36,2% lebih memilih untuk menyelesaikan urusan hukum melalui proses secara adat dan/atau kekeluargaan.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Vijay F.M.I. Gobel. Bedah Mayat dalam Mengungkap Tindak Pembunuhan Menurut Pasal 134 KUHAP. Lex Administratum; 2016; 4(3): 221-227

  • 2.    Clark, S. C., Peterson GF. History of the Development of Forensic Autopsy Performance Standards. Am J Forensic Med Pathol;2006; 27(3):226-255

  • 3.    Wilke A., French F. ATTITUDES TOWARD AUTOPSY REFUSAL BY YOUNG ADULTS ’. Physchol Rep. 1990; 67(1):81– 82.

  • 4.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tentang Kesehatan. 2009

  • 5.    Blokker BM, Weustink AC, Hunink MG, Oosterhuis Authopsy rates in the Netherlands:35 years of decline. JW. PLoS ONE. 2017; 12(6): e0178200

  • 6.    Winardi M, Wahyuni T. Kedudukan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Surat [Internet].

Jurnal.hukum.uns.ac.id. 2015 [cited 25 January     2018].     Available     from:

http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/verste k/article/viewFile/678/633

  • 7.    Cassum, L. A. Refusal to Autopsy : A Societal Practice in Pakistan Context. Journal of Clinical Research & Bioethics. 2014; 5(5): 4-6

  • 8.    Muhammad, I. and Eko, H. Tata Cara Mengurus Jenazah Muslim dan Menguburnya. [online] D1.islamhouse.com. 2011; 1(1):h.6-11.

  • 9.    Olayiwola Abideen Oluwasola, Olufunmilayo I. Fawole, Abiodun Jesse Otegbayo, Gabriel Olabiyi Ogun, Clement A. Adebamowo, and Afolabi Elijah Bamigboye (2009) The Autopsy:    Knowledge, Attitude, and

Perceptions of Doctors and Relatives of the Deceased. Archives of Pathology & Laboratory Medicine: Januari 2009; 133(1)

:78-82

  • 10.    Windia P Wayan. Danda Pacamil : Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali, Denpasar. 2004; (1) Hal. 30.

  • 11.    Henky. Pelaksanaan Autopsi di Indonesia Ditilik dari Segi Sosiologi Hukum. Scientific News Magazine; 2016; 3(1): Hal.3

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P16

91