AUTOREGULASI SEREBRAL PADA CEDERA KEPALA

Ni Made Ayu Apsari Dewi

Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Bentuk khas dari sirkulasi serebral yaitu aliran daran serebral secara dinamik disesuaikan untuk melindungi aliran darah otak dari perubahan tekanan perfusi. Aliran darah cenderung tetap konstan pada kisaran tekanan darah sistemik (autoregulasi serebral). Kedua mekanisme lokal dan kontrol autonomik neural berperan pada autoregulasi serebral. Peningkatan dan penurunan tekanan arterial CO2 (PaCO2) akan meningkatkan dan menurunkan aliran tekanan darah serebral dengan vasodilatasi dan vasokonstriksi serebral yang tidak bergantung pada autoregulasi serebral (reaktivitas CO2 serebral). Setelah cedera kepala, autoregulasi aliran darah serebral mengalami gangguan kebanyakan pasien. Pada pasien dengan cedera kepala berat terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada stage awal trauma.

Kata kunci: autoregulasi; reaktivitas CO2; cedera kepala; patofisiologi

CEREBRAL AUTOREGULATION IN HEAD INJURY

ABSTRACT

A characteristic feature of the cerebral circulation is that the cerebral blood flow is dynamically adjusted to protect brain blood from changes in perfusion pressure. Cerebral blood flow tends to remain constant over a range of systemic blood pressures (cerebral auto regulation). Increases and decreases of the arterial CO2 tension (PaCO2) will increase and decrease cerebral blood flow by cerebral vasodilatation and vasoconstriction, independent of cerebral auto regulation (CO2 reactivity of the brain). After brain injury, cerebral flow auto regulation gets impaired in most patients. In patient with severe traumatic brain injury, impaired CO2 reactivity occurred in early stage trauma.

Key word: auto regulation; CO2 reactivity; head injury; pat physiology

Pendahuluan

Gambaran khusus sirkulasi serebral yaitu aliran darah serebri secara dinamis berubah untuk memproteksi aliran darah otak dari perubahan tekanan perfusi.1 Aliran darah serebral cenderung untuk tetap konstan dalam kisaran tertentu dari tekanan darah serebral. Hal ini dinamakan autoregulasi serebral. Kedua mekanisme lokal dan kontrol neural autonomik berperan dalam autoregulasi serebral. Peningkatan dan penurunan tekanan CO2 arterial (PaCO2) akan meningkatkan dan menurunkan tekanan darah serebral dengan cara vasodilatasi dan vasokonstriksi serebral. Fenomena ini dinamakan reaktivitas CO2 pada otak. Batasan kisaran tekanan darah dimana autoregulasi serebral bekerja dimodifikasi oleh PaCO2 dan reaktivitas CO2 pada otak bisa mengganggu autoregulasi serebral.

Autoregulasi merupakan hasil dari karakter intrinsik otot sel polos vaskuler pada otak.2 Faktor lain berinteraksi dengan tekanan untuk menentukan derajat kontraksi sel otot polos. Jalur umum melibatkan konduktansi kalium membran plasma, potensial membran sel otot polos, dan konsentrasi sitoplasmik kalsium. Mekanisme molekular terlalu kompleks untuk memberikan prediksi kuantitatif.

Cedera kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan mortalitas individu dibawah umur 45 tahun di dunia.4 Cedera kepala menggabungkan stress mekanik pada jaringan otak dengan ketidakseimbangan antara aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) dan metabolisme, eksitotoksisitas, pembentukan edema, dan proses inflamasi dan apoptosis. Pengertian terhadap kaskade injuri multidimensional memberikan pilihan terapeutik termasuk manajemen tekanan perfusi serebral, ventilasi mekanikal (hiper-), terapi kinetik untuk memperbaiki oksigenisasi dan mengurangi tekanan intrakranial, dan

intervensi farmakologi untuk mengurangi eksitotoksisitas. Patofisiologi individual yang tidak bisa diprediksi memerlukan monitoring otak yang cedera untuk memberikan terapi sesuai dengan status spesifik pasien.

Regulasi aliran darah serebral

Sistem saraf pusat jika dihitung merupakan 2% dari total berat badan (rata-rata berat otak 1300 sampai 1500 gram) memiliki kebutuhan energi yang tinggi.3 Konsumsi oksigen serebral yaitu 3,5 mL per 100g/mnt yang mana merupakan 20% dari konsumsi total oksigen tubuh. Pada kondisi yang normal, aliran darah serebral dijaga pada kisaran aliran yang konstan yaitu 50 mL sampai 60 mL per 100g/mnt dengan 50 mL oksigen telah diekstraksi setiap menit dari 700 sampai 800 mL darah. Nilai ekstraksi oksigen tinggi dan perbedaan rata-rata O2 arteriovenose untuk sistem saraf pusat yaitu 6,3 mL per 100 mL darah. Aliran darah serebral bergantung pada perbedaan tekanan antara arterial dan vena sirkulasi serebral dan secara terbalik proporsional terhadap resistensi vaskular serebral. Tekanan vena pada kapiler darah tidak bisa diukur dan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) sangat dekat dengan tekanan vena, diukur untuk memperkirakan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP). CPP dihitung sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP) dan ICP.

Nilai ICP normal pada orang dewasa yaitu <10 mmHg dan peningkatan ambang batas 20 mmHg biasanya diterima untuk memulai terapi aktif.3 Nilai CPP 60 mmHg umumnya diterima sebagai nilai minimal yang diperlukan untuk perfusi serebral yang adekuat. Dua konsep yang penting yaitu:

  • 1.    Doktrin Monro-Kelle

  • 2.    Kurva volume-pressure

Doktrin Monro-Kelle menyatakan bahwa volume total isi intrakranial (jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) tetap konstan selama ditampung oleh kompartmen yang rigid (skull), sebagai berikut:3

VC = Votak + Vdarah + VCSF

Dengan peningkatan volume dari salah satu bagian bisa memulai kompensasi dengan penggantian salah satu dari komponen yang lain.3 Vena serebral bisa dikonstriksikan, mengakibatkan penurunan volume darah otak, dan volume CSF bisa menurun karena kombinasi dari peningkatan resorpsi dan pengaliran CSF ke bagian spinal. Dengan adanya peningkatan volume, mekanisme kompensasi dimunculkan, sehingga peningkatan lebih lanjut pada volume menghasilkan peningkatan tajam ICP, memulai gambaran kurva volume-pressure.

Gambar 1. Kurva Volume-pressure3

Kebutuhan metabolik yang tinggi dari otak dengan kombinasi persediaan substrat yang terbatas mengharuskan untuk menjaga level CBF dalam batas yang normal.3 Dalam

keadaan fisiologis, hal ini dipengaruhi lewat sebuah mekanisme yang dinamakan autoregulasi. CBF meningkat dengan vasodilatasi dan menurun dengan konstriksi arteriol serebral dinamakan cerebral resistance vessels. Pembuluh darah berespon pada perubahan tekanan darah sistemik (autoregulasi tekanan), viskositas darah (autoregulasi viskositas), dan kebutuhan metabolik yang menjaga level CBF dalam batas yang tepat untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Autoregulasi tekanan ditunjukkan pada gambar.

Gambar 2. Kurva autoregulasi CBF dan CPP normal3

Reaktivitas CO2 merujuk pada respon pembuluh darah serebral dan akibat CBF terhadap perubahan PCO2.3 Peningkatan tekanan CO2 merilekskan arteri serebral in vitro. In vivo, perubahan perivaskuler PaCO2 atau pH yang sangat terlokalisir bisa merubah diameter vaskuler, mengindikasikan bahwa elemen vaskuler bertanggung jawab untuk mempengaruhi perubahan pada diameter pembuluh darah. Kedua sel vaskuler (endotelium dan sel otot polos) dan sel ekstravaskuler (sel nervus perivaskuler, neuron, dan glia)

mungkin juga terlibat. Pada situasi klinis, perubahan CBF kira-kira 3% untuk setiap milimeter perubahan raksa pada PaCO2 diatas kisaran 20 sampai 60 mmHg yang secara klinis penting pada pasien dangan trauma cedera kepala. Hipoventilasi yang menghasilkan hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah serebral, sedangkan hiperventilasi menghasilkan vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah serebral.

Reaksi arteri terhadap tekanan (autoregulasi)

Sel otot polos dinding arteri berkontraksi terhadap respon peningkatan tekanan intravaskuler pada segmen arterial lokal pada derajat lebih dari yang bisa kompensasi peregangan pasif dinding pembuluh darah.2 Hasil keuntungannya adalah arteri berkonstriksi pada tekanan yang lebih tinggi dan berdilatasi pada tekanan yang lebih rendah pada proses yang dinamakan autoregulasi.

Tekanan memicu peningkatan membran potensial sel otot polos yang kemungkinan terjadi karena modifikasi aktivitas channel sensitif ATP dan Ca2+ activated potassium pada membran plasma.2 Ambang kebocoran kalium dari sel ke ruang ekstraseluler diatur oleh konduktansi kalium membran plasma dan merupakan penentu utama membran potensial istirahat. Mekanisme pasti coupling mekanokimia tidak diketahui pasti. Potensial membran mengatur konsentrasi intraseluler Ca2+ lewat efek channel voltage-gated Ca2+. Konsentrasi intraseluler Ca2+ merupakan pengatur utama tonus sel otot polos dengan fosforilasi regulatory light chains of myosin yang dimediasi oleh Ca2+/calmodulin myosin light chain kinase dengan interaksi subsekuen dari aktin dan miosin. Kejadian ini tidak bergantung pada endotelium dan konstriksi arterial dalam respon pada tekanan luminal merupakan reflek myogenik intrinsik.

Arteri yang diisolasi bisa menunjukkan fluktuasi spontan pada potensial membran sel otot polos dan tonus (vasomotion) yang mungkin bisa berhubungan dengan konsentrasi sel ke sel.2 Karena sel endotelial berorientasi secara longitudinal pada axis pembuluh darah dan sel otot polos tersusun secara sirkuler, salah satu hipotesa yang menarik bahwa sel endotel bisa berkoordinasi dengan tonus banyak sel otot polos dan sehingga derajat kontraksi melebihi sebuah segmen arterial. Mekanisme seperti ini memiliki respon waktu mereka sendiri dan mungkin menjelaskan fluktuasi spontan.

Perbedaan organ tertentu dalam respon arterial terhadap tekanan

Sinyal Ca2+ dimodulasi dengan banyak cara.2 Fosfolipase dan protein kinase C dilibatkan dalam proses ini.2 Arterial otot skeletal berbeda dengan pembuluh darah serebral pada beberapa respek penting. Pertama, pengaturan membran potensial yang berhubungan dengan tekanan diatur lebih rendah. Kedua, terdapatnya sumber alternatif kalsium intraseluler dan modulasi yang berbeda pada channel calcium dependent potassium. Hal ini dan sumber aktivitas channel kalium memodifikasi membran potensial sel otot polos dan mungkin menjelaskan perbedaan respon arterial terhadap tekanan darah pada jaringan vaskuler yang berbeda, dengan demikinan berperan pada distribusi aliran beberapa organ.

Interaksi autoregulasi dan vasodilatasi hipoksia

Tonus otot polos arterial dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu konduktansi kalium, potensial membran, konsentrasi Ca 2+ intraseluler, dan tonus otot polos membantu

penentuan level insiden resistensi vaskuler.2 Salah satu vasodilator yang kuat yaitu hipoksia.

Reaktivitas O2 bergantung pada sejumlah mekanisme.2 Vasodilatasi hipoksia mungkin bisa sangat penting untuk pertahanan, bahwa beberapa sistem paralel telah berkembang untuk mengurangi resiko kegagalan. Reaktivitas O2 bergantung pada bagian endotelium yang intak dan produksi nitrit oksida (NO). NO bekerja lewat sistem sinyal intraseller cyclic guanidine monophosphate (cGAMP) dan efek vasodilator setidaknya karena bisa membuka penuh channel calcium activated potassium dan ATP-sensitive potassium.

Hipoksia juga mengakibatkan laktasidosis jaringan.2 penurunan pH merupakan poin interaksi antara reaktivitas O2 dan reaktivitas CO2. Hipoksia juga memiliki efek langsung dengan selektif membuka Ca2+-activated potassium channel dan channel ATP-sensitive potassium pada membrtan sel.

Semua mekanisme ini menghubungkan hipoksia terhadap hiperpolarisasi sel otot polos sehingga terjadi vasodilatasi.2 Efek ini sama tanpa memperhatikan tekanan intravaskular. Pada batasan lebih rendah dari tekanan arterial, penurunan membran potensial hanya mengawali untuk dilatasi arteria minimal lebih lanjut karena membran potensial/hubungan tonus muskuler diluar steep part. Pada prakteknya, hal ini berarti pada keadaan tekanan perfusi yang rendah, jalur dilator mungkin sudah hampir secara maksimal diaktivasi. Sehingga, kadar oksigen yang rendah mungkin tidak bisa dikompensasi secara tepat dengan meningkatkan aliran darah (mengurangi hiperemia reaktif) ketika tekanan darah juga rendah. Hasilnya yaitu jaringan hipoksik iskemia.

Interaksi autoregulasi dan PCO2

Arteri dan arteriol berkonstriksi dengan hipokapnia dan berdilatasi dengan hiperkapnia.2 Bagian prinsipal dari reaksi ini dimediasi melalui konsentrasi hidrogen (pH). Perivaskuler pH memiliki efek langsung terhadap membran potensial sel otot polos arteri karena konsentrasi ekstraseluler hidrogen merupakan penentu primer konduktansi kalium membran plasma sel otot polos.

Bloodpressure           PerivascuIarpH

Piama cell membrane K+ conductance

Membrane potential                           Alpha-receptor st mulatιon

8                    ∕

Voltage-Jepencent Ca2- channels Release of Ca2+ from intracellular stores

Cytoplasmatic Ca2+ concentration

Gambar 3. Skema sederhana regulasi tonus otot polos vaskuler oleh konsentrasi intraseluler Ca2+.3

Lebih lanjut, peningkatan konsentrasi ion hidrogen ekstraseluler (sampai derajat yang lebih rendah dari intraseluler) mengurangi konduktansi channel voltage-dependent Ca2+.2 Sehingga, konsentrasi intraseluler Ca2+ dan konsentrasi sel otot polos dikurangi.

Perubahan pada PCO2 memiliki efek yang lebih pada aliran darah serebral (CBF) daripada aliran darah pada organ lain karena adanya brain blood barrier yang terdapat endotelium.2 Endotel dari pembuluh darah intrakranial memiliki ikatan yang kuat dan tidak mengijinkan HCO3+ untuk lewat dengan bebas. Difusi terbatas dari HCO3+ memberikan arti bahwa hiperkapnia menurunkan pH pada ruang perivaskuler di otak lebih daripada yang di

darah dimana buffering lebih efektif karena adanya hemoglobin. Perbedaan ini berlangsung sampai konsentrasi HCO3+ seimbang selama beberapa jam kemudian.

Patofisiologi aliran darah cerebral pada trauma cedera kepala

Cedera kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan mortalitas individu dibawah umur 45 tahun di dunia.4 Mekanisme prinsipal cedera kepala diklasifikasikan sebagai (a) kerusakan otak fokal karena tipe cedera kontak yang menyebabkan terjadinya kontusio, laserasi, dan perdarahan intrakranial atau (b) kerusakan otak difus karena tipe cedera akselerasi/deselerasi yang menghasilkan cedera axonal difus atau pembengkakan otak. Hasil dari cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme/stage substansial yang berbeda: (a) primary insult (kerusakan primer, kerusakan mekanikal) yang terjadi saat waktu terbentur, (b) secondary insult (kerusakan sekunder, delayed non-mechanical damage) menunjukkan proses patologi berturutan yang dimulai saat waktu cedera dengan presentasi klinis yang ditunda. Iskemia serebral dan hipertensi intrakranial merujuk pada secondary insult.

Aliran darah otak dijaga dalam level yang konstan pada otak normal saat fluktuasi biasa pada tekanan darah dengan proses autoregulasi.5 Normalnya autoregulasi menjaga aliran darah konstan antara tekanan arteri rata-rata (MAP) 50mmHg dan 150 mmHg. Namun, pada otak yang iskemik atau mengalami trauma, atau sedang mendapat agen vasodilator (agen votil dan sodium nitropruside) aliran darah otak CBF bisa bergantung pada tekanan darah. Defek autoregulasi aliran darah serebral bisa muncul segera setelah trauma atau mungkin bisa berkembang selama waktu, dan hal ini menjadi transien atau persisten dalan

keadaan yang irrespective adanya kerusakan ringan, sedang, atau parah.4 Sehingga tekanan arteri meningkat lalu CBF akan meningkat menyebabkan peningkatan volume otak.5 Sama seperti jika tekanan turun, CBF juga akan turun mengurangi tekanan intrakranial, tapi juga memicu pengurangan tak terkontrol CBF.

Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitas CO2 merupakan mekanisme penting untuk menyediakan aliran darah serebral yang cukup setiap saat. Demikian juga, kedua pola tersebut merupakan dasar manajemen tekanan perfusi serebral dan tekanan intrakranial dan gangguan mekanisme regulator mencerminkan peningkatan resiko kerusakan otak sekunder. Setelah terjadi trauma cedera kepala, autoregulasi aliran darah serebri mengalami gangguan atau tidak ada pada kebanyakan pasien. Keadaan sementara pada patologi ini tidak sejalan dengan keparahan cedera untuk menghasilkan kegagalan autoregulasi. Defek autoregulasi bisa muncul segera setelah trauma atau bisa berkembang seiring perjalanan waktu, dan menjadinyata atau persisten pada bentuknya tidak selaras dengan kerusakan ringan, sedang, atauberat. autoregulasi vasokonstriksi juga sepertinya lebih resisten dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi yang mengindikasikan pasien lebih sensitif pada kerusakan rendah daripada tekanan perfusi serebral tinggi. 4

Dibandingkan dengan autoregulasi aliran darah serebral, reaktivitas CO2 serebrovaskular terlihat memiliki fenomena lebih kuat. Pada pasien yang mengalami cedera otak parah dan prognosis buruk, terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada fase awal setelah trauma. sebaliknya reaktivitas CO2 lebih utuh atau mungkin meningkat pada kebanyakan pasien yang menerima prinsip fisiologis sebagai target manajemen intrakranial pada status hiperemik.4

Banyak studi terbaru telah menunjukkan bahwa setelah terjadi trauma autoregulasi masih bisa berfungsi.5 Pada situasi jika CPP turun dibawah nilai kritis 70 mmHg, pasien akan mengalami perfusi serebral yang tidak adekuat. Autoregulasi akan menyebabkan vasodilatasi serebral mengawali peningkatan volume otak. Hal ini sebaliknya akan meningkatkan tekanan intrakranial dan memicu lingkaran visius yang dijelaskan dengan kaskade vasodilatasi yang menghasilkan iskemia serebral.

Spontaneous Hypovolaemia Cardlogenlc Pfiarinacological

+ CP     ^Vasodilation

Vasodilatory Cascade


4 CMR

+ Viscosity Hypoxia Hypercapnia

Gambar 4. Kaskade Vasodilatasi 5

Proses ini hanya bisa dirusak dengan meningkatkan tekanan darah untuk menaikkan tekanan perfusi serebral, yang memicu kaskade vasokonstriksi.5 Hal ini menjelaskan mengapa pemeliharaan tekanan darah arteri pada level yang adekuat dengan monitoring cermat dan koreksi yang cepat jika terjadi penurunan sangatlah penting.

Spontaneous

Ischaemic Response

Icbv


Vasoconstriction

Cascade


+CMR +Viscosity Hyperoxia Hypocapnia


Gambar 5. Kaskade vasokonstriksi5

Karbon dioksida menyebabkan vasodilatasi serebral.5 Dibandingkan dengan autoregulasi serebral, reaktivitas CO2 (konstriksi serebrovaskuler atau dilatasi pada respon terhadap hipo- atau hiperkapnia) kelihatannya merupakan kejadian yang lebih kuat.4 Dengan terjadi peningkatan tekanan arterial CO2, CBF meningkat dan ketika terjadi pengurangan maka akan memicu vasokonstriksi.5 Sehingga hiperventilasi bisa mengawali terjadinya pengurangan rata-rata tekanan intrakranial sekitar 50% dalam 2-30 menit. Ketika PaCO2 kurang dari 25 mmHg (3,3kPa) tidak terdapat pengurangan lebih lanjut pada CBF. Akibatnya, tidak terdapat keuntungan untuk memicu hipokapnia lebih lanjut sebagaimana hanya akan menggeser kurva disosiasi lebih ke kiri, membuat oksigen kurang tersedia untuk jaringan.

Gambar 6. Kurva hubungan PCO2 arterial dengan CBF5

Vasokonstriksi hipokapnia akut hanya akan berlangsung untuk waktu yang relatif singkat.5 Sementara hipokapnia dipelihara, terjadi peningkatan gradual CBF pada nilai kontrol yang memicu terjadinya hiperemia serebral (over-perfusion) jika PaCO2 dikembalikan secara cepat menjadi normal level. Ketika ventilasi jangka panjang diperlukan, hanya hipokapnia ringan (34-38 mmHg: 4,5-5,1 kPa) harus dipicu. Hasil yang

lebih buruk pernah dilaporkan pada pasien setelah cedera kepala pada bulan ketiga dan keenam yang telah dilakukan hiperventilasi pada level PaCO2 rendah untuk periode yang lama.

Kesimpulan

Autoregulasi serebral merupakan mekanisme dimana aliran darah serebral cenderung untuk tetap konstan dalam kisaran tertentu dari tekanan darah serebral. K edua mekanisme lokal dan kontrol neural autonomik berperan dalam autoregulasi serebral. Reaktivitas CO2 pada otak dimana terjadi peningkatan dan penurunan PaCO2 arterial akan meningkatkan dan menurunkan tekanan darah serebral dengan cara vasodilatasi dan vasokonstriksi serebral, yang masing-masing tidak bergantung dengan autoregulasi serebral. Setelah cedera kepala, autoregulasi aliran darah serebral mengalami gangguan kebanyakan pasien. Pada pasien dengan cedera kepala berat terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada stage awal trauma.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Lieshout, JJ, Wieling, W.Perfusion of the human brain: a matter of interactions. J Physiol 2003;551.2:402.

  • 2.    Greisen, G. Autoregulation of Cerebral Blood Flow. NeoReviews 2007;vol.8:e22-e31.

  • 3.    Stochett, N, et al. Hyperventilation in Head Injury. CHEST 2005;127:1812-25.

  • 4.    Werner, C, Engelhard, K. Pathophysiology of traumatic brain injury. BJA 2007;99: p.6-10.

  • 5.    Walters, FJM. Intracranial Pressure and Cerebral Blood Flow. www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_013.htm didownload tanggal 7 November 2011.

15