DERMATITIS KONTAK AKIBAT KERJA PADA PENATA

RAMBUT

Komang Ayu Kristiana Dewi K, Luh Made Mas Rusyati, IGK Darmada

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang disebabkan atau diperburuk oleh pekerjaan seseorang.Penyakit kulit akibat kerja yang paling banyak dialami oleh penata rambut adalah dermatitis kontak, baik iritan maupun alergi. Beberapa contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada penata rambut adalah nikel, formaldehid, ammonium thioglycolate, dan p-phenylenediaminz. Diagnosis dermatitis kontak pada penata rambut ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan yang relevan meliputi uji tempel. Upaya pengobatan yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison.

Kata kunci : Penyakit kulit akibat kerja, dermatitis kontak, penata rambut

OCCUPATIONAL CONTACT DERMATITIS IN HAIRDRESSERS

ABSTRACT

Occupational skin disease is a skin disease caused or aggravated by work. Occupational skin disease experienced by most hairdressers are contact dermatitis, both irritant and allergic. Some examples of materials that can cause contact dermatitis in hairdressers are nickel, formaldehyde, ammonium thioglycolate, and p-phenylenediaminz. Diagnosis of contact dermatitis in hairdressers enforced through anamnesa, physical examination, and additional tests that are relevant include patch test. The most important treatment is to avoid exposure to irritants and eliminate factors that aggravate. Where appropriate, to address the inflammation can be given topical corticosteroids, such as hydrocortisone.

Keywords: Occupational skin disease, contact dermatitis, hairdresser.

PENDAHULUAN

Penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang disebabkan atau diperburuk oleh pekerjaan seseorang.1,2Penyakit kulit akibat kerja yang paling banyak dialami oleh penata rambut adalah dermatitis kontak, baik iritan maupun alergi. Hal ini terjadi karena seorang penata rambut sering terpapar langsung dengan bahan kimia yang terkandung dalam produk-produk yang digunakan seperti sampo, cairan pengeriting rambut, cat rambut, dan pewangi.3

Penata Rambut dan Ahli Kosmetik Nasional di Amerika Serikat menemukan bahwa dari 405 responden yang mengalami dermatitis, lebih dari 50% mengalami dermatitis. Dari 203 penata rambut yang mengalami dermatitis, 62 diantaranya datang berobat ke dermatologist dan 20 orang diantaranya mengalami dermatitis kronis.4

Kunjungan penderita dermatitis kontak baru ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah menunjukkan peningkatan dari Januari 2000 sampai Desember 2005 sebesar 10,16 % menjadi 13,36% pada tahun selanjutnya dan relatif stabil untuk empat tahun setelahnya.5Total pengunjung dengan dermatitis kontak berdasarkan data penyakit di sub bagian Alergi-Imunologi 2006 di RS Sanglah adalah 801 orang dan menurun di tahun 2007 menjadi 580 orang.6,7

Meski dermatitis kontak akibat kerja tidak memerlukan rawat inap, bersifat ringan dan sering dianggap sebagai resiko yang perlu diterima, pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial harus diperhitungkan. Berbagai upaya pencegahan perlu dilakukan untuk menjaga keselamatan kulit para pekerja.

DEFINISI

Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) merupakan penyakit dermatitis kontak yang didapatkan dari pekerjaan akibat interaksi yang terjadi antara kulit dengan substansi yang digunakan di lingkungan kerja. Substansi tersebut mengiritasi kulit, menjadikannya tidak intak lagi (rusak) dan merangsang reaksi peradangan. Jadi iritasi kulit merupakan penyebab tersering dermatitis kontak.8,9

Bentuk respon dari dermatitis kontak dihasilkan melalui satu atau dua jalur utama, iritan atau alergi, dimana 80% didominasi oleh dermatitis kontak iritan dan sisanya 20% adalah dermatitis kontak alergi. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.DKI adalah inflamasi cutaneous yang disebabkan oleh efek sitotoksik langsung dari bahan

kimia atau fisik tanpa menghasilkan antibodi spesifik. Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi radang imunologi kulit akibat kontak dengan alergen. Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, reaksi radang terjadi melalui proses imunologi. Saat pajanan pertama kali, seseorang tidak mengalami reaksi apapun terhadap alergen. Seseorang 8

menjadi peka terhadap alergen setelah berulang kali kontak dengan alergen.8

EPIDEMIOLOGI

Efek samping produk perawatan rambut dari bahan kimia terhadap kulit telah banyak dilaporkan dan umumnya melibatkan dermatitis kontak yang dapat terjadi akibat reaksi alergi maupun bahan iritan dan bagian tubuh yang terlibat biasanya adalah tangan dan wajah. Hasil penelitian yang dilakukan di Italia tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 42.839 pasien dengan dermatitis kontak diketahui bahwa penata rambut adalah satu dari lima pekerjaan yang memiliki angka kejadian tinggi yaitu lebih dari 60% kasus.10

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Eropa tahun 2005, dari 261 penata rambut yang mengalami dermatitis kontak, 49 pasien dilakukan uji tempel dan hasilnya menunjukkan reaksi positif 1 (27 pasien) atau lebih (22 pasien) terhadap bahan-bahan kimia yang digunakan oleh penata rambut, dan 19 (7,3%) hasilnya positif alergi terhadap paraphenylenediamine (PPD) yang sering digunakan pada pewarna rambut.10Selain PPD, kandungan dalam pewarna rambut yang dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi adalah toluene-2,5-diamine (TDA) atau sulfatnya, toluene-2,5-diaminesulphate (TDS). PPD dan TDA (atau TDS) merupakan agen yang paling berperan dalam reaksi alergi, 17-58% uji tempel yang dilakukan pada penata rambut menunjukkan rekasi positif terhadap PPD dan 14-25% terhadap TDA atau TDS.11

Dermatitis kontak biasanya terjadi pada 6 minggu awal setelah memulai pekerjaan sebagai penata rambut. Dari hasil studi cross-sectional menunjukkan prevalensi dermatosis pada penata rambut berkisar antara 16,9% sampai 38,2%, dengan 1 studi yang dilakukan di kota Tainan, Taiwan, menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi terhadap dermatitis kontak iritan (83%) dan dermatitis kontak alergi (44%). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 32% jaringan parut yang ditemukan disebabkan oleh gunting.10

ETIOLOGI

Etiologi Dermatitis Kontak Iritan

Pada DKI, kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berulang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis, serta faktor suhu dan kelembaban lingkungan.

Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lebih lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan dari kulit putih); jenis kelamin (insiden DKI lebih banyak pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.9

Penggunaan sampo dapat menghilangkan lipid dan kelembapan alami tangan. Produk hairfinishing, hydrogen peroxide, dan ammonia pada pewarna rambut,serta irritation of persulfate dan thioglycolates pada pemutih rambut(bleaches) dancairan pengeriting rambut permanenjuga memiliki efek yang sama.

Etiologi Dermatitis Kontak Alergi

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (< 1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai epidermis dibawahnya (sel hidup).

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).9

Alergen yang paling sering ditemukan pada profesi penata rambut adalah paraphenylenediamine dan oxidative hair dyes, salts of thioglycolic acid yang digunakan pada permanent solution, yang ditemukan pada rambut beberapa minggu setelah aplikasi. Resorcinol and pyrogallol yang digunakan pada oxidative hair dyes,

sampo dan bahan karet pada sarung tangan merupakan etiologi DKA pada penata rambut.

Pada beberapa kasus di lingkungan kerja juga ditemukan kejadian sensitif terhadap nikel. Pada profesi penata rambut, permanent wave solution yang mengandung ammonium thioglycolatejuga dapat menyebabkan keluarnya nikel dari alat-alat seperti pada gunting.12,13Bahan iritan dan alergen yang terkandung dalam berbagai produk perawatan rambut dapat dilihat pada Tabel 1.

PATOGENESIS

Patogenesis Dermatitis Kontak Iritan (DKI)

Pada DKI, kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimia atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.

Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepas asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskular.

DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage colony stimulatunf factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFα, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifkan sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah

berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.

Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi (DKA)

Dermatitis kontak alergi dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat (IV) yang terbatas pada sejumlah orang tertentu setelah terpapar satu atau beberapa substansi antigenik. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA.

  • 1.    Fase Sensitisasi

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol. Di dalam kelenjar limfe, sel langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel-T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan CD4 yang mengenali HLA-DR sel langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses.

Sel langerhans mensekresi IL-1 yang kemudian menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel T spesifik sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.

  • 2.    Fase Elisitasi

Fase elisitasi terjadi pada pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan diproses secara kimia menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada selT yang telah tersensitisasi baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi aktivasi.

Keratinosit menghasilkan sejumlah sitokin dan eikosanoid yang akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang berada dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4 (LTB4). Eikosanoid, baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi

vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung 24-48 jam.9

MANIFESTASI KLINIS

Dermatitis adalah peradangan kulit dengan morfologi khas namun penyebabnya bervariasi. Manifestasi klinis dari DKI bermacam-macam tergantung faktor eksternal seperti lingkungan (tekanan mekanik, suhu, dan kelembaban) dan faktor predisposisi individu (umur, jenis kelamin, penyakit kulit sebelumnya, keadaan atopik, dan lokasi anatomis). Orang yang berusia lanjut tidak hanya lebih rentan terhadap DKI melainkan gejala dan klinisnya lebih berat, hal ini disebabkan karena telah menurunnya barrier pertahanan kulit. Faktor lingkungan seperti suhu dingin dan kelembaban udara yang menurun dapat menurunkan kadar air dalam stratum korneum. Suhu yang dingin sendiri dapat menurunkan kekompakan lapisan korneosit sehingga menyebabkan terpecahnya stratum korneum.1

Pada pasien dengan DKI, ketika kulit terkena paparan iritan maka kulit akan menjadi radang, bengkak, kemerahan, dan dapat berkembang menjadi vesikel kecil atau papul (tonjolan) yang pada tahap akut mengeluarkan cairan. Pada tahap kronis, kulit menjadi bersisik, mengalami likenifikasi, menebal, retak, dan dapat berubah warna.8Gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik-bintik merah tersebut. Reaksi inflamasi dapat bermacam-macam, mulai dari gejala awal seperti yang telah disebutkan tadi sampai pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Pada pasien yang terpapar iritan kronis, area kulit tersebut dapat mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar, bahkan terjadi hiper/hipopigmentasi dan penebalan (likenifikasi).

Tanda dan gejala DKA sangat tergantung pada alergen, tempat, dan durasi pemaparan serta faktor individu. Pada umumnya kulit tampak kemerahan dan bulla. Blister juga mungkin terjadi dan dapat membentuk crust dan scales ketika pecah. Gatal, rasa terbakar, dan sakit merupakan gejala dari DKA. (Gambar 1)

DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit kulit akibat kerja tidak hanya membutuhkan pengetahuan yang baik mengenai dermatologi, tapi juga pengetahuan praktis tentang proses pekerjaan pasien, bahan yang digunakan, praktik, dan kebiasaan pasien. Tampilan klinis penyakit kulit akibat kerja sama dengan penyakit kulit yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Terdapat bahaya saat kita mengabaikan penyakit kulit akibat kerja yaitu bahwa penyakit pasien akan kambuh lagi bila pasien kembali bekerja.8

Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak. Pemeriksaan tambahan yang relevan termasuk uji tempel dan tes laboratorium yang dilakukan bersamaan dengan kunjungan ke tempat kerja, sering memungkinkan dokter untuk menegakkan diagnosis yang tepat.8Perbedaan antara DKI dan DKA dapat dilihat pada Tabel 2.

Anamnesis

Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya karena hal tersebut penting dalam menentukkan terapi dan tindak lanjutnya supaya tidak terjadi kekambuhan.8Pada anamnesis yang penting untuk ditanyakan antara lain:

  • 1.    Riwayat pekerjaan sekarang: tempat bekerja, jenis pekerjaan, kegiatan yang lazim dilakukan pada hari kerja, pakaian pelindung dan peralatan, dan fasilitas kebersihan dan prakteknya

  • 2.    Faktor pekerjaan sehubungan dengan gangguan kulit seperti material yang dipakai dan proses yang dilakukan, informasi mengenai kesehatan dan keselamatan tentang material yang ditangani, apakah ada perbaikan pada akhir pekan atau pada hari libur, riwayat kerja yang lalu sebelum bekerja di tempat tersebut, riwayat tentang penyakit kulit akibat kerja yang pernah diderita, apakah ada pekerjaan rangkap di samping pekerjaan yang sekarang

  • 3.    Riwayat lainnya secara umum: latar belakang atopi (perorangan atau keluarga), alergi kulit, penyakit kulit lain, pengobatan yang telah diberikan, kemungkinan pajanan di rumah, dan hobi pasien.

Pemeriksaan Fisik

Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan kontak bahan yang dicurigai; yang tersering adalah daerah yang terpajan, misalnya tangan, lengan, muka, atau anggota gerak.Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut

dapat terlihat berupa eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan yang kulit yang kronis berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering, dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat pustulasi. Bila ada penumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau ulkus.15

Pemeriksaan Penunjang

Uji tempel adalah tes definitif untuk menentukan dermatitis kontak alergi. Prosedur tes ini digunakan untuk mengidentifikasi alergen yang menyebabkan dermatitis. Prosedur tes ini berupa penempelan satu set alergen yang dicurigai yang ditutup rapat di atas kulit 8

punggung bagian atas selama 48 jam.8

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Pembacaan kedua dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara respon alergik dan iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam setelah aplikasi.9

DIAGNOSIS BANDING

Berbagai kelainan kulit yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah:

  • 1.    Dermatitis Atopik: suatu kondisi yang umumnya terjadi pada siku atau belakang lutut. Seringkali kelainan ini berhubungan dengan riwayat alergi, asma, dan/atau riwayat keluarga alergi atau eksim. Dermatitis atopik timbul pada usia kanak-kanak, ditandai dengan kelainan berupa kulit kering dan bersisik yang bersifat simetris.

  • 2.    Dermatitis Numularis: atau eczema discoid, suatu kondisi yang biasanya muncul sesudah cedera minor, misalnya gigitan serangga atau luka bakar. Kelainan kulit ini dapat terjadi pada segala usia, baik pria maupun wanita. Namun demikian, pada beberapa anak, kelainan ini merupakan tanda dari dermatitis atopik.

  • 3.    Dermatitis Seboroik: yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. Biasanya kelainan ini hanya terjadi pada kulit yang berambut.

  • 4.    Psoriasis: peradangan pada kulit dengan karakteristik plak dan papula eritema yang tebal dengan sisik perak. Lokasi predileksi soriasis termasuk siku, lutut, kulit kepala, telinga, umbilikus, dan gluteal cleft.9

PENATALAKSANAAN

Pencegahan

Berdasarkan hasil penelitian, gejala DKAK dapat berkurang ketika penderita beristirahat dari pekerjaannya dan kekambuhan saat bekerja bervariasi, yaitu 35-80%. Pasien dengan DKAK yang memiliki prognosis yang buruk, pencegahan lini pertama sangatlah penting untuk dilakukan.14,15Prevalensi dermatosis akibat kerja dapat diturunkan melalui pencegahan yang sempurna, antara lain:

  • 1.    Pendidikan pengetahuan tentang kerja dan bahan yang mungkin dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dan cara mempergunakan alat serta akibat buruk alat tersebut.

  • 2.    Para karyawan dilengkapi dengan alat penyelamat atau pelindung yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya merangsang atau karsinogen seperti baju pelindung dan sarung tangan.

  • 3.    Melakukan uji tempel pada calon pekerja sebelum diterima di suatu perusahaan. Berdasarkan hasil uji tempel ini, karyawan baru dapat ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan yang rentan terhadap dirinya.

  • 4.    Pemeriksaan kesehatan berkala yang bertujuan untuk mengetahui dengan cepat dan tepat apakah karyawan sudah menderita penyakit kulit akibat kerja.

  • 5.    Karyawan dianjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter secara sukarela untuk mengetahui apakah ada menderita suatu dermatosis akibat kerja

  • 6.    Kerjasama antara dokter, ahli teknik, ahli kimia, dan ahli dalam bidang tenaga kerja untuk mengatur alat-alat kerja, cara kerja, atau memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan untuk mencegah kontaminasi kulit.15

Pengobatan

Dermatitis Kontak Iritan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis, maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi

komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.

Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.

Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis yang ditangani ataupun tidak ditangani secara alami membutuhkan waktu sekitar 10-21 hari untuk mereda akibat sistem imun pasien sendiri.Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel, atau bula, serta eksudatif, misalnya prednison 30 mg/hari. Sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000.

Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kostikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus).9

PROGNOSIS

Prognosis pada dermatitis kontak iritan dan alergi akut adalah cukup baik pada kebanyakan kasus, terutama pada pekerja yang menjalami rencana terapi yang kooperatif. Kekambuhan dapat muncul apabila terpapar iritan atau alergen dalam konsentrasi rendah dalam jangka waktu yang lama.15

Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multi faktor.Prognosis pada DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis menjadi kurang baik dan kronis bila terjadi bersamaan dengan faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.9

RINGKASAN

Penata rambut adalah salah satu profesi yang rentan mengalami dermatitis kontak terutama karena sering terpapar langsung dengan bahan kimia yang terkadung dalam

produk-produk yang digunakan saat bekerja. Beberapa contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada penata rambut adalah nikel, formaldehid, ammonium thioglycolate, dan p-phenylenediaminz.Manifestasi klinis yang muncul berupa radang, bengkak, kemerahan, dan dapat berkembang menjadi vesikel kecil atau papul (tonjolan) yang pada tahap akut mengeluarkan cairan. Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak. Pemeriksaan tambahan yang relevan meliputi uji tempel dan tes laboratorium yang dilakukan bersamaan dengan kunjungan ke tempat kerja. Untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak akibat substansi yang didapatkan di lingkungan kerja, seseorang dengan profesi penata rambut disarankan untuk menghindari atau mengganti produk-produk perawatan rambut yang diduga berbahaya bagi kesehatan pekerja. Selain itu penggunaan alat-alat perlindungan seperti sarung tangan dan baju pelindung juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kontak langsung antara kulit dengan bahan-bahan tersebut.

Tabel 1. Bahan iritan dan alergen dalam berbagai produk perawatan rambut12

Penyebab

Substansi

Iritasi

Sensitisasi

Sampo, pencuci,

Tensides (concamidopropyl betaine),

+

+

pelembab

Bahan pengawet (methyldibromo

(condisioner),

glutaronitrile,

+

+

hair

methylchloroisothiazolinone),

spray,hair gel,

Parfum (cinnamal, eugenol,

hair wax

hydroxylsohexyl 3-cyclohexene carboxaldehyde)

+

+

Phenols

+

Selenium disulfide

+

Formaldehyde

+

Parabens

+

+

Dichloromethane

+

+

Pewarna rambut

Pewarna oksidasi :

p-phenylenediamine

+

+

p-methylaminophenol

+

+

2-methyl-5-hydroxyethylaminophenol

+

+

m-phenylendiamine

Agen Oksidasi, pemutih (bleaches):

+

Hydrogen peroxide

+

Hydrochinone

+

+

p-dihydroxybenzol

+

Kalium persulfat

+

+

Natrium persulfate Blonding Agent :

+

+

Ammonium persulfate

+

+

Bahan

Ammonium thioglycolate, glyceryl

pengeriting

monothioglycolate,

+

+

rambut

permanen

cysteaminehydrochloride

Pelurus Rambut

Formaldehydan/atau methylene glycol

+

+

Sodium hydroxide

+

Potassium hydroxide

+

Lithium hydroxide

+

Kontak dengan alat kerja

Gunting (nickel)

+

Pelindung kulit

Sarung tangan (latex,

mercaptobenzothiazoles, thiurames, dithiocarbamates, phthalates, formaldehyde)

+

Tabel 2. Perbedaan DKI dan DKA.15

No

DKI

DKA

1

Penyebab

Iritan Primer

Alergen = sensitizer

2

Permulaan Penyakit

Kontak pertama

Kontak berulang

3

Penderita

Semua orang

Orang yang sudah alergi

4

Kelainan Wit

Hebat: eritem, bula, batas tegas

Ringan, tidak akut, eritem, erosi, batas tidak tegas

5

Uji Tempel

Eritem berbatas tegas, bila uji tempel diangkat reaksi berkurang

Eritem tidak berbatas tegas, bila uji tempel diangkat reaksi menetap atau bertambah

Gambar 1. Dermatitis Kontak Alergi pada tangan penata rambut yang disebabkan 12

olehglyceryl thioglycolate.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Wahyudi N, Hutomo M. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2005; Vol. 18, No. 3, p. 232-38.

  • 2.    Sumantri MA, Febriani HT, Musa ST. Dermatitis Kontak. Swamedikasi. Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta. Terdapat: http://pharma-c.blogspot.com, (Akses: 4 Januari 2010).

  • 3.    Kezic S, Visser MJ, Verberk MM. Individual Susceptibility to Occupational Contact Dermatitis. Industrial Health. 2009; 47. P. 469-78.

  • 4.    Putra, IB. Penyakit Kulit Akibat Kerja Karena Kosmetik. USU e-Repository 2008 [diakses 18 November 2012]. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id /bitstream/123456789/3424/1/08E00606.pdf

  • 5.    Lesthari I, Dwi K, Wardhana M, Adiguna S. Pola Penyakit Dermatitis Kontak pada Pekerja Industri yang dilakukan Tes Tempel di RSUP Sanglah Denpasar, Bali. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

  • 6.    Data Penyakit di Sub Bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Tahun 2006. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

  • 7.    Data Penyakit di Sub Bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Tahun 2007. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

  • 8.    Koh D, Goh CL. Gangguan Kulit. Dalam: Jeyaratnam J, Koh D. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: EGC; 2009. p. 96-125.

  • 9.    Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009. p. 129153.

  • 10.    Khumalo NP, Jessop S, Ehrlich R. Prevalence of Cutaneous Adverse Effects of Hairdressing. Arch Dermatol. 2006; 142. p. 377-83.

  • 11.    Lind ML. Dermatitis in Hairdressers as a Problem in Chemical Control. Ann Occup Hyg. 2005; Vol. 49, No.6, p. 457-59.

  • 12.    University of Osnabrück, Department of Dermatology, Environmental Medicine and Health Theory. Occupational skin diseases in the hairdressing trade: Medical

Reference Document. [cited 2011]. Available from:http://ec.europa.eu/ unitedkingdom/pdf/skin_diseases.pdf

  • 13.    Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. Third Edition. USA: Mosby inc; 2002. p. 3-15.

  • 14.    Brown T. Strategies for Prevention: Occupational Contact Dermatitis. Occupational Medicine.; 2004; Vol 54, No 7, p. 450-57.

  • 15.    Taylor JS, Sood A. Occupational Skin Disease. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th ed. USA: McGraw Hill; 2003. p. 1309-30.

16