PERAN PARTIKEL AEROSOL SEBAGAI MODE PENULARAN VIRUS INFLUENZA A

Putu Yuniadi Antari1, Made Agus Hendrayana2 1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2Staf Departemen Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Penularan virus Influenza A telah banyak diteliti dalam berbagai studi. Hal ini dikarenakan influenza merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan pandemi global melalui kemampuan virus untuk bermutasi dengan sangat cepat. Sebagai salah satu infeksi nosokomial yang potensial dialami oleh pasien-pasien lansia, anak, dan pasien dengan fungsi imun menurun, influenza patut diwaspadai dan dicegah. Studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penularan virus influenza A melalui transmisi aerosol serta peran fasilitas pelayanan kesehatan dalam penyebaran penyakit ini. Sebuah penelitian yang menggunakan hewan percobaan mendemonstrasikan bagaimana partikel aerosol dapat menularkan virus Influenza A diantara hewan-hewan tersebut. Dalam kaitannya dengan penularan virus di fasilitas kesehatan, studi ini mendapati bahwa lingkungan rumah sakit atau klinik yang berbeda memiliki jumlah partikel aerosol yang berbeda. Dengan demikian, didapatkan pula bahwa pemakaian alat perlindungan diri oleh petugas kesehatan berperan penting dalam mencegah penularan influenza ke pasien. Studi ini juga mempelajari langkah-langkah preventif untuk mencegah penularan lebih lanjut. Sebuah langkah pencegahan yang dapat dijalankan secara global memerlukan komitmen dan kerjasama semua penyelenggara fasilitas kesehatan dengan staf masing-masing.

Kata kunci : partikel aerosol, virus Influenza A, fasilitas pelayanan kesehatan

ROLE OF AEROSOL PARTICLE IN THE TRANSMISSION OF INFLUENZA A VIRUS

ABSTRACT

Transmission of the Influenza A virus has been widely studied by scientists, as influenza states itself a disease capable of easily causing worldwide pandemic. Influenza pandemics are mediated by its virus, which holds the ability to undergo mutation in a vast speed. As a threatening nosocomial infection especially among patients with a high risk of contamination, influenza must be given serious attention. The objective of this article is to comprehend the effectiveness of aerosol particles in influenza transmission, as well as the role of health care centers in facilitating the spreading of this disease. Reviews in this article show that experimental animals demonstrate how aerosol particles do play a role in the transmission of the disease. In its relation with health care facilities, reviews show that different hospitals or clinics represent various numbers of aerosol particles necessary for causing clinical symptoms and signs of influenza in a group of patients. On the other hand, basic precaution instruments significantly reduce influenza transmission. In addition, this study also reviews a number of possible actions to prevent further transmission. Commitment and teamwork of involved stakeholders are necessary to ensure public awareness and initiate health promotions to eliminate any possibility of further pandemics.

Keywords: aerosol particle, Influenza A virus, health care facilities

PENDAHULUAN

Influenza adalah penyakit respirasi yang diakibatkan oleh virus dengan kemampuan transmisi tinggi.1,2 Karakter virus influenza yang sangat virulen ini memunculkan

kekhawatiran global tentang munculnya pandemi. Berbagai studi kemudian dijalankan sejak merebaknya galur influenza A (H5N1) yang sangat patogenik, diikuti oleh virus influenza A yang berasal dari babi (H1N1).3 Terdapat pula peningkatan kewaspadaan tentang risiko transmisi influenza antarpasien di rumah sakit. Dalam situasi ini, pasien-pasien berisiko tinggi seringkali berada pada satu area yang berdekatan, serta terlibat kontak yang cukup sering dengan petugas kesehatan sehingga memungkinkan transmisi virus Influenza A jarak dekat yang cepat.4,5 Studi-studi yang telah dikerjakan mendapati galur virus H1N1 sebagai etiologi utama infeksi nosokomial influenza.4,6,7 Di sisi lain, meski kekhawatiran terhadap transmisi virus H5N1 antarmanusia cukup tinggi, belum ada bukti ilmiah yang mengkonfirmasi kekhawatiran tersebut.8,9

Virus influenza merupakan virus RNA rantai tunggal yang berselubung dan tergolong dalam familia Orthomyxoviridae. Terdapat tiga tipe virus influenza yang diketahui, yaitu tipe A, B, dan C. Kecenderungan glikoprotein hemaglutinin dan neuraminidase dalam memunculkan variasi antigenik melalui proses mutasi titik pada struktur virus influenza A mengakibatkan tipe ini lebih mampu menyebabkan pandemi dan kejadian luar biasa (KLB) tahunan dibandingkan influenza B maupun C.10-13

Indonesia telah mendapat perhatian serius akibat tingginya angka kasus infeksi H5N1 (flu burung) sejak merebaknya pandemi penyakit tersebut di tahun 2003. Tahun 2004, Beckett dkk menerbitkan hasil dari penelitian observasinya di Indonesia mengenai pola penyakit ini dan didapatkan bahwa pola kejadian influenza tertinggi pada musim hujan, terutama bulan Desember-Januari, dengan virus Influenza A lebih mendominasi dibanding Influenza B.14 Total kejadian flu burung di Indonesia hingga

2012 yang dilaporkan ke WHO adalah 191 kasus, dengan 159 kematian.15 Sementara kasus wabah flu babi akibat infeksi virus influenza A galur H1N1 di Indonesia mencapai angka kumulatif 362 orang terhitung sejak kejadian pertama dilaporkan, tanggal 24 Juni 2009, sampai 25 Juli 2009.16

Pada dasarnya terdapat 3 mode penularan virus influenza: transmisi melalui droplet berukuran besar, transmisi secara langsung antara tangan yang terkontaminasi dengan mukosa hidung, dan transmisi aerosol. Aerosol sendiri berarti partikel cair atau padat yang tersuspensi dalam udara atau gas dan berukuran cukup kecil sehingga dapat bertahan di udara karena memiliki laju pengendapan yang rendah.3

STUDI PARTIKEL AEROSOL DALAM TRANSMISI VIRUS

Partikel aerosol secara garis besar dapat dibagi menjadi droplet respirasi berukuran besar dan droplet nuklei. Droplet berukuran besar berdiameter >5-10 µm dan terlibat dalam transmisi penyakit influenza jarak dekat. Droplet nuklei, yaitu droplet yang dapat terbentuk dari evaporasi droplet berukuran besar, berukuran <5 µm dan bertanggung jawab untuk transmisi dengan jarak lebih jauh. Sesuai hukum Stokes, partikel berukuran besar lebih cepat mengendap di tanah dibanding partikel yang lebih kecil pada ketinggian sama. Aktivitas seperti batuk, bersin, berbicara, dapat mengakibatkan terbentuknya partikel droplet ini dalam berbagai ukuran.3,17,18

Selain mempertimbangkan ukuran partikel aerosol, penting untuk memperhatikan juga penetrasi partikel di dalam saluran pernapasan. Partikel berukuran 5 µm atau kurang memiliki kemampuan penetrasi yang signifikan di saluran pernapasan hingga ke regio alveolar. Partikel berukuran 5-10 µm juga mampu berpenetrasi yang baik di regio trakeobronkial, namun kemampuan ini menurun tajam pada partikel

dengan ukuran lebih besar dari itu. Sedangkan partikel berukuran 20 µm dan lebih sama

sekali tidak mengalami penetrasi di trakea.3

Salah satu perkembangan yang paling menarik mengenai studi terhadap influenza A ini adalah penetapan marmut sebagai model untuk studi transmisi virus influenza.3 Dalam studi pustaka oleh Tellier, penelitian Lowen dkk (2006) menghasilkan beberapa temuan, yaitu: marmut mudah terinfeksi oleh virus influenza A galur manusia tanpa proses adaptasi viral sebelumnya, virus dapat bereplikasi pada saluran pernapasan atas dan bawah marmut, serta bahwa virus tersebut mampu menginfeksi antarsesama marmot. Marmot yang terinfeksi dapat memperlihatkan gejala (simptomatik) serta dapat pula tidak.3

Studi pustaka Tellier juga mengkaji penelitian oleh Xie dkk (2007) tentang perilaku droplet ekspirasi. Didapatkan bahwa pada ketinggian 2 meter dan kelembaban relatif 50%, jarak horizontal yang dilalui oleh partikel berdiameter awal 30-50 µm kurang dari 1 meter apabila kecepatan awal hembusan napas ekspirasi sebesar 1 ms-1 (kecepatan rata-rata udara pernapasan normal), dan mencapai lebih dari 6 meter apabila kecepatan awalnya sebesar 50 ms-1 (misalnya saat bersin). Sebagai tambahan, partikel berukuran besar menempuh jarak lebih pendek karena lebih cepat jatuh ke tanah, sementara partikel yang lebih kecil bisa menguap dan menjadi seukuran aerosol.3

Pada tahun 2007, Lowen dkk meneliti sendiri hubungan antara efektivitas transmisi virus dengan kelembaban relatif dan suhu dengan menjalankan beberapa eksperimen.5

Tabel 1. Rangkuman percobaan Lowen dkk terhadap hubungan transmisi virus dengan

kelembaban udara dan suhu.5

No. Percobaan

Suhu

Kelembaban Relatif

Jumlah Marmut Terinfeksi

1.

20°C

20%

3 ekor (75%)

35%

4 ekor (100%)

50%

1 ekor (25%)

65%

3 ekor (75%)

80%

0 ekor (0%)

2.

5°C

35%

3 ekor (75%)

50%

4 ekor (100%)

65%

2 ekor (50%)

80%

2 ekor (50%)

3.

30°C

35%

0 ekor (0%)

Penjelasan mengenai bervariasinya hasil transmisi dalam hubungannya dengan kelembaban relatif dapat dijelaskan oleh tiga mekanisme. Mekanisme pertama ditinjau dari segi pejamu. Menghirup udara kering dapat mengurangi kelembaban mukosa hidung dan menyebabkan kerusakan epitelium dan/atau mengurangi kemampuan mukosa dan silia membersihkan rongga hidung, sehingga pejamu menjadi lebih rentan terkena infeksi saluran pernapasan. Mekanisme kedua ditinjau dari segi partikel virus, dimana tingkat stabilitas virion influenza dalam aerosol memang telah banyak dilaporkan bervariasi berdasarkan kelembaban relatif, termasuk laporan terbaru mengenai stabilitas virus yang maksimal pada kelembaban relatif yang rendah (20%-40%), minimal pada kelembaban relatif sedang (50%), dan tinggi pada kelembaban relatif tinggi (60%-80%). Kesamaan data tersebut dengan penelitian ini menunjukkan bahwa stabilitas virus dalam partikel aerosol adalah kunci transmisi virus. Mekanisme ketiga adalah dari segi perantara, yaitu droplet. Pada kelembaban relatif rendah, penguapan udara dalam bioaerosol hasil ekspirasi dapat berlangsung sangat cepat dan mempercepat pembentukan droplet nuklei.5

Lowen dkk (2009) kembali melakukan penelitian pada marmut untuk

membandingkan efektivitas transmisi virus influenza jarak dekat dan jarak jauh. Percobaan pertama menggunakan empat ekor marmut yang diletakkan dalam empat kandang terpisah dengan dengan beda ketinggian 80 cm satu sama lain. Hasilnya adalah terdapat dua ekor marmot terinfeksi. Setelah ketinggian diubah menjadi 108 cm didapatkan sebanyak tiga ekor marmot terinfeksi. Hasil ini menunjukkan bahwa transmisi yang mengarah ke atas (upward transmission) dan berjarak jauh mengarahkan pada kemungkinan tingginya peran droplet nuklei dalam penyebaran virus influenza pada hewan-hewan tersebut.17

DETEKSI VIRUS INFLUENZA A DALAM PARTIKEL AEROSOL

Dalam kondisi alami, virus influenza sebagian besar ditransmisikan melalui droplet dan kontak langsung. Karena itu, penataan ruangan yang lapang, pembiasaan cuci tangan, dan pencegahan dengan memakai masker sudah cukup efektif dalam mencegah transmisi. Namun rumah sakit maupun klinik-klinik kesehatan memiliki kondisi dan pengaturan yang khas, dan karenanya memungkinkan penularan penyakit melalui udara. Scott dkk (2002) melakukan studi pustaka mengenai kejadian influenza di pusat pelayanan kesehatan dan mendapati bahwa pada pasien akut, infeksi dilaporkan terjadi di unit renal, unit transplantasi organ, unit onkologi, dan unit perawatan intensif neonatus.4,18

Wong dkk (2010) meneliti tren transmisi aerosol di rumah sakit Prince of Wales, Hong Kong, dengan memanfaatkan momen wabah influenza A pada April 2008. Tujuh pasien rawat inap dalam sebuah bangsal ditemukan mengalami demam dan gejala-gejala ganguan respirasi. Bangsal ini kemudian ditutup untuk mencegah masuknya pasien rawat inap baru. Sebanyak 6 pasien diisolasi dan seluruh petugas kesehatan dan pasien

lainnya dalam bangsal tersebut diminta mengenakan masker wajah bedah setiap saat.

Kebersihan tangan ditingkatkan. Petugas serta pasien yang terlibat diberi oseltamivir sebagai profilaksis pasca-paparan dan dimonitor secara berkala. Pasien yang telah menyelesaikan masa rawat inapnya terus dilakukan pengawasan selama seminggu. Bangsal kembali berfungsi normal seminggu kemudian, ketika wabah tersebut sudah dinyatakan hilang.19

Penelitian Blachere dkk, (2009) mengukur jumlah dan ukuran partikel droplet yang melayang di udara (airborne) dalam sebuah unit gawat darurat West Virginia University Hospital selama bulan Februari 2008. Pengumpulan sampel dilakukan pada 6 siang di hari berbeda dan menggunakan total 74 sampler diam (stationary samplers) dan 7 sampler aerosol personal (personal aerosol samplers). Dua sampler diam diletakkan di ruang tunggu umum. Hal yang sama juga dilakukan di ruang tunggu anak-anak dan dua ruang pemeriksaan yang dipilih secara acak. Satu sampler diam diletakkan masing-masing di area resepsionis dan ruang triase. Tiap sampler diam ini dioperasikan selama 4-5 jam. Sementara untuk pemakaian sampler personal dilakukan oleh 7 dokter selama 3-4 jam. Ruangan diatur sedemikian rupa sehingga rerata suhu dalam ruangan (±SD) adalah 23,5°C ± 1,4°C, rerata kelembaban relatif (±SD) adalah 30,0% ± 3,3% dan rerata tekanan udara (±SD) sebesar 97,200 ± 700 Pa.2

Dengan menggunakan real-time polymerase chain reaction (RT-PCR), virus influenza A ditemukan pada sampler pada tiga hari berbeda. Pada hari ke-5 dan ke-6, kontrol menunjukkan negatif dan karena itu data-data pada hari 5-6 tidak digunakan. Pada hari-hari dimana kontrol bernilai positif, sampel dengan positif influenza ditemukan pada 8 sampler diam di ruang tunggu dan triase, dan 3 sampler personal yang dipakai oleh dokter unit gawat darurat. Virus influenza tidak ditemukan pada sampler

yang diletakkan di ruang pemeriksaan. Sebanyak 46% partikel virus influenza

ditemukan pada saringan pertama sampler (yang mengumpulkan partikel berukuan >4 µm). Pada saringan kedua, sebanyak 49% partikel berukuran 1-4 µm terkumpul. Sedangkan pada filter terakhir, 4% partikel berukuran <1 µm terkumpul. Penemuan ini menunjukkan bahwa >50 % dari total partikel virus ditemukan dalam bentuk fraksi aerosol, dan ini semakin menguatkan hipotesis bahwa virus influenza dapat ditransmisikan secara airborne.2

PENCEGAHAN TRANSMISI MELALUI PARTIKEL AEROSOL

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan enam area utama yang menjadi pedoman pencegahan pandemi influenza di masa mendatang: (i) memperbaiki sistem surveilans; (ii) vaksinasi terhadap kelompok berisiko tinggi; (iii) pemantapan program produksi untuk produsen vaksin; (iv) penelitian untuk meningkatkan deteksi terhadap varian virus baru dan mempercepat penyediaan vaksin-vaksin dan obat antiviral yang sudah ada; (v) sistem komunikasi multikomponen yang terintegrasi untuk penyaluran 20

informasi secara cepat; dan (vi) rencana penanganan kegawatdaruratan.20

Penggunaan vaksin influenza bagi tenaga kesehatan telah menjadi perhatian yang besar dan menjadi bahan studi sejumlah peneliti. Kimura dkk (2007) mendapati bahwa pengadaan Hari Vaksin dan kampanye edukatif terhadap influenza dan vaksin influenza memperluas cakupan tenaga kesehatan yang mendapat vaksin tersebut.21 Bernstein dkk (2010) memperkuat argumen ini dengan merumuskan faktor-faktor pendukung suksesnya cakupan vaksin bagi tenaga kesehatan, yaitu: (i) dukungan penuh pihak pimpinan rumah sakit serta jajarannya, (ii) penyesuaian kebijakan dengan kondisi dan lingkungan rumah sakit tersebut, (iii) menyediakan vaksin gratis, (iv) publikasi yang menyeluruh bagi petugas kesehatan, (v) pengadaan waktu dan tempat yang pasti dan

berkala, (vi) menyesuaikan tata cara program dengan aspek medis dan religi yang

berlaku, dan (vii) membentuk kebijakan yang jelas dan tertulis.22

Meski vaksinasi influenza merupakan teknik paling efektif dalam mencegah penularan virus influenza, WHO tetap menekankan pada langkah-langkah deteksi dini dan kebersihan diri. Sebagai bentuk deteksi dini, setiap kasus yang suspek ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran harus dilaporkan kepada Dinas Kesehatan yang berwenang dan diisolasi. Kewaspadaan standar (standard precautions) tetap perlu diterapkan, termasuk kewaspadaan transmisi droplet, kontak, maupun transmisi airborne. Upayakan ventilasi yang memadai pada lingkungan pasien. Sikap batuk dan bersin yang tepat juga perlu dibiasakan, yaitu dengan menutup mulut dengan lipatan siku, atau memakai tisu yang langsung dibuang di tempat sampah setelah digunakan.23

RINGKASAN

Transmisi aerosol secara signifikan berperan dalam penularan virus influenza A. Studi pada hewan mendemonstrasikan bagaimana satu hewan yang terinfeksi virus influenza A dapat menularkan virus tersebut pada hewan lain dalam jarak dan ketinggian yang bervariasi, dan ini menunjukkan adanya peran partikel droplet yang berukuran cukup kecil untuk dapat bertahan di udara lebih lama. Areal pusat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan klinik berisiko menjadi asal penularan virus influenza A. Area-area yang berbeda dalam rumah sakit atau klinik memiliki konsentrasi partikel infeksius yang berbeda pula. Untuk mencegah penularan virus influenza A di lingkungan pusat pelayanan kesehatan, cara paling efektif adalah dengan pemberian vaksinasi influenza secara berkala untuk seluruh petugas kesehatan. Selain itu, kewaspadaan standar perlu ditetapkan, serta menjaga kebersihan dan membiasakan etika batuk dan bersin yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Lindsley WG, Blachere FM, Davis KA, Pearce TA, Fisher MA, Khakoo R, dkk. Distribution of airborne influenza virus and respiratory syncytial virus in an urgent care medical clinic. Clinical Infectious Diseases. 2010; 50:693-98

  • 2.    Blachere FM, Lindsley WG, Pearce TA, Anderson SE, Fisher M, Khakoo R, dkk. Measurement of airborne influenza virus in a hospital emergency department. Clinical Infectious Diseases. 2009; 48:438-40

  • 3.    Tellier R. Aerosol transmission of influenza A virus: a review of new studies. J. R. Soc. Interface (2009) 6, S783-790

  • 4.    Stott DJ, Kerr G, Carman WF. Nosocomial transmission of influenza. Occup. Med. 2002. 52;5:249-253

  • 5.    Lowen AC, Mubareka S, Steel J, Palese P. Influenza virus transmission is dependent on relative humidity and temperature. PLoS Pathog. 2007. 3(10): e151: 1470-1476

  • 6.    Horcajada P, Pumarola T, Martinez JA, Tapias G, Bayas JM, Prada M, dkk. A nosocomial outbreak of influenza during a period without influenza epidemic activity. Eur Respir J. 2003;21:303-307

  • 7.    Maltezou, HC. Nosocomoial influenza: new concepts and practice. Curr Opin Infect Dis. 2008; 21(4):337-43

  • 8.    Liem NT, Lim W. Lack of H5N1 avian influenza transmission to hospital employees, Hanoi, 2004. Emerging Infectious Diseases. 2005; 11(2):210-15

  • 9.    Dolecek C, deJong MD, Hien TT, Farrar J Avian influenza H5N1 and healthcare workers. Emerging Infectious Diseases. 2005; 11(7):1158-59

  • 10.    Haaheim LR. Influenzaviruses. Dalam: Haaheim LR, Pattison JR, Whitley RJ. A practical guide to clinical virology. Edisi ke-2. John Wiley & Sons Ltd, 2002; h. 67-72

  • 11.    Stephenson I, Zambon M. The epidemiology of influenza. Occup. Med. 2002. Vol 52;5: 241-247

  • 12.    Carter JB. Origins and evolution of viruses. Dalam: Carter JB, Saunders VA. Virology. Principles and Application. John Wiley and Son’s Ltd, 2002; h. 264-269

  • 13.    Cann AJ. Infection. Dalam: Cann AJ. Principles of molecular virology. Edisi ke-4. Elsevier Inc, 2005; h. 189-190

  • 14.    Beckett CG, Kosasih H, Ma’roef C. Listyaningsih E, Elyazar IR, Wuryadi S, dkk. Influenza surveillance in Indonesia: 1999-2003. Clinical Infectious Disease. 2004; 39:443-9

  • 15.    WHO. Cumulative number of confirmed human cases for avian influenza A (H5N1) reported to WHO, 2003-2012. Diunduh dari:

http://www.who.int/influenza/human_animal_interface/EN_GIP_20120810Cumulative NumberH5N1cases.pdf (Akses: 3 Desember 2012)

  • 16.    Hidayati N. Kasus positif Flu A H1N1 di Indonesai tambah 19 jadi 362 orang. Diunduh dari: http://news.detik.com/read/2009/07/26/135629/1171623/10/kasus-positif-flu-a-h1n1-di-indonesia-tambah-19-jadi-362-orang (Akses: 29 November 2012)

  • 17.    Mubareka S, Lowen AC, Steel J, Coates L, Garcia-Sastre A, Palese P. Transmission of influenza virus via aerosols and fomites in the guinea pig model. The Journal of Infectios Diseases. 2009;199:858-65

  • 18.    Eames I, Tang JW, Wilson P. Airborne transmission of disease in hospitals. J. R. Soc. Interface (2009). 6: S697-S702

  • 19.    Wong BCK, Lee N, Li Y, Chan PSK, Qiu H, Luo Z, dkk. Possible role of aerosol transmission in a hospital outbreak of influenza. Clinical Infectious Diseases. 2010; 51(10):1176-1183

  • 20.    WHO. WHO checklist for influenza pandemic preparedness planning. 2005. Diunduh dari: http://www.who.int/csr/resources/publications/influenza/FluCheck6web.pdf (Akses: 28 November 2012)

  • 21.    Kimura AC, Nguyan CN, Higa JI, Hurwitz EL, Vugia J. The effectiveness of vaccine day and educational interventions on influenza vaccine coverage among health care workers at long-term care facilities. American Journal of Public Health. April 2007; 97 (4): 684-690

  • 22.    Bernstein HH, Stark JR. Recommendation for mandatory influenza immunization of all health care personnel. American Academy of Pediatrics. 2010. 126; 809-815

  • 23.    WHO. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi: pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan.

http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_CDS_EPR_2007_8BahasaI.pdf [Akses: 24 Januari 2011]

11