ISSN: 2597-8012    JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.11,NOPEMBER, 2019


C>siπt<ι

PREVALENSI DYSMENORRHEA DAN KARAKTERISTIKNYA PADA REMAJA PUTRI DI DENPASAR

Rebecca Mutia Agustina Silaen1, Luh Seri Ani 2, Wayan Citra Wulan Sucipta Putri 2

1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, 2 Departmen Kesehatan Masyarakat & Kedokteran Pencegahan (DKMKP) rebeccasilaen@gmail.com

ABSTRAK

Dysmenorrhea atau nyeri haid adalah masalah umum yang terjadi pada hampir seluruh wanita usia reproduksi di dunia, termasuk di Indonesia. Prevalensi penderita dysmenorrhea di Indonesia adalah sebesar 64,5% dengan kasus terbanyak ditemukan pada usia remaja, yaitu usia 17-24 tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan kejadian dysmenorrhea dan karakteristiknya pada remaja putri di Denpasar. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode observasional potong lintang. Data yang diambil merupakan data primer dengan menggunakan kuesioner pada 43 remaja putri. Diagnosis dysmenorrhea ditegakkan berdasarkan data riwayat klinis pasien yang diambil melalui wawancara, mencakup informasi bagaimana nyeri yang dialami, bagian-bagian yang merasakan nyeri, dampak nyeri dalam aktivitas sehari-hari, dan kestabilan munculnya nyeri saat menstruasi. Sebanyak 74,42% remaja putri mengalami dysmenorrhea. Proporsi dysmenorrhea paling tinggi ditemukan pada remaja dengan umur 14-16 tahun, tidak memiliki riwayat keluarga dengan dysmenorrhea, rentang umur menarche 11-12 tahun, dan siklus menstruasi selama 7 hari atau lebih. Selain itu proporsi dysmenorrhea tertinggi di penelitian ini juga ditemukan pada kelompok remaja dengan status gizi normal dan kelompok yang jarang berolahraga. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi dysmenorrhea pada remaja putri perlu diselanggarakan.

Kata kunci: dysmenorrhea, nyeri haid, remaja putri, prevalensi, potong lintang.

ABSTRACT

Dysmenorrhea or menstrual pain is a common problem that occurs in almost all women of reproductive age in the world, including in Indonesia. The prevalence of dysmenorrhea in Indonesia is 64.5% with most cases found in adolescence in age 17-24 years. The purpose of this study was to describe the incidence of dysmenorrhea and its characteristics in female adolescents in Denpasar. This research is descriptive with cross sectional observational method. Primary data was taken by using questionnaires on 43 girls. The diagnosis of dysmenorrhea is based on patient clinical history that taken through interviews that include information on how the pain is experienced, the parts that feel the pain, the effects of pain in daily activities, and the stability of pain when menstruation. 74.42% adolescent girls had dysmenorrhea. The highest proportion of dysmenorrhea was found in adolescent aged 14-16 years, having no family history with dysmenorrhea, an 11-12 years age of menarche, and a menstrual cycle for 7 days or more. In addition, the highest proportion of dysmenorrhea in the study was also found in adolescents with normal nutritional status and those who rarely exercised. Therefore, it can be concluded that socialization of dysmenorrhea in young women needs to be organized.

Keywords: dysmenorrhea, menstrual pain, female adolescents prevalence, cross sectional PENDAHULUAN

Dysmenorrhea adalah gangguan aliran darah haid atau nyeri haid yang menjadi masalah umum pada hampir seluruh wanita usia reproduksi di dunia, termasuk di Indonesia dan bahkan di Bali. Data yang tercatat di Indonesia pada tahun 2008, kasus dysmenorrhea ditemukan sebanyak 64,25%.1 Apabila dilihat dari segi usia, kasus dysmenorrhea paling banyak ditemukan pada usia remaja.2 Batasan usia untuk remaja sendiri menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun, dan menurut Menteri

Kesehatan RI tahun 2010 adalah 10 sampai dengan 19 tahun.3

Satu hal yang menjadi masalah berkenaan dengan dysmenorrhea ini adalah tidak adanya penanganan yang tepat. Hanya 25,9% siswa dengan dysmenorrhea yang berkonsultasi mengenai nyerinya kepada ahli kesehatan. Sebagian besar hanya melakukan penanganan yang terbatas seperti mengoleskan minyak kayu putih atau balsem, dan mengonsumsi obat penghilang nyeri yang beredar

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


CΓ*⅛irιtci


di pasaran tanpa menggunakan resep dokter. Sedikit sekali yang berupaya melakukan tindakan pencegahan, padahal kegiatan seperti berolahraga diduga mampu mencegah munculnya dysmenorrhea.1,4,5

Tanpa disadari, dysmenorrhea membawa dampak yang cukup besar pada remaja. Masalah yang paling sering muncul adalah menurunnya konsentrasi dan motivasi belajar pada individu, sehingga para remaja tidak dapat mengikuti kegiatan pembelajarannya dengan maksimal bahkan tidak jarang menyebabkan ketidakhadiran di sekolah. Dari 91,7% siswa yang mengalami dysmenorrhea setiap bulannya, sebanyak 68,9% mengakui adanya gangguan aktivitas pembelajaran oleh karena nyeri haid ini.6 Selain itu, dysmenorrhea merupakan salah satu ciri penyakit endometriosis, yaitu penyakit yang dapat menyebabkan infertilitas pada wanita. Hal ini sangat penting karena berarti setiap remaja yang mengalami dysmenorrhea memiliki kemungkinan untuk nantinya mengalami infertilitas.7

Ada beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan terjadinya dysmenorrhea pada remaja, antara lain riwayat keluarga, usia menarche, lama menstruasi, kebiasaan olahraga, status gizi, serta rokok dan konsumsi alkohol.1,2,8,9,10 Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gambaran kejadian dysmenorrhea dan karakteristiknya pada remaja putri, secara khusus yang berusia 15-17 tahun yang sesuai dengan usia siswi tingkat SMA.

METODE DAN BAHAN

Penelitian ini bersifat deskriptif denan menggunakan metode penelitian potong lintang dengan subjek penelitian adalah remaja putri di Denpasar. Penelitian dilakukan di SMA Saraswati 1 Denpasar, di Jalan Kamboja Nomor 11A, di antara bulan Februari-Oktober 2017.

Adapun populasi terjangkau pada penelitian ini adalah siswi SMA Saraswati 1 Denpasar. Kriteria inklusi yaitu siswi yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

Sebanyak 43 remaja putri yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berpartisipasi dalam penelitian ini. Data diambil dengan menggunakan metode angket. Variabel yang diukur di dalam penelitian ini antara lain nyeri menstruasi, status dysmenorrhea, derajat kesakitan, umur, riwayat keluarga, umur menarche, lama menstruasi, status gizi, kebiasaan olahraga, status merokok, dan konsumsi alkohol. Data yang telah dikumpulkan diolah menggunakan software komputer pengolah data dengan menggunakan analisis univariat dan

bivariate, dan kemudian disajikan secara deskriptis dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL

Tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi responden tertinggi ada pada umur 15 tahun (88,37%), mengalami nyeri menstruasi (97,67%), memiliki riwayat keluarga dengan dysmenorrhea (87,5%), mengalami menarche di rentang usia 1314 tahun (59,38%), memiliki siklus menstruasi selama kurang dari 7 hari (78,13%), memiliki status gizi normal (62,5%), dan memiliki kebiasaan jarang berolahraga (78,11%).

Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik remaja

Variabel

Frekuensi

Proporsi (%)

Umur (n=43)

14 tahun

1

2,33

15 tahun

38

88,37

16 tahun

4

9,3

Nyeri menstruasi

Ya

42

97,67

Tidak

1

2,33

Riwayat keluarga (n=32)

Ada

28

87,5

Tidak ada

4

12,5

Umur menarche

11-12 tahun

13

40,63

13-14 tahun

19

59,38

Lama menstruasi

< 7 hari

25

78,13

≥ 7 hari

7

21,88

Status gizi

Underweight

9

28,13

Normal

20

62,5

Overweight

3

9,38

Kebiasaan olahraga

Jarang

25

78,11

Sering

7

21,88

Tabel 2 menunjukkan bahwa remaja putri yang mengalami kejadian dysmenorrhea sebesar 74,42% dan sebesar 81,25% merupakan dysmenorrhea derajat ringan, 6,25% derajat sedang, dan 12,5% derajat berat.

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


CΓ*⅛irιtci


Tabel 2. Kejadian dysmenorrhea pada remaja putri

Gejala dan tanda

Frekuensi

Proporsi (%)

Waktu nyeri (n=32) Sebelum menstruasi Selama

10

31,25

menstruasi

Sebelum dan

7

21,88

selama menstruasi

15

46,88

Sifat nyeri

Menetap

4

12,5

Hilang timbul

28

87,5

Nyeri pinggang Ada

9

28,13

Tidak ada

23

71,88

Sakit kepala Ada

5

15,63

Tidak ada

27

84,38

Mual/muntah Ada

0

0

Tidak ada

32

100

Diare

Ada

0

0

Tidak ada

32

100

Menyebabkan absensi sekolah

Pernah

4

12,5

Tidak pernah

28

87,5

Penanganan    yang

dilakukan

Tradisional

24

75

Minum obat

2

6,25

Berkonsultasi ke dokter

0

0

Tanpa penanganan

6

18,75

Efek    penanganan

yang dilakukan

Mengurangi nyeri

26

100

Tidak

mengurangi nyeri

0

0

Tabel 3 menunjukkan bahwa 46,88% remaja putri dengan dysmenorrhea mengalami nyeri sebelum dan selama menstruasi berlangsung dan 87,5% mengalami nyeri dengan sifat hilang timbul.

Selain itu didapatkan juga 28,13% remaja putri mengalami keluhan penyerta berupa nyeri pinggang, 15,63% mengalami keluhan penyerta berupa sakit kepala, sedangkan keluhan penyerta berupa mual/muntah dan diare tidak diemukan dalam penelitian ini. Sebanyak 12,5% remaja putri pernah absen dari kegiatan sekolahnya akibat dysmenorrhea yang dialami. Dalam melakukan penanganan terhadap nyeri, 75% tindakan yang

dilakukan oleh remaja putri adalah cara tradisional. Semua penanganan yang dilakukan, baik cara tradisional maupun menggunakan obat, dikatakan dapat mengurangi nyeri dysmenorrhea yang dialami.

Tabel 4 menunjukkan bahwa proporsi gangguan dysmenorrhea ditemukan lebih tinggi pada remaja dengan umur 14 dan 16 tahun (100%) dibandingkan umur 15 tahun (71,1%). Selain itu gangguan dysmenorrhea juga ditemukan lebih tinggi pada remaja putri yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan dysmenorrhea (80%), mengalami menarche di usia 11-12 tahun (76,5%), memiliki lama menstruasi 7 hari atau lebih (77,8%), status gizi normal (80,8%), dan remaja yang jarang berolahraga (75,8%).

Tabel 3. Distribusi frekuensi gejala dan tanda dysmenorrhea

Variabel

Frekuensi

Proporsi(%)

Kejadian dysmenorrhea (n=43)

Ya

32

74,42

Tidak

11

25,58

Derajat kesakitan (n=32)

Ringan

26

81,25

Sedang

2

6,25

Berat

4

12,5

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


CΓ*⅛irιtci


Tabel 4. Tabulasi silang kejadian dysmenorrhea berdasarkan umur, riwayat keluarga, umur menarche, lama menstruasi, status gizi, dan kebiasaan olahraga

Variabel

Gangguan dysmenorrhea

Total

Ya

Tidak

n

%

n

%

n

%

Umur 14 tahun

1

100

0

0

1

100

15 tahun

27

71,1

11

28,9

38

100

16 tahun

4

100

0

0

4

100

Riwayat keluarga Ada

28

73,7

10

26,3

38

100

Tidak ada

4

80

1

20

5

100

Umur menarche 11-12 tahun

13

76,5

4

23,5

17

100

13-14 tahun

19

73,1

7

26,9

26

100

Lama menstruasi < 7 hari

25

73,5

9

26,5

34

100

≥ 7 hari

7

77,8

2

22,2

9

100

Status gizi Underweight

9

64,3

5

35,7

14

100

Normal

21

80,8

5

19,2

26

100

Overweight

2

66,7

1

33,3

3

100

Kebiasaan olahraga Jarang

25

75,8

8

24,2

33

100

Sering

7

70

3

30

10

100


PEMBAHASAN

Dysmenorrhea adalah gangguan nyeri yang dialami pada setiap siklus menstruasi, yang memberikan efek negatif dalam aktivitas sehari-hari.11 Gangguan dysmenorrhea dikatakan bersifat ringan apabila nyeri terjadi hanya sebentar, tidak memerlukan obat untuk menghilangkan nyeri, dan nyeri tersebut tidak mengganggu aktvitas sehari-hari. Dysmenorrhea sedang ditandai dengan diperlukannya obat-obatan untuk mengilangkan rasa sakit, namun remaja masih tetap bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Dysmenorrhea dengan derajat kesakitan berat ditandai dengan rasa sakit hebat yang mengakibatkan remaja tidak mampu melakukan aktivitas hariannya, serta memerlukan obat dengan intensitas tinggi untuk meredakan nyerinya, bahkan dalam beberapa kasus memerlukan tindakan operasi.9

Prevalensi dysmenorrhea yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sebesar 74,42%. Angka ini sesuai dengan hasil penelitian yang tertera dalam

The prevalence and risk factors of dysmenorrhea ” yang mengatakan bahwa prevalensi dysmenorrhea ada dalam range 67% sampai 90% pada usia muda (17-24 tahun).2 Selain itu angka ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang tertera dalam “Prevalence of premenstrual syndrome and dysmenorrhoea among female medical students and its association with college absenteeism” yang mengatakan bahwa 60% sampai 93% kasus nyeri haid ditemukan pada usia remaja.10 Penelitian “Pengaruh dismenorea pada remaja” juga menyampaikan bahwa prevalensi dysmenorrhea remaja putri di dunia adalah sebesar 70% sampai 90%.1

Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian serupa yang telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia sebelumnya, penelitian ini menghasilkan angka prevalensi dysmenorrhea yang sedikit lebih rendah, seperti pada penelitian di SMK Negeri 10 Medan pada tahun 2013 yang mendapatkan angka prevalensi dysmenorrhea sebesar 81,3%,8 dan penelitian di SMA Negeri 2 Medan pada tahun 2014 yang mendapatkan angka prevalensi dysmenorrhea sebesar 85,9%.9 Perbedaan ini mungkin didapatkan karena adanya perbedaan jumlah sampel yang diambil pada setiap penelitian. Seperti diketahui pada penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 43 responden, sedangkan pada penelitian yang dilakukan di SMK Negeri 10 Medan pada tahun 2013 sampel yang diambil adalah sebanyak 171 responden, dan pada penelitian di SMA Negeri 2 Medan pada tahun 2014 sampel yang diambil adalah sebanyak 128 responden. Selain itu perbedaan ini juga mungkin disebabkan karena adanya sedikit perbedaan pada karakteristik responden. Pada penelitian di SMK Negeri 10 Medan pada tahun 2013, responden paling banyak mengalami menarche di umur 11-12 tahun, sedangkan pada penelitian ini di umur 13-14 tahun. Pada penelitian tersebut juga didapatkan proporsi responden tertinggi berdasarkan lama menstruasi yaitu pada lama menstruasi 7 hari atau lebih, sedangkan pada penelitian ini proporsi responden tertinggi berdasarkan lama menstruasi adalah responden dengan lama menstruasi kurang dari 7 hari.8

Proporsi gangguan dysmenorrhea paling tinggi ditemukan pada remaja dengan usia 14 dan 16 tahun dibandingkan pada usia 15 tahun. Hal ini mungkin berhubungan dengan stres yang dialami oleh remaja di usia itu. Usia 14 tahun dapat dikatakan masih terlampau cepat untuk ada di jenjang SMA, dan hal ini dapat menimbulkan tekanan pada siswa apabila ia kesulitan menyesuaikan diri dengan aktivitas sekolahnya. Sedangkan usia 16 tahun secara psikologis sudah lebih berkembang sehingga lebih memungkinkan untuk memiliki berbagai permasalahan baik di

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


CΓ*⅛irιtci


dalam maupun di luar sekolah yang dapat mencetuskan stres. Kondisi stres akan memicu produksi follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) yang kemudian akan menyebabkan gangguan perkembangan folikel. Gangguan pada folikel ini akan memicu sintesis dan pelepasan hormon progesteron yang akan mempengaruhi aktivitas prostaglandin, sehingga terjadilah dysmenorrhea. Selain progesteron, kondisi stress juga memicu sekresi dari hormon adrenalin dan kortisol, yang kemudian mempengaruhi sintesis prostaglandin pada myometrium dan mengakibatkan terjadinya dysmenorrhea.2

Berdasarkan adanya riwayat keluarga dengan dysmenorrhea, proporsi paling tinggi ditemukan pada kelompok tanpa riwayat keluarga dibandingkan kelompok dengan riwayat keluarga. Padahal berdasarkan pendapat ahli, riwayat keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat mencetuskan munculnya gangguan dysmenorrhea pada perempuan akibat sifat dasar genetik seseorang yang umumnya hampir sama dengan orang tua maupun saudara. Ini menunjukkan bahwa gangguan dysmenorrhea tidak selalu disebabkan oleh faktor genetik, tapi juga dipengaruhi secara luas oleh faktor-faktor eksternal.1,2,8

Proporsi paling tinggi berdasarkan umur menarchenya ditemukan pada remaja dengan rentang umur menarche 11-12 tahun, dan paling rendah adalah remaja dengan rentang umur menarche 13-14 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa menarche yang terjadi pada usia lebih dini menyebabkan alat-alat reproduksi belum berfungsi secara optimal dan belum siap mengalami perubahan-perubahan sehingga dapat menyebabkan timbulnya nyeri saat menstruasi. Selain itu usia yang lebih muda juga berkaitan dengan leher rahim yang sifatnya masih lebih sempit, sehingga timbul rasa sakit saat terjadi menstruasi.1,3,8,12

Berdasarkan lama menstruasinya, proporsi dysmenorrhea lebih tinggi ditemukan pada remaja yang mengalami menstruasi 7 hari atau lebih dibandingkan remaja yang mengalami menstruasi kurang dari 7 hari. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan dalam teori bahwa semakin lama menstruasi terjadi, maka uterus akan semakin sering berkontraksi, yang mengakibatkan semakin banyak prostaglandin yang dikeluarkan. Prostaglandin yang berlebihan akan menimbulkan rasa nyeri, dan kontraksi uterus yang terus menerus sendiri dapat menyebabkan suplai darah ke uterus terhenti sehingga terjadilah dysmenorrhea.1,8,9

Proporsi gangguan dysmenorrhea paling tinggi ada pada kelompok responden dengan status gizi normal, padahal berdasarkan teori kondisi status gizi yang normal dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan dysmenorrhea pada remaja

perempuan. Ini mungkin disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang dapat menurunkan ketahanan tubuh seseorang terhadap nyeri, seperti kondisi fisik lemah, anemia, penyakit menahun, dan lain sebagainya, sekalipun perhitungan indeks massa tubuhnya dikategorikan normal.13

Dilihat dari kebiasaan olahraga, proporsi dysmenorrhea lebih tinggi ditemukan pada remaja yang jarang berolahraga dibandingkan remaja yang sering berolahraga. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kebiasaan berolahraga merupakan suatu faktor yang dapat menurunkan risiko terjadinya dysmenorrhea. Hal ini dikarenakan ketika melakukan olahraga, tubuh akan memproduksi hormon endorphin yang kemudian akan mencetuskan keluarnya salah satu reseptor opiate yaitu Beta-endorfin yang memiliki sifat efektif dalam mengurangi rasa nyeri. Inilah yang kemudian menyebabkan individu yang rutin berolahraga memiliki risiko lebih kecil dalam mengalami dysmenorrhea.4,8,9

SIMPULAN

Prevalensi dysmenorrhea pada remaja putri adalah sebesar 74,42%. Proporsi dysmenorrhea paling tinggi ditemukan pada remaja dengan umur 14 dan 16 tahun, tidak memiliki riwayat keluarga dengan dysmenorrhea, umur menarche 11-12 tahun, menstruasi selama 7 hari atau lebih, status gizi normal, dan remaja putri yang jarang berolahraga.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.      Lestari NMSD. Pengaruh dismenorea pada

remaja. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III. 2013; 3:323-329.

  • 2.      Ju H, Jones M, Mishra G. The prevalence

and risk factors of dysmenorrhea. Epidemiologic Reviews. 2014; 36: 104

113.

  • 3.    Yulia    VV.    Faktor-faktor    yang

berhubungan dengan keterlambatan usia menarche pada remaja puteri di SLTP Kecamatan Situjuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2010. [skripsi]. Padang; Universitas Andalas;

2011. [disitasi 5 Januari 2017]. Tersedia dari : http://repo.unand.ac.id/390/

  • 4.      Vidya G, Syamala B, Nageswari KS.

Comparative study to evaluate the relationship of dysmenorrhoea and body mass index in medical students.

International Journal      of Biological

& Medical Research. 2014; 5(4): 45314534.

  • 5.      Ortiz MI. Primary dysmenorrhea among

Mexican University students: prevalence, impact and treatment. European Journal of

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


CΓ*⅛irιtci


Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2010; 152: 73-77.

  • 6.      Saguni FCA, Madianung A, Masi G.

Hubungan dismenore dengan aktivitas belajar remaja putri di SMA Kristen 1 Tomohon. ejournal keperawatan. 2013; 1(1):1-6.

  • 7.      Janssen     EB,     Rijkers     ACM,

Hoppenbrouwers K, Meuleman C, D’Hooghe    TM.    Prevalence    of

endometriosis diagnosed by laparoscopy in adolescents with dysmenorrhea or chronic pelvic pain: a systematic review. Human Reproduction Update. 2013; 19(5): 570

582.

  • 8.      Sophia F, Muda S, Jemadi. Faktor-faktor

yang berhubungan dengan dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013. Departemen Epidemiologi FKM USU. 2013; 2(5):1-10.

  • 9.       Sirait DSO, Hiswani, Jemadi. Faktor-

faktor yang     berhubungan    dengan

kejadian dismenore pada siswi SMA Negeri 2 Medan tahun 2014. Departemen Epidemiologi FKM USU. 2014; 1(4):1-10.

  • 10.     Lakshmi SA, Priy M, Saraswathi I,

Saravanan A, Ramamchandran C. Prevalence of premenstrual syndrome and dysmenorrhoea among female medical students and its association with college absenteeism. international journal of Biological & Medical Research. 2011; 2(4): 1011-1016.

  • 11.     Osayande AS, Mehulic S. Diagnosis and

initial management of dysmenorrhea. American Family Physician. 2014; 89(5): 341-346.

  • 12.     Zuluaga G, Andersson N. Initiation rites at

menarche        and       self-reported

dysmenorrhoea among indigenous women of the Colombian Amazon: a cross sectional study. BMJ Open. 2013; 3: 1-8.

  • 13.     Mulastin. Hubungan status gizi

dengankejadian dismenorea remaja putri di SMA Islam Al-Hikmah Jepara. Jurnal Penelitian edisi 1. 2011; 1:1-23.

https://ojs.unud.ac.id

6