ISSN: 2597-8012

JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.11,NOPEMBER, 2019

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



REAKTIVASI NEUROSISTISERKOSIS DENGAN MANIFESTASI KLINIS EPILEPSI SIMTOMATIK DAN PURE MOTOR MONOPARESIS

Dewa Putu Gde Purwa Samatra

Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakuktas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali purwa_bali@yahoo.com

ABSTRAK

Neurosistiserkosis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat disebabkan oleh bentuk larva parasit cacing pita Taenia solium. Manifestasi klinis sesuai lokasi kista dan respon terhadap infeksi. Epilepsi adalah klinis neurologis tersering yaitu 70-90% pada daerah endemis. Kasus seorang lelaki 47 tahun dengan bangkitan parsial sederhana menjadi umum tonik klonik et causa suspek epilepsi simtomatik et causa neurosistiserkosis berulang, mengeluh mengalami kejang dengan pola berbeda dan tiga hari kemudian mengalami kelemahan tungkai kiri. Tahun 2010 pasien telah didiagnosis neurosistiserkosis dengan klinis bangkitan umum tonik klonik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan monoparesis flaksid tungkai sinistra dan riwayat bangkitan parsial sederhana menjadi bangkitan umum tonik klonik. Dilakukan pemerikaan penunjang CT-Scan dan MRI kepala dengan kontras. Pasien diterapi dengan Albendazol, metilprednisolon, Asam valproat, asam folat, dan ranitidin.

Kata kunci: neurosistiserkosis, neurosistiserkosis berulang, epilepsi simtomatik

ABSTRACT

Neurocysticercosis is a central nervous system infection caused by tapeworm parasite Taenia solium. Clinical manifestations according to the location of the cyst and response to infection. Epilepsy is the most common clinical manifestation of 70-90% in endemic areas. The case of a 47-year-old man with a simple partial seizure became generalized tonic clonic et causa suspect symptomatic epilepsy et causa recurrent neurocysticercosis. Currently patients complain of seizures with different patterns and three days later experience weakness of the left limb. In 2010 patients have been diagnosed with neurocysticercosis with clinical generalized tonic clonic seizure. Physical examination was obtained by monoparesis flaccid left lower limb and simple partial seizure become generalized clonic tonic. Patient have been CT-Scan and MRI head contrast. Patients were treated with Albendazole, methylprednisolone, valproate acid, Folate, and ranitidine.

Keywords: neurocysticercosis, recurrent neurocysticercosis, symptomatic epilepsy

PENDAHULUAN

Neurosistiserkosis merupakan penyakit infeksi sistem saraf pusat disebabkan oleh bentuk larva parasit cacing pita Taenia solium (T. solium).1-3 Manifestasi klinis sesuai organ yang terkena, lokasi kista, dan respon terhadap infeksi. Sistiserkosis dapat mengenai organ ekstraneural (seperti mata, hati, otot bawah kulit dan lainnya).

Sindrom berdasarkan letak kista di otak yaitu neurosistiserkosis asimtomatis, parenkimal, subaraknoid, intraventrikuler, spinal dan okular, gejala neurologis berupa migren, araknoiditis, hidrosefalus, demensia, gangguan penglihatan, dan peningkatan tekanan intrakranial, 50-70% manifestasi klinis neurologis adalah epilepsi.1

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Neurosistiserkosis endemik di Eropa, Amerika, dan Asia.1,2 Daerah endemik di Asia yaitu Cina, India, dan Indonesia terutama di daerah Sumatra Utara, Bali, Papua, Flores, Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat. Angka kejadian epilepsi terkait neurosistiserkosis di negara tropis 10-15 per 1000 penduduk.1

Babi merupakan sumber penularan taeniasis. Manusia berperan sebagai carrier sehingga dapat menularkan ke manusia lainnya (fecal-oral route).1,2 Seseorang terinfeksi taenia setelah menelan makanan yang terkontaminasi telur cacing T. solium, di dalam usus akan pecah menjadi onkosfer yang memiliki kait sehingga mampu menembus dinding usus dan masuk ke pembuluh darah atau saluran limfe akhirnya mencapai sirkulasi sistemik. Kista di otak berupa bulatan berdiameter kurang lebih 1 cm yang dikelilingi kapsul terdiri atas astrosit, fibroblas, dan serat kolagen.1

ILUSTRASI KASUS

Seorang lelaki 47 tahun, tinggi 170 cm, berat badan 68 kg, dirujuk dari RS daerah ke poliklinik Saraf RSUP Sanglah Denpasar dengan keluhan utama kejang dengan pola diawali kaki kiri menghentak, saat itu pasien sadar baik namun tidak dapat mengendalikan kakinya, kemudian pasien tidak sadar disertai kedua tangan, kaki menghentak, dan kedua mata mendelik keatas. Lamanya kejang kurang lebih 3-5 menit dan berhenti sendiri. Setelah kejang pasien tampak bingung, kemudian sadar kembali seperti kesadaran sebelum kejang, namun pasien tidak ingat kejadian saat kejang. Kejang dengan pola seperti ini terjadi satu kali yaitu tujuh hari sebelum ke poliklinik RSUP Sanglah Denpasar dan tidak berulang lagi.

Keluhan nyeri kepala sebelumnya, keluhan muntah menyemprot, kelemahan separuh tubuh, kesemutan separuh tubuh, pandangan kabur, bibir mncong dan suara pelo disangkal oleh pasien. Tiga hari setelah mengalami kejang pasien merasakan kelemahan pada kaki kirinya, dirasakan ringan karena pasien masih dapat berjalan sendiri tanpa bantuan. Kelemahan menetap hingga pasien berobat ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar.

Pasien telah didiagnosis epilepsi sejak tujuh tahun sebelumnya. Kejang selama ini dengan pola bibir tertarik ke kiri kemudian seluruh tubuh menghentak-hentak, lamanya kejang kurang lebih 1-3 menit dan berhenti

sendiri. Keluarga mengatakan sejak awal kejang dimulai pasien tidak sadar dan setelah kejang pasien sadar kembali kekesadaran sebelum kejang. Tidak didapatkan lidah tergigit dan bibir berbuih. Saat itu berobat ke RS di Surabaya karena kejang yang dialaminya, dilakukan pemeriksaan penunjang elektroensefalografi (EEG), CT scan kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala, saat itu didiagnosis mengalami infeksi cacing di otak.

Pasien lupa nama-nama obat yang diminum selama perawatan saat itu. Hingga saat ini pasien masih meminum obat kejang itu namun terkadang tetap mengalami kejang dengan pola yang sama, sebanyak kurang lebih 3-4 kali dalam satu tahun. Obat yang diminum pasien hingga saat ini yaitu asam valproat 3x500mg peroral dan asam folat 2x1mg peroral. Hasil pemeriksaan EEG yang lalu dalam batas normal, hasil CT scan kepala dan MRI kepala dengan kontras dapat dilihat dibawah pada Gambar 1.

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Pasien bekerja sebagai sopir travel daerah Jawa-Bali hingga saat ini. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging babi sejak lama hingga saat ini.

Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan pada status present. Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya monoparesis flaksid tungkai sinistra grade 4. Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah lengkap, kimia klinik, dan pemeriksaan feses, dimana semua pemeriksaan tersebut tidak memberikan gambaran penyebab terjadinya bangkitan kejang. Tidak ditemukan cacing ataupun telur cacing pada pemeriksaan feses rutin.

Pemeriksaan penunjang radiologi yang dilakukan yaitu CT scan kepala dan MRI kepala dengan pemberian kontras. Perbandingan gambar CT scan kepala tanggal 17 Juli 2010 dan 29 September 2017 dapat dilihat pada Gambar 2. Gambaran MRI Kepala dengan kontras ditunjukkan pada Gambar 3.

Pasien didiagosis sebagai bangkitan parsial sederhana menjadi umum tonik klonik suspek epilepsi simtomatik karena neurosistiserkosis. Pasien mendapatkan terapi asam valproat 3x500 mg peroral, asam folat 2x1 mg peroral, albendazol 3x500 mg peroral, metilprednisolon 3x16 mg peroral, dan ranitidin 2x150 mg peroral. Komunikasi, edukasi dan informasi diberikan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dialami dan rencana

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



penanganan selanjutnya. Memberikan edukasi untuk meningkatkan hygiene-sanitasi pasien, keluarga dan lingkungan sekitarnya merupakan

hal penting untuk memutus rantai penularan dari parasit.


Gambar 1. MRI Kepala dengan kontras (20 Oktober 2010), tampak lesi multipel (berjumlah 7-8) lesi kistik isointens, terdapat eccentric hyperintense 2-5 mm scolex dengan pea-in-the pod appearance menunjukkan gambaran neurosistiserkosis. Lesi pada girus frontotemporal kanan disertai adjacent perifokal edema dan enhancing cyst wall. Gambaran MRI menunjang suatu Neurosistiserkosis.

Gambar 2. (kiri) CT-Scan kepala tanpa kontras (17 Juli 2010) dan (kanan) CT-Scan kepala tanpa kontras 29 September 2017. CT-Scan pertama terdapat gambaran hipodens multipel di daerah frontal


kanan dan kiri, parietal kiri dan oksipital kanan


DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS





Gambar 3. MRI Kepala dengan kontras (11 Oktober 2017) tampak lesi hipointens (T1W) didaerah parietal kanan menjadi hiperintens (T2W, flair) yang dengan pemberian kontras tak tampak abnormal contrast enhancement.

DISKUSI

Neurosistiserkosis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat disebabkan oleh bentuk larva parasit cacing pita Taenia solium (T. solium).1,2 Kasus neurosistiserkosis endemik didaerah tropis termasuk Indonesia salah satunya adalah Bali.1 Babi merupakan sumber penularan taeniasis. Manusiaberperan sebagai carrier sehingga dapat menularkan ke yang lainnya (fecal-oral route).1,2 Pada kasus ini pasien adalah seorang lelaki, usia 47 tahun, berasal dari Bali, Indonesia, tepatnya Kabupaten Singaraja (daerah Bali utara). Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi olahan daging babi sejak usia muda hingga saat ini.

Manifestasi klinis sesuai organ yang terkena, lokasi kista, dan respon terhadap infeksi. Sindrom berdasarkan letak kista di otak yaitu neurosistiserkosis asimtomatis, parenkimal, subaraknoid, intraventrikuler, spinal dan okular, gejala neurologis berupa migren, araknoiditis, hidrosefalus, demensia, gangguan penglihatan, dan peningkatan tekanan intrakranial.1,2 Sebesar 50-70% manifestasi klinis neurologis adalah epilepsi yaitu epilepsi tipe parsial yang dihubungkan dengan larva yang mengalami fibrosis dan telah mati atau mengalami pengapuran.1 Laporan kasus sebelumnya melaporkan hingga 70-90% pasien mengalami kejang didaerah endemis.3,5

Pasien pada laporan kasus ini mengalami perubahan pola bangkitan yaitu bangkitan parsial kompleks menjadi bangkitan parsial sederhana menjadi umum tonik klonik. Pola bangkitan yang pertama dialami pasien akibat epilepsi simtomatik e.c. neurosistiserkosis, perubahan pola kejang saat ini diduga akibat berulangnya infeksi neurosistiserkosis.

Sebuah jurnal membandingkan infeksi T. solium dengan T. asiatica menyatakan bahwa kondisi neurosistiserkosis dapat dikontrol dengan kemungkinan berulang (reinfection) yang rendah.4 Pada kasus ini faktor risiko pasien mengalami neurosistiserkosis berulang kemungkinan akibat kurangnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak terjaga dengan baik.

Pasien tidak memelihara, babi, namun dikatakan terdapat tetangga yang beternak babi disekitar rumah pasien. Sebuah studi potong lintang menjabarkan beberapa faktor risiko terjadinya neurosistiserkosis yaitu peternak babi, seringnya terpapar babi, pengetahuan mengenai siklus hidup cacing, sumber mata air yang digunakan sehari-hari, kebersihan air, pengetahuan mengenai kebersihan diri (seperti kebiasaan mencuci tangan) dan lingkungan, serta cara pengolahan makanan yang dikonsumsi.7

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Pasien juga mengeluhkan kelemahan tungkai kiri tiga hari setelah mengalami kejang, pada pemeriksaan didapatkan klinis monoparesis flaksid tungkai sinistra grade 4, klinis ini menetap hingga pasien diperiksa di poliklinik RSUP Sanglah Denpasar. Sebuah laporan kasus melaporkan bahwa solitary cysticercus granuloma dengan klinis monoparesis atau pure motor monoparesis dapat terjadi sebagai satu-satunya gejala yang muncul pada penderita neurosistiserkosis walaupun hal tersebut jarang. Kondisi ini terjadi bila lesi terletak di area motorik kortikal untuk tungkai.3

CT scan dan MRI kepala dengan kontras pada kasus tampak lesi hipointens (T1W) terletak didaerah parietal kanan menjadi hiperintens (T2W, flair) yang dengan pemberian kontras tak tampak abnormal contrast enhancement. MRI kepala lebih sensitif daripada CT scan untuk mendeteksi kista parenkim, intraventrikuler, subaraknoid dan edema perifokal, namun CT scan lebih superior untuk melihat kalsifikasi. Gambaran CT scan kepala pada neurosistiserkosis berupa nodul soliter/multipel atau lesi tanpa enhancement menunjukkan lesi sistiserkus hidup, lesi hipodens atau isodens dengan ring enhancement merupakan kista mati, kalsifikasi dari bekas kista mati, dan edema otak difus.1,6 Dilaporkan gambaran lesi soliter (67,5%) dan tersering daerah parietal (79%).6

Penanganan pada neurosistiserkosis melalui beberapa pendekatan yaitu obat anti parasit, pengobatan simtomatis, dan operasi.1 Terapi pada kasus ini adalah albendazol 3x500 mg peroral, metilprednisolon 3x16 mg peroral, asam valproat 3x500 mg peroral, asam folat 2x1 mg peroral, dan ranitidin 2x150 mg peroral.

Dosis obat anti parasit yang direkomendasikan oleh Kelompok Studi neuroinfeksi yaitu albendazol 15 mg/kg/hari diberikan selama satu bulan atau praziquantel 50 mg/kg/hari selama dua minggu, pada hari kedua dan keempat terapi biasanya terjadi gejala eksaserbasi gejala neurologi berupa sakit kepala, mual, dan muntah akibat inflamasi lokal karena kematian parasit. Obat anti parasit diberikan bersamaan dengan steroid untuk mengontrol edema dan peningkatan tekanan intrakranial. Penetrasi albendazol lebih baik ke cairan serebrospinal dan konsentrasinya tidak dipengaruhi oleh steroid dibandingkan praziquntel.

Terapi simtomatis yaitu obat anti epilepsi dan analgetik.1,5 Lama penggunaan obat anti epilepsi tidak diketahui secara pasti, namun angka bangkitan berulang sangat besar bila dilakukan penghentian obat anti epilepsi walaupun telah mendapatkan terapi selama 2 tahun, 20-30% pasien dengan bangkitan dan terdapat gambaran lesi parenkim mengalami bangkitan berulang dengan terapi obat anti epilepsi.5 Penelitian di India mendapatkan bahwa kejang yang menetap terjadi bila adanya perburukan klinis atau terjadi klinis yang baru.6

Taeniasis dengan etiologi T. solium dapat dikontrol dengan baik sehingga memiliki prognosis yang baik.4 Neurosistiserkosis dengan lesi tunggal memiliki prognosis yang baik dan pada 60% kasus lesi menghilang setelah 6 bulan pengobatan. Jumlah lesi yang multipel dengan gambaran kalsifikasi umumnya akan mengalami kejang berulang.8

Informasi dan edukasi kepada pasien, keluarga, dan lingkungannya untuk mencegah terjadinya neurosistiserkosis yaitu menghindari makanan yang tercemar, pengobatan pada penderita hingga tuntas sehingga tidak menularkan, perbaikan sanitasi, dan mengolah memasak daging babi dengan baik.1,8

Ringkasan

Lelaki 47 tahun dengan diagnosis bangkitan parsial sederhana menjadi umum tonik klonik dengan kecurigaan epilepsi simtomatik karena neurosistiserkosis berulang. Kondisi neurosistiserkosis mampu dikontrol dengan baik dan memiliki prognosis yang baik. Pada kasus ini faktor risiko pasien mengalami neurosistiserkosis berulang kemungkinan akibat kurangnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak terjaga dengan baik setelah menderita neurosistiserkosis sebelumnya.

Daftar pustaka

  • 1.    Sudewi AA Raka. 2011. Neurosistiserkosis. In: Sudewi, AA Raka, Sugianto Paulus, Ritarwan Kiking, editors. Kelompok Studi Neuro Infeksi. Airlangga University Press. p. 119-130.

  • 2.    Rizvi Syed AA., Saleh Ayman, Frimpong Hanns, Mohiy Hussain, Ahmed Jasmin, Edward Ronda, Ahmed Sultan. 2016. Neurocysticercosis: A Case Report and

    DOAJ


    DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS



Brief Review. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine 2016: 9(1): 100-102.

  • 3.    Giri Prithvi, Shukla Rakesh, Patil B. Tushar, Mehta Vinod. 2013. Pure Motor Monoparesis:      solitary     cysticercus

granuloma. BMJ Case Rep 2013. Doi: 10. 1136/bcr-2013-201808

  • 4.    Flisser Anna. 2013. State of the Art of Taenia solium as Compared to Taenia asiatica. Korean J Parasitol Vol. 50, No. 1: 43-49.

  • 5.    Burneo Jorge dan Cavazos Jose. 2014. Neurocysticercosis and Epilepsy. Epilepsy Currents Vol. 14, No.1 Supplement 2014 pp. 23-28.

  • 6.    Kumar Animesh, Mandal Anirban, Sinha Sheela, Sing Amitabh, Das Rashmi. 2017. Research Article: Prevaence, Response to Cysticidal Therapy, and Risk Factor Persistent Seizure in Indian Children with Neurocysticercosis. International Journal of Pediatrica Vol. 2017.

  • 7.    Kungu Joseph, Dione Michel, Ejobi Francis, Ocaido Michael, Grace Delia. 2017. Risk Faktor, Perception and Practice Associated with Taenia Solium Cysticercosis and Its Control I The Smallholder Pig Production System in Uganda: A Cross Sectionl Survey. BMC Infection Disease17: 1.

  • 8.    Singhi P. 2011. Neurocysticercosis: Therapeutic Advanc in Neurological Disorder. 4(2):   67-81. Available at

http://tan.sagepub.com/cgi/doi/10.1177/

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum