PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK KEJADIAN SLEEP PARALYSIS PADA REMAJA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) NEGERI DI DENPASAR
on
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.10,OKTOBER, 2019
n∩∆ i SKrCyES0Sf O STnta
JOURNALS .
PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK
KEJADIAN SLEEP PARALYSIS PADA REMAJA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) NEGERI DI DENPASAR
Ni Kadek Dwita Hening Tias1, Desak Ketut Indrasari Utami2, Anna Marita Gelgel2
1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Email : dwitahening99@gmail.com
ABSTRAK
Sleep paralysis adalah suatu kondisi yang biasanya terjadi ketika tidur atau bangun di mana individu sadar tapi tidak mampu bergerak atau berbicara dan sering disertai dengan halusinasi. Sleep paralysis membuat individu merasa kelelahan, mengalami kesulitan berkonsentrasi dan penurunan memori. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik sleep paralysis pada remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross sectional. Responden adalah siswa SMA Negeri di Denpasar tahun 2017 yang dipilih dengan teknik multistage random sampling sejumlah 231 orang. Hasil menunjukkan prevalensi sleep paralysis sebesar 72,3%, dengan umur terbanyak 16 tahun, tidak ada banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan, paling banyak pada siswa yang tidur 5-6 jam di malam hari, pada siswa yang tidur siang selama 1-2 jam, paling sering terjadi pada posisi terlentang, pada siswa yang memulai tidur pukul 10-11 malam, lebih banyak terjadi pada siswa dengan kualitas tidur buruk, lebih banyak pada siswa yang stres, terdapat hanya beberapa siswa yang mengonsumsi alkohol dan tidak ada yang pernah mengonsumsi obat yang berhubungan dengan sleep paralysis. Pada penelitian ini ditemukan beberapa siswa mengalami hipertensi, gangguan kejang, gangguan panik, dan gangguan cemas serta tidak ada siswa yang mengalami PTSD
Kata kunci : Prevalensi, Karakteristik, Sleep paralysis.
ABSTRACT
Sleep paralysis is a condition that usually occurs when falling asleep or when awakening in which the individual is conscious but unable to move or speak and often accompanied by hallucinations. Sleep paralysis makes individuals feel tired, have difficulty in concentrating and decreases memory. This study was conducted to determine the prevalence and characteristics of sleep paralysis in public senior high school adolescents in Denpasar. This research is a descriptive research which applied cross sectional approach and the data were collected by means of questionnaire. The respondents in this study were 231 students of public senior high schools (SMA Negeri) in Denpasar in 2017 selected by multistage random sampling technique. The result of this study showed that the prevalence of sleep paralysis was 72.3%, with characteristics most occurring at age 16 years. There were not many differences between male and female students. The characteristics mostly occurred to those who sleep 5-6 hours at night, those who take a nap for 1-2 hours, most commonly in the supine position, those who start sleeping at 10-11 pm, more common to those with poor sleep quality, and more on stressful students. There were only a few students who consumed alcohol and no one had ever taken drugs associated with sleep paralysis. This study revealed that some students had hypertension, seizure disorder, panic disorder, and anxiety disorders and no students experienced PTSD.
Keywords: characteristics, prevalence, sleep paralysis
PENDAHULUAN
Tidur merupakan kebutuhan dasar seperti kebutuhan makan, minum, aktivitas dan lainnya.
Apabila tidur terganggu dapat menimbulkan pengaruh terhadap kualitas hidup seseorang.1 Gangguan tidur merupakan salah satu masalah
yang terjadi di masyarakat, baik pada anak, remaja, maupun dewasa. Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya gangguan jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu.2 Gangguan tidur dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain obat-obatan, pola tidur, gaya hidup, lingkungan yang tidak nyaman, emosi yang tidak stabil, latihan fisik dan kelelahan, serta asupan makanan dan kalori.3 Salah satu gangguan tidur yang termasuk ke dalam parasomnia adalah sleep paralysis atau kelumpuhan tidur. Slep paralysis ditandai dengan terhambatnya gerakan otot sadar pada waktu yang relatif singkat, namun gerakan mata, pernafasan, dan sensori masih normal.4 Kejadian ini dapat terjadi ketika mulai tidur atau saat bangun, dan paling sering terjadi ketika individu tidur dalam posisi terlentang. Kejadian sleep paralysis dikaitkan dengan kondisi seperti narkolepsi, hipertensi, gangguan kejang, serta terkait dengan kurangnya tidur, gangguan tidur, jetlag, status mahasiswa, dan shift kerja.4
Sleep paralysis terjadi sebesar 7,6% pada populasi umum dan lebih sering terjadi pada remaja (28,3%) dan pasien psikiatri (31,9%).4 Penelitian tentang prevalensi sleep paralysis di populasi umum menghasilkan hasil yang berbeda tergantung negara dan kelompok umur.5 Menurut Larasaty6 gangguan tidur sleep paralysis lebih banyak terjadi pada remaja pertengahan, yaitu sekitar umur 14-17 tahun. Prevalensi kejadian pertama tindihan dilaporkan mulai meningkat di sekitar usia 14 tahun dan memuncak di usia 17-19 tahun.7 Penelitian di Mexico menyatakan bahwa sebagian besar remaja (92,5%) telah mendengar tentang sleep paralysis, dan 27,6% dari mereka telah mengalami fenomena tersebut.8 Hal ini juga didukung oleh penelitian di Jepang yang menunjukkan angka prevalensi sleep paralysis pada remaja sekitar 8,3%, dan pada mahasiswa meningkat hingga sekitar 40%.5
Sebuah penelitian di Indonesia menyatakan bahwa 91,6 % mahasiswa pernah mengalami kejadian sleep paralysis.6 Sedangkan belum ada penelitian terkait prevalensi sleep paralysis pada remaja di Indonesia. Peneliti tertarik mengambil topik mengenai sleep paralysis sebagai topik penelitian melihat angka kejadian yang berbeda-beda pada setiap daerah dan belum ditemukannya penelitian mengenai kejadian sleep paralysis pada remaja di Indonesia.
Sleep paralysis merupakan gejala atau pertanda dari narkolepsi selain halusinasi hypnogogic/hynopompic, hipersomnolen, dan cataplexy. Sleep paralysis juga dapat terjadi tanpa adanya narkolepsi, namun biasanya ditemukan gangguan tidur lain, seperti sleep apnea, kurang tidur, dan terganggunya sirkardian.9 Selain itu, sleep paralysis menyebabkan konsekuensi yang
relevan, seperti takut tidur dan kecemasan sebelum tidur.10 Seseorang yang mengalami kejadian sleep paralysis menggambarkan kualitas tidur yang buruk, dengan kecemasan dan khawatir yang berlebihan. Sleep paralysis membuat individu merasa kelelahan, mengalami kesulitan berkonsentrasi dan penurunan memori.11 Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Liu seperti yang dikutip oleh Larasaty6 disebutkan bahwa individu yang mengalami gangguan tidur cenderung mengalami penurunan dalam bidang akademis.6 Gangguan tidur akan mempengaruhi fungsi kognitif yang selanjutnya akan berpengaruh pada aktivitas sehari-hari.12 Oleh karena itu, penting bagi remaja dan masyarakat untuk mengetahui tentang sleep paralysis.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional yang menggambarkan mengenai distribusi suatu kasus berdasarkan variabel-variabel tertentu. Penelitian ini dilakukan di 8 SMA Negeri di Denpasar, selama 3 bulan mulai dari bulan Juli 2017 sampai September 2017. Kriteria sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Denpasar. Sampel yang dipilih dari populasi memenuhi kriteria inluksi yaitu Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Denpasar yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Serta tidak memenuhi kriteria eksklusi yaitu Pelajar pindah sekolah atau tidak dapat mengikuti proses pengisian kuesioner sepenuhnya karena hal lain.
Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah multistage random sampling dimana melibatkan 8 Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri yang ada di Denpasar. Sampel diambil dari 8 sekolah tersebut yang dipilih secara acak dari masing-masing kelas. Jumlah sampel minimum yang dihitung dengan rumus besar sampel untuk proporsi tunggal. Tidak ditemukan penelitian sejenis sebelumnya, jadi besar proporsi adalah 50% (P=0,5) maka Q= 1-P= 0,5. Besar ketetapan relatif yang diterapkan oleh peneliti yaitu 10% (d=0,1). Besarnya Zα = 1,96 untuk α = 0,05. Berdasarkan perhitungan di atas, dibutuhkan minimal 96,04 orang yang dibulatkan menjadi 96 pelajar sebagai subyek penelitian. Jumlah sampel akan ditambahkan 10% sehingga dibutuhkan minimal 106 pelajar sebagai subyek penelitian.
Variabel dalam penelitian ini adalah sleep paralysis, umur, jenis kelamin, jumlah waktu tidur malam, durasi tidur siang, posisi tidur, waktu tidur, kualitas tidur, konsumsi alkohol, penggunaan obat, hipertensi, gangguan kejang, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), gangguan panik, gangguan cemas, dan stres. Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu dengan kuesioner sebagai instrumen
n∩∆ i ≡≈ O sTnta
L√V√ΛvJ JOURNALS ^rr ^™.<.Te..^^
|
penelitian. Kuesioner dibuat berdasarkan data yang |
17 tahun |
46 |
25,5 | |
|
diperlukan dan yang ingin digali dari sampel. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan |
>17 tahun |
3 |
1,7 | |
|
tahapan berikut yaitu data coding, data editing, data entry, data cleaning, dan analisis data. Pada tahap analisis akan dijelaskan secara deskriptif |
Jenis |
Perempuan |
84 |
50,3 |
|
mengenai gambaran distribusi sampel dan dicari persentase dari masing-masing variabel dan |
Kelamin |
Laki-laki <5 jam |
83 |
49,7 |
|
disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. |
12 |
7,2 | ||
|
HASIL |
5-6 jam |
57 |
34,1 | |
|
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-September 2017 di 8 SMA Negeri di Denpasar. Data yang |
Jumlah Waktu Tidur Malam |
6-7 jam |
52 |
31,1 |
|
didapatkan adalah 231 responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. |
7-8 jam |
36 |
21,6 | |
|
Tabel 1. Karakteristik Dasar Subyek Penelitian |
8-9 jam |
8 |
4,8 | |
|
Variabel Jumlah (%) |
>9 jam |
2 |
1,2 | |
|
<15 tahun 3 1,3 |
Tidak pernah |
35 |
21,0 | |
|
15 tahun 76 32,9 |
<15 menit |
9 |
5,4 | |
|
Umur 16 tahun 89 38,5 |
Durasi |
15-30 menit |
23 |
13,8 |
|
17 tahun 59 25,5 |
Tidur Siang |
30 menit-1 jam |
37 |
22,2 |
|
>17 tahun 4 1,7 |
1-2 jam |
45 |
26,9 | |
|
Perempuan 114 50,6 |
>2 jam |
18 |
10,8 | |
|
Kelamin a a 117 49,4 |
Terlentang |
103 |
61,7 | |
|
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa |
Posisi Tidur |
Lateral/miring |
60 |
35,9 |
|
paling banyak responden berusia 16 tahun yaitu 89 |
Tengkurap | |||
|
orang (38,5%) dan paling sedikit responden berusia kurang dari 15 tahun yaitu 3 orang (1,3%). |
4 |
2,4 | ||
|
<jam 10 malam | ||||
|
Responden laki-laki dan perempuan pada penelitian ini tidak jauh berbeda yaitu responden perempuan |
13 |
7,8 | ||
|
Jam 10-11 malam | ||||
|
berjumlah 114 orang (50,6%) dan responden laki-laki berjumlah 117 orang (49,4 %). |
90 |
53,9 | ||
|
Berdasarkan penelitian yang telah |
Waktu |
Jam 11-12 malam |
47 |
28,1 |
|
dilakukan di 8 Sekolah Menengah Atas (SMA) | ||||
|
Negeri di Denpasar, didapatkan jumlah responden |
Tidur |
Jam 12-1 malam |
10 |
6,0 |
|
sebanyak 231 orang dan 167 orang diantaranya mengalami sleep paralysis. Berdasarkan perhitungan rasio prevalensi, siswa SMA Negeri di |
Jam 1-2 malam | |||
|
5 |
3,0 | |||
|
Denpasar yang mengalami sleep paralysis adalah 72,3%. |
>jam 2 malam |
2 |
1,2 | |
|
Tabel 2. Distribusi sleep paralysis berdasarkan |
Kualitas |
Baik |
48 |
28,7 |
|
variabel-variabel |
Buruk | |||
|
Variabel Jumlah (%) |
Tidur |
119 |
71,3 | |
|
<15 tahun 2 1,3 |
Konsumsi |
Ya |
18 |
10,8 |
|
15 tahun 53 32,9 |
Alkohol |
Tidak |
149 |
89,2 |
|
16 tahun 63 38,5 |
Penggunaan |
Ya |
0 |
0 |
|
Obat |
Tidak |
167 |
100 |
|
Ya |
3 |
1,8 | |
|
Hipertensi |
Tidak Ya |
164 4 |
98,2 2,4 |
|
Gangguan Kejang | |||
|
Tidak Ya |
163 0 |
97,6 0 | |
|
PTSD |
Tidak Ya |
167 1 |
100 0,6 |
|
Gangguan Panik | |||
|
Tidak Ya |
166 10 |
99,4 6,0 | |
|
Gangguan | |||
|
Cemas |
Tidak Ya |
157 |
94,0 |
|
Stres |
158 9 |
94,6 5,4 | |
|
Tidak |
Tabel 2 menunjukkan distribusi karakteristik sleep paralysis berdasarkan variabel umur, jenis kelamin, jumlah waktu tidur malam, durasi tidur siang, posisi tidur, waktu tidur, kualitas tidur, adanya konsumsi alkohol, penggunaan obat, adanya hipertensi, gangguan kejang, PTSD, gangguan panik, gangguan cemas, serta stres.
PEMBAHASAN
-
1. Umur
Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa paling banyak responden yang mengalami sleep paralysis berada pada umur 16 tahun yaitu sejumlah 63 orang (37,7%) dan paling sedikit berada pada usia kurang dari 15 tahun yaitu sejumlah 2 orang (1,2%). Penelitian yang dilakukan oleh Larasaty6 mendapatkan hasil bahwa gangguan tidur sleep paralysis lebih banyak terjadi pada remaja pertengahan, yaitu sekitar umur 14-17 tahun. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian tersebut.
Penelitian oleh Ma dkk5 menyebutkan bahwa prevalensi sleep paralysis cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, karena adanya tekanan yang meningkat seperti akademik dan stressor interpersonal.
menyatakan bahwa sleep paralysis ditemukan secara signifikan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki.5 Namun, berbeda halnya dengan di Cina, hasil penelitian pada remaja SMA Negeri di Denpasar ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Canada yang dikutip oleh Larasaty6. Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian sleep paralysis.6
-
3. Jumlah Waktu Tidur Malam
Berdasarkan National Sleep Foundation, jumlah waktu tidur normal untuk remaja (1417 tahun) adalah 8-10 jam.13 Hasil penelitian pada remaja SMA Negeri di Denpasar ini menunjukkan bahwa siswa yang jumlah tidurnya kurang dari 8 jam jauh lebih banyak daripada siswa yang jumlah tidurnya 8-10 jam. Seperti pernyataan Sharpless dkk14 sleep paralysis terjadi berhubungan dengan kurangnya waktu tidur. Sleep paralysis lebih banyak terjadi pada orang yang durasi tidurnya singkat, sehingga disebutkan bahwa sleep paralysis dapat dicetuskan oleh durasi tidur yang singkat.5
-
4. Durasi Tidur Siang
Pada penelitian ini didapatkan bahwa paling banyak responden yang mengalami sleep paralysis memiliki kebiasaan tidur siang selama 1-2 jam yaitu sejumlah 45 orang (26,9%). Berdasaakan National Sleep Foundation mengenai sleep hygiene, durasi tidur siang yang baik adalah sekirar 20-30 menit.13 Sebuah penelitian yang dilakukan di Cina menemukan bahwa durasi tidur siang yang lama berkontribusi terhadap terjadinya sleep paralysis. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa prevalensi sleep paralysis paling banyak terjadi pada orang yang memiliki kebiasaan tidur siang lebih dari 2 jam.5 Pada penelitian ini yang dilakukan pada remaja SMA Negeri di Denpasar mendapatkan hasil yang sedikit berbeda yaitu prevalensi sleep paralysis paling banyak terjadi pada siswa yang memiliki durasi tidur siang antara 1-2 jam. Namun bila ditinjau dari durasi tidur siang yang baik yaitu sekitar 2030 menit maka durasi tidur siang siswa SMA Negeri di Denpasar sudah melewati batas tersebut.
-
5. Posisi Tidur
Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden yaitu 103 orang (61,7%) tidur dalam posisi terlentang saat mengalami sleep paralysis. Hal ini sesuai dengan pernyataan McCarty & Chesson11 yang menyebutkan bahwa sleep paralysis lebih sering terjadi ketika individu tidur dalam
posisi terlentang, meskipun mekanismenya belum diketahui.
-
6. Waktu Tidur
Sleep paralysis paling banyak terjadi pada siswa yang memulai tidur pada pukul 10-11 malam yaitu sejumlah 90 orang (53,9%). Hasil penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian yang dilakukan pada remaja di Cina. Hasil penelitian di Cina menyatakan bahwa sleep paralysis banyak terjadi pada remaja yang memulai tidur lebih dari pukul 2 malam, sehinnga dikatakan tidur larut malam berpengaruh terhadap terjadinya sleep paralysis.5 Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya sleep paralysis, seperti faktor psikologis dan kebiasaan-kebiasaan tidur lainnya.
-
7. Kualitas tidur
Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa responden yang mengalami sleep paralysis lebih banyak memiliki kualitas tidur yang buruk. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kualitas tidur berhubungan dengan terjadinya sleep paralysis. Peningkatan kejadian sleep paralysis dapat terjadi ketika seseorang kurang tidur akibat dari terganggunya siklus tidur.6,9,15 Pada penelitian yang dilakukan di Cina, kejadian sleep paralysis didapatkan tinggi pada responden yang memiliki kualitas tidur subyektif yang buruk/sangat buruk.5
-
8. Konsumsi alkohol
Pada penelitian ini sebagian besar responden tidak mengkonsumsi alkohol yaitu 149 orang (89,2%). Penelitian ini mendapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ma dkk.5 Pada penelitian tersebut didapat kejadian sleep paralysis lebih tinggi pada orang yang mengonsumsi alkohol daripada seseorang yang tidak mengonsumsi alkohol. Perbedaan hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti perbedaan lingkungan, geografis, dan perbedaan budaya.5 Selain itu dapat pula disebabkan karena ketidakjujuran siswa saat menjawab pertanyaan mengenai adanya konsumsi alkohol.
-
9. Penggunaan obat
Semua responden yang mengalami sleep paralysis tidak pernah megonsumsi obat-obatan yang berhubungan dengan sleep paralysis, seperti benzidiazepine dan antidepresan. Seperti yang diungkapkan oleh Sharpless dkk14 bahwa ada beberapa obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian sleep paralysis antara lain penggunaan obat antidepresan dan benzodiazepine.14
-
10. Hipertensi
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 3 orang (1,8%) yang didiagnosis hipertensi atau pernah mengonsumsi obat hipertensi sebelumnya. Menurut Sharpless & Barber4 sleep paralysis dikaitkan dengan kondisi medis lain, salah satunya adalah hipertensi. Dalam penelitian ini didapatkan hasil 3 orang hipertensi diantara 167 orang yang mengalami sleep paralysis. Hal ini dapat disebabkan kurang akuratnya data oleh karena tidak dilakukan pemeriksaan fisik langsung melainkan hanya menggunakan kuesioner.
-
11. Gangguan Kejang
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 4 orang (2,4%) pernah didiagnosis atau mengonsumsi obat gangguan kejang dari 167 orang yang mengalami sleep paralysis. Gangguan kejang tidak menjadi faktor mutlak untuk terjadinya sleep paralysis melainkan hanya faktor yang berhubungan atau faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya sleep paralysis. Seperti yang dikatakan Sharpless & Barber4 sleep paralysis dikaitkan juga dengan kondisi medis lain seperti gangguan kejang. Namun sleep paralysis dapat pula terjadi walaupun tanpa adanya gangguan kejang sebelumnya. Hal ini disebabkan karena ada faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi terjadinya sleep paralysis.
-
12. PTSD
Seluruh responden pada penelitian ini tidak pernah didiagnosis PTSD atau mengonsumsi obat untuk PTSD. Pada beberapa penelitian seperti yang dikutip oleh Mume & Ikem15 menunjukkan bahwa tingkat kejadian sleep paralysis meningkat pada individu dengan PTSD. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan bahwa kejadian sleep paralysis meningkat pada individu dengan PTSD. Hal ini dapat disebabkan karena memang tidak ada siswa yang mengalami PTSD ataupun dapat pula disebabkan kurangnya pemahaman responden terhadap PTSD karena pengumpulan data hanya berdasarkan kuesioner yang kemungkinan tidak sepenuhnya dipahami.
-
13. Gangguan Panik
Pada penelitian ini terdapat 1 orang yang pernah didiagnosis gangguan panik atau mengonsumsi obat untuk gangguan panik, namun nama obat tidak disebutkan lebih lanjut sehingga tidak diketahui apakah obat tersebut termasuk ke dalam golongan antidepresan atau benzodiazepin. Sama seperti PTSD tadi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadian sleep paralysis meningkat pada individu dengan gangguan panik.15
-
14. Gangguan Cemas
Berdasarkan penelitian ini didapatkan 10 orang (6%) siswa yang didiagnosis mengalami gangguan cemas oleh dokter atau mengonsumsi obat untuk gangguan cemas. Gangguan cemas dan gangguan panik merupakan etiologi dari sleep paralysis.16 Selain itu, pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kejadian sleep paralysis meningkat pada individu dengan gangguan cemas.15 Hasil penelitian pada remaja SMA Negeri di Denpasar ini menunjukkan bahwa ada remaja dengan sleep paralysis yang mengalami gangguan cemas.
-
15. Stres
Pada penelitian di SMA Negeri di Denpasar ini, sebagian besar siswa yang mengalami sleep paralysis didapatkan mengalami stres. Stres bukan merupakan faktor mutlak untuk terjadinya sleep paralysis namun hanya menjadi faktor predisposisi atau faktor yang mempengaruhi terjadinya sleep paralysis. Penelitian yang dilakukan oleh Ruby Larasaty6 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres dengan kejadian sleep paralysis.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai prevalensi dan karakteristik kejadian sleep paralysis pada remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Denpasar, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prevalenssi sleep paralysis pada remaja SMA Negeri di Denpasar Bali sebesar 72,3% (167 orang). Karakteristik sleep paralysis pada remaja SMA adalah paling banyak terjadi pada umur 16 tahun, jenis kelamin tidak ada banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan, paling banyak terjadi pada siswa yang tidur 5-6 jam di malam hari dan paling banyak pada siswa yang memiliki kebiasaan tidur siang selama 1-2 jam. Posisi tidur tersering saat terjadinya sleep paralysis adalah terlentang, paling banyak terjadi pada siswa yang memulai tidur pada pukul 10-11 malam serta lebih banyak terjadi pada siswa dengan kualitas tidur buruk. Pada penelitian ini ditemukan hanya beberapa siswa yang mengonsumsi alkohol dan tidak ada siswa yang pernah mengonsumsi obat yang berhubungan dengan sleep paralysis. Kondisi medis yang berhubungan dengan sleep paralysis seperti hipertensi, gangguan kejang, gangguan panik, dan gangguan cemas hanya ditemukan beberapa pada siswa yang mengalami sleep paralysis bahkan tidak ada siswa yang mengalami PTSD pada siswa yang mengalami sleep paralysis. Sleep paralysis lebih banyak terjadi pada siswa yang mengalami stres daripada siswa yang tidak stres.
SARAN
Perlunya pengetahuan bagi siswa mengenai sleep paralysis, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sleep paralysis, termasuk bagaimana mengatur pola tidur dan kebiasaan tidur lainnya, serta bagaimana menjaga kondisi fisik dan psikis sehingga dapat menurunkan prevalensi sleep paralysis pada remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Denpasar.
Penelitian ini memiliki kelemahan yaitu hanya menggunakan kuesioner sehingga ada beberapa istilah medis yang kurang dimengerti oleh responden, seperti misalnya hipertensi, gangguan panik, gangguan kejang, gangguan cemas, dan PTSD. Pada penelitian ini hanya diajukan pertanyaan mengenai pernah atau tidaknya responden mengalami gangguan tersebut tanpa memberikan gambaran secara lengkap mengenai gangguan tersebut. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan kuesioner yang lebih detail dan lengkap atau melakukan penelitian menggunakan metode penelitian analitik seperti hubungan antara faktor risiko terjadinya sleep paralysis pada remaja SMA.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Rejeki S, Yuniarsih S, Ernawati A. Persepsi
Perawat Dan Pasien Tentang Kebutuhan Istirahat Tidur Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus. FIKkeS [Internet]. 2012;1(1):58. Available from: https://gizis1.unimus.ac.id/ojsunimus/index .php/FIKkeS/article/view/361
-
2. Haryono A, Rindiarti A, Arianti A, Pawitri
A, Ushuluddin A, Setiawati A, et al. Prevalensi gangguan tidur pada remaja usia 12-15 tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama. Sari Pediatr Jakarta Fak Kedokt Univ Indones [Internet]. 2009 [cited 2015 Jul 20];11(3):150. Available from: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-3-1.pdf
-
3. Potter, Perry. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: konsep, proses, praktik. 4th ed. Asih Y, editor. Jakarta: EGC; 2005.
-
4. Sharpless BA, Barber JP. Lifetime
prevalence rates of sleep paralysis: a systematic review. Sleep Med Rev [Internet]. 2011 Oct [cited 2015 Jul 20];15(5):311–5. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlere nder.fcgi?artid=3156892&tool=pmcentrez &rendertype=abstract
-
5. Ma S, Wu T, Pi G. Sleep paralysis in
Chinese adolescents: A representative
survey. Sleep Biol Rhythms.
2014;12(1):46–52.
-
6. Larasaty R. Hubungan Tingkat Stres
Dengan Kejadian Sleep Paralysis Pada Mahasiswa Fik Ui Angkatan 2008 Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Sleep Paralysis Pada Mahasiswa Fik Ui Angkatan 2008. 2012;1–20.
-
7. Anurogo D. Fenomena “ Tindihan .”
2012;39(9):708–10.
-
8. Jiménez-Genchi A, Ávila-Rodríguez VM,
Sánchez-Rojas F, Vargas Terrez BE, Nenclares-Portocarrero A. Sleep paralysis in adolescents: The “a dead body climbed on top of me” phenomenon in Mexico: Regular article. Psychiatry Clin Neurosci. 2009;63(4):546–9.
-
9. Howell MJ. Parasomnias: an updated
review. Neurotherapeutics [Internet]. 2012 Oct [cited 2015 Jul 3];9(4):753–75.
Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlere nder.fcgi?artid=3480572&tool=pmcentrez &rendertype=abstract
-
10. Galbiati A, Rinaldi F, Giora E, Ferini-
Strambi L, Marelli S. Behavioural and Cognitive-Behavioural Treatments of Parasomnias. Behav Neurol [Internet]. 2015 Jan [cited 2015 Jul 21];2015:1–4. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlere
nder.fcgi?artid=4458546&tool=pmcentrez &rendertype=abstract
-
11. McCarty DE, Chesson AL. A case of sleep
paralysis with hypnopompic hallucinations. J Clin Sleep Med. 2009;5(1):83–4.
-
12. Lestari YI, Utami DKI, Budiarsa IGN,
Widyadharma IPE. KORELASI
KUALITAS TIDUR DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI DESA TONJA, DENPASAR. Neurona.
2017;34:201–2.
-
13. Hirshkowitz M, Whiton K, Albert SM,
Alessi, C., Bruni O, DonCarlos L. National Sleep Foundation’s sleep time duration recommendations: methodology and result summary. J Natl Sleep Found. 2015;1:40– 3.
-
14. Sharpless BA, McCarthy KS, Chambless
DL, Milrod BL, Khalsa S-R, Barber JP. Isolated Sleep Paralysis and Fearful Isolated Sleep Paralysis in Outpatients With Panic Attacks. Natl Institutes Heal. 2010;9(1):1–4.
-
15. Mume CO, Ikem IC. Sleep paralysis and
psychopathology. South African J Psychol. 2009;15(4):97–100.
-
16. Sharpless BA. A clinician’s guide to
recurrent isolated sleep paralysis. Neuropsychiatr Dis Treat. 2016;12:1761–7.
Discussion and feedback