CORTICOSTEROID AS TREATMENT OF ALOPECIA AREATA
on
KORTIKOSTEROID SEBAGAI TERAPI ALOPESIA AREATA
Ni Putu Junika Putri1, I Wayan Sugiritama2
-
1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
-
2Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
ABSTRAK
Alopesia areata merupakan penyebab tersering dari nonscarring alopecia. Insiden Alopesia areata sebesar 1-2 % dari populasi, dengan rasio yang sama pada kedua jenis kelamin, dan terjadi pada semua kelompok ras. Karakteristik dari Alopesia areata biasanya timbul lesi botak, satu atau lebih, berbentuk bulat atau oval pada berbagai area berambut pada tubuh terutama pada rambut kepala. Alopesia areata merupakan suatu penyakit inflamasi, autoimun yang dimediasi oleh sel limfosit T. Terapi untuk alopesia areata adalah dengan menekan proses imun dan inflamasi yang terjadi pada alopesia areata. Kortikosteroid merupakan salah satu modalitas terapi untuk alopesia areata, karena memiliki efek anti inflamasi dan immunosupresi. Beberapa metode pemberian kortikosteroid yaitu injeksi intralesi, terapi topikal, dan sistemik
Kata kunci: alopesia areata, kortikosteroid
CORTICOSTEROID AS TREATMENT OF ALOPECIA AREATA
ABSTRACT
Alopecia areata is a common cause of alopecia nonscarring. Incidence alopecia areata 12% of the population, with the same ratio in both sexes, and occurs in all racial groups. The characteristics of alopecia areata lesions usually develop bald patch with one or more round or oval in hair bearing areas of the body, especially on the scalp. Alopecia areata is an inflammatory disease, autoimmune mediated by T lymphocytes disease Therapy for alopecia areata is to suppress immune and inflammatory processes that occur in alopecia areata. Corticosteroid therapy is one modality of therapy for alopecia areata, because it has anti-inflammatory and immunosuppressive effects. Several methods corticostreroid administration consist of intralesional injection, topical, and systemic therapies
Keywords: alopecia areata, corticosteroid
PENDAHULUAN
Alopesia areata (AA) merupakan penyebab tersering alopecia nonscarring. Insiden AA terjadi pada 1-2 % populasi, pada kedua jenis kelamin dengan rasio yang sama, dan terjadi pada semua kelompok ras. Alopesia areata terjadi pada semua kelompok umur terutama pada kelompok dewasa muda. Karakteristik AA biasanya timbul lesi botak bisa satu atau lebih, berbentuk bulat atau oval pada berbagai area berambut pada tubuh terutama pada rambut kepala.1,2,3,4
Penyebab pasti AA belum diketahui. Alopesia areata disebabkan sebagian besar oleh penyakit autoimun dengan presdiposisi genetik, yang ditunjukkan dengan hubungan antara AA dengan human leukocyte antigen (HLA) terutama adalah HLA-DR dan HLA-DQ dan peran sel T pada penyakit ini.1,3,5
Ada beberapa pengobatan untuk AA dengan tujuan untuk menginduksi pertumbuhan rambut salah satunya kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan obat yang paling sering digunakan untuk pasien AA. Kortikosteroid memberikan efek antiinflamasi dan immunosupresi yaitu dengan menghambat produksi sitokin proinflamasi, mengurangi sintesis inflamasi, menekan fungsi imun, memproduksi sitokin antiinflamasi TGF-β, dan menurunkan regulasi adesi molekul selular pada antigen presenting cell (APC).1,2,5,6
Berdasarkan uraian diatas dimana penyakit AA merupakan penyakit yang sebagian besar disebabkan oleh proses imun dan kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai efek menekan proses imun dan antiinflamasi, sehingga pada tulisan ini penulis ingin membahas tentang kortikosteroid sebagai terapi AA.
ANATOMI DAN FISIOLOGI RAMBUT
Rambut merupakan salah satu adneksa kulit yang terdapat pada seluruh tubuh kecuali telapak tangan, telapak kaki, kuku dan bibir. Rambut pada manusia digolongkan menjadi 2 jenis yaitu rambut terminal merupakan rambut kasar yang mengandung banyak pigmen, rambut ini terdapat dikepala, alis, bulu mata, ketiak, dan genetalia eksterna, dan rambut velus yaitu rambut halus sedikit mengandung pigmen, terdapat hampir diseluruh tubuh.1,2
Secara anatomi folikel rambut dibagi menjadi 4 bagian seperti terlihat pada gambar 1 yaitu: (1) Bulbus terdiri dari papilla dermal dan matrik dengan melanosit. (2) Suprabulbar merupakan area dari matrik sampai insersi otot arektor pili. (3) Isthmus merupakan perluasan area dari insersi otot arektor pili sampai kelenjar sebasea. (4) Infundibulum merupakan perluasan dari kelenjar sebasea sampai ke orifisium folikel.1,2
Gambar 2 menunjukkan penampang rambut dari luar dapat dibagi atas: (1) Kutikula yang terdiri atas lapisan keratin yang berguna untuk perlindungan terhadap kekeringan dan pengaruh lain dari luar. (2) Korteks terdiri atas serabut polipeptida yang memanjang dan saling berdekatan. Lapisan ini yang mengandung pigmen. (3) Medula terdiri atas 3-4 lapis sel kubus yang berisi keratohialin, badan lemak dan rongga udara. Pada rambut velus tidak memiliki medula 1,2
Rambut mengalami pertumbuhan rambut secara siklik, yaitu fase anagen, fase katagen, dan fase telogen. (a) Pada fase anagen (fase pertumbuhan) folikel rambut sampai lapisan lemak subkutaneus sehingga lebih susah untuk tercabut, fase anagen berlangsung sekitar 2-6 tahun. Sedangkan pada fase telogen (fase istirahat) yang terletak
lebih diatas yaitu pada dermis sehingga relatif lebih gampang tercabut, fase ini berlangsung 3 bulan. Pada fase ini folikel rambut beristirahat dan mempersiapkan stem cell sehingga dapat menerima singnal untuk fase pertumbuhan rambut berikutnya. Diantara kedua fase tersebut terdapat fase katagen (involusi temporer). Ini merupakan fase peralihan yang didahului penebalan jaringan ikat disekitar folikel rambut yang berlangsung 3 minggu. Pada daerah rambut kepala terdiri dari 90% rambut anagen, 1% rambut katagen, dan 9% rambut telogen.1,2
ALOPESIA AREATA
Alopesia areata merupakan kerontokan rambut nonscarring yang mengenai seluruh area tubuh berambut terutama rambut kepala. Alopesia areata biasanya timbul dalam bentuk lesi botak dengan karakteristik lesi bulat atau oval berbatas tegas dengan permukaan yang halus tanpa ada tanda-tanda skuama atau sikatrik. Lesi botak yang timbul kebanyakan lesi tunggal (80%), dua lesi (12,5%), dan lebih dari 2 lesi (7,7%). Alopesia areata merupakan penyakit inflamasi yang dimediasi oleh limfosit T yang mengenai folikel rambut. 1,2,6
Etiologi AA masih belum diketahui, tetapi faktor genetik dan immunologi berperan penting dalam penyakit AA. Faktor genetik berperan penting sebagai etiologi AA. Terjadi peningkatan frekuensi AA 10%-42% kasus dengan riwayat kelurga memiliki penyakit AA. Beberapa gen yang berhubungan seperti human leukocyte antigens (HLA) yang terletak pada kromosom 6 lengan pendek, yang membentuk Major Histocompatibility Complex (MHC). HLA yang telah diteliti pada pasien AA dikarenakan berhubungan dengan penyakit autoimmun dan peningkatkan frekuensi antigen HLA. Pasien AA menunjukkan hubungan yang signifikan dengan HLA-DR dan
HLA-DQ yang merupakan marker untuk AA.1,5Dari faktor immunologis proses imun memegang peranan penting dalam patogenesis AA. Pada gambar 3 menunjukkan peranan beberapa proses imun yang terjadi pada AA. Sel langerhans yang bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) meningkat pada bulbus folikel rambut, sehingga timbulnya epitope yang bertanggung jawab pada limfosit peribulbar. Hal ini mengakibatkan terjadinya kaskade imunologi dengan peningkatan sitokin yaitu interleukin-2 (IL-2), gamma interferon (γIFN), dan intercellular adhesion molecules (ICAM). Peningkatan ini menginduksi kerontokan rambut. Hal ini dianggap sebagai respons sel T helper type 1 (Th1) terhadap kaskade imunologi yang terjadi pada pasien AA.1
Infiltrat inflamasi disekeliling bulbus rambut fase anagen mengakibatkan anagen arrest atau anagen inhibition. Anagen arrest mengakibatkan pertumbuhan rambut berakhir dan mengakibatkan fase katagen dan telogen terjadi secara prematur, yang ditandai dengan penurunan rasio anagen berbanding fase telogen. Siklus rambut terus berlangsung, setelah melewati fase telogen siklus akan terulang kembali ke fase anagen. Jika tidak ada inflamasi rambut akan kembali ke kondisi rambut normal, tetapi jika inflamasi masih menetap rambut akan mengalami miniaturisasi, yang ditandai dengan perbandingan antara rambut vellus dan terminal meningkat.1,3 Selain mengakibatkan peningkatan rambut vellus, adanya infiltrat pada bulbus rambut fase anagen juga mengakibatkan terjadi keabnormalan melanogenesis dan melanocyte. Hal ini dikarenakan adanya antibodi terhadap pigmen sehingga mengakibatkan terjadi perubahan pigmen rambut pada pasien AA.1
Gambaran klinis AA paling sering berupa kerontokan rambut dengan batas jelas dan area yang terlokalisasi. Lesi biasanya berbentuk bulat atau oval dengan permukaan lesi yang halus tanpa kerusakan berat seperti skuama atau sikatrik yang mengenai semua area tubuh berambut terutama mengenai kulit kepala yang merupakan tempat paling sering terjadi alopesia areata (90%). Lesi yang timbul dapat berwarna agak kemerahan atau sebaliknya dapat berwarna normal. Rambut rontok dapat terlihat berupa rambut yang masih intak ataupun yang patah. Rambut intak merupakan rambut dystrophic anagen atau rambut telogen sedangkan rambut patah diakibatkan kerusakan yang melibatkan kortek dan medulla. Hal ini mengakibatkan rambut bagian distal menjadi patah, keadaan rambut ini menggambarkan exclamation-mark rambut dikarenakan bagian distal lebih lebar daripada bagian proksimal, tanda ini terdapat disekeliling perifer lesi.1,3,5
Hair Pull test pada bagian perifer lesi menunjukkan hasil yang positif bila terjadi kerontokan rambut lebih dari 6 helai, hal ini juga menunjukkan fase aktif penyakit AA. Pada saat rambut mulai tumbuh, rambut kekurangan pigmen akibat dari antibodi terhadap pigmen yang ditandai keabnormalan melanogenesis dan melanocyte sehingga rambut menjadi pirang atau putih. Meskipun rambut rontok biasanya asimtomatik, tetapi pada beberapa pasien merasakan paresthesia, gatal, nyeri tekan atau sensasi rasa terbakar sebelum munculnya lesi.1,3
Secara klinis AA dapat dikategorikan berdasarkan bentuk dan berdasarkan perluasannya. Berdasarkan bentuknya yaitu; patchy AA merupakan kerontokan dengan lesi botak berbentuk bulat atau oval, pola ini merupakan pola tersering; reticular AA yaitu kerontokan dengan pola retikular; ophiasis-bendlike AA terjadi kerontokan pada
rambut kepala bagian temporo-oksipital yang biasanya terjadi pada anak-anak dan memiliki prognosis yang buruk; ophiasis inversus (sisapho) merupakan pola yang jarang, pada pola ini terjadi kerontokan pada kulit kepala bagian fronto-parietal, pola ini merupakan kebalikan dari pola ophiasis; diffuse AA terjadi penurunan densitas rambut pada seluruh kulit kepala. Berdasarkan perluasannya dapat dilihat dalam bentuk alopesia areata, kerontokan hanya mengenai sebagian kulit kepala yang berupa lesi botak; alopecia totalis, lesi yang mengenai seluruh bagian kepala, dan alopesia universalis lesi yang mengenai seluruh rambut pada kulit kepala dan badan. Ini ditunjukkan pada gambar 4.1
Terdapat beberapa fase yang menunjukkan perbedaan pada gambaran histopatologi alopesia areata yaitu : (1) Fase akut terdapat infiltrat limfosit peribulbar (swarm of bees) pada fase anagen yang merupakan karakteristik diagnosis pasien AA. Infiltrat selular inflamasi terutama terdiri atas sel T aktif, makrofag, dan sel langerhans. Infiltrat limfosit folikel pada fase anagen mengakibatkan fase telogen dan fase katagen terjadi secara prematur sehingga rasio anagen berbanding telogen mengalami penurunan yang ditandai dengan peningkatan rambut fase katagen dan telogen yang dapat diobservasi dengan biopsi kulit kepala secara horizontal. (2) Fase kronik ditandai dengan adanya infiltrat peribulbar dengan peningkatan sel langerhans dan terjadi miniaturisasi folikel. (3) Fase penyembuhan yang ditandai dengan folikel rambut normal dengan sedikit atau bahkan tidak ada infiltrat limfosit peribulbar.1,4,5
Diagnosis AA berdasarkan pada manifestasi klinis, dengan pemeriksaan tambahan yaitu hair pull test yang positif dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsi.
Pada pemeriksaan biopsi dengan menggunakan mikroskop menunjukkan banyaknya
infiltrat limfosit sel T disekitar folikel rambut pada fase anagen.1,3,6
Alopesia areata dapat dibedakan dengan Telogen effluvium, alopecia androgenic dan tinea kapitis. Pada Telogen effluvium ini merupakan bentuk dari alopecia nonscarring dengan karakteristik kebotakan difuse (kerontokan rambut sampai akar), yang mana kebotakan terjadi pada keseluruhan kulit kepala. Pada alopecia androgenetic merupakan pola kebotakan yang terjadi pada pria, dengan pola tipikal dan kerontokan tidak menonjol, pemeriksaan hair pull test pada alopecia androgenic negatif sedangkan pada AA positif. Pada tinea kapitis ini tersering terjadi pada anak-anak, dengan karakteristik lesi skuama eritema disekitar lesi botak.1,3,6
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh adrenal kortek. Kortikosteroid terdiri dari 2 kelompok farmakologi dan fisiologi yaitu (1) Glucocorticoid yang mempunyai efek dalam metabolisme, katabolisme, respon imun, dan inflamasi. (2) Mineralocorticoid yang mengatur reabsorpsi natrium dan kalium di 7
collecting tubules dari kidney.
Kortikosteroid dapat masuk ke dalam sel dengan berikatan pada reseptor cytosolic kemudian masuk ke inti sel. Kompleks reseptor-steroid mengubah eskpresi gen dengan berikatan dengan glucocorticoid respone elements (GREs) atau mineralocorticoid-specific element. Respons spesifik jaringan terhadap steroid dikarenakan disetiap jaringan terdapat regulator protein yang berbeda dalam mengontrol 7 interaksi antara kompleks reseptor hormon dengan respons elemen.7
Farmakokinetik dari kortikosteroid, yaitu Cortisol (hydrocortisone) yaitu merupakan glucocorticoid natural terbesar. Sekresi cortisol diatur oleh adrenocorticotropin (ACTH), sekresi cortisol bervariasi sepanjang hari (circadian rhythm), mencapai puncak pada pagi hari dan paling rendah pada tengah malam. Pada plasma, cortisol berikatan 95% dengan corticosteroid-binding globulin. Cortisol sebagai obat dapat diabsorpsi dengan baik pada traktus gastrointestinal, dan dimetabolisme dihati. Cortisol memiliki waktu paruh yang pendek dibandingkan dengan synthetic glucocorticoid. Meskipun cortisol sedikit dapat melewati kulit normal tetapi cortisol dapat digunakan untuk inflamasi pada kulit dan membran mukosa. Cortisol juga memiliki efek retensi natrium (mineralocorticoid), ini penting karena dapat mengakibatkan hipertensi pada pasien dengan cortisol-secreting adrenal tumor 7 atau pituitary ACTH secreting tumor (Cushing’s syndrome).7
Synthetic glucocorticoid mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan cortisol. Yang tergolong synthetic glucocorticoid adalah prednisone, prednisolone, dexamethasone, dan triamcinolone. Synthetic glucocorticoid dibandingkan dengan cortisol memiliki waktu paruh dan durasi lebih panjang, efek retensi natrium lebih sedikit, dan mempunyai efek topikal lebih baik karena penetrasi terhadap lipid barrier lebih baik.7
Kortikosteroid mempunyai beberapa efek antara lain efek metabolik, katabolik, immunosupresi, dan antiinflamasi. Sebagai efek immunosupresi glucocorticoid menghambat mekanisme imunologi cell-mediated, terutama yang dependent dengan limfosit. Glococorticoid berperan sebagai lymphotoxic dan berperan dalam pengobatan kanker hematologi. Sebagai anti-inflamasi glucocorticoid mempunyai efek terhadap
distribusi dan fungsi dari limfosit. Glococorticoid berperan dalam meningkatkan neutrofil dan menurunkan kadar limfosit, eosinofil, basofil, dan monosit. Mekanisme biokimia glococorticoid sebagai anti-inflamasi yaitu menginduksi sintesis inhibisi phospolipase A2, terjadi penurunan mRNA untuk Cox-2, penurunan IL-2 dan IL-3, dan 7
penurunan platelet activating factor (PAF), dan sitokin.7
KORTIKOSTEROID SEBAGAI TERAPI AA
Penyakit AA merupakan penyakit inflamasi yang sebagian besar dikarenakan proses imun yang dimediasi sel T. Oleh karena itu terapi yang digunakan untuk mengontrol penyakit ini adalah obat yang dapat menekan proses imun. Kortikosteroid golongan glucocorticoid merupakan terapi pilihan untuk penyakit ini, karena efektif menghambat aktivasi limfosit T dan membantu mengontrol AA. Kortikosteroid juga membantu mengurangi inflamasi dan nyeri yang terjadi pada AA. Walaupun dalam tubuh diproduksi glucocorticoid dalam bentuk cortisol, namun karena cortisol mempunyai waktu paruh yang lebih pendek dan penetrasi kekulit kurang sehingga diperlukan pemberian synthetic glucocorticoid. 1,3,9
Efek glucocorticoid sebagai immunosupresi dan antiinflamasi
Efek glucocorticoid salah satunya sebagai antiinflamasi dan immunosupresi dengan mekanisme yang susah dimengerti. Baik pre- dan post transkripsi, glucocorticoid mengubah regulasi gen pada sel target dengan berinteraksi dengan cytosolic glucocorticoid receptor (GR). Salah satu aksi glucocorticoid yaitu menghambat produksi sitokin proinflamasi. Inhibisi ini dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Inhibisi secara langsung dengan transkripsi yang dimediasi GR,
sehingga glucocorticoid dapat meregulasi ekspresi sitokin dengan menambah produksi protein untuk mengganggu stabilisasi mRNA sitokin sehingga dapat mengurangi ekspresi sitokin. Sedangkan secara tidak langsung glucocorticoid menghambat produksi sitokin dengan mengeksitasi sintesis glococorticoid-induce leucine zipper, inhibitor of kB (IkB), dan lipocortin-1. Hal ini menyebabkan berkurangnya sintesis inflamasi. Antara glococorticoid-induce leucine zipper dan inhibitor of kB (IkB) berfungsi menghambat aktivitas transkripsi proinflamasi dengan demikian terjadi penurunan eskpresi gen target, meskipun glucocorticoid meningkatkan regulasi lipocortin-1 tidak berdampak pada produksi sitokin tetapi lipocortin-1 dapat menghambat sintesis prostaglandin dan leukotriene dimana kedua kelas ini berperan dalam mediator inflamasi.8
Glucocorticoid menekan fungsi imun sel target yaitu limfosit T, monosit-makrofag, eosinofil, sel mast, sel dendritik, dan sel endotel. Selain menekan regulasi sitokin, glucocorticoid juga memproduksi sitokin antiinflamasi TGF-β pada sel target dengan mekanisme pre- dan post-transkripsi. Glucocorticoid bertentangan dengan ekspresi molekul adesi pada antigen presenting cells (APCs). Hal ini mengakibatkan penurunan regulasi adesi molekul selular pada APCs. Selain itu glucocorticoid juga menginduksi apoptosis limfosit T, monosit, dan eosinofil.8
Glucocorticoid menghambat respons sel T untuk mengaktivasi stimulus dengan menganggu T-cell receptor-mediated signaling pathways. Glucocorticoid juga menghambat sel T helper (Th) dan khususnya sitokin Th1 sehingga mengakibatkan pergantian kearah Th2 profil yang lebih dominan disekitar limfosit T, pergantian ini mengakibatkan antiinflamasi yang persisten.8
Metode Pemberian Kortikosteroid pada Pasien AA
Beberapa metode pemberian kortikosteroid yang dapat diberikan, yaitu berupa terapi intralesi, topikal, maupun terapi sistemik. Metode yang diberikan tergantung dari perluasan penyakit, derajat potensi obat, dan efek samping obat.1,3,6,9
Kortikosteroid Intralesi
Kortikosteroid intralesi merupakan terapi utama pada pasien AA dewasa dengan lesi pada kulit kepala kurang dari 50%, dan tidak dianjurkan bila lesinya lebih dari 50%. Terapi ini memberikan respons sebesar 64% menggunakan triamcinolone acetonide dan 97% menggunakan triamcinolone hexacetonide. Kortikosteroid intralesi menstimulasi pertumbuhan rambut pada tempat injeksi. Pemberian triamcinolone acetonide menggunakan jarum 30-gauge dengan panjang 0,5inch dengan injeksi 0,1 ml pada setiap tempat disuntikan dengan jarak kira-kira 1cm. Pemberian injeksi tidak diberikan secara superfisial tetapi dipenetrasi sampai dermis bagian dalam. Konsentrasi yang diberikan berkisar antara 2,5-10 mg/ml dimana 10mg/ml digunakan untuk kulit kepala, sedangkan konsentrasi yang lebih rendah 2,5 mg/ml digunakan untuk alis-alis atau pada bagian wajah. Pemberian total maksimum untuk kulit kepala direkomendasikan 3 ml pada satu kali pertemuan.1,3,6,9
Hasil terapi awal dengan kortikosteroid intralesi biasanya terlihat setelah 1-2 bulan. Terapi tambahan dapat diulang setiap 4-6 minggu. Yang paling penting menjauhi efek samping dari kortikosteroid intralesi yaitu nyeri pada tempat injeksi dan atropi transien. Atropi transien dapat terjadi pada area yang sering dilakukan injeksi, pada penggunaan volume obat dosis besar, atau injeksi yang dilakukan tidak cukup dalam
tetapi atropi ini dapat membaik setelah beberapa bulan. Resiko katarak dan peningkatan tekanan intraokular dapat terjadi bila diberikan kortikosteroid injeksi dekat daerah mata seperti untuk terapi alis mata. Nyeri biasanya dirasakan pada anak-anak yang usianya kurang dari 10 tahun, sehingga pada usia ini terapi dengan kortikosteroid intralesi tidak dianjurkan. Pada kasus perluasan AA (alopecia totalisi/alopecia universalis), AA yang progresif secara cepat dan dengan lesi kronik kurang merespon dengan baik dengan pemberian obat kortikosteroid intralesi.1,3,6,9
Kortikosteroid topikal
Beberapa kortikosteroid topikal yang memberikan efikasi pada pasien AA yaitu fluocinolone acetonide cream, floucinolone scalp gel, betamethasone valerate lotion, dexamethasone in a penetration-enhancing vehicle, desoximetasone cream, halcininide cream, dan clobetasol propionate ointment, tetapi kombinasi antara betamethasone dipropionate 0,05% dengan minoxidil memberikan efek yang lebih menguntungkan daripada diberikan betamethasone saja. Kortikosteroid topikal diberikan kepada pasien AA dengan lesi kurang dari 50% mengenai kulit kepala terutama efektif untuk anak-anak. Pada beberapa kasus pemberian kortikosteroid tidak memberikan respons. Hal ini diakibatkan obat tidak dapat mencapai bulbus rambut. Topikal steroid tidak memberikan efek pada perluasan alopesia areata (alopecia totalis/ alopecia universalis). Efek samping yang paling sering pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah folliculitis, atropi epidermis, dan infeksi lokal sehingga pemberian kortikosteroid tidak diberikan dalam jangka waktu yang lama.1,3,6,9
Kortikosteroid Sistemik
Terapi kortikosteroid oral diberikan untuk mengobati pasien AA dengan lesi lebih dari 50% mengenai kulit kepala atau perluasan AA (alopecia totalis/ alopecia universalis). Obat kortikosteroid sistemik yang dapat diberikan adalah prednisolon oral. Pemberian obat ini untuk pasien AA dianjurkan dengan dosis 1mg/kg/hari untuk dewasa dan 0,1-1mg/kg/hari untuk anak-anak. Dosis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rambut pasien AA antara 30-150 mg perhari. Terapi dengan kortikosteroid intramuskular, mempunyai efek recurrence yang tinggi dan sedikit memberikan hasil pada pasien. Sedangkan terapi dengan intravena methylprednisolon 250 mg 2 kali sehari selama 3 hari beruntun ini efektif mengontrol kerontokan fase aktif terutama pada perluasan alopesia areata. Terapi kortikosteroid sistemik diberikan dalam jangka waktu 1-6 bulan. Bila jangka waktu yang diberikan diperpanjang harus hati-hati dengan efek samping yang dapat terjadi seperti efek yang berhubungan dengan tulang terutama pada saat mengobati anak-anak. Efek samping lainnya dapat berupa insufisiensi adrenal akut, demam, mialgia, atralgia, malaise, abnormalitas elektrolit dan cairan, hipertensi, hiperglikemia, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, osteoporosis, gangguan behavior, katarak, dan cushing syndrome.1,3,6,9
RINGKASAN
Alopesia areata merupakan kerontokan rambut nonscarring yang mengenai seluruh area tubuh berambut terutama rambut kepala, biasanya timbul dalam bentuk lesi botak dengan karakteristik lesi bulat atau oval berbatas tegas dengan permukaan yang halus tanpa ada tanda-tanda skuama atau sikatrik. Alopesia areata merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh faktor imun, terutama dimediasi oleh limfosit T yang mengenai folikel rambut. Hal ini ditandai dengan gambaran histopatologi adanya infiltrat limfosit peribulbar (swarm of bees) pada fase anagen yang terjadi pada fase akut AA. Adanya infiltrat limfosit peribulbar fase anagen mengakibatkan anagen arrest atau anagen inhibition sehingga terjadi fase katagen dan telogen prematur yang ditandai dengan penurunan rasio antara anagen dan telogen. Kortikosteroid merupakan terapi pilihan untuk penyakit AA, karena kortikosteroid memiliki efek immunosupresi dan anti inflamasi, terutama efektif menghambat aktivasi limfosit T yang merupakan inisiasi terjadinya AA. Pemilihan sediaan kortikosteroid untuk pasien AA tergantung dari perluasan penyakit, derajat potensi obat dan efek samping obat. Kortikosteroid topikal merupakan kortikosteroid paling ringan, terutama diberikan pada pasien anak-anak dan lesi yang terlibat <50% kulit kepala, dengan efek samping tersering folliculitis. Kortikosteroid intralesi merupakan terapi utama untuk pasien dewasa dengan lesi yang terlibat < 50 % kulit kepala dan efek samping yang sering ditimbulkan adalah atropi, sedangkan kortikosteroid sistemik merupakan kortikosteroid poten, ini terutama digunakan untuk terapi AA yang melibatkan > 50% kepala dan perluasan dari AA (alopecia totalis dan alopecia universalis) dengan memberikan efek samping yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Shapiro J. Alopecia areata: Pathogenesis, clinical feature, diagnosis, and practical management. Dalam: Shapiro J, penyunting. Hairloss: Principles of Diagnosis and Management of Alopecia. London: Martin Dunitz Ltd; 2002; h. 19-70.
-
2. Soepardiman L. Kelainan Rambut. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010; h. 301-311.
-
3. Dombrowski NC, Bergfeld WF. Alopecia Areata: What to expect from current treatments. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2005; 72:758-768.
-
4. Whiting DA. Histopathologic Featrures of Alopecia Areata. Arch Dermatol. 2003;139:1555-1559.
-
5. Bajaj DR, Devrajani BR, Shah SZA, Ghaur RA, Matlani BL. Treatment of extensive alopecia areata with oral prednisolon mini pulse regimen. Journal Pakistan Association of Dermatologists. 2008;18:226-231.
-
6. Wasserman D, Guzman-Sanchez DA, Scott K, Michael AM. Alopecia areata. International Journal of Dermatology. 2007;46:121-131.
-
7. Katzung BG, Trevor AJ. Corticosteroid and Antagonist. Dalam: Trevor AJ, Katzung BG, Master SB, penyunting. Katzung and Trevor Pharmacology Examination and Broad Review. Edisi ke-7. Singapore: Mc Graw Hill, 2005; h. 329-335.
-
8. Singh N, Rieder JM, Tucker MJ. Mechanisms of glucocorticoid-mediated antiinflamatory and immunosuppressive action. Paed Perinatal Drug Ther. 2004;6: 107-115.
-
9. Hull SPM, Wood ML, Hutchinson PE, Sladden M, Messenger AG. Guideline for management of alopecia areata. British Journal of Dermatology. 2003;149:692-699.
Gambar 1. Folikel rambut dibagi menjadi 4, yaitu bulbus, suprabulbar, isthmus, dan infundibulum.1
Gambar 2. Penampang rambut dari bagian luar1
Gambar 3: Patogenesis alopesia areata.1
Gambar 4: Berdasarkan perluasan AA (a)AA dengan karakteristik bentuk sirkular, (b)Alopecia totalis yang mengenai seluruh bagian kulit kepala, (c)Alopecia universalis yang mengenai seluruh rambut tubuh termasuk alis mata.1
17
Discussion and feedback