TRAUMA TUMPUL ABDOMEN PADA KEHAMILAN

I Gede Egy Saputra Jaya1, Ketut Putera Kemara2, I Wayan Megadhana3

  • 1Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

  • 2,3Bagian/SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar-Bali

Abstrak

Kehamilan merupakan peristiwa penting yang membahagiakan bagi ibu hamil, akan tetapi hal ini dapat berubah apabila hal-hal buruk terjadi pada kehamilan tersebut. Trauma pada ibu hamil merupakan penyebab non-obstetik tersering yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada kehamilan sebesar 6-7% pada seluruh kehamilan. Kematian janin bahkan lebih banyak terjadi dibandingkan dengan kematian ibu hamil pada cidera oleh karena trauma, yaitu mencapai 65%. Perubahan unik pada anatomi dan fisiologi saat kehamilan merubah patofisiologi dan lokasi dari trauma ibu hamil. Bagi dokter, hal ini menimbulkan tantangan karena perawatan harus ditujukan untuk dua pasien, yaitu ibu dan janin yang dikandungnya. Hal ini dapat diatasi dengan lebih mudah bila dokter memahami perubahan anatomi, fisiologi, mekanisme cidera, dan penilaian trauma pada ibu hamil.

Kata kunci: kehamilan, trauma, tumpul, cidera.

ABDOMINAL BLUNT INJURY AMONG PREGNANCY

Abstract

Pregnancy is an important event that blissful for pregnant women, but it can be changed when bad things happen on the pregnancy. Trauma to the pregnant women is one of the most cause of the non-obstetic tresulting in morbidity and mortality in pregnancy by 67% on the whole pregnancy. The death of the fetus even more happened many compared with mortality pregnant at gets reinjured because trauma, which reached 65 %. Unique changes in anatomy and Physiology during pregnancy change the pathophysiology and the location of trauma to pregnant women. For doctors, this poses challenges because care must be devoted to two patients, the mother and fetus that it contains. This can be resolved more easily if the doctors understand the changes in anatomy, Physiology, mechanisms of injury and trauma assessment in pregnant women.

Keywords: pregnancy, blunt, trauma, injury.

PENDAHULUAN

Kehamilan merupakan peristiwa penting yang membahagiakan bagi ibu hamil, akan tetapi hal ini dapat berubah apabila hal-hal buruk terjadi pada kehamilan tersebut. Berbagai macam peristiwa baik fisiologis, patologis, ataupun kecelakaan dapat mengancam keselamatan ibu hamil dan janin intra uterin.1,2 Trauma pada ibu hamil merupakan penyebab non-obstetik tersering yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada kehamilan sebesar 6-7% pada seluruh kehamilan. Cidera ringan oleh karena trauma pada ibu hamilpun dapat mengancam keselamatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya.1,3

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention, trauma merupakan penyebab tersering kematian pada wanita usia 35 tahun kebawah, dan disebutkan pula bahwa sebesar 10-11% kematian pada ibu hamil diakibatkan oleh trauma. Kematian janin bahkan lebih banyak terjadi dibandingkan dengan kematian ibu hamil pada cidera oleh karena trauma, yaitu mencapai 65% yang terjadi oleh karena abrupsio plasenta, ruptur uterus, kematian langsung janin, syok pada ibu hamil, disseminated intravascular coagulation (DIC), dan penyebab lainnya. Salah satu faktor yang berkontribusi dalam hal ini adalah peningkatan ukuran janin dan uterus. Terdapat 10-15% risiko cidera ibu hamil dan janin pada trimester pertama, 32-40% pada trimester kedua, dan mencapai puncaknya yaitu 50-54% pada trimester ketiga.1,2,4

Dari berbagai macam trauma yang terjadi, cidera oleh karena kendaraan bermotor atau trauma tumpul abdomen merupakan penyebab yang paling sering terjadi, diikuti oleh trauma tusuk, trauma kranial, kekerasan pada ibu hamil, trauma termal, dan lainnya.1 Trauma tumpul abdomen terjadi pada lebih dari 50% kasus trauma pada kehamilan. Tingginya angka ini menunjukkan perhatian yang serius terhadap kasus

trauma tumpul abdomen pada kehamilan. Diduga salah satu penyebab utamanya adalah

kurangnya kesadaran pengemudi hamil dengan mengabaikan penggunaan sabuk pengaman. Trauma tumpul abdomen banyak menyebabkan komplikasi fatal pada maternal maupun janin yang dikandung. Abrupsio plasenta, ruptur uterus, persalinan preterm, hambatan pertumbuhan janin, bahkan kematian langsung janin merupakan beberapa komplikasi yang pernah dilaporkan. 1-4

Perubahan anatomis dan fisiologis pada ibu hamil akan menyebabkan perubahan gaya berjalan yang membuatnya lebih berisiko untuk terjadi jatuh, disertai lelah dan pusing yang akan mempertinggi risiko trauma. Dibutuhkan pendekatan multidispliner yang komprehensif dalam menangani kasus trauma tumpul abdomen. 1-3

TEORI – TEORI DAN KONSEP TRAUMA TUMPUL ABDOMEN PADA KEHAMILAN

  • 2.1    Epidemiologi

Banyak penelitian yang dilakukan diberbagai negara dalam kaitannya dengan insiden trauma pada kehamilan. American College of Surgeon’s National Trauma Data Bank melakukan studi pada 1.195 ibu hamil yang mengalami trauma. Disebutkan bahwa 70,4% kasus diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, 11,6% diakibatkan kekerasan interpersonal, dan 9,3% diakibatkan oleh jatuh. Sebagian besar termanifestasi pada trauma tumpul di bagian abdomen. Sebagian besar terjadi pada usia dewasa muda, tetapi keparahan trauma lebih banyak dialami oleh kelompok dengan usia yang lebih tua. Kematian dilaporkan sebanyak 17 orang, sedangkan dari 1.178 yang bertahan hidup, 66 orang diantaranya mengalami risiko tinggi keguguran.4

Tidak jauh berbeda, penelitian yang dilakukan oleh Curet et al dan Theodorou di

Australia melaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang berakibat pada trauma tumpul abdomen terjadi pada 65-75% ibu hamil yang mengalami trauma, meskipun angka insiden trauma kehamilan di Australia cenderung lebih kecil (1% trauma di unit emergensi) dibandingkan Amerika Serikat. Trauma merupakan penyebab tersering dari kematian maternal, mencapai 46% dari kematian ibu hamil.5

Penelitian yang dilakukan oleh University of Michigan Transportation Research Institute menyimpulkan bahwa dari seluruh kasus trauma abdomen akibat kecelakaan kendaraan bermotor, 9 kasus kematian ibu berakibat pada kematian janin, yang mana 8 diantaranya tidak menggunakan sabuk pengaman. Umur kehamilan yang semakin tua juga semakin meningkatkan risiko terjadinya komplikasi yang parah seperti trauma plasenta dan ruptur uterus. Trauma plasenta merupakan komplikasi yang tersering, mencapai 65% kasus.6

Dapat disimpulkan, kematian ibu merupakan penyebab terbesar kematian janin yang dikandungnya. Kematian janin oleh karena faktor lain bisa diakibatkan oleh karena hipotensi, hipoksemia, abrupsio plasenta, ruptur uterus, trauma langsung uterus, dan DIC. Diperlukan pemeriksaan yang cermat untuk dapat mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi, tidak mudah untuk meramalkan komplikasi trauma pada ibu yang tengah hamil oleh karena perubahan anatomis dan fisiologis yang terjadi.4-6

  • 2.2    Perubahan Anatomi dan Fisiologi Dalam Kehamilan

Perubahan unik pada anatomi dan fisiologi saat kehamilan merubah patofisiologi dan lokasi dari trauma ibu hamil. Perubahan ini dapat menutupi penampakan klinis dari cidera yang terjadi yang mengakibatkan penegakan diagnosis dan manajemen

penanganan cenderung sulit. Bagi dokter, hal ini menimbulkan tantangan karena

perawatan harus ditujukan untuk dua pasien, yaitu ibu dan janin yang dikandungnya. Hal ini dapat diatasi dengan lebih mudah bila dokter memahami perubahan anatomi, fisiologi, mekanisme cidera, dan penilaian trauma pada ibu hamil.1,2,7,8 Terdapat perubahan – perubahan yang terjadi selama kehamilan, meliputi perubahan pada sistem kardiovaskular dan hematologi, repirasi, abdomen, genitourinaria, dan neurologi.

  • (a) Perubahan sistem kardiovaskular dan hematologi

Berbagai perubahan terjadi sistem kardiovaskular selama kehamilan. Dimulai pada minggu kedelapan kehamilan, relaksasi otot polos oleh karena peningkatan hormon progesteron mengalami penurunan pada total tahanan perifer vaskular. Minggu ke-10 sampai 12 kehamilan menunjukkan tekanan darah menurun secara gradual dan mencapai nadirnya pada minggu ke-28 kehamilan. Tekanan sistolik dan diastolik menurun 5-15 mmHg saat itu. Selama trimester ketiga, tekanan darah meningkat secara gradual. Peningkatan reseptor alpha pada myometrium yang distimulasi oleh estrogen meningkatkan denyut jantung 10-15 kali permenit diatas normal. Curah jantung meningkat 30-50% diatas normal pada trimester kedua dan mencapai puncaknya pada umur kehamilan 20-24 minggu.1,8

Peningkatan volume darah juga terjadi pada ibu hamil yang mencapai 50% dari plasma dan peningkatan sel darah merah sebesar 30%, namun hal ini dapat meningkat pada kehamilan multipel. Rata-rata hematokrit pada ibu hamil adalah 32-34%, platelet dan seluruh faktor koagulasi juga meningkat pada saat ini. Efek dari peristiwa ini adalah peningkatan prokoagulan dan penurunan fibrinolisis yang mengakibatkan terjadinya hypercoagulable. Kondisi hypercoagulable ini bagaikan pisau bermata dua yang dapat

melawan perdarahan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan risiko

tromboemboli.1,8

Seluruh mekanisme ini membantu ibu hamil mengkompensasi kebutuhan metabolisme janin dan perdarahan saat kelahiran terjadi. Estimasi kehilangan darah pada saat melahirkan mencapai 500cc pada persalinan pervaginam dan mencapai 1000cc pada seksio sesarea, hal ini tidak akan membuat ibu hamil mengalami hipovolemia, namun harus diwaspadai terjadinya gawat janin.1 Peningkatan sel darah merah harus diimbangi dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh memproduksi hemoglobin, menghindari terjadinya anemia defisiensi zat besi maupun lebih lanjut dapat terjadi abortus spontan dan persalinan prematur. 1,7,8 (b) Perubahan sistem respirasi

Sistem respirasi juga mengalami perubahan pada ibu hamil. Peningkatan volume darah mengakibatkan pelebaran kapiler pada mukosa sistem respirasi menyebabkan edema pada nasal, faring, laring, dan trakea. Hal ini akan berakibat pada sulitnya pernafasan, epistaksis, dan perubahan vokal yang akan menjadi semakin parah bila terdapat infeksi saluran nafas, kelebihan cairan, peningkatan tekanan onkotik, ataupun edema oleh karena preeklamsia.1,2,8

Selain perubahan anatomis yang telah disebutkan diatas, terjadi pula perubahan fisiologi sistem respirasi. Adaptasi pada peningkatan kebutuhan metabolisme dan pengantaran oksigen ke janin mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen sebesar 1520% selama kehamilan. Progesteron menstimulasi sistem respirasi pada medula yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi dan alkalosis pernafasan. Tubulus pada ginjal secara metabolik akan mengkompensasi hal ini dengan mengekskresi ion bikarbonat. Hiperventilasi berakibat pada penurunan PCO2 pada level 27-32 mmHg pada

kehamilan. Volume tidal dan ventilasi paru meningkat sekitar 40%. Terdapat

peningkatan bertahap sebesar 4cm pada diafragma dan peningkatan diameter anteroposterior dinding dada. Hal ini berkontribusi pada 20-25% penurunan fungsi kapasitas residual. Perubahan ini meningkatkan level 2,3-difosfogliserat yang membantu fasilitasi pelepasan oksigen kepada janin, akan tetapi proses ini akan menurunkan cadangan oksigen dan kapasitas bufer ibu hamil. Oksigenasi janin relatif konstan saat PaO2 ibu masih diatas 60mmHg. Saturasi oksigen yang menurun sampai setengah nilai normal akan mengakibatkan refleks menyelam pada janin, yang akan membuat darah janin mengalir keluar dari hati dan abdomen menuju jantung dan otak, mengakibatkan organ lain terancam mengalami hipoksia.1,2,7,8

  • (c)    Perubahan pada organ abdomen

Organ lain yang juga mengalami perubahan adalah abdomen yang mengalami kompartementalisasi dan perubahan letak cephalad dari organ intraabdomen. Terjadi pertumbuhan gradual pada abdomen dan rongga peritoneal yang ditunjukkan dengan desensitisasi dari peritoneum terhadap iritasi. Oleh karena perubahan ini, pemeriksaan fisik terhadap nyeri, tahanan, dan ketegangan abdomen akan nampak normal sesuai fisiologis dan anatomis kehamilan, kecuali bila terjadi trauma yang berat pada ibu hamil. Efek hormonal pada organ gastrointestinal ditunjukkan oleh kadar progesteron yang meningkat mengakibatkan penurunan motilitas usus dan relaksasi tonus otot polos.1,8

Uterus pada saat kehamilan menyebabkan perubahan letak lambung, yang mana merubah sudut gastroesophageal junction mengakibatkan inkompeten pada mekanisme gastroesophageal pinchcock. Hal ini mengakibatkan peningkatan risiko ibu hamil untuk mengalami regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tonus esophageal sphincter bawah akan

melemah, menyebabkan peningkatan risiko refluks gaster, muntah aktif, dan nyeri

lambung selama kehamilan. Gastrin yang diproduksi lambung akan meningkatkan volume lambung dan menurunkan pH keasamannya. Pengosongan cairan empedu oleh gallbladder akan melambat oleh karena hipotoni otot polos gallbladder, hal ini dapat mengakibatkan risiko batu empedu yang lebih tinggi.1,8

  • (d)    Perubahan sistem genitourinaria

Pada sistem genitourinaria, pelvis uterus letaknya akan menjadi bagian bawah organ abdomen pada minggu ke-12 kehamilan. Sebelum 12 minggu, letak uterus yang terlindung pelvis akan lebih aman dari cidera saat mengalami trauma. Setelah uterus menjadi bagian dari abdomen, uterus akan lebih mudah mengalami cidera benda tumpul atau trauma tusuk abdomen. Peningkatan aliran darah yang tinggi akan terjadi saat fase akhir kehamilan, yang menyebabkan tingginya risiko terjadi perdarahan di daerah uteropelvis karena trauma pada uterus ataupun pelvis.1,2,8

Buli-buli menjadi lebih anterior pada kehamilan dan superior terhadap uterus, menyebabkan buli-buli menjadi organ intraabdominal dan lebih berisiko terhadap terjadinya cidera. Ginjal dan ureter akan mengalami dilatasi karena pengaruh hormon progesteron dan tekanan langsung dari uterus pada ureter. Ureter kanan lebih terdilatasi pada trimester kudua dan ketiga oleh karena pengaruh colon sigmoid yang mengakibatkan rotasi uterus kearah kanan. Tekanan dari uterus pada ureter dapat berakibat pada terjadinya obstruksi jalannya urin. Peningkatan aliran darah ginjal sebesar 60% akan berakibat pada tingginya kecepatan filtrasi glomerulus. Efek dari peristiwa ini adalah penurunan serum urea nitrogen kurang dari 10 dan serum kreatinin menjadi setengah dari normal (0,8 mg/dL).1,2,8

  • (e)    Perubahan sistem neurologi

Kehamilan secara dramatis juga mengubah kebutuhan pada obat-obatan anestesi. Kebutuhan akan agen anestesi golongan halogen menurun sebesar 40% oleh karena peningkatan aliran volume permenit. Serum pseudokolinesterase menurun 20% pada umur kehamilan lanjut. Distensi vena mengakibatkan peningkatan vena pada epidural, menyebabkan dosis penggunaan anestesi epidural menurun hingga 50%. Vaskularisasi uterus sensitif terhadap stimulasi alpha-adrenergic. Respon stres maternal, kecemasan, alpha-adrenergic vasopressor dapat mengakibatkan hipoksia janin dan asidosis.1,6

  • 2.3 Trauma Tumpul Abdomen pada Kehamilan

Trauma tumpul pada abdomen paling banyak diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan jatuh, dan kekerasan fisik pada ibu hamil juga terjadi pada beberapa kasus.1 Berikut akan dijelaskan mekanisme, dampak dan komplikasi, serta monitoring dan pemeriksaan penunjang pada trauma tumpul abdomen.

  • (a)    Mekanisme trauma tumpul abdomen

Mekanisme dan dampak trauma tumpul yang terjadi pada wanita hamil tidak dapat disamakan dengan wanita yang tidak hamil. Perubahan ukuran dan letak uterus pada ibu hamil relatif akan mempengaruhi transmisi tekanan dari trauma yang terjadi ke arah abdomen. Selama proses kehamilan, otot dan jaringan abdomen, myometrium uterus, cairan amnion, dan tulang rangka pelvis dapat berfungsi sebagai peredam atau penahan terhadap dampak trauma pada abdomen dan sekitarnya, namun kemampuan ini tentu memiliki batas. Seiring bertambahnya umur kehamilan, dinding abdomen ibu hamil menjadi tegang, menipis, dan semakin lemah terhadap trauma.1,2,7,9

Manifestasi trauma tumpul abdomen pada ibu hamil yang dapat terjadi adalah

abrupsio plasenta, persalinan preterm, ataupun hambatan pertumbuhan janin. Hal yang mendasari hal-hal ini adalah seberapa luas cidera pada plasenta. Plasenta tidak mengandung jaringan elastis yang mengakibatkan plasenta tidak dapat melebar atau berkontraksi. Sebaliknya, uterus mengandung jaringan elastis dan dapat mengalami akselerasi-deselerasi, gesekan, dan gaya countercoup terhadap trauma dengan merubah bentuknya pada trauma yang mengakibatkan tingginya tekanan intrauterin. Inilah yang mengakibatkan perlekatan plasenta pada dinding uterus akan terlepas pada kasus trauma tumpul abdomen.1,7,9

Cidera langsung pada janin dan fraktur terjadi kurang dari 1% pada trauma tumpul abdomen yang parah pada ibu hamil.9 Alasan dari rendahnya cidera langsun janin tak lain karena perlindungan alami dari jaringan tubuh ibu, tulang pelvis, uterus, dan cairan amnion. Terjadinya trauma pada tulang kepala dan otak janin banyak ditemukan pada kasus dengan trauma pelvis ibu hamil dengan janin yang kepalanya telah masuk ke pintu atas panggul. Cidera deselerasi pada janin yang kepalanya belum memasuki pintu atas panggul juga dilaporkan terjadi.1,6,8

  • (b)    Dampak dan komplikasi trauma tumpul abdomen

Dampak dari trauma tumpul abdomen pada janin tergantung dari usia kehamilan saat trauma itu terjadi. Sebagai contoh, trauma langsung pada uterus dan janin pada usia kehamilan 13 minggu dapat terlindung oleh pelvis. Dapat dikatakan bahwa trauma pada trimester pertama biasanya tidak dikaitkan dengan terjadinya keguguran, dengan perkecualian tidak terjadi hipotensi yang dikaitkan dengan hipoperfusi pada uterus dan isi yang dikandungnya.1-3 Implikasi maternal saat trauma selama kehamilan juga tergantung dari usia kehamilannya. Telah disebutkan sebelumnya bahwa pembesaran

uterus setelah 18-20 minggu akan menekan vena cava inferior dan aorta pada posisi

supinasi, meningkatkan kecenderungan terjadinya hipotensi dan penurunan perfusi uterin. Penilaian dan manajemen dari kasus trauma tumpul abdomen juga tergantung dari usia kehamilan, dan juga faktor lain seperti waktu kejadian trauma, keparahan, dan mekanisme trauma.1-3,6,9 Adapun komplikasi yang sering terjadi berupa abrupsio plasenta, ruptur uterus, perdarahan peritoneal, dan lainnya.

  • (1)    Abrupsio plasenta

Abrupsio plasenta terjadi pada 40% ibu hamil yang mengalami trauma tumpul abdomen. Kematian janin oleh karena abrupsio plasenta mencapai 50-70% kematian pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor. Mekanisme abrupsio plasenta diperkirakan adalah lepasnya plasenta dari dinding uterus dengan paksa yang bermanifestasi pada perdarahan. Ketidaksesuaian komposisi jaringan anatara myometrium yang elastis dengan plasenta yang tidak elastis menyebabkan robeknya permukaan jaringan. Oleh karena cairan tidak dapat menerima tekanan, gangguan pada dinding elastis uterus berakibat perubahan posisi cairan amnion dan distensi bagian lain dari uterus. Pelepasan yang kecil dapat mengakibatkan perdarahan pervaginam dan persalinan preterm.6-8

Kematian janin intrauterus jelas merupakan komplikasi dari trauma abdomen. Hal ini paling banyak terjadi pada kejadian abrupsio plasenta atau gangguan lain yang melibatkan cidera plasenta, walaupun penyebab lain seperti trauma langsung pada janin, ruptur uterus, syok pada ibu, sampai kematian dari ibu. Beberapa penelitian tentang trauma memaparkan bahwa sekitar 50% kematian janin dengan etiologi yang diketahui diakibatkan oleh abrupsio plasenta dengan robekan besar lebih dari setengah permukaan plasenta. Pada

suatu kasus kecelakaan berat ibu hamil, kematian ibu menjadi penyebab

tersering kematian janin. Abrupsio plasenta diyakini sebagai hal yang tidak dapat diramalkan terkait keparahan dari trauma atau letak plasenta. Uterus yang mengalami perdarahan jelas mengakibatkan syok hipovolemik, yang dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan perdarahan pervaginam, syok, iritabilitas uterus, dan meningkatnya tinggi fundus. Pada kejanin yang aterm, seksio sesarea atau induksi persalinan diindikasikan pada kasus gawat janin, hal ini untuk menghindari Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang mana plasenta harus dikeluarkan untuk menghindari hal ini.1,6,8,9

  • (2)    Ruptur uterus

Ruptur uterus yang dikaitkan dengan trauma abdomen merupakan salah satu yang paling menancam nyawa di dunia obstetri. Ruptur uterus mengacu pada adanya defek pada dinding uterus yang pelebarannya bervariasi. Luka dapat muncul pada perdarahan dengan serus atau abrasi; avulsi pembuluh darah uterus dengan perdarahan; disrupsi komplit pada dinding myometrium dengan ekstrusi janin, plasenta, atau tali pusar kedalan rongga abdomen; atau avulsi sempurna uterus. Sekiranya terdapat 75% kasus ruptur uterus yang melibatkan fundus uterus.1,6-9

Kenampakan klinis dapat bervariasi mulai dari yang ringan (nyeri pada bagian uterus, pola denyut jantung janin yang tidak teratur) sampai ke syok hipovolemik dengan onset cepat. Tanda dari iritasi peritoneum pada pemeriksaan klinis, seperti distensi, nyeri tekan, tahanan, dan rigiditas dapat diidentifikasi tetapi tidak selalu muncul. Walaupun sebagian besar kasus ruptur uterus oleh karena trauma melibatkan fundus uterus, beberapa kasus lain seperti

corneal myometrial defect telah dilaporkan oleh Dandawate dan koleganya.

Pada kasus ini, seorang ibu hamil berusia 23 tahun mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, berakibat pada trauma abdomen bagian kanan. Ibu ini masih tidak menunjukkan gejala spesifik ketika diketahui bahwa ia mengalami cornual myometrial defect di bagian kanan pada saat dilakukan seksio sesarea pada minggu ke 36. Ditemukan bahwa jaringan plasenta mengalami herniasi mencapai 5-6cm dengan adanya serus. 1,6

Insiden ruptur uterus beragam menurut literatur, ada yang menyatakan bahwa kasus ini hanya muncul 1 dari 1.514 kehamilan (0,07%). Ruptur uterus merupakan satu dari empat kasus tersering yang membutuhkan ligasi pada dunia obstetri dan ginekologi, walaupun sebagian besar memiliki hasil yang buruk. Banyak faktor risiko dikaitkan dengan ruptur uterus, termasuk persalinan seksio sesarea, bedah uterus, congenital uterine malformation, obat-obatan untuk menginduksi persalinan, dan trauma. Ruptur uterus oleh karena trauma dapat terjadi pada umur kehamilan berapapun. Harrison dan koleganya melaporkan kasus ruptur uterus dengan kematian janin pada ibu hamil yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor pada usia kehamilan 22 minggu. Pada kasus ini, pemeriksaan ultrasonografi yang dilakukan menunjukkan uterus yang kosong dengan janin tanpa aktivitas jantung yang telah keluar ke rongga abdomen. Pada pasien dengan ruptur uterus pasca trauma abdomen yang telah stabil, pemeriksaan yang komprehensif termasuk pemeriksaan sonografi sangat dibutuhkan. Penting untuk dicatat bahwa diagnosis ruptur uterus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonografi dengan mengetahui integritas uterus, walaupun diagnosis pasti harus membutuhkan laparotomi. 1,9

  • (3)    Perdarahan peritoneal

Oleh karena peningkatan vaskularisasi selama kehamilan, dampak terhadap terjadinya perdarahan pada lien, retroperitoneal dan hematoma dapat lebih sering terjadi pada korban trauma tumpul abdomen. Trauma tumpul yang parah akan menyebabkan cidera dan perubahan hemodinamik yang signifikan pada hepar dan lien sebesar 25%.6,9

Perdarahan intraperitoneal dapat terjadi akibat trauma pada perut ibu yang tengah mengandung. Penyebab tersering dari perdarahan ini adalah akibat ruptur lien, kemudian ruptur hati. Fraktur pelvis juga harus diperhatikan selama kehamilan oleh karena dapat mengakibatkan perdarahan retroperitoneal yang parah akibat ruptur pleksus vena di pelvis. Penanganan umumnya tidak jauh berbeda dari prosedur yang biasa diterapkan pada pasien yang tidak hamil, dengan pertimbangan ada tidaknya cidera pada buli-buli, uretra, atau retrosigmoid. Adanya fraktur pelvis bukanlah kontraindikasi absolut untuk dilakukannya persalinan pervaginam. Usaha awal dilakukan dengan mengontrol perdarahan pelvis, sumber perdarahannya dapat diketahui dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau CT-Scan pada pasien yang stabil secara hemodinamik. 1

  • (4)    Komplikasi lainnya

Kontraksi pada kehamilan preterm atau persalinan preterm dapat terjadi pada ibu hamil yang mengalami trauma tumpul abdomen. Bila hal ini terjadi, penanganan medis seperti penggunaan antibiotika, kortikosteroid antenatal, dan penggunaan agen tokolitik diperlukan. Antibiotika dianjurkan bila kultur bakteri streptokokus grup B tidak diketahui. Kortikosteroid antenatal diberikan jika umur kehamilan

ibu antara 24 sampai 34 minggu dengan risiko persalinan preterm guna

mematangkan paru-paru janin, yang penggunaannya yaitu dua dosis dexametason atau empat dosis dexametason secara intramuskular. Agen tokolitik yang biasa digunakan pada kejadian trauma adalah magnesium sulfat, calcium channel blocker, obat-obat NSAID, dan beta mimetik agonis. 1,6,8

Pertimbangan lain pada ibu hamil dengan imobilisasi lama adalah penggunaan profilaksis untuk melawan trombosis vena. Pilihannya antara lain penggunaan kaus kaki ketat, alat kompresi pneumatik, unfractionated heparin, dan atau heparin dengan berat molekul rendah. Akses intravena yang adekuat sangat diperlukan dalam penanganan kasus trauma abdomen. Pada kasus henti jantung, resusitasi kardiopulmonari harus dilakukan secepatnya walaupun hal ini cukup krusial pada pasien hamil, khususnya pada ibu dengan usia kehamilan lanjut. Ketuban pecah dini juga dilaporkan terjadi, menyebabkan kelahiran prematur janin. Infeksi yang mungkin terjadi harus diwaspadai, dan gawat janin membutuhkan penanganan segera namun permeriksaan pervaginam sebaiknya dihindari. Kebutuhan cairan juga harus dipertimbangkan untuk menghindari terjadinya dehidrasi. 1,6,8

  • (c)    Monitoring dan pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium awal umumnya meliputi pemeriksaan darah lengkap, profil metabolisme dengan kadar elektrolit dan glukosa, faktor koagulasi, golongan darah, dan urinalisis.10 Selama dilakukan pemeriksaan pada ibu hamil yang mengalami trauma tumpul abdomen, menentukan golongan darah sangatlah penting untuk menghindari terjadinya rhesus aloimunisasi. Secara umum, trauma pada kehamilan membutuhkan monitoring berkelanjutan pada janin dan uterin dengan menggunakan Doppler eksternal

dan tokodinamometer. Teknologi ini yang terbaik dilakukan sampai sekarang untuk mengevaluasi janin dan mengidentifikasi adanya abrupsio plasenta, juga persalinan preterm. Berdasarkan penelitian oleh beberapa universitas, evaluasi berkelanjutan pada ibu hamil memiliki nilai prediktif negatif mencapai 100%. Sebagaimana hasil monitoring yang abnormal, gejala yang patut diwaspadai seperti perdarahan pervaginam, kontraksi uterin, nyeri abdomen dan uterus, dan hasil positif pada tes Kleihauer-Betke tidak memprediksi persalinan preterm ataupun hasil lain yang tidak diinginkan. 1,6,9,10

Komplikasi yang harus diwaspadai pada kasus trauma kehamilan adalah abrupsio plasenta, yang dilaporkan mencapai 6 hari post trauma, disinilah pentingnya memonitor denyut jantung janin. Sayangnya, denyut jantung janin dan aktivitas uterus diatas usia 20 minggu ditandai dengan nilai prediksi negatif yang tinggi terhadap abrupsio plasenta. Setelahnya uterus akan mengalami kontraksi kurang dari setiap 10 menit selama monitoring 4 jam. Dilain penelitian disebutkan bahwa abrupsio plasenta terjadi pada 20% kasus yang mana kontraksi uterus terjadi pada frekuensi yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Morris yang melibatkan 441 kasus trauma kehamilan, angka rata-rata bertahan hidup janin adalah 45%, dalam hal ini 32 kasus menjalani persalinan secara seksio sesarea untuk menangani gawat janin, maternal, ataupun keduanya. Denyut jantung janin tidak teridentifikasi pada 13 kasus dan tidak ada satupun yang bertahan hidup, seperti yang telah diperkirakan sebelumnya. Sisa dari 20 kasus yang mana denyut jantung janin direkam, dan semuanya telah berusia diatas 26 minggu, 15 diantaranya selamat walaupun terdapat gawat maternal. 1,6,9,10

Selain dilakukan monitoring janin, penggunaan ultrasonografi juga dapat digunakan dalam penilaian pasien trauma pada kehamilan. Perannya adalah untuk mengetahui

umur kehamilan dan lokasi plasenta, ini merupakan komponen penting untuk test janin antenatal, dinamakan penilaian cairan amnion dan profil biofisik.9-11 Ultrasonografi juga mengevaluasi luasnya trauma dan kematian janin. Penggunaan lainnya adalah untuk mengenali perdarahan subkorionik atau klot retroplasenta, walaupun sensitivitas untuk mengenali abrupsio plasenta pada kasus trauma tidak lebih dari 40-50%. Ultrasonografi membantu mengidentifikasi cairan intraabdomen untuk mengetahui derajat perdarahan intraperitoneal. Cairan bebas paling banyak dievaluasi pada kuadran kiri atas dan pelvis. Brown dan koleganya memeriksa akurasi ultrasonografi untuk mendeteksi kegunaan klinis pada kasus trauma tumpul abdomen.1,8 Empat dari lima kasus berhasil tepat teridentifikasi dengan menggunakan pembedahan, diantaranya trauma pada plasenta, lien, dan hati.1

Modalitas pencitraan lain yang dapat digunakan adalah computed tomography scan (CT-Scan) yang memaparkan radiasi sebesar 3,5rad pada janin. Pada akhirnya pembedahan peritoneal lavage (DPL) dibutuhkan bila dicurigai perdarahan intraperitoneal dengan dasar pemeriksaan abdomen atau tanda-tanda lain perdarahan intraperitoneal, sensorium yang terganggu, syok yang tidak terprediksi, trauma abdomen mayor, dan trauma ganda pada ortopedi. 1,7,9,10 Pembedahan peritoneal lavage, biasanya pada daerah umbilikus, dengan diseksi tajam dan membuka bagian anterior peritoneum abdomen dibawah mata telanjang merupakan teknik yang banyak dipilih karena lebih jarang menciderai uterus dan orang lain dibanding dengan teknik lainnya. Penting untuk disadari bahwa bila bukti klinis membuktikan adanya perdarahan intraperitoneal, lavage tidak diindikasikan. Evaluasi trauma tumpul abdomen dapat dilihat pada Bagan 1.1

  • 2.4    Perawatan Pre-Hospital Trauma Tumpul Abdomen pada Kehamilan

Perawatan trauma pada ibu hamil harus dilakukan dengan seksama dan teliti oleh karena tanda vital dan gejala pasien mungkin tidak mencerminkan penyebab sebenarnya dari cidera yang dialami. Sejatinya penanganan standar pada ibu hamil adalah sama dengan adanya beberapa modifikasi.1 Ekstrikasi sebaiknya dilakukan dengan imobilisasi spinal yang dilakukan pada ibu hamil, terutama pada yang mengalami trauma benda tumpul. Meletakkan pasien di papan dengan kemiringan 15o ke arah kiri merupakan penanganan spesifik pada ibu hamil guna menghindari terjadinya kompresi vena cava oleh uterus dan berakibat hipotensi. Teknik ini dapat diterapkan pada semua pasien diatas umur kehamilan 20 minggu. Bila hal ini tidak dilakukan, akan mengakibatkan penurunan 30% curah jantung dan menyebabkan kematian ibu hamil karena gagal perfusi organ. Pemberian oksigen melalui nasal kanul atau masker harus segera dilakukan. Dua buah kateter intravena ukuran besar dipasang dengan aliran cairan sebesar 1-2 liter untuk resusitasi cairan yang berguna untuk mencegah hipovolumia.1,12

Umur kehamilan dapat diperoleh dengan pengukuran tinggi fundus dan anamnesis yang dilakukan dari pasien. Penting untuk mengetahui hal ini guna menentukan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya pada ibu hamil. Transportasi pasien ke rumah sakit yang menyediakan perawatan ibu hamil dan persalinan bayi prematur harus segera dilakukan.1,8,12

  • 2.5    Penanganan Umum Trauma Tumpul Abdomen pada Kehamilan

Penanganan umum trauma tumpul abdomen pada kehamilan yang dikerjakan meliputi survey primer dan survey sekunder. Keduanya dilakukan secara sistematis dengan tetap memperhatikan keselamatan ibu dan janin.

(a) Survey primer

Penanganan yang umum dilakukan pada pasien trauma tidak jauh berbeda dari yang dilakukan untuk ibu hamil, prinsip penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) sudah menjadi acuan standar kegawatdaruratan. Tujuan utamanya adalah memastikan jalan nafas dan memperbaiki ventiliasi, seperti memberi oksigen saturasi tinggi. Pasien trauma dengan cidera servikalis patut diwaspadai, hal ini ditangani dengan memasang collar servikal.1,7,8,12

Penanganan trauma pada ibu hamil paling baik dilakukan dengan pendekatan tim multidisipliner meliputi dokter kegawatdaruratan medis, obstetri, bedah traumatologi, neonatologis, dan radiologis.13 Dokter harus melakukan pemeriksaan yang diperlukan pada ibu hamil, termasuk radiologi, intubasi, akses vena sentral, ultrasonografi, dan diagnosis peritoneal lavage. Oleh karena penyebab utama kematian janin adalah kematian ibu, maka keselamatan ibu adalah hal utama yang harus diperhatikan. Manajemen pemberian cairan kristaloid sangatlah penting. Ibu yang menunjukkan gejala hipotensi akan berakibat pada gawat janin. Tranfusi darah pada penanganan awal akan menjaga stabilitas volume darah dan memperbaiki perfusi oksigen. Monitoring jantung janin berguna untuk menentukan kebutuhan cairan resusitasi karena abnormalitas denyut jantung janin merupakan tanda awal hipotensi ibu. Atas dasar inilah denyut jantung janin menjadi tanda vital kelima pada obstetrik. 1,8,12

Selama kehamilan, risiko aspirasi akan meningkat dan monitoring dari oksigenasi yang adekuat dengan pulse oxymetri sangatlah penting. Pemasangan intubasi endotrakea perlu dilakukan bila ibu mengalami hipoxia berat yang mengarah ke gawat janin. Selama trimester pertama dan kedua kehamilan, ibu hamil akan mengalami tachypneu, dokter harus mencari penyebab lain pada permasalahan sistem respirasi. Bila chest tube

tracheostomy dibutuhkan, ini harus diletakkan pada 1 atau 2 interkosta yang lebih tinggi untuk mencegah trauma pada diafragma, dan bila intubasi dibutuhkan, suksinilkolin dosis rendah diberikan karena pseudocholinesterase pada kehamilan menurun. 1,7,8,12 (b) Survey sekunder

Survey sekunder dilakukan dengan anamnesis riwayat kehamilan, monitoring janin, dan pemeriksaan abdomen pasien harus dilakukan dengan cermat karena tegangnya dinding abdomen ibu hamil akan menutupi tanda cidera peritoneal.7,13 Trauma pada hati dan lien ditunjukkan dengan nyeri abdomen bagian atas, menyebar sampai ke bahu, terjadi secara akut, dan level transaminase akan meningkat. Focus assessment sonographic trauma (FAST) dilakukan untuk perdarahan intraabdomen. Peritoneal lavage langsung dengan menggunakan teknik direct open dapat dikerjakan tanpa menimbulkan komplikasi kehamilan yang spesifik. Uterus harus dipalpasi dengan cermat karena nyeri tekan dan kontraksi dapat terlihat berlebihan. Bagian puncak fundus uteri harus ditandai untuk mengevaluasi kemungkinan abrupsio tersembunyi dengan peningkatan tinggi fundus. 1,7,8,12

Pemeriksaan spekulum steril sangat vital pada evaluasi pasien trauma kehamilan. Cairan pada vagina cukup sulit untuk dibedakan, menggunakan kertas nitrazin untuk melihat perubahannya menjadi warna biru dan munculnya tanda ferning pada mikroskop akan menolong untuk membedakan cairan amnion alkali dari urine. Perdarahan pervaginam dapat muncul, mengindikasikan adanya abrupsio plasenta, ruptur uterus, fraktur pelvis dengan cidera vagina, dan hal lainnya. Serviks dapat diinspeksi secara visual untuk melihat tanda dilatasi dan penipisan. Pemeriksaan bimanual juga merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan. Monitoring dengan kardiotokografi dilakukan sesegera mungkin pada bagian emergensi, biasanya

setelah survey sekunder dan FAST telah dilakukan, kontraksi uterus akan menurun

seiring berjalannya waktu. Semua wanita dengan umur kehamilan 20 minggu atau setelahnya sebaiknya dimonitoring dengan kardiotokografi selama 2-6 jam setelah trauma terjadi. Waktu monitoring sebaiknya dipersering bila terdapat kontraksi, nyeri abdomen, atau gejala cidera yang spesifik tidak membaik. Pemeriksaan ultrasonografi pada janin dan plasenta dapat dilakukan setelah pemeriksaan FAST. Evaluasi janin dengan ultrasound ini meliputi pemeriksaan posisi janin, denyut jantung, pemeriksaan usia kehamilan, profil biofisik, kecepatan aliran/Dopler peak pembuluh darah otak tengah janin untuk anemia, dan evaluasi abrupsio plasenta. Sayangnya, ultrasonografi memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendeteksi abrupsio plasenta, namun nilai perkiraan positifnya tinggi. Temuan dari ultrasonografi yang harus diwaspadai adanya abrupsio plasenta yakni (1) Hematoma retroplasenta (hyperechoic, isoechoic, hypoechoic), (2) Hematoma preplasenta (penampakan seperti gelatin, efek shimer dari chorionic plate dengan pergerakan janin), (3) Peningkatan ketebalan plasenta dan echogenicity, (4) Kumpulan pada bagian subchorionic, (5) Kumpulan pada bagian marginal. 1,12,13

Pemeriksaan laboratorium pada ibu hamil yang mengalami trauma diantaranya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, faktor koagulasi, dan urine lengkap. Pemeriksaan serum bikarbonat, pemeriksaan gas darah atau level laktat dipertimbangkan untuk kasus trauma berat yang dicurigai akan terjadi asidosis yang dapat berakibat fatal bagi janin. Level fibrinogen yang umumnya normal pada wanita yang tidak hamil mungkin menunjukkan nilai abnormal pada kehamilan yang dapat dicurigai sebagi indikator abrupsio plasenta dengan consumtive coagulopathy. Test Kleihauer-Betke dapat dipertimbangkan pada kasus trauma berat karena nilai ini berguna sebagi indikator

keparahan trauma uterin-plasenta dan sebagi tanda bagi ibu hamil dengan risiko

persalinan preterm. Pasien Rh-negatif dengan tes yang positif harus diobati dengan Rh-imunoglobulin (300 mikro gram pada awal dan tambahan 300 mikro gram untuk setiap 30 mL perkiraan jumlah darah janin) untuk mengurangi risiko isoimunisasi. 1,8,12

  • 2.6    Seksio Sesarea Perimortem

Pada kasus henti jantung ibu hamil dengan risiko kematian janin yang potensial, seksio sesarea perimortem harus dilakukan ketika resusitasi ibu hamil setiap 5 menit selama 25 menit tidak membuahkan hasil.1,7 Seksio sesarea tidak diindikasikan hanya karena ibu harus mengalami eksplorasi laparotomi untuk trauma atau kematian janin akibat trauma, tapi juga diindikasikan pada gawat janin fetus matur karena trauma pada ibu ataupun fetus. Seksio sesarea diindikasikan jika terjadi abrupsio plasenta dan ruptur uteri hebat. Dilaporkan lebih dari 150 kasus yang berhasil seksio sesarea post mortem dengan angka 7

rata-rata bertahan hidupnya mencapai 40%.7

Bila usia kehamilan kurang dari 24 minggu, persalinan sesarea darurat biasanya tidak dilakukan karena janin terlalu kecil untuk bertahan hidup dan kelahiran tersebut memiliki banyak efek pada hemodinamik ibu. Namun, ketika usia kehamilan lebih dari 24-25 minggu, seksio sesarea darurat mungkin baik untuk janin atau ibu. Pada usia kehamilan 26-32 minggu, ketika pijat jantung luar tidak efektif, torakotomi anterior terbuka dada dengan pijat jantung (OCM) harus dipertimbangkan sebelum seksio sesarea dilakukan. Jika OCM gagal, janin harus segera dilahirkan. Setelah kehamilan 32 minggu, ketika pijat jantung konvensional eksternal (ECM) tidak efektif, operasi sesarea darurat harus dilakukan segera. Melahirkan janin adalah membantu meningkatkan pengisian jantung ibu dan dapat meningkatkan keberhasilan resusitasi

jantung dan paru. Semakin lama penundaan anatra onset serangan jantung dan

pengiriman, semakin besar kemungkinan janin dan ibu hidup. Idealnya, personil terlatih dalam resusitasi neonatal harus tersedia untuk merawat bayi.7

  • 2.7    Strategi Pencegahan

Dari komplikasi trauma yang telah dijelaskan sebelumnya, strategi pencegahan sangat penting untuk mencegah dampak buruk pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya.4 Alat keselamatan saat mengendarai kendaraan bermotor seperti air-bag dan sabuk pengaman memiliki peranan yang sangat penting dalam keselamatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya.4,13

Penelitian yang telah dilakukan oleh Crosby dan Castiloe, penggunaan alat keselamatan seperti sabuk pengaman berhasil menurunkan mortalitas maternal dari 33% menjadi hanya 5%. Sayangnya banyak ibu hamil yang beranggapan bahwa penggunaan sabuk pengaman akan berdampak buruk pada janin yang dikandungnya. Angaapan lain yang sering muncul adalah bahwa penggunaan sabuk pengaman dirasa tidak nyaman, terlalu menekan lengan dan perut. Dibutuhkan edukasi yang tepat untuk menyadarkan betapa pentingnya penggunaan sabuk pengaman pada ibu hamil yang berkendara. Kesalahan lain yang kerap muncul adalah penempatan sabuk pengaman yang melawati kubah uterus, yang dapat mengakibatkan trauma uterus dan janin. 4

The American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) merekomendasikan penggunaan sabuk pengaman saat kehamilan dengan kedua sabuk dan penahan bahu ditempat yang tepat. Bagian sabuk harus ditempatkan pada perut ibu, melewati kedua spina iliaka bagian anterior dan simfisis pubis. Penahan bahu diposisikan diantara kedua payudara. Ikatan tidak terlalu kencang namun masih dalam

batas wajar agar tidak mengurangi kenyamanan saat berkendara.13 Pemakaian sabuk pengaman yang melingkari bahu dan perut akan mengurangi kemungkinan cidera janin secara langsung atau tidak langsung, mungkin karena gaya deselerasi yang diterima disebarkan ke permukaan tubuh yang tertahan, sehingga mencegah fleksi tubuh ke depan pada daerah uterus.7

RINGKASAN

Kehamilan merupakan peristiwa penting yang membahagiakan bagi ibu hamil, akan tetapi hal ini dapat berubah apabila hal-hal buruk terjadi pada kehamilan tersebut. Trauma merupakan penyebab non-obstetik tersering yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada kehamilan. Perubahan unik pada anatomi dan fisiologi saat kehamilan perlu dipahami dokter oleh karena perawatan harus ditujukan untuk dua pasien, yaitu ibu dan janin yang dikandungnya. Penilaian dan manajemen dari kasus trauma tumpul abdomen juga tergantung dari usia kehamilan, dan juga faktor lain seperti waktu kejadian trauma, keparahan, dan mekanisme trauma. Pemeriksaan laboratorium awal umumnya meliputi pemeriksaan darah lengkap, profil metabolisme dengan kadar elektrolit dan glukosa, faktor koagulasi, golongan darah, dan urinalisis. Penanganan klinis yang meliputi perawatan pre-hospital, survey primer, dan survey sekunder dilakukan secara komprehensif. Dari komplikasi trauma yang telah dijelaskan, strategi pencegahan sangat penting untuk mencegah dampak buruk pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Diperlukan edukasi agar ibu hamil dapat lebih memperhatikan keselamatan diri dan janin yang dikandungnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Muench MV, Canterina JC. Trauma in Pregnancy. Obstetrics and Gynecology Clinic of North America.2007;34:555-83.

  • 2.    Rudra A, Ray A, Chatterjee S, et al. Trauma in Pregnancy. Indian Journal of Anesthesiology.2007;51(2):100-5

  • 3.    Brown HL, Luley D. Trauma During Pregnancy. Department of Obstetrics and Gynecology Duke University Medical Center.2008;p.26-8.

  • 4.    Ikossi DG, Lazar AA, Morabitto D, et al. Profile of Mother at Risk:An Analysis Of Injury and Pregnancy Loss in 1,195 Trauma Patients. American College of Surgeons.2005;p.49-54.

  • 5.    Sugrue ME. Trauma During Pregnancy. ADF Health.2004;5:24-8.

  • 6.    Oxford CM, Ludmir J. Trauma in Pregnancy. Clinical Obstetric and Gynecology.2009;52(4):611-29.

  • 7.    Negara KS. Trauma Dalam Kehamilan, Apa yang Perlu Diwaspadai?. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Obstetri dan Ginekologi. 2010;p.39-67.

  • 8.    Misra M, Natale R. Trauma in Pregnancy. Perinatal Outreach Program of South Western Ontario.2002;21:1-13.

  • 9.    Mirza FG, Devine PC, Gaddipati S. Trauma in Pregnancy: A Systematic Approach. Am J Perinatol.2010;27:579-86.

  • 10.    Mattox KL, Goetzl L. Trauma in Pregnancy. Critical Care Medicine.2005;33(10):385-9.

  • 11.    Weintraub AY, Leran E, Mazar M. The Patophysiology of Trauma in Pregnancy. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine.2006;19(10):601-5.

  • 12.    King Edward Memorial Hospital.Complication of the Pregnancy. Women and

Newborn Health Service.2010;p.1-6.

  • 13.    Werman HA. Trauma Report: Trauma in Pregnancy. AHC Media. 2008;9(4):1-8

26