HUBUNGAN ANTARA JENIS KELAMIN, KONSUMSI KAFEIN, TINGGAL SENDIRI, DAN JAM MULAI TIDUR DENGAN KUALITAS TIDUR BURUK MAHASISWA DI KOTA DENPASAR
on
ISSN: 2597-8012
JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.7,JULI, 2019
OsTnta
DIRECTORY OF
OPEN ACCESS
JOURNALS
DOAJ
HUBUNGAN ANTARA JENIS KELAMIN, KONSUMSI KAFEIN, TINGGAL SENDIRI, DAN JAM MULAI TIDUR DENGAN KUALITAS TIDUR BURUK MAHASISWA DI KOTA DENPASAR
Ignatia Novianti Tantri, Luh Putu Ratna Sundari
1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 2Departemen Physiology, Fakultas Kedokteran Universitas
ABSTRAK
Kualitas tidur buruk adalah suatu gangguan yang umum dijumpai dewasa ini dan dapat berpengaruh pada kinerja pekerjaan dan kegiatan sehari-hari individu. Salah satu kelompok yang rentan akan gangguan kualitas tidur adalah mahasiswa.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana prevalensi dan hubungan mahasiswa penderita kualitas tidur buruk di Kota Denpasar dengan jenis kelamin, konsumsi kafein, tinggal sendiri dan jam mulai tidur untuk menilai besarnya masalah dan melakukan intervensi untuk mencegah keparahan akibat gangguan tidur.
Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner di Kota Denpasar berupa kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk menilai kualitas tidur, bersamaan dengan kuesioner data karakteristik mahasiswa berupa jenis kelamin, konsumsi kafein, tinggal sendiri, dan waktu memulai tidur. P value berdasarkan penelitian sebelumnya adalah 0,05.Dari 87 sampel yang diperoleh, 77% sampel mengalami kualitas tidur buruk. Pria memiliki prevalensi lebih besar dari wanita (p = 0,851), kelompok dengan konsumsi kafein lebih besar daripada yang tidak mengonsumsi kafein (p = 0,982), tinggal sendiri lebih besar daripada tinggal bersama keluarga (p = 0,325), dan yang memulai tidur lebih lama lebih besar daripada yang tidur lebih awal (p = 0,011). Antara jam mulai tidur dan kualitas tidur buruk memiliki hubungan yang signifikan.
Kata kunci: PSQI, kualitas tidur buruk, mahasiswa, jenis kelamin, kafein, tinggal sendiri
Denpasar
ABSTRACT
Poor sleep quality is a common disorder in the society today and could affect general performance and daily activities of individuals in their daily activities. One of the groups which are most vulnerable to impaired quality of sleep is college students.
This study was conducted to determine the prevalence and relationship of students ‘ poor sleep quality with gender, caffeine consumption, living alone, and the start time to sleep, to assess the magnitude of the problem and to intervene and preventing the severity and complication by the sleep disorders.This research was conducted by distributing PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) questionnaire to assess sleep quality, along with the data form about the students’ characteristics which are gender, caffeine consumption, living alone, and the start time to sleep. P value was set 0.05 based on the previous research. Of the 87 samples obtained, 77% of the samples are having trouble sleeping. Men are having higher prevalence than women (p = 0.851), caffeine consumption group have higher prevalence than non-caffeine consumption group (p = 0.982), students who live alone have higher prevalence than those who live with family (p = 0.325), and student who started sleeping late in the night have higher prevalence compared to those who slept earlier (p = 0,011). There’s a significant relationship between sleeping start time and poor sleep quality.
Keywords: PSQI, poor sleep quality, university student, gender, caffeine, living alone,
Denpasar
PENDAHULUAN
Tidur merupakan suatu kebutuhan manusia, di mana tidur adalah suatu keadaan tak sadarkan diri di mana manusia lebih peka terhadap rangsangan dalam tubuh (stimulus internal) dibandingkan rangsangan dari luar tubuh (stimulus eksternal).1,2 Saat tidur tubuh tetap melaksanakan fungsi fisiologisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tetap berfungsinya sel syaraf ditandai dengan berbagai sinyal yang dihasilkan oleh otak selama fase-fase tidur.3
Pada umumnya, kebutuhan tidur manusia dewasa berkisar antara 7-8 jam sehari dan terdapat perbedaan antar individual. Tidur antara 7-8 sehari dipercaya memberikan efek istirahat dan penyegaran yang lebih baik. Pada anak-anak, kebutuhan tidur mencapai angka yang lebih tinggi yaitu sekitar 16 jam perhari, sementara untuk
remaja, rata-rata tidur 9 jam perhari dinilai paling umum dan optimal untuk fungsi tubuh.3,4Terlepas dari tidur merupakan suatu kebutuhan manusia yang cukup penting terutama untuk fungsi restoratifnya, beberapa individu mengalami gangguan dengan berbagai proses tidurnya. Kesulitan baik dalam memulai atau mempertahankan tidur itu sendiri adalah yang sering disebut sebagai insomnia. Insomnia pada jangka pendek juga dapat mengakibatkan gangguan seperti misalnya pada pembuatan keputusan dan waktu reaksi, dan dapat berakibat fatal pada kegiatan sehari-hari seperti misalnya kecelakaan lalu lintas.3 Sedangkan insomnia sendiri sering dikaitkan dengan gangguan maupun penyakit kejiwaan lainnya seperti misalnya kecemasan, adaptasi, dan stress, dan sebagainya.4,5
DOAJ
Menurut penelitian Souza Lopes, dkk., penderita insomnia di seluruh dunia mencapai angka 10-15% populasi dengan 25-30% menunjukkan gejala insomnia okasional.6 Di Indonesia sendiri, penelitian dari US Census Beurau tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi insomnia mencapai 28 juta jiwa dari sekitar 238 juta penduduk Indonesia yang menjadi subjek survei, di mana angka tersebut mencapai kurang lebih 10%.7,8
Salah satu populasi umur yang lebih sering terkena insomnia setelah populasi usia lanjut adalah usia dewasa muda dan mahasiswa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kurang lebih 75% mahasiswa mengalami gangguan tidur okasional dan 15% di antaranya memiliki kualitas tidur yang kurang baik.9 Penelitian Scharb juga menunjukkan angka bervariasi mulai 4.6% hingga 36% untuk penderita gangguan tidur dan 13,1% hingga 28,1% untuk penderita insomnia. Adapun insomnia pada kalangan mahasiswa dinilai mempengaruhi baik prestasi belajar dan kondisi kesehatan baik fisik dan kejiwaan dari seorang mahasiswa.10 Di Indonesia sendiri, penelitian gangguan tidur pada mahasiswa di kota Yogyakarta oleh Syamsumin Kurnia Dewi menunjukkan angka kurang tidur kronis mencapai 45,19% tanpa adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, bidang ilmu, dan strata studi dari subjek.8
Pada penelitian sebelumnya dengan populasi usia lanjut, faktor hidup sendiri didapatkan mempengaruhi insomnia, namun hal ini belum pernah diteliti pada mahasiswa.11 Sementara faktor jenis kelamin, bidang studi, dan strata pendidikan pada penelitian Kurnia Dewi yang telah disebutkan di atas dianggap tidak memberikan hasil yang signifikan pada populasi mahasiswa kota Yogyakarta.8
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dilakukan suatu penelitian mengenai hubungan antara jenis kelamin, konsumsi kafein, tinggal sendiri, dan jam mulai tidur dan kualitas tidur buruk pada populasi mahasiswa di Kota Denpasar, Bali, Indonesia. Studi ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran dan pengetahuan mengenai hubungan antara berbagai karakteristik tersebut dengan gangguan kualitas tidur pada populasi tersebut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan jenis studi analitik dengan metode potong lintang (cross sectional) untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik mahasiswa penderita kualitas tidur buruk di Kota Denpasar. Penelitian dilaksanakan di Kota Denpasar dengan pengumpulan dan pengolahan data dilakukan pada bulan April hingga Agustus tahun 2015.
Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa S1 Kota Denpasar dengan variasi usia antara 19 sampai dengan 25 tahun tanpa memandang perbedaan antara jenjang semester maupun bidang studi yang didalami oleh mahasiswa yang bersangkutan.
Sampel dipilih dengan cara consecutive sampling dengan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa dengan jenjang pendidikan S1 yang mengikuti aktivitas perkuliahan di Kota Denpasar pada waktu yang bersangkutan saat penelitian dilakukan. Kriteria Eksklusi pada penelitian ini adalah usia (mahasiswa berumur 19-25 tahun pada saat penelitian dilakukan), orientasi mahasiswa (mahasiswa yang sedang berada
DOAJ
dalam fase orientasi perkuliahan dieksklusi dari penelitian), dan magang/internship (mahasiswa dalam tahap akhir dengan kerja/praktek lapangan).
Variabel penelitian adalah sebagai berikut beserta dengan definisi operasionalnya: 1. Kualitas tidur
Kualitas tidur adalah efektivitas tidur baik fungsi restoratif maupun pengaruhnya terhadap aktivitas harian individu yang dinilai dengan menggunakan kuesioner PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index). Pada poin kuesioner dinilai baik durasi maupun kualitas tidur subjek penelitian yang dibagi menjadi “Baik” yaitu skor <5 dan “Buruk”, yaitu skor <5.
-
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan, keduanya dimasukkan ke dalam penelitian ini.
-
3. Konsumsi kafein
Pada penelitian ini, tingkat konsumsi kafein dibagi menjadi “Sering” (konsumsi > 3
gelas setiap minggu), “Kadang-kadang” (2 gelas tiap minggunya hingga 3 gelas tiap bulannya, dengan asumsi konsumsi kafein tiap 2 minggu sekali), dan “Tidak” (lebih jarang dari itu atau tidak sama sekali). kategori “Tidak”. Subjek diharapkan menulis jumlah/frekuensi konsumsi kafein dalam satuan gelas dalam rentang waktu 6 bulan terakhir.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS edisi 19 dengan metode analisis Chi Square. Pada penelitian ini ditentukan p value 0,05 berdasarkan pada penelitian sebelumnya.6 Berkaitan dengan variabel kualitas tidur, jenis kelamin, tinggal sendiri, dan tingkat konsumsi kafein dan alkohol masing-masing akan disajikan dengan tabel distribusi frekuensi dan crosstabulating. Dengan demikian dapat dilihat pula angka prevalensi dan rasio prevalensi dari karakteristik tertentu.
HASIL
Dalam penelitian ini, yang menjadi sampel adalah mahasiswa S1 yang berusia 19 hingga 25 tahun dan tengah menjalani perkuliahan di Kota Denpasar.
Penelitian dilaksanakan di Kota Denpasar pada bulan Juli hingga awal September 2015 dengan membagikan angket pada para responden di area kampus, dekat kampus, dan area yang sering didatangi oleh mahasiswa seperti kedai atau kafe. Pembagian kuesioner dilakukan di 6 tempat yaitu pada kantin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Sekolah Tinggi Kejuruan Teknik Informatika Denpasar, Sekolah Tinggi Design Bali, Angkringan “Nyusu” Sanglah, dan Kedai “Secrets” Denpasar.
Adapun melalui wawancara singkat peneliti dan responden, mahasiswa yang tengah melakukan orientasi siswa dan yang sedang dalam tahap magang/kerja praktek lapangan dieksklusi dari penelitian.
Mahasiswa yang menjadi sampel penelitian telah membaca dan menandatangani informed consent yang disediakan dan dijelaskan kembali oleh peneliti.
DIRECTORY OF OPEN ACCESS O JOURNALS

Deskripsi karakteristik sampel
Jumlah total sampel penelitian yang didapatkan adalah sebanyak 87 sampel. Sampel berjenis kelamin laki – laki berjumlah sebanyak 32 orang dan perempuan berjumlah sebanyak 55 orang.Data yang diperoleh merupakan data primer yang didapatkan dari pengisian kuisioner oleh sampel.
Dari Tabel 1 dapat dilihat distribusi sampel berjenis kelamin laki-laki berjumlah lebih sedikit, yaitu 32 orang (36,8%) dan perempuan berjumlah 55 orang (63,2%).
Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 32 36,8
Perempuan 55 63,2
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kategori mahasiswa yang tidak mengonsumsi kafein menempati peringkat tertinggi dengan jumlah 42 sampel (48,3%) diikuti dengan kategori kadang-kadang (26,4%) dan sering (25,3%).
Tabel 2. Distribusi sampel berdasarkan konsumsi kafein
Konsumsi Kafein Jumlah Persentase (%)
Pada Tabel 3 dapat dilihat sampel yang tinggal bersama keluarga memiliki angka yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 62 orang (71,3%), dibandingkan dengan sampel yang tinggal sendiri/kos, yaitu 25 orang (28,7%).
Tabel 3. Distribusi Sampel berdasarkan tempat tinggal
Tempat Tinggal |
Jumlah |
Persentase (%) |
Bersama keluarga |
62 |
71,3 |
Sendiri/kos |
25 |
28,7 |
Tabel 4 merupakan tabel yang menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jam mulai tidur. Sampel digolongkan menjadi dua kategori berdasarkan jam mulai tidur, yaitu di bawah jam 10 malam, jam 10 hingga jam 12 malam, dan di atas jam 12 malam. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa sampel paling banyak memulai tidur jam 10-12 malam dengan jumlah 59 orang (67,8%), diikuti dengan kelompok di atas jam 12 malam sebanyak 23 orang (26,4%), dan paling sedikit tidur di bawah jam 10 malam dengan jumlah sebanyak 5 orang (5,7%).
Tabel 4. Distribusi sampel berdasarkan jam mulai tidur
Jam mulai tidur Jumlah Persentase (%)
Tabel 5 merupakan tabel yang menunjukkan distribusi sampel berdasarkan kualitas tidur sampel. Kualitas tidur diukur menggunakan kuesioner PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) di mana global score dengan nilai 5 ke atas menunjukkan adanya suatu penurunan kualitas tidur. Kategori “Baik” merujuk pada sampel dengan nilai kuesioner kurang dari 5 dan kategori “Buruk” merujuk pada nilai lebih dari atau sama dengan 5. Sampel dengan kualitas tidur buruk memiliki jumlah yang lebih besar dengan angka 67 (77%) sementara sampel dengan kualitas tidur baik berjumlah 20 (23%).
Tabel 5. Distribusi sampel berdasarkan kualitas tidur
Kualitas Tidur |
Jumlah |
Persentase (%) |
Baik |
20 |
23 |
Buruk |
67 |
77 |
DOAJ
Hubungan Karakteristik Sampel dengan Kualitas tidur buruk
Data-data yang telah dikumpulkan di atas kemudian ditata lebih lanjut dengan menggunakan tabel cross tabulation dan dianalisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sampel dengan kualitas tidur buruk. Berikut adalah presentase mahasiswa sampel penderita kualitas tidur buruk berdasarkan jenis kelamin, konsumsi kafein, tempat tinggal, jam mulai tidurnya dan hubungannya.
Pada Tabel 6, dapat dilihat jumlah dan presentase penderita kualitas tidur buruk pada sampel berdasakan jenis kelaminnya dan hubungannya. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kualitas tidur buruk dan jenis kelamin.
Tabel 7 menggambarkan jumlah dan presentase penderita kualitas tidur buruk pada sampel berdasarkan konsumsi kafeinnya dan hubungannya. Secara statistik, tidak ada hubungan bermakna antara kualitas tidur buruk dan konsumsi kafein.
Pada Tabel 8 dapat dilihat jumlah dan presentase penderita kualitas tidur buruk pada sampel berdasarkan tempat tinggalnya (tinggal sendiri/kos atau tinggal bersama keluarga) dan hubungan ke duanya. Secara statistik, tidak ada hubungan bermakna antara kualitas tidur buruk dan tinggal sendiri.
Tabel 9 menggambarkan jumlah dan presentase penderita kualitas tidur buruk pada sampel berdasarkan jam mulai tidurnya dann hubungannya. Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik dan gangguan kualitas tidur.
Tabel 6.Hubungan kualitas tidur dengan jenis kelamin
Kualitas Tidur |
p value | |||
Baik |
Buruk |
Total | ||
Jenis kelamin Laki-laki Jumlah |
7 |
25 |
32 | |
% dalam kualitas tidur |
21,9% |
78,1% |
100% | |
Perempuan Jumlah |
13 |
42 |
55 |
0 851 |
% dalam kualitas tidur |
23,6% |
76,4% |
100% | |
Total Jumlah |
20 |
67 |
87 | |
% dalam kualitas tidur |
23% |
77% |
100% |
Tabel 7. Hubungan kualitas tidur dengan konsumsi kafein
Kualitas Tidur |
p value | |||
Baik |
Buruk |
Total | ||
Kafein Tidak Jumlah |
10 |
32 |
42 | |
% dalam kualitas tidur |
23,8% |
76,2% |
100% | |
Kadang-kadang Jumlah |
5 |
18 |
23 | |
% dalam kualitas tidur |
21,7% |
78,3% |
100% |
∩ 029 |
Sering Jumlah |
5 |
17 |
22 |
0,982 |
% dalam kualitas tidur |
22,7% |
77,3% |
100% | |
Total Jumlah |
20 |
67 |
87 | |
% dalam kualitas tidur |
23% |
77% |
100% |
DOAJ
Tabel 8. Hubungan kualitas tidur dengan tempat tinggal
Kualitas Tidur |
p value | |||
Baik |
Buruk |
Total | ||
Tinggal Sendiri/kos Jumlah |
4 |
21 |
25 | |
% dalam kualitas tidur |
16% |
84% |
100% | |
Dengan keluarga Jumlah |
16 |
46 |
62 |
0,325 |
% dalam kualitas tidur |
25,8% |
74,2% |
100% | |
Total Jumlah |
20 |
67 |
87 | |
% dalam kualitas tidur |
23% |
77% |
100% |
Tabel 9. Hubungan kualitas tidur dengan jam mulai tidur
Kualitas Tidur |
p value | |||
Baik |
Buruk |
Total | ||
Jam mulai tidur <10 malam Jumlah |
3 |
2 |
5 | |
% dalam kualitas tidur |
60% |
40% |
100% | |
10-12 malam Jumlah |
16 |
43 |
59 | |
% dalam kualitas tidur |
27,1% |
72,9% |
100% |
0,011 |
>12 malam Jumlah |
1 |
22 |
23 | |
% dalam kualitas tidur |
4,3% |
95,7% |
100% | |
Total Jumlah |
20 |
67 |
87 | |
% dalam kualitas tidur |
23% |
77% |
100% |
DISKUSI
Secara prevalensi, mahasiswa yang mengalami kualitas tidur buruk pada penelitian ini adalah sebesar 77%. Hasil penelitian ini tidak terlalu jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Sing dan Wong, di mana pada penelitian Sing dan Wong didapat sebesar 68,1% menderita kualitas tidur buruk. Menurut Sing dan Wong pula, kualitas tidur buruk dapat disebabkan oleh masalah optimisme, stress, dan depresi yang disebabkan oleh tugas dan pergaulan psikososial sehari-hari mahasiswa.9 Hal ini sesuai dengan hasil wawancara singkat peserta kuesioner, yang sebagian besar menyatakan kesulitan tidur mereka paling sering disebabkan oleh tugas
perkuliahan dan masalah dengan teman sebaya.
Roenneberg pada penelitiannya mengenai perbedaan antara ke dua jenis kelamin dalam jam tidur biologisnya menunjukkan bahwa pria tidur lebih malam dan menyebabkan kualitas tidur buruk lebih besar daripada wanita pada usia dewasa muda.12 Kojima pada penelitiannya juga menyatakan bahwa prevalensi kualitas tidur buruk pada pria lebih besar.13
Pada penelitian ini, didapatkan angka kualitas tidur buruk adalah sebesar 78,1% pada pria dan 76,4% pada wanita. Hasil ini mirip dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa prevalensi pria mengalami kualitas tidur
DOAJ
buruk lebih besar dari wanita.6,14 Akan tetapi sama seperti pada penelitian sebelumnya bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna sehingga angka kualitas tidur pria dan wanita pada penelitian ini adalah dianggap sama (tidak ada perbedaan). Hasil ini sesuai dengan penelitian Kurnia Dewi sebelumnya di Yogyakarta.8
Zat yang diteliti pada penelitian ini adalah kafein. Kafein sebagai stimulan memiliki efek fisiologis seperti meningkatkan laju metabolik, sekresi gastrik, laju diuretik, sekresi norepinefrin dan epinefrin, suhu tubuh, tekanan darah, dan irama jantung. Kafein juga dapat memperburuk kondisi kegelisahan/anxiety dan panic disorder. Kondisi akibat kafein di atas dinilai memperburuk kualitas tidur karena efek fisiologis yang lebih mendukung pada aktivitas pada saat siang hari dibandingkan dengan malam hari.15,16
Prevalensi pada penelitian ini sesuai dengan penelitian di Thailand oleh Lohsoonthorn, di mana mahasiswa yang mengonsumsi minuman stimulan (termasuk kafein) memiliki prevalensi yang lebih besar sebesar 58%.17 Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kafein dan kualitas tidur buruk, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah sampel antar kelompok yang kurang merata, deskripsi pada angket yang kurang jelas, dan desain penelitian yang kurang baik sehingga mungkin perlu penelitian lebih lanjur untuk meneliti korelasi ke duanya. Hal ini sesuai dengan penelitian Sing dan Wong yang menunjukkan tidak ada korelasi konsumsi suatu zat dengan penurunan kualitas tidur.9
Cacciopo dan Hawkley, berdasarkan teori Loneliness (kesendirian) oleh Weiss, menyatakan kesendirian dapat berpengaruh pada rasa harga diri, optimisme, kemampuan
bersosialisasi, ketakutan, marah, keterbukaan, dan ketakutan akan opini negatif yang berujung pada gangguan kejiwaan seperti depresi dan rasa harga diri yang rendah. Hal tersebut kemudian berpengaruh pada fungsi sehari-hari individu termasuk salah satunya kualitas tidurnya.18,19
Tinggal sendiri sebelumnya belum pernah diteliti pada kelompok mahasiswa dan usia dewasa muda.Pada penelitian ini, prevalensi kualitas tidur buruk lebih tinggi pada kelompok tinggal sendiri dibandingkan kelompok tinggal bersama keluarga. Hal ini mirip dengan penelitian sebelumnya pada kelompok usia tua oleh Luo dan Lalluka di mana ada penurunan kualitas dan kuantitas tidur pada individu yang tinggal sendiri dibandingkan yang tinggal bersama keluarga.11,20 Secara statistik, hubungan antara kualitas tidur buruk dan tinggal sendiri pada penelitian ini adalah tidak bermakna. Akan tetapi mengingat belum pernah dilakukannya penelitian serupa pada kelompok populasi mahasiswa mungkin perlu diadakan penelitian kembali dengan sampel yang lebih banyak dan desain yang lebih baik.
Waktu memulai tidur sendiri secara teori dapat dikaitkan dengan delayed sleep phase di mana pada penelitian Pallesen didapatkan bahwa lebih dari setengah subjek mengalami delayed sleep phase dan 4% di antaranya mengidap insomnia klinis yang sesuai dengan kriteria DSM-IV.21
Sebagian besar sampel penelitian memulai tidur pada jam 10-12 malam. Terbanyak ke dua adalah di atas jam 12 malam dan hanya 5 orang dari seluruh sampel memulai tidur di bawah jam 10 malam. Presentase penderita kualitas tidur buruk paling banyak ditemukan pada kelompok yang memulai tidur lebih dari jam 12 malam, diikuti
DOAJ
kelompok yang memulai tidur jam 10-12 malam dan terakhir kelompok yang tidur di bawah jam 10 malam. Pada penelitian ini didapatkan analisis statistik yang bermakna bahwa jam memulai tidur berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk. Meskipun demikian, perlu menjadi perhatian bahwa kelompok sampel yang tidur kurang dari jam 10 malam hanya berjumlah 5 orang, sehingga data yang diperoleh dinilai kurang dapat mewakili populasi sesungguhnya.
Pada penelitian ini korelasi yang bermakna antara karakteristik tertentu dengan gangguan kualitas tidur hanyalah jam mulai tidur. Meskipun demikian, secara prevalensi tren pada penelitian sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Terdapat perbedaan antara golongan usia, ras, dan kebiasaan serta aktivitas pada kelompok populasi penelitian, hal-hal ini dapat menjadi faktor yang membedakan hasil penelitian ini dengan penelitian- penelitian sebelumnya. Jumlah sampel juga relatif lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga beberapa kelompok menjadi kurang terwakili. Beberapa kelompok memiliki sampel yang tidak terbagi dengan rata sehingga presentase yang didapatkan kurang dapat mewakili populasi yang sebenarnya. Beberapa responden ada yang kurang mengerti cara mengisi kuesioner dan tidak bertanya sehingga banyak poin yang tidak diisi dan menjadikan kuesioner tersebut sebagai kuesioner gagal. Lokasi penelitian juga dinilai masih kurang beragam (cenderung terpusat) di mana lokasi penelitian lebih sering di area dekat kampus tertentu dibandingkan membagikan kuesioner benar-benar secara acak di kota Denpasar sehingga variasi data menjadi kurang beragam.
SIMPULAN
Pada penelitian ini, jumlah dari mahasiswa penderita kualitas tidur buruk di Kota Denpasar adalah sebesar 77% (67 orang) dari total 87 sampel. Jam mulai tidur memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas tidur buruk, sementara jenis kelamin, konsumsi kafein, dan tinggal sendiri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas tidur buruk.
SARAN
Bagi peneliti selanjutnya saran yang dapat diberikan adalah melakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga lebih baik dalam mewakili populasi yang menjadi subjek penelitian. Poin dan pemilihan kalimat pada kuesioner juga perlu dipertimbangkan sehingga tidak membingungkan pihak responden.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Allada, R. dan Siegel, J. (2008). Unearthing the Phylogenetic Roots of Sleep.Current Biology, [online] 18(15), pp.R670-R679. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /18682212 [Akses 26 Jan. 2015].
-
2. Stevens, M. (2015). Normal Sleep, Sleep Physiology, and Sleep Deprivation[online]
Emedicine.medscape.com. Tersedia pada:
http://emedicine.medscape.com/article/ 1188226-overview [Akses 26 Jan. 2015].
-
3. Purves, D., Boleyn-Fitzgerald, M., Koob, A. dan Itō, M. (2012). Neuroscience.Edisi 3. [Upper Saddle River, NJ]: FT Press, hal.665-683.
-
4. Sadock, B., Sadock, V. and Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry. Edisi 10. Philadelphia:
Idirectory of OPEN ACCESS I √∙ JOURNALS
Lippincott Williams & Wilkins, hal. 533-563.
-
5. Lustberg, L. dan Reynolds, C. (2000). Depression and insomnia: questions of cause and effect. Sleep Medicine Reviews, [online] 4(3), hal.253-262. Tersedia pada: https://www.sciencedirect.com/science /article/pii/S1087079299900758 [Akses 10 Jan. 2015].
-
6. Souza Lopes, C., Rodrigues, J. dan Rotenberg, L. (2012). Epidemiology of Insomnia: Prevalence and Risk
Factors. Can't Sleep? Issues of Being an Insomniac. [online] Tersedia pada: https://www.intechopen.com/books/ca n-t-sleep-issues-of-being-an-insomniac/epidemiology-of-insomnia-prevalence-and-risk-factors [Akses 25 Jan. 2015].
-
7. Ohayon, M. dan Reynolds, C. (2009). Epidemiological and clinical relevance of insomnia diagnosis algorithms according to the DSM-IV and the International Classification of Sleep Disorders (ICSD).Sleep Medicine,
[online] 10(9), hal.952-960. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /19748312 [Akses 20 Jan. 2015].
-
8. Kurnia Dewi, S. (2009). Faktor-Faktor Risiko yang Berkaitan dengan Prevalensi Kurang Tidur Kronis pada Mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. [online] Tersedia pada: https://skripsistikes.files.wordpress.co m/2009/08/18.pdf [Akses 29 Jan.
2015].
-
9. Sing, C. dan Wong, W. (2010). Prevalence of Insomnia and Its Psychosocial Correlates Among College Students in Hong Kong. Journal of American College Health,
[online] 59(3), hal.174-182. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /21186447 [Akses 23 Jan. 2015].
-
10. Schlarb, A., Kulessa dan Gulewitsch (2012). Sleep characteristics, sleep problems, and associations of selfefficacy among German university students. Nature and Science of Sleep, [online] hal.1. Tersedia pada: https://www.dovepress.com/sleep-characteristics-sleep-problems-and-associations-of-self-efficacy-peer-reviewed-article-NSS [Akses 25 Jan. 2015].
-
11. Luo, J., Zhu, G., Zhao, Q., Guo, Q., Meng, H., Hong, Z. dan Ding, D. (2013). Prevalence and Risk Factors of Poor Sleep Quality among Chinese Elderly in an Urban Community: Results from the Shanghai Aging Study. PLoS ONE, [online] 8(11), p.e81261. Tersedia pada:
http://journals.plos.org/plosone/article? id=10.1371/journal.pone.0081261 [Akses 25 Jan. 2015].
-
12. Roenneberg, T., Kuehnle, T., Juda, M., Kantermann, T., Allebrandt, K., Gordijn, M. dan Merrow, M. (2007). Epidemiology of the human circadian clock. Sleep Medicine Reviews, [online] 11(6), hal.429-438. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /17936039 [Akses 25 Jan. 2015].
-
13. Kojima, M., Wakai, K., Kawamura, T., Tamakoshi, A., Aoki, R., Lin, Y., Nakayama, T., Horibe, H., Aoki, N. dan Ohno, Y. (2000). Sleep Patterns and Total Mortality: A 12-Year Follow-up Study in Japan. Journal of Epidemiology, [online] 10(2), hal.87-93. Tersedia pada:
https://www.jstage.jst.go.jp/article/jea1
DOAJ
991/10/2/10_2_87/_article [Akses 25 Jan. 2015].
-
14. Rebbapragada, V., Subramanian, S., Chanamolu, S., Guntupalli, K., Patel, B., Casturi, L. dan Mahaffey, M. (2006). P466 Insomnia in obstructive sleep apnea: prevalence and gender and ethnic variance. Sleep Medicine, [online] 7, hal.S118-S119. Tersedia
pada:http://www.sleep-journal.com/article/S1389-9457(06)00506-5/abstract [Akses 27 Jan. 2015].
-
15. Bonnet, M., Balkin, T., Dinges, D., Roehrs, T., Rogers, N. dan Wesensten, N. (2005). The Use of Stimulants to Modify Performance During Sleep Loss: A Review by the Sleep
Deprivation and Stimulant Task Force of the American Academy of Sleep Medicine. Sleep, [online] 28(9), hal.1163-1187. Tersedia pada: https://academic.oup.com/sleep/article/ 28/9/1163/2708245 [Akses 27 Jan. 2015].
-
16. Whittier, A., Sanchez, S., Castañeda, B., Sanchez, E., Gelaye, B., Yanez, D. dan Williams, M. (2014). Eveningness Chronotype, Daytime Sleepiness, Caffeine Consumption, and Use of Other Stimulants Among Peruvian University Students. Journal of Caffeine Research, [online] 4(1), hal.21-27. Tersedia pada:
http://online.liebertpub.com/doi/abs/10 .1089/jcr.2013.0029 [Akses 27 Jan. 2015].
-
17. Lohsoonthorn, V., Khidir, H., Casillas, G., Lertmaharit, S., Tadesse, M., Pensuksan, W., Rattananupong, T., Gelaye, B. dan Williams, M. (2012). Sleep quality and sleep patterns in relation to consumption of energy drinks, caffeinated beverages, and other stimulants among Thai college
students. Sleep and Breathing, [online] 17(3), hal.1017-1028. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /23239460 [Akses 27 Jan. 2015].
-
18. Weiss, R. (1980). The broken heart: the medical consequences of loneliness. Social Science & Medicine. Part D: Medical Geography, 14(4), hal.426-428.
-
19. Hawkley, L. dan Cacioppo, J. (2003). Loneliness and pathways to disease. Brain, Behavior, and Immunity,
[online] 17(1), hal.98-105. Tersedia
pada:
http://psycnet.apa.org/record/2003-02610-015 [Akses 27 Jan. 2015].
-
20. Lallukka, T., Sares-Jäske, L., Kronholm, E., Sääksjärvi, K., Lundqvist, A., Partonen, T., Rahkonen, O. dan Knekt, P. (2012).
Sociodemographic and socioeconomic differences in sleep duration and insomnia-related symptoms in Finnish adults. BMC Public Health, [online] 12(1). Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /22839359 [Akses 27 Jan. 2017].
-
21. Sivertsen, B., Pallesen, S., Stormark, K., Bøe, T., Lundervold, A. dan Hysing, M. (2013). Delayed sleep phase syndrome in adolescents: prevalence and correlates in a large population based study. BMC Public Health, [online] 13(1). Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /24330358 [Akses 26 Jan. 2015].
Discussion and feedback