ISSN: 2303-1395                  E-JURNAL MEDIKA, VOL. 8 NO.6 JUNI, 2019

Il—∖Λ^A Λ 1 DIRECTORY OR                                                                                _

UUAJ^1e^ess                         O ≡ιnca

KORELASI FAKTOR PREDIPOSISI KEJADIAN SKABIES PADA ANAK- ANAK DI DESA SONGAN, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI

Pande Mirah Dwi Anggreni1, I Gusti Ayu Agung Elis Indira2

  • 1.    Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

  • 2.    Bagian/SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar

ABSTRAK

Skabies adalah kelainan dermatologi yang diakibatkan infestasi dari Sarcoptes scabei, yang biasanya ditemukan di daerah pedesaan. Desa Songan merupakan suatu desa yang berada di Kabupaten Bangli dengan tingkat insiden skabies yang tinggi khususnya di musim dingin. Padahal daerah di sekitar Desa Songan, kasus skabiesnya tergolong rendah. Penelitian skabies ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor prediposisi terkait dengan fenomena skabies pada anak-anak sekolah dasar di Desa Songan. Studi dengan metode potong lintang ini dilaksanakan dari bulan Maret hingga Oktober 2015. Sejumlah 178 anak dari dua sekolah dasar di Desa Songan menjadi subjek penelitian. Kejadian skabies beserta faktor prediposisi yang berhubungan dinilai melalui kuesioner dan wawancara. Data kemudian dianalisis dengan analisa univariat dan bivariat. Dari 178 anak dalam penelitian ini, prevalensi skabies sejumlah 23,6%. Prevalensi pada anak laki-laki lebih besar dibanding anak perempuan (69,0% dan 31,0%). Mayoritas kasus skabies ditemukan pada anak dengan personal hygiene yang buruk (92,6%), status nutrisi yang buruk (85,7%), status ekonomi rendah (78,6%), tingkat pengetahuan orang tua pada skabies yang rendah (85,7%). Beberapa faktor yang ditemukan berhubungan secara signifikan dengan kejadian skabies adalah jenis kelamin (p=0,004) dan personal hygiene (p=0,001). Kejadian skabies di Desa Songan secara signifikan dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin dan personal hygiene. Program edukasi terkait personal hygiene dan kebersihan lingkungan dengan target anak-anak sekolah dasar sangat perlu dikembangkan. Determinan sosial dan ekonomi yang mendasari lainnya yang berkontribusi terhadap kebersihan pribadi yang rendah juga perlu ditangani.

Kata kunci : skabies, anak, faktor risiko, Desa Songan

ABSTRACT

Scabies is a skin infection of Sarcoptes scabei var hominis, commonly found in the rural areas. In the Songan Village, a rural area of Bangli District, the high incidence of scabies infection is found during wet season whereas other neighbor areas is having relatively small cases. This study was aimed at investigating the associated factors of scabies infection among school-aged children at Songan Village. A crossectional study was conducted from March to October 2015. A total of 178 school-aged children were recruited from two elementary schools in Songan Village. The rate of scabies and associated risk factors were measured using questionnaires and interviews. Data were then analysed using univariate and bivariate. The overall prevalence of scabies was 23.6% of all cases. The prevalence among boys was higher than girls (69.0% and 31.0% respectively). The majority of scabies cases was found among children having a bad personal hygene (92.6%), poor nutritional status (85.7%), low-level of economic status (78.6%), and parents with low-level of knowledge on scabies (85.7%). Several risk factors have found to be associated to scabies at Songan Village: gender (p=0.004), personal hygiene (p=0.001). An education program targeting school-aged children has to be developed, covering issues around personal and environment hygiene. Other underlying social and economic determinants contributing to low personal hygiene is also need to be addressed.

Keywords: scabies, children, risk factors, Songan Village

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


PENDAHULUAN

Skabies masih menjadi permasalahan di negara berkembang. Skabies merupakan suatu kelainan dermatologi yang diakibatkan infestasi dan sensitasi dari Sarcoptes scabei.1,2 Prevalensi skabies di dunia masih tergolong cukup tinggi yaitu berkisar 300 juta kasus per tahun. Penyakit skabies endemis di wilayah beriklim tropis dan subtropis,3,4 seperti Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Australia Tengah dan Selatan, dan Asia.5,6 Pada kawasan negara industri seperti di Negara Jerman, skabies terjadi secara sporadik atau dalam bentuk endemik yang lama. Penelitian Baur melaporkan prevalensi skabies di India sebesar 20,4%.7 Penelitian yang dilakukan Onayemi juga melaporkan prevalensi skabies di Nigeria 28,6%.8

Kelainan skabies menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Data Depkes RI pada tahun 2008 menunjukkan prevalensi skabies sebesar 5,6% hingga 12,95%. Pondok pesatren adalah salah satu lingkungan dengan insiden dan prevalensi skabies yang tinggi di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian Ma’rufi yang menunjukkan sebesar 64,2%, santri di pondok pesantren di Kabupaten Lamongan mengalami skabies. Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian di Pasuruan prevalensi skabies di pondok pesantren adalah 70%. 9

Kelainan kulit ini sering menimbulkan ketidaknyamanan karena lesi yang sangat gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan

menyebabkan suatu infeksi sekunder terutama yang diakibatkan oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta Staphylococcus aureus.1 Kondisi ini diperparah lagi dengan penderita melakukan pengobatan sendiri tanpa petunjuk dari dokter. Komplikasi yang diakibat oleh infestasi sekunder GAS dan S. aureus sering terdapat pada anak-anak di negara berkembang.1,2

Hal ini menyebabkan prioritas penanganan skabies tergolong rendah. Namun demikian, sebenarnya skabies tergolong penyakit yang kronis dan berat yaang dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Sensitasi terhadap sekreta dan eksreta tungau skabies dapat menimbulkan ketidaknyamanan karena lesi yang sangat gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan menyebabkan suatu infeksi sekunder terutama yang diakibatkan oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta Staphylococcus aureus.1 Komplikasi yang diakibat oleh infestasi sekunder GAS dan S. aureus sering terdapat pada anak-anak di negara berkembang.1,2

Ditinjau dari segi usia, tingkat prevalensi skabies lebih tinggi pada anak.10 Menurut Heukelbach skabies cenderung terjadi pada anak dan remaja yang berusia 10-14 tahun.11 Hal ini didukung data prevalensi skabies pada anak-anak aborigin yang tinggal di Australia dan beberapa Negara di Oceania sebesar 30% disertai dengan suatu infeksi sekunder yang diakibatkan oleh Streptococous priroderma. Penelitian lain juga melaporkan

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


bahwa 75% pasien skabies adalah anak dan remaja yang berusia kurang dari 20 tahun. Penelitian yang dilakukan Onayemi juga melaporkan prevalensi skabies tertinggi di Nigeria terjadi pada anak dan remaja yaitu sebesar 86%.8 Prevalensi skabies di Pakistan pada usia 17-49 tahun dengan tingkat pendidikan yang rendah ditemukan sebesar 86.5%.12 Penelitian oleh Baur juga menyatakan bahwa prevalensi skabies tertinggi pada usia 1524 tahun.7 Pada kawasan Asia, prevalensi skabies pada anak relatif tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dari prevalensi skabies di beberapa negara Asia. Sebesar 23-29% anak berusia 6 tahun di daerah kumuh di Bangladesh yang mengalami skabies dan 43% di Kamboja. Studi di rumah kesejahteraan di Malaysia tahun 2010 menunjukkan prevalensi 30% 13 dan di Timor Leste prevalensi skabies 17,3%.6,14

Kejadian serupa juga terjadi di Desa Songan Kecamatan Kintamani, Bali. Skabies tergolong penyakit yang cukup sering menyerang masyarakat desa yang berada kaki Gunung Batur tersebut. Skabies juga telah menjangkiti sekitar 100 anak bertempat tinggal di kawasan Banjar Blandingan dan Bukit Sari Desa Songan Kintamani Bangli. Penyakit skabies ini pula adalah tergolong penyakit endemis di daerah Songan di setiap musim dingin. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi daerah lain di Kabupaten Bangli yang menunjukkan prevalensi skabies yang rendah. Fenomena tersebut tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi yang berpengaruh pada tingginya prevalensi skabies di Desa Songan. Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa terdapat beberapa faktor risiko yang terlibat pada kejadian skabies. Faktor-faktor risiko yang dimaksud adalah personal hygiene,7 tingkat pengetahuan,12 status gizi,8 dan lain sebagainya. Namun hingga kini, penelitian yang mengenai faktor risiko skabies sangatlah minim khususnya di desa Songan. Padahal angka kejadian skabies pada anak-anak di Desa Songan cukup tinggi.

Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti mengenai faktor-faktor risiko kejadian skabies di Desa Songan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini tergolong suatu penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang, yaitu cara pendekatan observasi atau pengukuran variabel yang dilakukan pada satu saat tertentu.

Sampel penelitian adalah siswa kelas 5 dan 6 SD Negeri yang berada di kawasan Desa Songan yang bersedia mengikuti penelitian dan orang    tua siswa tersebut setuju untuk

berpartipasi dalam    penelitian.    Melalui

perhitungan didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 97 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara cluster random sampling dengan sampel sebesar 178 orang.

Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan software komputer. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Kemudian data dianalisis dengan uji chi-square HASIL

Sebanyak 178 data subyek dianalisis dalam penelitian ini. Subyek penelitian sebanyak 50,56% adalah perempuan dan rentang umur seluruh subyek penelitian 11,89±0,82 tahun. Sebagian besar subyek penelitian memiliki personal hygiene yang buruk (50,26%), status gizi yang buruk (84,83%), status ekonomi rendah (77%), tingkat pengetahuan orang tua yang rendah terhadap skabies (87,64%), dan sanitasi rumah yang buruk (54,50%). Seluruh responden dalam penelitian ini berada pada lingkungan dengan sanitasi sekolah yang buruk. Berdasarkan hasil wawancara, seluruh responden mengoleskan obat permectin hanya pada area lesi. Kemungkinan hal ini menjadi sebab masih adanya kasus skabies berulang setelah mendapatkan pengobatan. Karakterisik pada subjek penelitian ini tampak pada Tabel 1.

ISSN: 2303-1395

I--∖Z-> A   I DIRECTORY OF

OPEN ACCESS

IJOURNALS

E-JURNAL MEDIKA, VOL. 8 NO.6 JUNI, 2019

≤Γ* sTrnt≡L

Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian

Variabel

n (%)       Rerata + SB        P

Umur

Jenis Kelamin

178 (100)        11,89±0,82         0,000

Laki-laki

88 (49,44)

Perempuan

Status Gizi

90 (50,56)

Underweight

Normal-obesitas

151 (84,83)

27 (15,17)

Tinggi Badan Berat Badan Personal Hygiene

Baik

178 (100)       138,69±7,66        0,855

178 (100)        32,66±6,76         0,001

31 (39,74)

Buruk

Status Gizi

147 (50,26)

Underweight

Normal-obesitas

Status Ekonomi

151 (84,83)

27 (15,17)

Tinggi

Rendah

Tingkat Pengetahuan Orang Tua

Rendah

41 (23,00)

137 (77,00)

156 (87,64)

Sedang-tinggi

22 (12,36)

Sanitasi Sekolah

Baik

0 (0)

Buruk

Pemakaian obat

178 (100)

Tepat

Tidak tepat

0 (0)

178 (100)

Keterangan : tanda * menunjukkan data tersebut berdistribusi normal dengan SB (Simpang Baku)

Hasil penelitian ini menunjukkan        personal hygiene bernilai signifikan terhadap

bahwa kasus skabies pada anak-anak SD di        prevalensi skabies. Faktor lain seperti faktor

Desa Songan sebesar 42 (23,6%). Berdasarkan        status gizi, status ekonomi, tingkat pengetahuan

hasil analisis uji bivariat antara faktor-faktor        orang tua, dan sanitasi rumah dengan kejadian

yang terkait dengan prevalensi skabies pada        skabies di Desa Songan hanya bermakna secara

siswa sekolah dasar di kawasan Desa Songan        klinis tapi tidak bermakna secara statistik.

dapat dilihat pada Tabel 2. Jenis kelamin dan

Tabel 2. Hasil Uji Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Skabies

Variabel

Kejadian Skabies

P

Ya (n=42)

Tidak (n=136)

Jenis Kelamin

Laki-laki, n (%)

29 (69%)

59 (43,4%)

0,004

Perempuan, n (%)

13 (31%)

77 (56,6%)

Personal Hygiene

Baik

3 (7,14%)

28 (20,59%)

0,001

Buruk

39 (92,6%)

108 (79,41%)

Status Gizi

Underweight

36 (85,7%)

115 (84,6%)

0,855

Normal-obese

6 (14,3%)

21 (15,4%)

Status Ekonomi

Tinggi

10 (21,4%)

31 (23,5%)

0,777

Rendah

32 (78,6%)

35 (76,5%)

Tingkat Pengetahuan Orang Tua

Rendah

36 (85,7%)

120 (88,2%)

0,664

Sedang-tinggi

6 (14,3%)

16 (11,8%)

Keterangan : analisis data bernilai signifikan dengan tingkat kemaknaan p < 0,05

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


PEMBAHASAN

Kejadian skabies di Desa Songan tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Bangli dimungkinkan karena daerah Desa Songan berada di daerah terpencil yang padat hunian dengan ikatan kekeluargaan yang masih kuat. Kondisi ini memperkuat kontak langsung antar masyarakat yang tentunya memudahkan penularan penyakit skabies.

Penderita skabies di Desa Songan mayoritas anak laki-laki dimungkinkan karena ada kecenderungan anak laki-laki memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Mereka juga lebih mendapatkan kebebasan untuk menginap di rumah orang lain apalagi dengan hubungan kekeluargaan di Desa Songan masih sangat kental. Hal tersebut tentunya mempebesar peluang anak laki-laki kontak langsung dengan penderita skabies. Selain itu, anak perempuan lebih baik dalam

merawat diri dan menjaga penampilan. Sedangkan laki-laki lebih cenderung tidak menjaga penampilan dan menjaga kebersihan diri.20

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa faktor berpengaruh terhadap kejadian skabies di Desa Songan yaitu jenis kelamin (p=0,004) dan personal hygiene (p=0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Kairo yang juga menyatakan bahwa faktor jenis kelamin laki-laki dan personal hygiene yang buruk bernilai signifikan terhadap kejadian skabies pada anak SD di Kairo.15 Penelitian Amro di West Bank, Palestina juga mendapatkan hasil bahwa kejadian skabies di daerah terssebut lebih tinggi secara signifikan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dalam rentang umur 11-20 tahun (p < 0,01).16

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


Penelitian di suatu pesantren di Jakarta Timur menunjukkan santri yang berjenis kelamin laki-laki (57,4%) lebih banyak mengalami skabies dibanding dengan santri yang berjenis kelamin perempuan (42,9%). Terdapat perbedaan bermakna pada prevalensi skabies berdasarkan jenis kelamin (chi square, p=0,048) yang menunjukkan prevalensi skabies berhubungan dengan jenis kelamin.17 Penelitian yang dilakukan di di pondok pesantren di daerah Medan dan Padang, juga memperoleh hasil bahwa mayoritas santri yang terinfeksi skabies adalah laki-laki.18,19

Suatu studi global meta-analysis dibutuhkan untuk menilai peran jenis kelamin pada prevalensi skabies di dunia karena ditemukan perbedaan hasil terkait jenis kelamin pada beberapa hasil studi di beberapa negara. Penelitian yang dilakukan di Israel dan UK, kejadian skabies lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan.21 Melalui studi global meta-analysis, diharapkan dapat mengetahui pengaruh faktor ras dan faktor kehidupan sosial di masing-masing negara terhadap perbedaan dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan kejadian skabies pada anak-anak SD di Desa Songan sangat dipengaruhi oleh faktor personal hygiene yang buruk. Penelitian Nazari menunjukkan hasil yang serupa dengan penelitian. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian skabies lebih banyak terjadi pada responden dengan personal hygiene yang buruk (54,2%) dan bernilai signifikan terhadap kejadian skabies (p=0,000).22

Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati pada tahun 2011 juga mendapatkan bahwa responden yang memiliki personal hygiene yang baik 5,96 kali tidak terkena skabies dibandingkan dengan responden yang memiliki personal hygiene yang buruk.23 Hal ini dimungkinkan karena personal hygiene yang buruk menjadi media tungau Sarcoptes scabiei untuk bergerak ke tempat lain yang menyebabkan terjadinya penularan. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa frekuensi tertinggi infeksi tungau Sarcoptes scabiei terjadi pada hunian yang padat dan personal hygiene yang buruk.14,24

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penderita skabies di Desa Songan lebih banyak terjadi pada anak-anak dengan status gizi buruk, status ekonomi yang rendah, tingkat pengetahuan anak dan orang tua yang rendah, serta sanitasi rumah yang buruk. Faktor-faktor tersebut saling berpengaruh satu sama lain. Seseorang dengan keterbatasan ekonomi sulit

untuk untuk mengonsumsi makanan yang cukup gizi. Status gizi yang kurang baik (underweight) akan menurunkan sistem kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit. Status ekonomi seseorang juga dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena dengan kondisi ekonomi yang rendah sulit untuk dapat mengeyam pendidikan yang tinggi sehingga tingkat pengetahuan terhadap sesuatu sangatlah minim. Pengetahuan yang rendah dalam    pencegahan     suatu    penyakit

memungkinkan seseorang untuk lebih mudah terpapar suatu penyakit.

Berdasarkan uji stastisik, faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh signifikan secara statistik. Hal ini dimungkinkan terjadi karena keterbasan kontrol dalam mengontrol responden dalam mengisi kuesioner. Oleh karena itu, masih terdapat peluang faktor-faktor tersebut berpengaruh secara klinis sehingga faktor-faktor tersebut tetap perlu disoroti dalam kasus skabies di Desa Songan.

Desa Songan sendiri sejatinya kaya dengan sumber daya alam sulfur yang berpontensi dalam pengobatan skabies yang bisa didapatkan dengan sangat mudah dan cuma-cuma oleh masyarakat. Namun sumber daya alam yang berupa sulfur ini belum digunakan secara optimal oleh masyarakat dalam pengobatan skabies. Hal dimungkinkan karena pengetahuan masyarakat masih sangat minim terhadap penggunaan pengobatan skabies dengan sulfur yang tepat. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan kepada masyarakat mengenai potensi alam sulfur dalam pengobatan skabies dan penggunaannya secara benar. Dengan demikian diharapkan, kejadian skabies di Desa Songan dapat diatasi dengan sumber daya alam sulfur yang telah dimiliki sendiri oleh Desa Songan.

SIMPULAN

Berdasarkan      hasil      penelitian

didapatkan bahwa terdapat faktor jenis kelamin dan personal hygiene  berpengaruh secara

signifikan terhadap kejadian skabies di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Provinsi Bali. Akan tetapi, faktor status gizi, status ekonomi, sanitasi lingkungan, dan tingkat pengetahuan orang tua tidak berpengaruh secara statistik. DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Golant AK, Levitt JO. Scabies: a review of diagnosis and management based on mite biology. Pediatr Rev. 2012; 33:e1-e12.

  • 2.    Gilmore SJ. Control strategies for endemic childhood scabies. PloS One .  2011;

6:e15990.

  • 3.    Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, Vincent SL, Waqatakirewa L, dkk.

    DOAJ


    DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


High burden of impetigo and scabies in a        15.

tropical country. PLoS Negl Trop Dis;

2009; 3:e467.

  • 4.    Baker F. Scabies management. Paediatr Child Health. 2010;6:775-7.

  • 5.    Shelley FW, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease in human and animal populations. CMR. 2007; 268-79.                                     16.

  • 6.    Hengge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous neglected skin disease. Lancet Infect Dis. 2006; 6:769-79.

  • 7.    Baur B., Sarkar J.,Manna N.,  &        17.

Bandyopadhyay L. The Pattern of Dermatological Disorders among Patients Attending the Skin O.P.D of A Tertiary

Care Hospital in Kolkata, India. Journal of Dental and Medical Sciences . 2013; 3: 16.

  • 8.    Onayemi O., Isezuo S.A. & Njoku C.H. Prevalence of different skin conditions in an outpatients’ setting in north-western Nigeria. International Journal of Dermatology. 2005; 44: 7–11.

  • 9.    Ma’rufi I, Keman S, & Notobroto HB.        18.

Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit skabies studi pada santri di pondok pesantren kabupaten Lamongan. Jurnal kesehatan lingkungan .

2005; 2: 11 – 18.

  • 10.    Cordoro K.M., & Iston D.M. Scabies.        19.

Dalam Hogan D et 1. al., penyunting.

eMedicine World Medical Library [Online]. 2012. [diakses 27 Desember 2014].       Diunduh dari:    URL:

http:www.emedicine.com/derm/topic 382.htm

  • 11.    Heukelbach J, & Feldmeier H. Scabies.

Lancet. 2006; 367: 1767-1774.                   20.

  • 12.    Raza N,. Qadir S. N. R., Agna H. Risk faktor for scabies among male soldier in Pakistan:  case-control study. Eastern

Mediterranean Health Journal. 2009; 15: 16.                                                        21.

  • 13.    Zayyid M, Saadah S, Adil AR, Rohela, Jamaiah M. Prevalence of scabies and head lice among children in a welfare home in Pulau Pinang, Malaysia. Tropical        22.

Biomedicine. 2010; 27:442–6

  • 14.    World Health Organization. Epidemiology and management of common skin diseases in children in developing countries. Geneva, Switzerland:   World Health

Organization. [Online] 2005 .[Accessed 15 Oktober 2015]. Diunduh dari: URL:        23.

http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_F

CH_CAH_05.12_eng.pdf

El-Moselhy, Essam, A., Hassan, Hassan, M., Abdelhady, Ayman, S., Abdel-Wahed, Alaa, Mohammed, Abd-Elnaser, S. Risk Factors and Effects of Infestation with Pediculosis Capitis and Scabies among Primary School Students in Cairo, Egypt. Egyptian Journal of Hospital Medicine. 2015, Vol. 59, p191-207. 17p.

Amro, A., & Hamarsheh, O. Epidemiology of scabies in The West Bank, Palestinian Territories (Occupied). International Journal of Infectious Diseases. 2012; 16 (2012) e117–e120.

Ratnasari, A.F & Sungkar, S. Prevalensi Skabies dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur. [Online] 2014 [diakses 18 Oktober 2015]. Vol. 2, No. 1, April 2014. Diunduh dari:                              URL:

http://download.portalgaruda.org/article.ph p?article=160667&val=5027&title=Preval ensi%20Skabies%20dan%20Faktor-faktor%20yang%20Berhubungan%20%20 di%20Pesantren%20X,%20Jakarta%20Ti mur

Andayani, Lita Sri. Perilaku Santri Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Skabies di Pondok Pesantren Ulumu Qur’an stabat [skripsi]. Medan:  Fakultas Kesehatan

Masyarakat: Universitas Sumatera Utara; 2005.

Akmal C., Semiarty R., Gayatri. Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah Padang Tahun 2013.Jurnal Kesehatan Andalas [Online] 2013 [diakses 20 Oktober 2015]; 2(3). Diunduh dari:

URL: http://jurnal.fk.unand.ac.id

Muin. Hubungan Umur, Pendidikan, Jenis Kelamin dan Kepadatan Hunian Ruang tidur Terhadap Kejadian Skabies [skripsi]. Surakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah; 2009.

Pannell, R.S., D.M. Fleming and K.W. Cross. The incidence of Molluscum contagiosum, scabies and lichen planus. Epidemiol. Infect. 2005;133(6): 985-991.

Nazari, M. & Azizi, A. Epidemiological Pattern of Scabies and Its Social Determinant Factors in West of Iran. Health [Online] 2014 [diakses 20 Oktober 2015]; 6, 1972-1977. Diunduh dari: URL: http://dx.doi.org/10.4236/health.2014.6152 31

Ria & Darwis. Kejadian Skabies pada Anak Usia Sekolah. Journal of Pediatric Nursing. 2014; 1(3), pp. 137-142.


DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


24. Edison, L., Beaudoin, A., Goh, L., Introcaso, C.E., Martin, D., Dubray, C., Marrone, J., Beneden, C.V. 2015. Scabies and Bacterial Superinfection among

American Samoan Children. PLOS ONE 2011-2012,

10.1371/journal.pone.0139336.