TATALAKSANA INFEKSI HIV DALAM KEHAMILAN

Clara Marcaelia Valerian, Ketut Putera Kemara, I Wayan Megadhana

Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus RNA yang dapat menyebabkan penyakit klinis, yaitu Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Transmisi dari ibu ke anak merupakan sumber utama penularan infeksi HIV pada anak dengan frekuensi mencapai 25-30%. Hal ini terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal, sekresi saluran genital yang terinfeksi dan ASI. Kombinasi terapi ARV yang tepat dan persalinan dengan elektif seksio caesarean terbukti dapat menurunkan prevalensi transmisi infeksi HIV dari ibu ke anak dan mencegah komplikasi obstetrik secara signifikan. Konseling dan follow up dengan dokter spesialis dari awal kehamilan sampai persalinan juga sangat dianjurkan.

Kata kunci: infeksi HIV, kehamilan

THE MANAGEMENT OF HIV INFECTION IN PREGNANCY

Clara Marcaelia Valerian, Ketut Putera Kemara, I Wayan Megadhana

Department of Obstetrics and Gynecology, Medical School, Udayana University/Sanglah Hospital Denpasar

ABSTRACT

The Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a RNA retrovirus which causes the clinical disease termed the acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Mother-to-child transmission is the main source of spreading HIV infection to the child with frequency is as high as 25-30%. This may occurred because of the intrapartum maternal blood exposure, infected genital tract secretions and during breastfeeding. The right combination of ARV treatment and elective section caesarean delivery has been proved to reduce the mother-to-child transmission of HIV infection prevalence and preventing obstetric complications significantly. Consultation and follow up with specialists is highly recommended.

Keywords: HIV, pregnancy

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus RNA yang dapat menyebabkan penyakit klinis, yang kita kenal sebagai Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).1 Transmisi dari ibu ke anak merupakan sumber utama penularan infeksi HIV pada anak. Peningkatan transmisi dapat diukur dari status klinis, imunologis dan virologis maternal. Menurut beberapa penelitian, kehamilan dapat meningkatkan progresi imunosupresi dan penyakit maternal. Ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat meningkatkan resiko komplikasi pada kehamilan.1,2,3,4

Pada tahun 2001, United Nations General Assembly Special Session untuk HIV/AIDS berkomitmen untuk menurunkan 50% proporsi infeksi HIV pada bayi dan anak pada tahun 2010. Program tersebut termasuk intervensi yang berfokus pada pencegahan primer infeksi HIV pada wanita dan pasangannya, pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita infeksi HIV, pencegahan transmisi dari ibu ke anak, pengobatan, perawatan serta bantuan bagi wanita yang hidup dengan HIV/AIDS, anak dan keluarga mereka. Oleh karena itu, untuk memberantas transmisi vertical HIV yang terus meningkat diperlukan penatalaksanaan yang tepat pada ibu dan bayi selama 3 masa antepartum, intrapartum dan postpartum.

TEORI DAN KONSEP TENTANG TATALAKSANA INFEKSI HIV DALAM

KEHAMILAN

Epidemiologi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, lebih dari 15,7 juta wanita dan 2,1 juta anak dibawah umur 15 tahun hidup dengan AIDS.5 Di Amerika Serikat sendiri, tercatat 71% terinfeksi HIV terjadi pada wanita berumur 25 sampai 44 tahun dan 20% dari kasus tersebut mengidentifikasi

wanita berkulit hitam. Sebanyak 80% kasus disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi jarum suntik dan sisanya melalui transfusi darah dan transmisi perinatal.2,4,6

HIV tipe 1 lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan HIV tipe 2 merupakan virus endemik di Afrika, Portugal dan Perancis. Meskipun demikian, kedua jenis virus ini akan berkembang menjadi AIDS dan menyebabkan kematian.1,2,6

Virologi dan Patogenesis

HIV adalah jenis virus RNA rantai tunggal dari keluarga lentivirus. Karakteristik dari virus ini adalah panjangnya periode inkubasi yang diikuti dengan panjangnya durasi penyakit. HIV tipe1 lebih kuat, mematikan dan mudah bertransmisi daripada HIV tipe2.

HIV masuk ke dalam makrofag dan sel T CD4+ melalui glikoprotein pada permukaan sel menuju reseptor pada sel target. Keadaan ini diikuti oleh penggabungan viral envelope dengan membran sel dan pelepasan capsid HIV ke sel. Virus ini menggunakan virally-encoded enzyme reverse transcriptase untuk membentuk salinan DNA yang akan disisipkan ke dalam DNA sel host dan direkam, menyebabkan lepasnya virus baru dan penghancuran limfosit CD4. Proses reverse transcription ini mudah tejadi kesalahan, mutasi dapat terjadi dan mengarah pada resistensi obat.

HIV mempunyai kemampuan khusus untuk menginfeksi sel imun dan menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ melalui 3 mekanisme yaitu (1) membunuh virus langsung dari sel yang terinfeksi, (2) meningkatkan apoptosis sel yang terinfeksi, dan (3) membunuh sel T CD4+ oleh limfosit CD8 sitotoksik. Apabila sel T CD4+ berada dibawah level kritis, tubuh lebih mudah terserang penyakit oportunistik, mengarah ke diagnosis AIDS.6

Manifestasi Klinis

Infeksi HIV dibagi menjadi 4 fase. Fase awal atau masa inkubasi terjadi 2-4 minggu pertama setelah terinfeksi, tidak ada gejala yang terjadi. Beberapa minggu kemudian, pasien masuk ke fase infeksi akut yang ditandai oleh gejala mirip flu, termasuk fatigue, demam, sakit kepala, limfadenopati. Karakteristik dari fase ini adalah viral load tinggi, berlangsung selama 28 hari sampai beberapa minggu. Fase ini diikuti oleh fase laten panjang yaitu 5 sampai 10 tahun, gejala hampir tidak ada tetapi virus tetap aktif berkembang dan menghancurkan sistem imun tubuh. Seiring dengan menurunnya jumlah CD4, penurunan imun juga terjadi dan AIDS terdiagnosis saat CD4 <200/ml. Pasien akan menghadapi ancaman hidup dari infeksi oportunistik, seperti Pneumocystis Carinii pneumonia (PCP), Micobacterium avium complex (MAC), tuberkulosis pulmonari, toksoplasmosis, kandidiasis, dan infeksi cytomegalovirus (CMV) atau keganasan seperti sarkoma Kaposi dan limfoma non-Hodgkin.1,2,4,6

Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh transmisi perinatal. Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen. Beberapa penelitian melaporkan tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal seperti pada kasus episiotomi, laserasi vagina atau persalinan dengan forsep, sekresi genital yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan infeksi HIV mencapai 25-30%.2,3 Faktor lain yang meningkatkan resiko transmisi ini, antara lain jenis HIV tipe 1, riwayat anak sebelumnya dengan infeksi HIV, ibu dengan AIDS, lahir prematur, jumlah CD4 maternal rendah, viral load maternal tinggi, anak pertama lahir kembar, korioamnionitis, persalinan pervaginam dan pasien HIV dengan koinfeksi.2,4

Interpretasi kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi HIV adalah karier asimptomatik1 dan mempunyai kondisi yang memingkinkan untuk

memperburuk kehamilannya. Kondisi tersebut termasuk ketergantungan obat, nutrisi buruk, akses terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan adanya penyakit menular seksual. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi lahir prematur, premature rupture of membran (PROM), berat bayi lahir rendah, anemia, restriksi pertumbuhan intrauterus, kematian perinatal dan endometritis pospartum.1,2

Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV dapat dikonfirmasi melalui kultur virus langsung dari limfosit dan monosit darah tepi. Diagnosis juga dapat ditentukan oleh deteksi antigen virus dengan polymerase chain reaction (PCR). Terlihat penurunan jumlah CD4, ratio CD4 dan CD8 terbalik dan level serum imunoglobulin meningkat pada HIV positif. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan tes skrining HIV yang paling sering digunakan unruk mengidentifikasi antibodi spesifik virus, baik HIV tipe 1 maupun HIV tipe 2. Tes ini harus dikonfirmasi dengan Western blot assay atau immunoflourescent antibody assay (IFA), untuk mendeteksi antigen spesifik virus yaitu p24, gp120/160 dan gp41.1,2,4,6

American Congress of Obstetrics and Gynecology (ACOG) merekomendasikan wanita berumur 19-64 tahun untuk melakukan skrining HIV secara rutin, khususnya wanita yang beresiko tinggi diluar umur tersebut.6 Pada kunjungan prenatal pertama, ibu hamil harus melakukan skrining untuk infeksi HIV. 1,4,6 Apabila ibu menolak untuk melakukan tes, hal tersebut harus dicantumkan kedalam rekam medisnya dan skrining bisa dilakukan lagi sebelum umur kehamilan 28 minggu. Apabila hasil tes negatif tetapi dokter memutuskan bahwa ibu adalah resiko tinggi terinfeksi HIV, tes bisa diulang kembali pada trimester ketiga.4,6,7

Skrining untuk penyakit seksual lainnya, seperti herpes dan sifilis, juga dianjurkan pada kehamilan. Pemeriksaan dengan spekulum vagina dikerjakan untuk mendapatkan hapusan sitologi servikal dan assays untuk gonore dan klamidia. Skrining ini juga bisa dipakai untuk rubela, hepatitis B dan C, varisella zoster, measles, CMV dan toksoplasmosis. Apabila tes tuberkulin kulit positif, torak foto sebaiknya dikerjakan setelah umur kehamilan >12minggu untuk mengidentifikasi penyakit paru aktif. Ibu hamil dengan HIV positif harus mendapat vaksin hepatitis A, hepatitis B, Pneumovax, untuk mencegah infeksi pneumokokal dan virus influenza, termasuk vaksin H1N1.1,2,6,7

Selama kehamilan, status viral load (HIV RNA-PCR) harus diperiksa setiap bulan sampai virus tidak terdeteksi, dan dilanjutkan 3 bulan sekali setelahnya. Pengobatan yang tepat dapat menurunkan viral load sebanyak 1 sampai 2 log dalam bulan pertama dan menghilang setelah 6 bulan pengobatan. Evaluasi jumlah CD4 juga sangat diperlukan untuk mengetahui derajat imunodefisiensi, perencanaan terapi ARV, terapi antibiotik profilaksis dan metode persalinan yang akan dilakukan.2,4,5

Tata Laksana Prenatal

Sebelum konsepsi, wanita yang terinfeksi sebaiknya melakukan konseling dengan dokter spesialis. Program ini membantu pasien dalam menentukan terapi yang optimal dan penanganan obstetrik, seperti toksisitas ARV yang mungkin terjadi, diagnosis prenatal untuk kelainan kongenital (malformasi atau kelainan kromosomal) dan menentukan cara persalinan yang boleh dilakukan.7,8 Wanita yang terinfeksi disarankan untuk melakukan servikal sitologi rutin, menggunakan kondom saat berhubungan seksual, atau menunggu konsepsi sampai plasma viremia telah ditekan. Profilaksis terhadap PCP tidak diperlukan, tetapi infeksi oportunistik yang terjadi harus tetap diobati.7 Status awal yang harus dinilai pada ibu hamil dengan infeksi HIV adalah

riwayat penyakit HIV berdasarkan status klinis, imunologis (jumlah CD4 <400/ml) dan virologis (viral load tinggi).4,6 Riwayat pengobatan, operasi, sosial, ginekologi dan obstetrik sebelumnya harus dilakukan pada kunjungan prenatal pertama. Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk membedakan proses penyakit HIV dengan perubahan fisik normal pada kehamilan.6

Intervensi untuk Mencegah Progresifitas Penyakit Pada Ibu Hamil. Highly active anti-retroviral therapy (HAART) adalah kemoterapi antivirus yang disarankan oleh WHO untuk ibu hamil sebagai pengobatan utama HIV selama masa kehamilan dan postpartum. Selain memperbaiki kondisi maternal, HAART terbukti dapat mencegah transmisi perinatal yaitu dengan mengurangi replikasi virus dan menurunkan jumlah viral load maternal.2,3,4,5,6,8

Obat pilihan pertama yang boleh digunakan untuk ibu hamil adalah lamivudine (3TC) 150 mg dan zidovudine (ZDV) 250 mg untuk golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), nevirapine (NVP) 200 mg untuk golongan non-NRTIs (NNRTIs), indinavir 800 mg dan nelfinavir 750 mg untuk golongan protease inhibitors (PI).2 Obat-obatan ini terbukti memiliki potensi teratogenik dan efek samping maternal yang sanagt minimal. Sasaran terapi ARV pada kehamilan adalah untuk menjaga viral load dibawah 1000 kopi/ml. Kombinasi terapi ARV dianjurkan untuk semua kasus yaitu 2 NRTIs/NNRTIs dengan 1 PI.3,5 Berhubung ZDV merupakan satu-satunya obat yang menunjukkan penurunan transmisi perinatal, obat ini harus digunakan kapan saja memungkinkan sebagai bagian dari HAART. Apabila viral load <10,000 kopi/mL, monoterapi ZDV 250 mg dapat diberikan secara oral 2x sehari, dimulai antara umur kehamilan 20 sampai 28 minggu. Jika wanita yang terinfeksi HIV ditemukan pada proses kelahiran, baik dengan status HIV positif sebelumnya atau dengan hasil rapid

test, lebih dari satu pilihan pengobatan tersedia, tetapi semua harus termasuk infus ZDV.3,4,6,9

Ibu hamil yang terinfeksi HIV dan tidak pernah mendapatkan terapi ARV, HAART harus dimulai secepat mungkin, termasuk selama trimester pertama. Pada kasus dimana ibu hamil yang sebelumnya mengkonsumsi HAART untuk kesehatannya sendiri, harus melakukan konseling mengenai pemilihan obat yang tepat. Efek samping obat terlihat meningkat pada ibu hamil dengan jumlah sel T CD4+ <250/mL. Misalnya pada ibu dengan CD4 <200/ml yang sebelumnya mendapat pengobat single dose NVP, ritonavir-boosted lapinavir ditambah tenofovir-emtricitabine, diganti dengan NVP ditambah tenofovir-emtricitabine sebagai terapi awal. Oleh karena itu, NVP sebaiknya bukan single dose karena berpotensi menimbulkan hepatotoksik yang fatal pada ibu hamil.6 Ibu hamil juga membutuhkan antibiotik profilaksis terhadap infeksi oportunistik yang dideritanya. Apabila CD4 <200/ml, profilaksis pilihan untuk PCP adalah Trimetrophine/sulfamethoxazole (TMX/SMX). Pada trimester pertama, sebaiknya obat ini diganti dengan pentamidine aerosol karena obat berpotensi teratogenik. TMX/SMX juga digunakan untuk mencegah toksoplasmik ensefalitis dan diberikan saat level CD4 <100/ml. Azithromycin menggantikan clarithromycin sebagai profilaksis MAC. Dosis seminggu sekali jika jumlah CD4 <50/ml. Wanita yang sebelumnya mengkonsumsi obat-obatan tersebut sebelum hamil sebaiknya tidak menghentikan pengobatannya.1,2,3,6,7

Intervensi untuk Mencegah Transmisi Perinatal (PMTCT). Selain terapi ARV dan profilaksis, pemilihan susu formula dibandingkan ASI terbukti dapat menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak dari 15-25% sampai kurang dari 2%. Persalinan dengan elektif seksio sesaria ternyata juga dapat menurunkan transmisi perinatal. Persalinan ini

dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin terhadapa darah maternal, akibat pecahnya selaput plasenta dan sekresi maternal, saat janin melewati jalan lahir. Indikasi persalinan dengan elktif seksio sesaria adalah wanita tanpa pengobatan antiviral, wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load >50kopi/mL, wanita yang hanya mengkonsumsi monoterapi ZDV, wanita dengan HIV positif dan koinfeksi virus hepatitis, termasuk HBV dan HCV.2,4,5,6,7,9

HIV dengan koinfeksi dapat meningkatkan resiko transmisi HBV dan HCV para perinatal. Oleh sebab itu, kombinasi 3 obat antivirus sangat direkomendasikan tanpa memperdulikan level viral load. Misalnya pada wanita dengan koinfeksi HBV/HIV, obat yang digunakan adalah kombinasi dual NRTI tenofovir dengan 3TC/emitricitabine. Pasien juga harus sadar akan gejala dan tanda dari toksisitas hati dan pemeriksaan transamninase dilakukan setiap 2-4minggu. Selain ibu, bayi juga harus menerima imunoglobulin hepatitis B dan memulai vaksinnya pada 12 jam pertama kelahiran. Seperti HIV, PROM juga dapat meningkatkan transmisi HCV pada perinatal. Persalinan dengan elektif seksio sesaria merupakan indikasi pada kasus ini. Bayi harus dievaluasi dengan tes HCV RNA pada umur 2 dan 6 tahun atau HCV antibodi setelah umur 15 bulan.

Tata Laksana Komplikasi Obstetrik. Wanita dengan HIV positif yang menjadi lemah mendadak pada masa kehamilannya, harus segera dievaluasi oleh tim multidisiplin (dokter obstetrik, pediatrik dan penyakit dalam) untuk mencegah kegagalan diagnostik. Komplikasi yang berhubungan dengan HIV sebaiknya dianggap sebagai penyebab dari penyakit akut pada ibu hamil dengan status HIV tidak diketahui. Pada keadaan ini, tes diagnostik HIV harus segera dikerjakan.

HAART dapat meningkatkan resiko lahir prematur. Oleh sebab itu, pemilihan dan penggunaan terapi ARV yang tepat berperan penting dalam hal ini. Wanita yang terancam lahir prematur baik dengan atau tanpa PROM harus melakukan skrining infeksi, khususnya infeksi genital sebelum persalinan. Bayi prematur <32 minggu tidak dapat mentoleransi medikasi oral, sehingga pemberian terapi ARV pada ibu sesudah dan saat persalinan akan memberikan profilaksis pada janinnya. Apabila bayi lahir prematur dengan PROM terjadi pada umur kehamilan >34 minggu, persalinan harus dipercepat. Augmentation dapat dipertimbangkan jika viral load <50 kopi/mL dan tidak ada kontraindikasi obstetrik. Pertimbangan tersebut termasuk pemberian antibiotik intravena spektrum luas, jika pasien terbukti ada infeksi genital atau korioamnionitis. Lain halnya pada umur kehamilan <34 minggu, penatalaksanaannya sama tetapi obat antibiotik oral yang diberikan adalah eritromisin.7 Semua ibu hamil, baik yang terinfeksi HIV maupun tidak sangat memungkinkan untuk menderita anemia. Untuk itu pemeriksaan darah lengkap wajib dikerjakan.6

Tata Laksana Persalinan.

Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan.4,5,7 Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Infus ZDV diberikan secara intravena selama persalinan elektif seksio sesaria dengan dosis 2 mg/kg selama 1 jam, diikuti dengan 1 mg/kg sepanjang proses kelahiran. Pada persalinan ini, infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya dan dilanjutkan sampai tali pusar

sudar terjepit. National Guidelines menyarankan pemberian antibiotik peripartum pada

saat persalinan untuk mencegah terjadinya infeksi.3,4,6,7,9

Ruangan operasi juga harus dibuat senyaman mungkin untuk mencegah PROM sampai kepala dilahirkan melalui operasi insisi. Kelompok meta-analisis Internasional Perinatal HIV, menemukan bahwa resiko transmisi vertikal meningkat 2% setiap penambahan 1 jam durasi PROM. Jika persalinan sesaria dikerjakan setelah terjadi PROM, keuntungan operasi jelas tidak ada. Pada kasus ini, pemilihan jalan lahir harus disesuaikan secara individu. Oleh karena itu, usahakan agar membran tetap intak selama mungkin.6,7 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ACOG pada tahun 2000, pasien HAART dengan viral load >1000 kopi/mL, harus konseling berkenaan dengan keuntungan yang didapat dari persalinan dengan elektif seksio sesaria dalam menurunkan resiko transmisi vertikal pada perinatal.

Persalinan pervaginama yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Jika pasien ini tidak ingin melakukan persalinan lewat vagina, seksio sesaria harus dijadwalkan pada umur kehamilan 39+ minggu, untuk meminimalkan resiko transient tachypnea of the newborn (TTN).7 Prosedur invasif seperti pengambilan sampel darah fetal dan penggunaan eletrode kulit kepala fetal merupakan kontraindikasi.2,7 Pada persalinan pervaginam, amniotomi harus dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah lebih disarankan untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil.6,7

Tata Laksana Posnatal

Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasi

penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit CD4 diatas 200 dan 400. Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan seksual.1,2,4,6,7

Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV.2,3,5 Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi. Menurut penelitian yang dilakukan di Eropa, semua wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk mengkonsumsi kabergolin 1 mg oral dalam 24 jam setelah melahirkan, untuk menekan laktasi.7

Tata Laksana Neonatus

Semua bayi harus diterapi dengan ARV <4jam setelah lahir. Kebanyakan bati diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten terhadap ZDV, obat alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV positif tanpa indikasi terapi ARV. Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV, seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati atau ibu dengan plasma viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama.3,5,7

Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib dilakukan. Tes IgA dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR merupakan serangkaian tes yang harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6 minggu dan 12 minggu. Jika semua tes ini negatif dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat

menyatakan bahwa bayi mereka tidak terinfeksi HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan

lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.1,7

RINGKASAN

Di negara berkembang, lebih dari 10 juta wanita hamil hidup dengan HIV/AIDS. Sebanyak 80% kasus disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi jarum suntik dan sisanya melalui transfusi darah dan transmisi perinatal. Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan infeksi HIV mencapai 30%. Kasus tertinggi terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal, sekresi saluran genital yang terinfeksi dan ASI. ACOG merekomendasikan wanita berumur 19-64 tahun untuk melakukan skrining HIV secara rutin, khususnya wanita yang beresiko tinggi diluar umur tersebut. Kombinasi terapi ARV yang tepat dan pemilihan cara persalinan, yaitu persalinan dengan elektif seksio sesaria terbukti dapat menurunkan prevalensi transmisi HIV dari ibu ke anak dan mencegah komplikasi obstetrik secara signifikan. Konseling dan follow up dengan dokter spesialis dari awal kehamilan sampai persalinan juga sangat dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B. Human Immunodeficiency Virus. Dalam: High Risk Pregnancy: Management Options. Edisi ke-1. London: W. B. Saunders Company Ltd, 1994; h. 498-502.

  • 2.    Gabbe SG, Nielbyl JR, Simpson JL. Maternal and Perinatal Infection. Dalam: Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Edisi ke-4. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2002; h.1320-25.

  • 3.    Department of HIV/AIDS, Department of Reproductive Health and Research. Antiretroviral Drugs For Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants. Dalam: Guidelines on Care, Treatment and Support for Women Living With HIV/AIDS and Their Children in Resource-Constrained Settings. Geneva: WHO. 2004; h. 1-41.

  • 4.    Minkoff HL. Human Immunodeficiency Virus. Dalam: Creasy RK, Resnik R, Iams JD, penyunting. Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2004; h. 803-14.

  • 5.    Zorilla CD, Tamayo-Agrait V. Pharmacologic and Non-Pharmacologic Options for The Management of HIV Infection During Pregnancy. HIV/AIDS Research and Palliative Care in Review. 2009;1:41-53.

  • 6.    Marino T. HIV in Pregnancy. Emedicine, 2010.

  • 7.    Green-top Guideline No.39. Management of HIV in Pregnancy. Royal College of Obstetricians and Gynecologists. 2010; h. 1-28.

  • 8.    Coll O, Suy A, Hernandez S, Pisa S, Lonca M, Thorne C, Borrell A. Prenatal Diagnosis in HIV-Infected Women: A New Screening Program For Chromosomal Anomalies. American Journal of Obstetricians and Gynecologists. 2006;194:192-8.

  • 9.    Chasela CS, Hudgens MG, Jaimeson DJ, Kayira D, etc. Maternal or Infant Antiretroviral Drugs to Reduce HIV-1 Transmission. N Engl J Med. 2010;362:2271-81.

14