KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS YANG RAWAT JALAN DI POLI THT-KL RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2016
on
ISSN: 2303-1395 E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.12,Desember, 2018
I!--∖f—∖ Λ i DIRECTORY OF OPEN ACCESS I_V_V/ ∖-^J JOURNALS
KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS YANG RAWAT JALAN
DI POLI THT-KL RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2016
Putu Krisna Yama Dewi1, Eka Putra Setiawan2, Sari Wulan Dwi Sutanegara2 1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian/SMF Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar Email: [email protected]
ABSTRAK
Rinosinusitis kronis (RSK) merupakan suatu masalah kesehatan yang berakibat dalam beban biaya kesehatan yang besar untuk masyarakat. Rinosinusitis kronis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal. Angka kejadian RSK di Indonesia masih sangat tinggi, data yang diperoleh dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus paranasal berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis kronis yang rawat jalan di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Data yang diperoleh berupa data sekunder rekam medis pasien periode April – Desember 2016 yang dipilih secara total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 53 penderita. Data kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram pie, serta diagram batang dengan menggunakan program microsoft excel dan word. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 53 pasien, rata-rata berusia 41,2 ± 15,8 tahun dengan proporsi terbanyak yaitu rentangan usia 46-60 tahun sejumlah 20 penderita (37,7%). Jenis kelamin terbanyak laki-laki sejumlah 32 penderita (60,4%). Pekerjaan terbanyak yaitu pegawai swasta sejumlah 23 penderita (43,4%). Keluhan utama yang paling sering pada gejala mayor yaitu hidung tersumbat sebanyak 37 penderita (69,8%), sedangkan pada gejala minor yaitu sakit kepala sebanyak 13 penderita (24,5%). Penyakit penyerta terbanyak yaitu kelainan anatomi sejumlah 42 penderita (79,3%). Keterlibatan jumlah sinus terbanyak yaitu single rinosinusitis sejumlah 24 penderita (45,3%), serta sinus yang sering terkena yaitu sinus maksila sebanyak 48 penderita (90,6%).
Kata kunci: Karakteristik Penderita, Rinosinusitis Kronis, Rawat Jalan
ABSTRACT
Chronic rhinosinusitis (CRS) is one of the health problem which burden the community with a high health cost. Chronic rhinosinusitis is caused by the inflammation of the nasal mucosa and paranasal sinuses. The prevalence of CRS patients in Indonesia is still very high. Based on the data from Indonesia Government Health Department 2003 mentioned that nasal illness and paranasal sinuses are in the 25th from 50 main stages disease pattern or around 102,817 outpatients in the hospitals. The aim of this study is to find out the characteristics of chronic rhinosinusitis outpatients in ENT Clinic of Sanglah Hospital Denpasar in 2016. This is a retrospective descriptive research conducted at Central General Hospital Sanglah Denpasar. The data was taken from the medical record from April – December 2016 which is determined by the total sampling of 53 patients. The data is analyzed and presented in the form of tables, pie charts, and bar charts by using Microsoft Excel and Microsoft Word programs. The result showed that from 53 patient, the age average is 41.2 ± 15.8 years old, most of them are 46-60 years as many as 20 patients (37.7%). There are 32 male patients (60.4%) and 23 patients (43.4%) who works as an entrepreneur. The most common complaints in the major symptoms are nasal congestion is found in 37 patients (69.8%), while in the minor symptoms are headache is found in 13 patients (79.3%). The most comorbidities was anatomical abnormalities of 42 patients (79.3%). The highest number of sinus involvement were single rhinosinusitis is found in 24 patients (45.3%), and sinus maxilla is found in 48 patients (90.6%).
Keywords: patient’s characteristics, chronic rhinosinusitis, outpatients
PENDAHULUAN
Rinosinusitis merupakan suatu masalah kesehatan global yang signifikan, sebagai cermin dari peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam beban biaya kesehatan yang besar, penurunan kualitas hidup, produktivitas kerja, serta daya konsentrasi bekerja dan belajar untuk masyarakat. Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis adalah peradangan yang mengenai hidung dan sinus paranasal.l
Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention (CDC) untuk kejadian rinosinusitis pada orang dewasa di Amerika Serikat tahun 2014 mencapai 29,4 juta orang atau 12,3%, serta jumlah kunjungan ke dokter dengan diagnosis utama rinosinusitis kronis sebesar 11,7 juta orang pada tahun 2009. Pada rinosinusitis kronis, data terbaru menunjukkan bahwa penyakit ini mempengaruhi sekitar 5-15% dari populasi umum baik di Eropa dan di Amerika Serikat.l-3
Kejadian penyakit infeksi saluran napas akut di Indonesia masih menjadi penyakit utama pada masyarakat, dengan angka kejadian belum jelas dan belum banyak dilaporkan. Data penyakit hidung dan sinus berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.4,5 Angka kejadian rinosinusitis kronis baik di luar negeri maupun di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Namun, data di Indonesia mengenai karakteristik profil pasien rinosinusitis kronis khususnya di Bali belum banyak dilaporkan terutama yang menjalani rawat jalan. Maka dari itu, penulis tertarik mencari data mengenai karakteristik penderita rinosinusitis kronis yang rawat jalan di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini berupa jenis penelitian deskriptif retrospektif yang telah dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar. Kriteria inklusi yang digunakan yaitu data penderita yang memiliki diagnosis kerja rinosinusitis kronis yang rawat jalan di Poli THT-KL RSUP Sanglah pada periode April – Desember 2016. Kriteria eksklusi yang digunakan yaitu data penderita rinosinusitis kronis yang tidak memiliki data lengkap meliputi nama, jenis kelamin, usia, pekerjaan, keluhan utama datang ke rumah sakit, penyakit penyerta serta jumlah dan lokasi sinus yang terlibat.
Data yang diperoleh berupa data sekunder rekam medis pasien periode
April – Desember 2016 yang dipilih secara total sampling. Data yang dicari meliputi beberapa komponen yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, keluhan utama, penyakit penyerta, jumlah dan lokasi sinus yang terlibat. Data kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram pie, serta diagram batang dengan menggunakan program microsoft excel dan word.
HASIL
Hasil penelitian terdapat 180 data rekam medis penderita rinosinusitis kronis (RSK) yang rawat jalan di Poli THT-KL RSUP Sanglah terdaftar periode April – Desember 2016. Dari 180 data tersebut, hanya 92 data rekam medis yang tersedia di ruang rekam medis dan terdapat 53 data yang sesuai dengan kriteria inklusi.
Pada Tabel 1. Menggambarkan karakteristik sosiodemografi sampel. Rata-rata usia penderita tergolong usia produktif yaitu 41,2 tahun. Usia terbanyak pada rentangan 46-60 tahun sejumlah 20 penderita (37,7%). Bila ditinjau berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak mengalami RSK (60,4%) dibandingkan perempuan (39,6%). Dari segi pekerjaan, sejumlah 23 (43,4%) penderita RSK merupakan pegawai swasta, sementara status pekerjaan
terendah yang mengalami RSK yaitu petani sebanyak 1 orang (1,9%).
Tabel 1. Distribusi Penderita Rinosinusitis
Karakteristik |
Jumlah (%) |
Usia (Rerata ± SB) |
41,2 ± 15,8 |
<15 tahun |
4 (7,6) |
16-30 tahun |
10 (18,8) |
31-45 tahun |
14 (26.4) |
46-60 tahun |
20 (37,7) |
≥ 60 tahun |
5 (9,4) |
Jenis Kelamin | |
Laki-laki |
32 (60,4) |
Perempuan |
21 (39,6) |
Pekerjaan | |
Pelajar |
8 (15,1) |
PNS/TNI/POLRI |
4 (7,6) |
Pegawai Swasta |
23 (43,4) |
Wiraswasta |
8 (15,1) |
Petani |
1 (1,9) |
Ibu Rumah Tangga |
6 (11,3) |
Pengangguran |
3 (5,7) |
Kronis yang |
Rawat Jalan |
Berdasarkan Sosiodemografi. | |
Pada Tabel 2. Menyajikan |
distribusi keluhan utama sampel yang terdiri dari gejala mayor dan minor. Pada gejala mayor, gejala yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat sebanyak 37 penderita (69,8%), sedangkan gejala yang paling sedikit dialami adalah gangguan penghidu sebanyak 2 penderita (3,8%). Pada gejala minor, keluhan yang sering dialami adalah sakit kepala sebanyak 13 penderita (24,5%), sedangkan gejala yang paling sedikit adalah demam sebanyak 2 penderita (3,8%). Serta tidak ditemukan gejala nyeri gigi dan telinga pada penderita tersebut.
Tabel 2. Distribusi Penderita Rinosinusitis
Kronis yang Rawat Jalan
Berdasarkan Keluhan Utama.
Keluhan Utama |
Jumlah (%) (N = 53) | |
Gejala |
Hidung Tersumbat |
37 (69,8) |
Mayor |
Nyeri Wajah |
7 (13,2) |
Sekret Rongga Hidung |
22 (41,5) | |
Gangguan Penghidu |
2 (3,8) | |
Gejala |
Sakit Kepala |
13 (24,5) |
Minor |
Nyeri Gigi |
0 (0,0) |
Nyeri Telinga |
0 (0,0) | |
Demam |
2 (3,8) | |
Lain-lain |
8 (15,1) |
Pada Tabel 3. Menyajikan karakteristik penyakit penyerta sampel. Didapatkan jumlah penyakit penyerta terbanyak pada penderita RSK adalah kelainan anatomi sebanyak 42 penderita (79,3%) yang terdiri dari konka hipertrofi sebanyak 8 penderita (19,1%), septum deviasi sebanyak 19 penderita (45,2%), serta konka hipertrofi dan septum deviasi sebanyak 15 penderita (35,7%). Sedangkan, jumlah penyakit penyerta paling sedikit yaitu infeksi gigi dan infeksi tonsil masing-masing sebanyak 1 penderita
(1,9%). Pada penyakit penyerta kategori lain-lain dibedakan menjadi kategori THT sebanyak 17 pendeita (70,8%) yaitu otitis media akut (OMA), otitis media efusi (OME), otitis media supuratif kronis (OMSK), tumor kavum nasi dan nasofaring, mukokel sinus, obstruksi massa, sensory neural hearing loss (SNHL), timpanosklerosis, ruptur membran timpani, tuba kataralis, dan hipertrofi adenoid. Untuk kategori non-THT sebanyak 7 penderita (29,2%) yaitu asma, meningitis, buftalmos, proptosis, reactive lymphoid hyperplasia, dan limfoma non-hodgkin (LNH).
Pada Diagram 1. Memperlihatkan proporsi penderita rinosinusitis kronis yang rawat jalan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat. Jumlah sinus paranasal yang terlibat terbanyak pada penderita rinosinusitis kronis yaitu single rinosinusitis sebanyak 24 penderita (45,3%) yang sebagian besar mengenai sinus maksila sebanyak 20 panderita. Sedangkan yang terendah adalah pansinusitis sejumlah 7 penderita (13,2%).
Tabel 3. Distribusi Proporsi Penderita Rinosinusitis Kronis yang Rawat Jalan Berdasarkan
Penyakit Penyerta di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2016
Penyakit Penyerta |
Jumlah (N = 53) |
Persentase (%) |
ISPA |
1 |
1,9 |
Rinitis Alergi |
1 |
1,9 |
Infeksi Gigi |
5 |
9,4 |
Infeksi Tonsil |
2 |
3,8 |
Kelainan Anatomi |
42 |
79,3 |
Konka Hipertrofi |
8 |
19,1 |
Septum Deviasi |
19 |
45,2 |
Konka Hipertrofi dan Septum Deviasi |
15 |
35,7 |
Polip |
13 |
24,5 |
Lain-lain |
24 |
45,3 |
THT |
17 |
70,8 |
Non-THT |
7 |
29,2 |
sering terinfeksi yaitu sinus maksila
Diagram 1. Distribusi Penderita Rinosinusitis Kronis yang Rawat Jalan berdasarkan Jumlah Sinus yang Terlibat.
sebanyak 90,6% dan lokasi sinus paling sedikit terinfeksi adalah sinus frontal dan sfenoid yang masing-masing sebanyak
Jumlah Keterlibatan Sinus
28,3%.
Tabel 4. Distribusi Penderita Rinosinusitis Kronis yang Rawat Jalan Berdasarkan Lokasi Sinus yang Terlibat.
Lokasi Sinus Jumlah Persentase
yang Terlibat (N=53) (%)
Sinus Maksila 48 90,6
Single Rinosinusitis ■ Multisinusitis Pansinusitis
Pada Tabel 4. Memperlihatkan distribusi penderita rinosinusitis kronis
Sinus Etmoid 26 49,1
Sinus Frontal 15 28,3
Sinus Sfenoid 15
28,3
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan proporsi usia tertinggi yaitu usia dengan rentangan 46-60 tahun sebanyak 20 penderita (37,7%) dan proporsi terendah adalah usia <15 tahun sejumlah 4 penderita (9,43%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013 yaitu proporsi tertinggi 21,7% pada usia 46-60 tahun dan 1,7% proporsi terendah pada usia <15 tahun.6 Namun, hasil penelitian ini memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Multazar tahun 2008 yaitu usia dengan rentangan 28-35 tahun merupakan proporsi tertinggi pada penderita RSK yaitu 20,61% dan terendah pada usia >60 tahun (4,05%).7 Menurut European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012 bahwa prevalensi meningkat seiring bertambahnya usia dengan rata-rata 2,7% dan 6,6% pada kelompok usia 20-29 dan 50-59 tahun, kemudian setelah usia 60 tahun, tingkat prevalensi RSK menurun hingga 4,7%.1 Dari data di atas diketahui bahwa kejadian RSK lebih banyak mengenai kelompok usia dewasa produktif. Hal ini mungkin dikarenakan usia dewasa lebih banyak beraktivitas di luar rumah sehingga lebih sering terpapar alergen atau polutan disertai adanya suatu
perubahan pola makan dan gaya hidup sehari-hari.7
Di lihat dari segi jenis kelamin, pada penelitian ini proporsi tertinggi yaitu terjadi pada laki-laki sejumlah 32 orang (60,4%) dan perempuan sejumlah 21 orang (39,6%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sitinjak di Rumah Sakit Santa Elizabeth Medan tahun 2011-2015 yaitu laki-laki 55,8% dan perempuan 44,2%. Dari data tersebut, menyatakan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh adanya kebiasaan merokok pada laki – laki yang menyebabkan terpaparnya zat toksik yang dapat mempengaruhi sistem imun tubuh. Paparan asap tembakau sangat berperan aktif untuk meningkatkan rinosinusitis kronis karena dapat memicu perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung dan sinus paranasal.2,8 Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Multazar, Arivalagan, dan Lubis yaitu perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hasil tersebut juga serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh CDC di Amerika Serikat pada orang dewasa dari tahun 1997-2012. Lebih banyak ditemukan pada penderita RSK yang berjenis kelamin perempuan kemungkinan karena perempuan lebih khawatir terhadap kesehatannya, sehingga
perempuan akan lebih cepat memeriksakan dirinya ke layanan kesehatan.5-7,9 Sementara itu menurut Fokkens dkk., terdapat efek hormonal dari estrogen, progesteron, dan placental growth hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah yang mungkin berpengaruh terhadap terjadinya RSK.1
Dari segi pekerjaan, pada penelitian ini proporsi tertinggi yaitu pegawai swasta sebanyak 23 penderita (43,40%). Hasil yang didapatkan berbeda dengan beberapa penelitian antara lain Multazar dengan proporsi tertinggi yaitu ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 28,7%. Selanjutnya, Lubis mendapatkan proporsi tertinggi pada pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 24,2%. Pada penelitian Sitinjak, pekerjaan dengan proporsi tertinggi terjadinya RSK yaitu pada wiraswasta sebanyak 28,2%.6,8 Variasi hasil penelitian ini dengan sebelumnya mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang diteliti pada masing-masing penelitian. Tingginya kejadian RSK akibat pekerjaan mungkin disebabkan oleh seringnya terpapar polutan atau zat-zat iritan yang berpotensi terhadap kepekaan aeroallergens dan berbagai polutan tersebut menginduksi pembengkakan konka (konka hipertrofi) yang dapat merusak sistem mukosiliar hidung.7
Pada tabel 2 didapatkan proporsi keluhan utama terbanyak pada gejala mayor yaitu hidung tersumbat sejumlah 36 penderita (67,9%) dan paling sedikit pada gangguan penghidu sebanyak 2 penderita (3,8%). Sedangkan, pada gejala minor didapatkan proporsi tertinggi yaitu sakit kepala sebanyak 13 penderita (24,5%) dan terendah yaitu demam sebanyak 2 penderita (3,8%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis tahun 2015 yaitu terbanyak pada keluhan hidung tersumbat (74,2%) dan paling sedikit dengan gangguan penghidu (4,2%). Selain itu, hasil tersebut juga serupa dengan penelitian case series Sitinjak (2016) di Rumah Sakit Elizabeth Medan tahun 2011-2015 yaitu pada gejala mayor proporsi terbanyak yaitu keluhan hidung tersumbat (92,6%), sedangkan pada gejala minor proporsi terbanyak adalah sakit kepala (71,8%).6,8
Hidung tersumbat terjadi karena adanya proses inflamasi yang disebabkan adanya infeksi. Bila terjadi infeksi organorgan yang membentuk KOM (kompleks ostiomeatal), maka akan mengalami edema, sehingga mukosa-mukosa yang saling berhadapan akan menempel saatu sama lain. Kondisi tersebut menyebabkan silia tidak bergerak dan dapat terjadinya penyumbatan ostium sehingga terjadi penghambatan drainase sinus. Selain itu,
penyebab terjadinya hidung tersumbat juga bisa dikarenakan oleh septum deviasi, polip kavum nasi, hipertrofi konka, dan adanya tumor di dalam hidung. 3,6
Selain itu, keluhan terbanyak pada keluhan gejala minor adalah sakit kepala. Gejala ini bukanlah suatu gejala yang khas yang dialami oleh penderita rinosinusitis, namun gejaa ini cukup sering dikeluhkan dan menyebabkan penderita pergi berobat. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh adanya suatu edema atau kelainan anatomi pada rongga hidung yang menyebabkan terjadinya obstruksi di ostium sinus. Keluhan ini biasanya terjadi pagi hari dan akan berkurang pada siang hari. Hal itu mungkin disebabkan karena pada malam hari terjadi penimbunan sekret dalam rongga hidung dan sinus, serta adanya stasis di vena.3,8
Pada tabel 3 didapatkan jumlah penyakit penyerta terbanyak pada penderita rinosinusitis kronis adalah kelainan anatomi sebanyak 42 penderita (79,3%). Berdasarkan kelainan anatomi tersebut, jumlah terbanyak yaitu septum deviasi sebanyak 19 penderita (45,2%). Hasil ini berbeda dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Lubis dan Arivalagan yang menyatakan bahwa penyakit penyerta dengan proporsi tertinggi yaitu alergi masing-masing sebanyak 29,2% dan 25,3%. Selain itu,
hasil ini juga berbeda dengan yang dilakukan oleh Husni & Pradista yang menyatakan bahwa hipertrofi konka merupakan proporsi tertinggi yaitu sebanyak 61,8%. Adanya variasi hasil, mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang diteliti pada masing-masing penelitian.5,6,10
Septum deviasi dapat menimbulkan bowing asimetri yang menekan konka media ke lateral sehingga terjadinya penyempitan meatus media. Sedangkan, pada konka hipertrofi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu infeksi hidung berulang, iritasi kronis pada mukosa hidung karena bahan-bahan iritan industri dan paparan rokok. Selain itu, adanya penggunaan obat tetes hidung yang berkepanjangan, rinitis vasomotor, dan rinitis alergi juga dapat menyebabkan hipertrofi konka. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi karena dapat terjadinya edema dan hipersekresi pada mukosa. Penyumbatan ostium sinus dan terganggunya drainase diakibatkan karena pembengkakan mukosa sinus tersebut, yang akhirnya terjadi infeksi lebih lanjut, kemudian menghancurkan epitel permukaan, dan siklus akan seterusnya berulang. 3,6,10
Pada diagram 1 didapatkan proporsi jumlah sinus yang terlibat terbanyak pada penderita rinosinusitis
I--∖f—∖ Λ i DIRECTORY OF OPEN ACCESS I_V_V/ ∖-^J JOURNALS kronis yaitu single rinosinusitis sebanyak 24 penderita (45,3%) yang sebagian besar mengenai sinus maksila sebanyak 20 panderita dan terendah pansinusitis sebanyak 7 penderita (13,2%). Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Chandra yaitu proporsi terbanyak pada jumlah sinus yang terlibat yaitu single rinosinusitis (75,3%) dan paling sedikit adalah pansinusitis (2,2%).11
Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Dalimunthe tahun 2012 di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010 bahwa proporsi penderita RSK tertinggi yaitu single rinosinusitis (67,7%) dengan lokasi sinus adalah sinus maksila (64,6%). Single rinosinusitis berhubungan erat dengan keterlibatan sinus maksila. Keterlibatan sinus maksila juga cukup besar pada penderita rinosinusitis kronis, sehingga dibeberapa penelitian juga mendapatkan hasil yang sama. 6,8
Pada tabel 4 didapatkan hasil bahwa sinus yang paling sering terinfeksi yaitu sinus maksila sebanyak 90,6% dan lokasi sinus paling sedikit yang terinfeksi adalah sinus frontal dan sfenoid yang masing-masing sebanyak 28,3%. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis lokasi terbanyak yang terinfeksi yaitu sinus maksila sebanyak 55,8%. Selain itu, penelitian ini juga serupa dengan Arivalagan dan Sitinjak yaitu
proporsi terbanyak pada sinus maksila masing-masing sebanyak 54,6% dan 92,0%. Frekuensi pada penelitian ini tidak sama dengan jumlah sampel karena adanya penderita yang mengalami lebih dari satu peradangan di lokasi rinosinusitis. 5,6,8
Sinus maksila yaitu sinus yang paling sering terinfeksi karena merupakan sinus paranasal terbesar yang letak muaranya lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga aliran sekret dari sinus maksila sangat bergantung dari gerakan-gerakan silia. Selain itu, drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit sehingga mudah tersumbat. Fungsi silia adalah untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara saat seseorang bernafas. Jika terjadi hambatan pada pergerakan silia ini akan menyebabkan sekret terkumpul dalam sinus yang kemudian menjadi media pembiakan oleh bakteri. 3,8
SIMPULAN
Pada penelitian ini, dari 53 penderita didapatkan rata-rata berusia 41,2 ± 15,8 tahun dengan proporsi terbanyak yaitu rentangan usia 46-60 tahun sejumlah 20 penderita (37,7%). Jenis kelamin terbanyak laki-laki sejumlah 32 penderita (60,4%). Pekerjaan terbanyak yaitu pegawai swasta sejumlah 23 penderita (43,4%). Keluhan utama yang paling
I--∖r—S Λ I DIRECTORY OF OPEN ACCESS
I_J‰m√∕ X-J JOURNALS
sering pada gejala mayor yaitu hidung tersumbat sebanyak 37 penderita (69,8%), sedangkan pada gejala minor yaitu sakit kepala sebanyak 13 penderita (24,5%). Penyakit penyerta terbanyak yaitu kelainan anatomi sejumlah 42 penderita (79,3%). Keterlibatan jumlah sinus terbanyak yaitu single rinosinusitis sejumlah 24 penderita (45,3%), serta sinus yang sering terkena yaitu sinus maksila sebanyak 48 penderita (90,6%).
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for otorhinolaryngologists. Rhinology. 2012;50(1):1–12.
-
2. Bachert C, Pawankar R, Zhang L, Bunnag C, Fokkens WJ, Hamilos DL, dkk. ICON: chronic
rhinosinusitis. World Allergy Organ J. 2014;7(1):1.
-
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Jakarta Balai Penerbit FK UI. 2007.
-
4. Bubun J, Azis A, Akil A, Perkasa F. Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan
gambaran CT scan berdasarkan skor
Lund-Mackay.2009.
-
5. Arivalagan P. Gambaran
Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2011. e-jurnal Fak Kedokt USU. 2013;1(1).
-
6. Lubis NA. Profil Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013. Profil Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013. 2014;
-
7. Multazar A. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008.
-
8. Sitinjak N. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2015. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kron di Rumah Sakit St Elisabeth Medan Tahun 20112015.
-
9. Beule A. Epidemiology of chronic rhinosinusitis, selected risk factors, comorbidities, and economic burden. GMS Curr Top Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2015;14:1-31.
-
10. Husni T, Pradista A. Faktor Predisposisi Terjadinya
Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. J Kedokt Syiah Kuala. 2012;12(3):132–7.
-
11. Candra R, Patel Z. Sinus Anatomy [Internet]. American Rhinologic Society. 2015 [diakses tanggal 30 Januari 2017]. Tersedia dari: http://care.american-rhinologic.org/sinus_anatomy
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
10
Discussion and feedback