Pengaruh infeksi soil transmitted helminth (STH) terhadap daya ingat dan koordinasi visual-motorik dalam fungsi kognitif anak-anak sdn 1 sulangai, Kabupaten Badung, dan SDN 1 Blandingan, Kabupaten Bangli, Bali
on
ARTIKEL PENELITIAN
E-JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 7 NO. 4, APRIL, 2018 : 148 - 154
ISSN: 2303-1395
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Pengaruh infeksi soil transmitted helminth (STH) terhadap daya ingat dan koordinasi visual-motorik dalam fungsi kognitif anak-anak sdn 1 sulangai, Kabupaten Badung, dan SDN 1 Blandingan, Kabupaten Bangli, Bali
Ida Ayu Ide Larassanthi Pratiwi1, I Kadek Swastika2, I Made Sudarmaja2
ABSTRAK
Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan, secara tidak langsung memengaruhi fungsi kognitif pada penderita yaitu anak-anak yang memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Kurangnya asupan makanan, gangguan pencernaan, malabsorpsi, dan tingkat pertumbuhan yang buruk sering ditemukan pada anak-anak dengan ascariasis dan trichuriasis. Oleh karena itu infeksi STH dapat menimbulkan penurunan dalam perkembangan kognitif yaitu memori dan visual-motorik, sehingga mencegah anak dalam mencapai potensi mereka yang semestinya. Tujuan daripada penelitian ini, untuk mengukur dan membuktikan pengaruh antara penyakit kecacingan dengan fungsi kognitif. Desain penelitian adalah analitik observasional cross-sectional dengan 273 responden merupakan siswa-siswi SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli. Diaplikasikan dengan menggunakan teknik Kato Katz dalam pemeriksaan sampel feses dan Wechsler Intelligence Scale for Children III (WISC III) sebagai tes memori dan visual-motorik. Setelah dilakukannya persamaan pada variabel perancu yaitu umur, jenis kelamin, dan sosial ekonomi diperoleh anak dengan positif dan negatif kecacingan masing-masing sebanyak 12 orang. Analisis data melalui SPSS secara bertahap menggunakan uji Paired Sample T-test dengan nilai p sebesar 0,074 dan 0,851 (p>0,05) untuk mengetahui perbedaan rata-rata pre-test dengan post-test fungsi kognitif. Uji Independent Sample T-test dengan hasil nilai p pada data pre-test dan post-test fungsi kognitif dalam pengaruhnya terhadap kejadian kecacingan secara berurutan sebesar 0,922; 1,000; 0,722; dan 0,328 (p>0,05). Disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh kejadian kecacingan terhadap memori dan koordinasi visual-motorik pada anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli.
Kata Kunci: Soil Transmitted Helminth (STH), fungsi kognitif, anak sekolah
ABSTRACT
1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
2Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana E-mail: [email protected]
Soil Transmitted Helminth (STH) Infection, indirectly affect cognitive function in children who have a higher susceptibility compared with other age groups. Lack of food intake, indigestion, malabsorption, and poor growth rates are often found in children with ascariasis and trichuriasis. Therefore, helminth infection can cause a decrease in cognitive development of memory and visual-motoric coordination, thus preventing the child from reaching their proper potential growth. The aim of this study is to measure and prove the effect between helminth infection and cognitive function. The study design was cross-sectional observational analysis with 273 respondents were school children of SDN 1 Sulangai, Badung and SDN 1 Blandingan, Bangli. It was applied by using Kato Katz technique in stool sample examination and Wechsler Intelligence Scale for Children III (WISC III) as memory and visual-motoric test. After adjusting for the potential confounder age, sex, and socioeconomic status (SES), obtained children with positive and negative of helminth infection each counted 12 people. Analysis of data through SPSS gradually using Paired Sample T-test with p value of 0.074 and 0.851 (p> 0.05) to know the mean difference of pre-test with post-test of cognitive function. The Independent Sample T-test with p value results on pre-test and post-test cognitive function in relation to the occurrence of helminth infection respectively were 0.922; 1.000; 0.722; and 0.328 (p> 0.05). It was concluded that there was no effect of helminth infection toward cognitive function specifically memory and visual-motoric coordination in SDN 1 Sulangai, Badung and SDN 1 Blandingan, Bangli.
Keywords: Soil Transmitted Helminth (STH), cognitive function, school children
Diterima : 16 Maret 2018
Disetujui : 30 Maret 2018
Diterbitkan : 9 April 2018
PENDAHULUAN
Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) atau cacing yang ditularkan melalui media tanah merupakan infeksi kronis yang paling umum terjadi
di seluruh dunia. Menginfeksi lebih dari 1,5 miliar atau 24% dari populasi dunia yang terdistribusi secara luas di semua daerah pedesaan maupun perkotaan dengan iklim tropis dan subtropis.1,2 Selain dipengaruhi oleh faktor iklim, penyakit
kecacingan juga dipengaruhi oleh status sosio-ekonomi yang rendah yaitu penduduk dengan pendapatan menengah ke bawah, lingkungan padat penduduk, keberadaan sarana sanitasi (jamban), kebiasaan cuci tangan setelah buang air besar, masih adanya lantai dengan tanah, dan pengetahuan ibu tentang penyakit kecacingan.3 Jumlah infeksi STH terbesar terjadi pada negara Amerika, Cina, Asia, dan Sub-Sahara Afrika.2,4 Spesies utama yang menginfeksi populasi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).2,5
Secara global, pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 438,9 juta orang terinfeksi cacing tambang, 819,0 juta dengan A. lumbricoides, 464,6 juta dengan T. trichiura. 4,98 juta hidup dengan kecacatan atau Years Lived with Disabilitys (YLDs) dikarenakan STH. Sebagian besar infeksi STH (67%) dan YLDs (68%) terjadi di Asia.6 Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia berada pada 45%-65% dengan kejadian tertinggi pada anak usia kurang dari 12 tahun.3 Sedangkan di Bali selama dekade terakhir dari tahun 2004-2014, dari 36 Sekolah Dasar (SD), sebanyak 5.380 siswa dilakukan pemeriksaan feses dengan teknik Kato Katz, kemudian diperoleh hasil yaitu 1.635 (30%) positif menderita penyakit kecacingan. Jenis cacing yang paling banyak menginfeksi adalah T. trichiura, ditemukan pada 1.227 siswa (75%), 833 siswa (51%) yang terinfeksi A. lumbricoides, dan sisanya terinfeksi oleh cacing tambang, Enterobius vermicularis, dan Taenia sp (<5%).7 Sehingga dapat disimpulkan bahwa infeksi kecacingan di Bali masih tergolong tinggi. Prevalensi penyakit kecacingan karena infeksi STH bisa saja menurun dalam beberapa bagian karena perbaikan dalam kondisi hidup dan perluasan dalam upaya penanganan dan pencegahan, namun di sisi lain pertumbuhan penduduk dapat terus meningkatkan angka populasi yang terinfeksi STH.6
Infeksi STH jarang mengakibatkan kematian, namun mempengaruhi status gizi, mengakibatkan anemia, kehilangan nafsu makan, kerusakan pada usus dan mengurangi penyerapan vitamin A.5 Pada anak-anak dengan STH berat dan kronis dapat menderita gizi buruk, gangguan pertumbuhan, keterbelakangan mental, serta penurunan pada fungsi kognitif dan pendidikan.8 Penelitian mengenai efek dari infeksi STH telah difokuskan pada anak usia sekolah dan prasekolah. Tidak hanya karena anak-anak ini paling rentan terhadap infeksi STH dan parasit lainnya, tetapi mereka juga kelompok penduduk yang paling mungkin mengalami dampak infeksi STH terhadap fungsi kognitif, yang merupakan bagian
terpenting dalam masa pertumbuhan. Oleh karena itu diperlukannya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) terhadap fungsi kognitif pada anak-anak, sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanganan lebih cepat dan akurat untuk ke depannya.
Infeksi cacing yang merembet pada lingkungan anak-anak, dapat menyebabkan penurunan tingkat pendidikan dan fungsi kognitif melalui pengurangan status zat besi, peradangan, menurunnya status makro-nutrisi, dan status sosio-ekonomi nya. Beberapa studi epidemiologi menghubungkan infeksi dengan fungsi kognitif yang rendah di beberapa daerah dengan sumber daya yang terbatas.9
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat analitik kuantitatif dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional). Penelitian dilakukan di SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli. Kemudian sampel feses diperiksa di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian dimulai bulan Februari sampai Juni 2017. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas 1 sampai 6 SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi sampel yaitu siswa yang bersedia mengikuti penelitian dan dapat hadir untuk mengumpulkan feses pada hari yang ditentukan. Kriteria eksklusi yaitu siswa yang tidak bersedia, tidak bisa hadir maupun tidak mengumpulkan preparat feses, serta siswa yang memiliki riwayat penyakit kronis, dan memiliki kecacatan akan dieksklusi dari penelitian ini. Pengambilan subyek dengan cara total sampling. Berdasarkan kriteria inklusi, kriteria eksklusi, dan kesediaan menjadi responden, terdapat 273 responden yang memenuhi kriteria penelitian.
Pengumpulan data dilakukan untuk pemeriksaan feses menggunakan teknik Kato Katz; pemeriksaan fungsi kognitif dengan Wechsler Intelligence Scale for Children III (WISC III) yang terdiri dari Digit Span Forward, Digit Span Backward dan Coding; dan permintaan Informed consent dari responden dilakukan untuk memastikan kesediaan dalam mengisi kuisioner mengenai sosial ekonomi keluarga. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara analitik.
HASIL
Berdasarkan hasil statistik deskriptif pada penelitian, didapatkan umur mayoritas responden adalah 8 tahun (17,58%), sedangkan
Tabel 1. Karakteristik Demografi Subyek Penelitian
Umur |
N |
Frekuensi (%) |
6 |
14 |
5,13 |
7 |
45 |
16,48 |
8 |
48 |
17,58 |
9 |
36 |
13,19 |
10 |
23 |
8,42 |
11 |
41 |
15,02 |
12 |
42 |
15,38 |
13 |
23 |
8,42 |
14 |
1 |
0,37 |
Jenis Kelamin | ||
Laki-Laki |
132 |
48,35 |
Perempuan |
141 |
51,65 |
Kecacingan | ||
Positif (Cacingan) |
17 |
6,2 |
Negatif (Tidak Cacingan) |
256 |
93,8 |
Gambar 1. Diagram Bar Tabulasi Silang antara Umur dengan Kejadian Kecacingan Anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli
minoritas responden berumur 14 tahun (0,37%), dengan median umur adalah 10 tahun (6-14 tahun). Responden dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 132 orang (48,35%) dan perempuan 141 orang (51,65%). Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui hasil pemeriksaan feses yang dilakukan
pada 273 sampel anak sekolah dasar di Desa Sulangai dan Blandingan. Adapun hasil yang diperoleh prevalensi kecacingan yaitu kelompok anak yang positif kecacingan sebanyak 17 orang (6,2%) dan kelompok anak yang negatif kecacingan 256 orang (93,8%).
Namun oleh karena terjadinya lost to follow up pada sampel penelitian, khususnya anak sekolah dasar kelas 6 yang telah lulus atau menyelesaikan pendidikan sekolah dasar ketika akan diberikan intervensi selanjutnya. Sehingga frekuensi anak yang positif kecacingan berkurang dari 17 orang menjadi 12 orang anak yang diperoleh sebelum dan setelah dilakukannya intervensi tes fungsi kognitif. Oleh karena itu dalam analisis selanjutnya akan digunakan 12 orang sebagai frekuensi anak yang positif kecacingan.
Distribusi Proporsi Umur dengan Kejadian Kecacingan Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa prevalensi kecacingan terbanyak terjadi pada anak umur 13 tahun berjumlah 4 orang (1,47%) dan anak yang tidak menderita kecacingan paling banyak pada umur 8 tahun berjumlah 46 orang (16,85%). Sedangkan anak yang menderita infeksi cacing ditemukan paling sedikit pada umur 6 dan 10 tahun yaitu 1 orang (0,37%), dan pada anak yang tidak terinfeksi cacing ditemukan paling sedikit pada umur 14 tahun sebanyak 1 orang (0,37%).
Distribusi Proporsi Jenis Kelamin dengan Kejadian Kecacingan Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa prevalensi kecacingan pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (4,03%) positif kecacingan dan sebanyak 121 orang (44,32%) negatif kecacingan. Kemudian prevalensi kecacingan pada jenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (2,20%) positif kecacingan dan 135 orang (49,45%) negatif kecacingan. Data tersebut menunjukan bahwa kecacingan cenderung terjadi pada jenis kelamin laki-laki daripada jenis kelamin perempuan.
Distribusi Proporsi Kejadian Kecacingan Berdasarkan Berat Ringannya Infeksi Cacing pada Anak Sekolah Dasar
Kejadian kecacingan berdasarkan berat ringannya pada anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli dengan hasil infestasi infeksi cacing Ascaris lumbricoides ditemukan infeksi ringan sebanyak 9 orang (75%), infeksi sedang sebanyak 1 orang (8,33%), dan infeksi berat tidak ditemukan. Pada cacing Trichuris trichiura juga hanya ditemukan infeksi ringan yaitu sebanyak 2 orang (16,67%).
Gambar 2. Diagram Bar Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Kecacingan Anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli
Tabel 2. Kejadian Kecacingan Berdasarkan Berat Ringannya Infeksi Cacing Anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli
Berat ringannya infeksi cacing
N Frekuensi (%)
Ascaris lumbricoides
Ringan (1–4.999 EPG) |
9 |
75,0 |
Sedang (>4.999-49.999 EPG) |
1 |
8,33 |
Berat (>49.999 EPG) |
0 |
0,0 |
Trichuris trichiura | ||
Ringan (1–999 EPG) |
2 |
16,67 |
Sedang (>999-9.999 EPG) |
0 |
0,0 |
Berat (>9.999 EPG) |
0 |
0,0 |
Distribusi Proporsi Tes Fungsi Kognitif pada Kejadian Kecacingan Anak Sekolah Dasar
Gambar 3 menjelaskan tentang karakteristik pada skor hasil tes fungsi kognitif yang terdiri dari kurang, cukup, dan baik. Kategori kurang mewakili skor 0-5, kategori cukup mewakili skor 6-10, dan kategori baik mewakili skor 11-15. Terdapat 12 anak yang negatif dan positif kecacingan serta telah melakukan Pre dan Post-test memori. Jumlah anak-anak yang positif kecacingan, dengan hasil skor kurang dari Pre dan Post-test memori mengalami peningkatan, 2 orang (8,33%) menjadi 3 orang anak (12,50%). Jumlah anak dengan skor memori cukup mengalami penurunan, 9 orang (37,50%) menjadi 8
orang anak (33,33%). Jumlah yang sama didapatkan pada anak dengan skor memori baik yaitu sebanyak 1 orang anak (4,17%).
Berdasarkan hasil Pre dan Post-test visual-motorik Gambar 4, dari 12 anak yang positif kecacingan pada hasil Pre dan Post-test visual-motorik, didapatkan penurunan 5 orang (20,83%) menjadi 3 orang anak (12,50%) dengan skor visual-motorik yang kurang. Peningkatan terjadi pada jumlah anak yang memiliki hasil skor visual-motorik cukup baik yaitu 2 orang (8,33%) menjadi 7 orang anak (29,17%). Penurunan terjadi pada anak dengan hasil skor visual-motorik yang baik, dari 5 orang (20,83%) menjadi 2 orang anak (8,33%).
Perbedaan antara Pre-test dan Post-test Fungsi Kognitif pada Kejadian Kecacingan Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan output uji statistik paired sample t-test, didapatkan nilai 0,074 dan 0,851. Artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara memori dan koordinasi visual-motorik untuk Pretest dan Post-test. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa “tidak ada pengaruh kejadian kecacingan terhadap memori dan koordinasi visual-motorik pada anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli.”
Pengaruh Kejadian Kecacingan terhadap Fungsi Kognitif pada Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan output uji independent sample t-test, diketahui data Pre-test memori dan visual-motorik, serta Post-test memori dan visual-motorik secara berurutan adalah 0,922; 1,000; 0,722; dan 0,328. Artinya tidak ada perbedaan memori dan koordinasi visual-motorik yang signifikan antara anak positif kecacingan dengan anak negatif kecacingan. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa “tidak ada pengaruh kejadian kecacingan terhadap memori dan koordinasi visual-motorik setelah dilakukan Pre-test dan Post-test dalam selang waktu 3 bulan pada anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli.”
DISKUSI
Secara epidemiologi puncak terjadinya infeksi kecacingan adalah pada usia 5-10 tahun.10-12 Namun pada penelitian ini, hasil yang berbeda telah didapatkan yaitu anak umur 13 tahun lebih banyak terinfeksi kecacingan (1,47%). Hal ini dapat dihubungkan dengan meningkatnya aktifitas bermain dan mobilitas anak yang berumur lebih tua sehingga risiko tertular cacing akan lebih besar. Anak yang lebih muda termasuk higienitasnya masih dalam pengawasan orang tua sehingga risiko tertular menjadi lebih kecil.13
Gambar 3. Diagram Bar Tabulasi Silang antara Kejadian Kecacingan dengan Skor Pre-test dan Post-test Memori Anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli
Gambar 4. Diagram Bar Tabulasi Silang antara Kejadian Kecacingan dengan Skor Pre-test dan Post-test Visual-Motorik Anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli
Faktor sosial ekonomi yang lebih tinggi mungkin mencerminkan akses terhadap kesempatan pendidikan dan perawatan kesehatan yang superior yang bermanfaat bagi kinerja anak dalam tes fungsi kognitif. Gagal mengontrol dengan kuat untuk sosial ekonomi bisa mengakibatkan asosiasi palsu atau over-estimasi pengaruh sebenarnya antara infeksi cacing dan fungsi kognitif, hal ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.8
Pada penelitian ini, jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih banyak terinfeksi kecacingan dibandingkan dengan perempuan. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ezeamama di Filipina, tidak didapatkan faktor penyebab timbulnya perbedaan fungsi kognitif antara anak laki-laki dan perempuan yang terinfeksi cacing.8 Hal tersebut senada dengan pendapat beberapa peneliti bahwa kejadian kecacingan pada setiap orang tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin.14,15 Sehingga jenis kelamin tidak akan memengaruhi antara fungsi kognitif dengan infeksi cacing pada penelitian ini.
Semua faktor perancu berupa umur, jenis kelamin, dan sosial ekonomi sudah dilakukan pengontrolan berupa matching dalam penelitian ini. Yaitu menyamakan faktor perancu di kedua kelompok, kasus dan kontrol.
Pengaruh Kejadian Kecacingan terhadap Fungsi Kognitif
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan 2 orang terinfeksi Trichuris trichiura dengan intensitas infeksi ringan dan 9 orang terinfeksi Ascaris lumbricoides dengan intensitas ringan serta 1 orang dengan intensitas sedang. Dibandingkan dengan kejadian kecacingan dengan intensitas yang sedang dan berat, intensitas ringan tersebut diragukan bisa mempengaruhi fungsi kognitif pada anak. Semakin berat intensitas infeksi maka semakin rendah pula fungsi kognitifnya dibandingkan dengan individu tanpa infeksi atau dengan infeksi ringan. Oleh karena itu dengan sedikitnya jumlah cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, belum mampu untuk mempengaruhi asupan nutrisi atau malnutrisi dalam tubuh anak. Sehingga anak dengan intensitas kecacingan yang ringan atau tanpa infeksi memiliki hasil tes fungsi kognitif yang normal yaitu cukup bahkan baik pada memori dan koordinasi visual-motorik. Pernyataan bahwa infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura dengan intensitas sedang dan berat berpengaruh terhadap rendahnya hasil tes fungsi kognitif sejalan dengan penelitian sebelumnya.8
Selain itu, jumlah daripada jenis cacing yang menginfeksi akan sangat mempengaruhi hasil tes fungsi kognitif. Anak dengan infeksi poliparasitik cenderung asupan nutrisi dalam tubuh akan lebih cepat habis. Dalam penelitian yang dilakukan di SDN 1 Sulangai dan Blandingan, jenis cacing yang ditemukan adalah Ascaris dan Trichuris namun tidak terdapat infeksi poliparasitik.
Anemia juga merupakan akibat dari kecacingan terutama oleh cacing tambang (N. americanus dan A. duodenale) yang paling sering ditemukan dan juga berbahaya.16 Beberapa penelitian di Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Zaire menyebutkan bahwa anak-anak yang menderita anemia oleh karena kecacingan memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap penurunan fungsi kognitif dan prestasi belajar pada anak-anak pra-sekolah dan sekolah.17 Penurunan fungsi kognitif oleh karena anemia bisa disebabkan oleh dua hal yaitu level Hemoglobin dan Fe pada tubuh individu yang terinfeksi cacing tambang. Rendahnya level Hb yang mempengaruhi
penurunan kemampuan untuk bekerja dan konsentrasi. Serta terjadinya defisiensi Fe dapat mempengaruhi neurotransmitter, fungsi otak, dan perilaku individu tersebut.17 Semakin berat infeksi cacing tambang maka Fe dalam tubuh pun akan semakin rendah.16 Namun pada penelitian kali ini dari 12 orang anak yang positif kecacingan, tidak didapatkan anak yang terinfeksi cacing tambang. Sehingga dapat diyakini bahwa penyebab dari tidak adanya pengaruh kejadian kecacingan terhadap hasil tes fungsi kognitif adalah rendahnya prevalensi anak yang mengalami anemia oleh karena tidak ditemukan kasus dengan cacing tambang.
Sedikitnya prevalensi anak-anak yang positif kecacingan pada dua lokasi yang berbeda yaitu SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli merupakah salah satu kelemahan pada penelitian ini. Analisis dengan studi populasi yang besar akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pengaruh kecacingan terhadap fungsi kognitif anak-anak Sekolah Dasar. Selanjutnya adalah terdapat 29,41% atau 5 dari 17 koresponden yang lost to follow up dari kedua sekolah. Namun hal ini tidak akan mempengaruhi hasil penelitian secara signifikan karena sudah dilakukan persamaan perlakuan di masing-masing kelompok baik kasus dan kontrol.18 Selain itu, tidak adanya pengaruh kejadian kecacingan terhadap fungsi kognitif juga bisa disebabkan oleh periode follow up yang hanya sebentar yaitu 10 minggu setelah diberikan intervensi berupa obat anti-cacing, dan belum cukup untuk mendeteksi adanya perbaikan yang mungkin terjadi.
SIMPULAN
Prevalensi anak-anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli yang positif kecacingan dan dilakukan tes fungsi kognitif adalah sebanyak 12 orang dari 273 anak, serta telah dilakukan metode matching untuk faktor perancu pada kedua kelompok kasus dan kontrol.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara memori dan koordinasi visual-motorik untuk Pre-test dan Post-test. Tidak ditemukan pengaruh kejadian kecacingan terhadap memori dan koordinasi visual-motorik setelah dilakukan Pre-test dan Post-test dalam selang waktu 3 bulan pada anak SDN 1 Sulangai, Badung dan SDN 1 Blandingan, Bangli.
SARAN
Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan jumlah sampel yang lebih besar sehingga memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pengaruh kecacingan terhadap
fungsi kognitif anak-anak Sekolah Dasar.
Mengidentifikasi dan menyeleksi sampel penelitian dengan tepat supaya tidak terjadi lost to follow up. Sehingga memungkinkan untuk didapatkan jumlah sampel penelitian yang lebih banyak yaitu anak-anak dengan positif kecacingan.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Wiria AE, Djuardi Y, Supali T, Sartono E, dan Yazdanbakhsh M. Helminth Infection in Populations Undergoing Epidemiological Transition: a friend or foe? Springer. 2012. h.1-15.
-
2. WHO. Soil-Transmitted Helminth Infections 2017 [Diakses pada tanggal 27 Januari 2017]. Diunduh dari:http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs366/en/
-
3. Yudhastuti RM dan Lusno FD. Kebersihan Diri dan Sanitasi Rumah pada Anak Balita dengan Kecacingan. Kesmas. 2012;6:173-7.
-
4. Parija SC, Chidambaram M, dan Mandal J. Epidemiology and Clinical Features of soil-Transmitted Helminths. Tropical Parasitology. 2017;7(2):81-5.
-
5. Greenland K, Dixon R, Khan SA, Gunawardena K, dan Kihara JH. The Epidemiology of Soil-Transmitted Helminths in Bihar State, India. PLOS Neglected Tropical Diseases. 2015;9(5):1-14.
-
6. Pullan RL, Smith JL, Jasrasaria R, dan Brooker SJ. Global Numbers of Infection and Disease Burden of Soil Transmitted Helminth Infections in 2010. Parasites & Vectors. 2014;7:1-19.
-
7. Sudarmaja IM, Swastika K, Diarthini LPE, Laksemi DAA, dan Damayanti PAA. Prevalence of Helminth Infection among Elementary Student in Bali between 2004 to 2014. 3rd ICMCA_ATM; 2016; Malang, Indonesia.
-
8. Ezeamama AE, Friedman JF, Acosta LP, dan David C. Helminth Infection and Cognitive Impairment among Filipino Children. NIH-PA. 2006;72(5):540–8.
-
9. Ezeamama AE, McGarvey ST, Hogan J, dan Lapane KL. Treatment for Schistosoma japonicum, Reduction of Intestinal Parasite Load, and Cognitive Test Score Improvements in School-Aged Children. PLOS Neglected Tropical Diseases. 2012;6(5):1-10.
-
10. Ganguly S, Barkataki S, Karmakar S, Sanga P, Boopathi K, Kanagasabai K, Kamaraja P, Chowdhury P, Sarkar R, Raj D, James L, Dutta S, Sehgal R, Jha P, dan Murhekar M. High prevalence of Soil-Transmitted Helminth Infections Among Primary School Children, Uttar Pradesh, India, 2015. Biomed Central. 2017.h.1-9.
-
11. Suriptiastuti. Infeksi Soil-Transmitted Helminth : Ascariasis , Trichiuriasis dan Cacing Tambang. Universa Med. 2006;25(2):84–93.
-
12. Halwindi H, Magnussen P, Siziya S, Meyrowitsch DW, Olsen A. Socio-Demographic Factor Associated with Treatment Against Soil-Transmitted Helminth Infections in Children Aged 12–59 Months Using the Health Facility Approach Alone or Combined With a Community-Directed Approach in a Rural Area of Zambia. JBiosocSci. 2013;45(1):95– 109.
-
13. Winita R, Mulyati, dan Astuty H. Hubungan Sanitasi Diri dengan Kejadian Kecacingan pada Siswa SDN X Paseban, Jakarta Pusat. Maj Kedokt FK UKI. 2012;28(2):60–8.
-
14. Huat LB, Mitra AK, Izani N, Jamil N, Dam PC, dan Jan HJ. Prevalence and Risk Factors of Intestinal Helminth Infection Among Rural Malay Children. 2012;(1):10–5.
-
15. Faridan K, Marlinae L, dan Audhah N Al. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Cempaka 1 Kota Banjarbaru. Buski. 2013;4(3):121–7.
-
16. Kuong K, Fiorentino M, Perignon M, Chamnan C, Berger J, Sinuon M, dkk. Cognitive Performance and Iron Status are Negatively Associated with Hookworm Infection in Cambodian Schoolchildren. American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2016. h.1-18.
-
17. Al-Mekhlafi MH. Nutritional and Socioeconomic Determinants of Cognitive Function and Educational Achievement of Aboriginal School Children in Rural Malaysia. British Journal of Nutrition. 2011;106:1100-6.
-
18. Ebenezer R, Gunawardena K, Kumarendran B, dan Pathmeswaran A. Cluster-randomised Trial of The Impact of School-based Deworming and Iron Supplementation on The Cognitive Abilities of Schoolchildren in Sri Lanka’s Plantation Sector. Tropical Medicine and International Health. 2013;18(8):942-51.
154
Discussion and feedback