Prevalensi Antibodi IgM Anti-Salmonella pada Penderita Diduga Demam Tifoid di Rumah Sakit Puri Bunda, Denpasar Bulan April – Oktober 2014
on
ARTIKEL PENELITIAN
E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO. 11, NOVEMBER, 2017 : 84 - 91
ISSN: 2303-1395
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
-
1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
-
2 Bagian SMF Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Email: [email protected]
Diterima : 3 Oktober 2017
Disetujui : 23 Oktober 2017
Diterbitkan : 1 November 2017
Prevalensi Antibodi IgM Anti-Salmonella pada
Penderita Diduga Demam Tifoid di Rumah Sakit Puri
Bunda, Denpasar Bulan April – Oktober 2014
Zulaikha Binti Osman1, Ni Kadek Mulyantari2
ABSTRAK
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enteric serotype typhi, paratyphi A dan B. Kedua jenis paratyphi Salmonella masih dapat ditemukan secara luas di banyak negara berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis, yang kini mulai berkembang di seluruh Bali yaitu sebuah objek wisata yang terkenal. Demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan masyarakat karena presentasi klinis yang dapat disalah pahami dengan penyakit atau infeksi lain. Demam tifoid juga bisa menyebabkan berbagai komplikasi yang membuatnya menjadi kondisi yang sangat serius yang telah menjadi beban global. Prevalensi S.typhi terdeteksi pada peserta demam tertinggi di Indonesia. Penelitian telah dilakukan dengan menggunakan rencana cross-sectional, yang menggunakan data sekunder yang diambil di Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda. Hasil laboratorium tes serologi ini diambil oleh pasien yang diduga demam tifoid di Rumah Sakit Puri Bunda. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari Agustus 2014 hingga Oktober 2014, dan data dibagi menjadi kelompok usia, jenis kelamin, dan skor tes. Di antara 116 sampel yang dikumpulkan, jumlah tertinggi penderita adalah kelompok usia 2-20 tahun, yang 82 sampel. Kelompok usia ini juga mencatat jumlah tertinggi penderita mencetak skor uji ≤ 2, yang menunjukkan hasil negatif, dengan 47 sampel (63,5%). 23 sampel berasal dari kelompok usia 0-1 tahun (31,1%), 3 dari mereka milik 21-40 tahun kelompok usia tua (4,1%) dan 1,4% untuk kelompok usia> 40 tahun, terdeteksi dengan skor uji ≤ 2. Hasil tes batas skor 3 menunjukkan jumlah tertinggi sampel yang tercatat adalah 11 (84,6%) yang termasuk kelompok usia 2-20 tahun. 15,4% dari sampel milik kelompok usia 0-1 tahun dan tidak skor 3 untuk kelompok usia 21-40 dan> 40 tahun. Kelompok umur berusia 2-20 tahun tercatat 23 sampel (79,3%) untuk lemah positif demam tifoid (skor 4), kelompok umur 0-1 tahun dengan 6 sampel (20,7%), 3 sampel (2,6%) dan 1 sampel (0,9%) dari kelompok usia 21-40 tahun dan> 40 tahun masing-masing tua. Untuk skor ≤ 2, laki-laki memiliki beberapa nomor, 46 (55,4%) dibandingkan perempuan dengan 37 (44,6%). Pria dan wanita memiliki persentase yang sama dari sampel yang dikumpulkan dengan tes skor 3 di batas. Untuk tes skor 4, lemah positif, ada 13 laki-laki (48,1%) dan 14 perempuan (51,9%) yang tercatat. Hal ini menyimpulkan bahwa kelompok usia 2-20 tahun memiliki lazim tertinggi demam tifoid, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita memiliki prevalensi positif terhadap demam tifoid. Ada kebutuhan untuk penelitian yang akan dilanjutkan untuk jangka waktu yang lebih lama untuk memahami lebih baik tentang dinamika dan data distribusi demam tifoid di setiap bulan selama satu tahun.
Kata Kunci : Demam tifoid, IgM, Salmonella typhi, Usia, Jenis Kelamin, Skor Tes.
ABSTRACT
Typhoid fever is a systemic infection disease which is caused by Salmonella enteric serotype typhi, paratyphi A and paratyphi B. These two types of Salmonella can still be found widely in many developing countries especially those in tropical and subtropical region, which is now began developing around Bali, a well-known tourist-attraction place. Typhoid fever has become a public health concern because of its clinical presentations that can be misunderstood with other types of diseases or infections. Typhoid fever also can lead to numerous complications which make it a very serious condition that has become a global burden. The prevalency of S.typhi detected in febrile participants is highest in Indonesia. Research has been done using a cross-sectional plan, which uses a secondary data taken at the Clinical Pathology Laboratory at Puri Bunda Hospital. These are the laboratory results of the serological tests taken by the patients suspected with typhoid fever at Puri Bunda Hospital. The research was done for three months from August 2014 to October 2014, and the data were divided into age groups, sex and test scores. Among 116 samples collected, the highest number of patients belong to age group 2-20 years old, which is 82 samples. This age group also recorded the highest number of patients scoring a test score of ≤ 2, which shows a negative result, with 47 samples (63.5%). 23 samples are from the age group of 0-1-year-old (31.1%), 3 of them belong to 21-40 years old age group (4.1%) and 1.4% for age group >40 years old, detected with test score of ≤ 2. A borderline test result (score 3) shows the highest number of samples recorded are 11 (84.6%) which belongs to age group 2-20 years old. 15.4% of samples belong to age group 0-1-year-old and neither score 3 for age group 21-40 and >40 years old. Age group 2-20 years old recorded 23 samples (79.3%) for positive weak of typhoid fever (score 4), age group of 0-1-year-old with 6 samples (20.7%), 3 samples (2.6%) and 1 sample (0.9%) from the age groups of 21-40 years old and >40 years old respectively. For score ≤ 2, males have more numbers, 46 (55.4%) compared to females with
37 (44.6%). Male and female has the same percentage of samples collected with a test score 3 at borderline. For test score 4, a positive weak, there are 13 males (48.1%) and 14 females (51.9%) recorded. It is concluded that age group 2-20 years old have the highest prevalent of typhoid fever, meanwhile there is no significant different between males and females to have positive prevalency towards typhoid fever. There is a need for the research to be continued for a longer period of time to understand better on the dynamics and distribution data of typhoid fever in each month for a year.
Keyword : Typhoid Fever, IgM, Salmonella typhi, Age, Gender, Test Score
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi, paratyphi A dan paratyphi B. Kedua jenis Salmonella masih dapat ditemukan secara luas di negara-negara berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis, yang kini mulai berkembang di seluruh Bali, yaitu objek wisata yang terkenal. Namun, saat ini status subspecific serotype paratyphi A diangkat menjadi Salmonella paratyphi A.1
Demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, terutama di negara-negara berkembang. Perkiraan 22 juta kasus tifoid baru setiap tahun di dunia dengan sekitar 200.000 telah mengakibatkan kematian2 sehingga menjadikannya beban global saat ini. Sebuah penelitian cohort yang dilakukan pada anak-anak selama tahun 2010-2011, terjadinya episode demam akut pada 289 (19,3%) di 1.500 anak. Tiga penyebab demam akut yang paling utama adalah chikugunya, Salmonella Typhi dan demam berdarah. Penelitian ini juga menunjukkan Indonesia memiliki jumlah tertinggi peserta yang memiliki setidaknya satu episode demam yaitu 23,3% dan kepadatan kejadian 40,5 per 100 orang-tahun (95% Cl). Selain itu, Indonesia juga memiliki persentase tertinggi (38,1) dari S.typhi yang terdeteksi pada peserta demam dibandingkan dengan infeksi penyakit yang lain (Chikugunya, Influenza A, Rickettsia dan Hepatitis A). Secara keseluruhan, demam tifoid adalah infeksi kedua paling sering terdeteksi yaitu sebanyak 29,4% dari peserta demam pada kepadatan kejadian 9,1 per 100 orang tahun.3
Penyakit ini menyebar dengan begitu cepat karena sanitasi yang buruk, urbanisasi, kepadatan orang yang tinggi, sumber air dan pemilikan standar rendah industri kesehatan makanan. Sebuah studi telah dilakukan yang memperkirakan 12 sampai 33 juta kasus tifoid sedang direkam per tahun dengan total 200.000 kematian. Menurut data RISKESDAS (Hasil Riset Dasar Kesehatan) tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia dari semua kelompok usia. Sebuah laporan dari World Health Organization (WHO)1 pada tahun 2003 menyatakan bahwa ada sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kematian insiden 600.000 setiap tahun. Frekuensi tifoid di Indonesia sendiri pada tahun 1990 tercatat menjadi 9,2 dan meningkat menjadi 15,4 pada tahun 1884 per 10.000 orang. Terdapat 91% kasus demam tifoid di Indonesia dengan rata-rata pasien berumur 3-19 tahun.
Demam tifoid memiliki gejala dan spektrum klinis yang sangat luas sehingga menjadikannya sulit untuk didiagnosa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sebuah eksperimen laboratorium untuk memastikan diagnosa demam tifoid. Pemeriksaan hapusan darah, pemeriksaan mikrobiologi (kultur darah, sumsum tulang, kotoran), tes serologi dan uji molekul bakteri adalah merupakan contoh pemeriksaan laboratorium. Tes Widal adalah salah satu tes serologi yang paling umum dilakukan untuk membantu mendiagnosis demam tifoid. Prinsipnya adalah terhasilnya aglutinin (antibodi) pada suspensi antigen Salmonella enteric serotype typhi atau Salmonella enteric serotype paratyphi A yang ditambahkan ke serum pasien dicurigai dengan demam tifoid. Namun, beberapa peneliti berpikir tes tersebut kurang spesifik dan kurang sensitif karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil tes menjadi negatif palsu dan positif palsu. Penyebab hasil tes positif palsu adalah karena imunisasi sebelumnya dengan antigen Salmonella, standar rendah persiapan antigen komersial, reaksi silang dengan Salmonella non-tifoid dan infeksi malaria, enterobacteriaceae lainnya, atau penyakit lainnya seperti demam berdarah. Hasil negatif palsu biasanya disebabkan oleh kondisi pembawa, inokulum atau antigen bakteri yang tidak cukup terhadap host untuk memulai produksi antibodi. Dari uraian dan data di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi antibodi IgM Anti-Salmonella pada pasien yang diduga dengan demam tifoid di Rumah Sakit Puri Bunda dari bulan Agustus 2014 hingga Oktober 2014.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan teknik penelitian deskriptif dengan rancangan crosssectional, yaitu data non-eksperimental yang
diambil secara retrospektif dari Rumah Sakit Puri Bunda untuk mengetahui prevalensi demam tifoid pada pasien dari semua kelompok usia dari bulan Agustus 2014 hingga Oktober 2014.
Populasi target pada penelitian ini adalah secara umum yaitu pasien yang mengambil tes serologi di Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda.
Sampel penelitian adalah hasil laboratorium pasien yang dicurigai demam tifoid dan mengambil tes deteksi antibodi IgM anti-Salmonella di Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah hasil laboratorium tes deteksi antibodi IgM anti-Salmonella pada pasien yang datang ke Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda dari Agustus 2014 sampai Oktober 2014. Kriteria eksklusi adalah data rekam medis yang tidak lengkap.
Variabel penelitian ini terdiri dari: antibodi IgM (diukur dengan tingkat aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dari bakteri Salmonella dalam serum akut pasien yang diduga dengan demam tifoid), usia, dan jenis kelamin.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data sekunder dari hasil laboratorium tes serologi dari Laboratorium Patologi Klinik di Bunda Rumah Sakit Puri dari pasien yang diduga dengan demam tifoid untuk semua rentang usia dari Agustus 2014 hingga Oktober 2014. Data akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan SPSS setelah mengumpulkan semua informasi. Data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
HASIL
Karakteristik Responden
Sampel yang dikumpulkan adalah terdiri dari 116 pasien yang mengambil tes serologi di Laboratorium Rumah Sakit Puri Bunda. Terdapat 40 sampel pada bulan Agustus, 35 sampel pada bulan September dan 41 sampel pada bulan Oktober. Hasil tes serologis antibodi IgM antiSalmonella berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin dibahas sebagai berikut. Skor tes dibagi menjadi 4 kelompok:
Tabel 1 Interpretasi skor tes serologi antibodi IgM anti-Salmonella
SKOR INTERPRETASI
≤ 2 Negatif
-
3 Dalam Batasan (pemeriksaan ulang untuk 3 hari)
-
4 Positif lemah (indikasi kemungkinanan adanya infeksi demam tifoid) 6-10 Indikasi Kuat (adanya indikasi positif terhadap infeksi demam tifoid)
Berikut di bawah ini adalah data presentasi berdasarkan skor kelompok umur, jenis kelamin dan uji:
Tabel 2 Data sampel mengikut kelompok umur
UMUR (TAHUN)
JUMLAH
0-1
30
2-20
82
21-40
3
>41
1
Tabel 3 Data sampel mengikut jenis kelamin
JENIS KELAMIN
JUMLAH
Laki-laki
54
Perempuan
52
Tabel 4 Data sampel mengikut skor dan interpretasi tes serologi antibodi IgM anti-Salmonella
SKOR INTERPRETASI
JUMLAH
≤ 2 Negatif
74
3 Dalam Batasan
13
4 Positif lemah
29
6-10 Indikasi Kuat
0
Seperti yang ditunjukkan di atas, jumlah tertinggi penderita datang ke Rumah Sakit Puri Bunda adalah anak-anak dan remaja, yaitu sebanyak 82 orang, dan ada 30 bayi berusia 0-1 tahun yang terdaftar sebagai pasien di Rumah Sakit Puri Bunda. Hal ini karena Rumah Sakit Puri Bunda adalah institusi pelayanan yang melayani banyak ibu dan anak. Angka antara pasien laki-laki dan perempuan tidak sangat jauh berbeda, di mana laki-laki melebihi perempuan dengan hanya 2 orang. Hasil skor tes menunjukkan 74 dari 116 pasien memiliki skor tes terendah ≤ 2, yaitu hasil negatif. Sebagian besar dari pasien mungkin datang awalnya dengan keluhan demam (yang merupakan presentasi klinis pertama untuk infeksi tifoid), tapi akhirnya tidak dikira sebagai pasien yang terinfeksi. Sementara itu, jumlah kedua tertinggi yaitu pasien yang mendapat skor tes 4 atau positif lemah - merupakan indikasi demam tifoid. Ada 29 dari mereka mungkin telah mempresentasikan banyaknya gejala yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk mendiagnosis demam tifoid. Namun, tidak ada satu pun dari pasien yang memperoleh skor tes 6-10, yang memberikan indikasi kuat demam tifoid.
Terdapat beberapa faktor resiko yang
berhubungan dengan kejadian demam tifoid yaitu seseorang yang tidak memiliki kekebalan maksimal terhadap penyakit tetapi mendapat akses ke agen patogen saat mengkonsumsi air sehingga memungkinkan terjadinya transmisi bakteri. Pembuangan air dan kebersihan diri pekerja yang buruk serta penanganan makanan yang tidak bagus jelas akan menyediakan rute untuk terjadinya infeksi. Situasi akan memburuk ketika beberapa orang yang mungkin menjadi pembawa tifoid bila najis mereka mengandung patogen meskipun mereka tidak menunjukkan tanda-tanda umum dari penyakit. Resistensi multidrug terhadap pengobatan tifoid juga mungkin di antara faktor-faktor resiko terjadinya demam tifoid.
Distribusi serologis uji antibodi IgM AntiSalmonella berdasarkan kelompok umur di Rumah Sakit Puri Bunda
Tabel 5 menunjukkan perhitungan distribusi berdasarkan skor tes bila dibandingkan dengan kelompok umur. Untuk skor ≤ 2 yang merupakan hasil negatif, kelompok usia 2-20 tahun tercatat tertinggi dengan 47 sampel (63,5%), 23 sampel dari kelompok usia 0-1 tahun (31,1%), 3 dari mereka adalah kelompok umur 21-40 tahun (4,1%) dan hanya 1 orang yang berusia lebih dari 40 tahun atau 1,4% dari seluruh sampel yang dikumpulkan dengan hasil tes negatif. Sementara itu, hasil tes perbatasan (skor 3) menunjukkan jumlah tertinggi adalah 11 atau 84,6% dari kelompok usia yang sama seperti sebelumnya: berusia 2-20 tahun. Dua dari
mereka adalah dari umur 0-1 tahun (15,4%). Tidak ada sampel hasil tes perbatasan yang diperoleh untuk kelompok usia 21-40 tahun dan berusia ≥ 40 tahun. Kelompok usia 2-20 tahun juga memiliki jumlah sampel tertinggi (23 atau 79,3%) untuk positif lemah dari hasil tes demam tifoid atau skor 4. Persentase 20,7% atau 6 sampel dari kelompok umur 0-1 tahun merupakan jumlah kedua tertinggi dari sampel yang dikumpulkan dan terdeteksi sebagai skor 4.
Distribusi berdasarkan Kelompok Umur
Pada distribusi data di atas, dapat dilihat perbandingan antara hasil skor tes berdasarkan setiap kelompok umur. Kelompok usia 2-20 tahun memiliki jumlah sampel tertinggi di tiga hasil skor tes yang berbeda, sedangkan kelompok usia 0-1 tahun mencatat jumlah sampel kedua tertinggi. Hal ini mungkin karena Puri Rumah Sakit Bunda adalah sebuah institusi yang sangat melayani ibu dan anak, maka jumlah sampel menunjukkan peningkatan yang signifikan pada bayi dan anak-anak. Terdapat sampel yang diperoleh sangat sedikit untuk kedua kelompok usia 21-40 tahun dan yang berusia ≥ 40 tahun.
Data distribusi serologis uji antobodi IgM anti-Salmonella berdasarkan jenis kelamin di Rumah Sakit Puri Bunda
Tabel 6 menunjukkan perhitungan distribusi berdasarkan skor tes bila dibandingkan dengan jenis kelamin pasien - laki-laki dan perempuan.
Tabel 5 Distribusi serologis uji antibodi IgM anti-Salmonella berdasarkan kelompok umur di Rumah Sakit Puri Bunda
Umur |
Jumlah | ||||||
0-1 tahun |
2-20 tahun |
21-40 tahun |
>41 tahun | ||||
Jumlah |
23 |
47 |
3 |
1 |
74 | ||
Negatif |
Jumlah yang diharapkan |
19.8 |
51.7 |
1.9 |
.6 |
74.0 | |
% di dalam Hasil Laboratorium |
31.1% |
63.5% |
4.1% |
1.4% |
100.0% | ||
Jumlah |
2 |
11 |
0 |
0 |
13 | ||
Hasil Laboratorium |
Garis batasan |
Jumlah yang diharapkan |
3.5 |
9.1 |
.3 |
.1 |
13.0 |
% di dalam Hasil Laboratorium |
15.4% |
84.6% |
0.0% |
0.0% |
100.0% | ||
Jumlah |
6 |
23 |
0 |
0 |
29 | ||
Positif |
Jumlah yang diharapkan |
7.8 |
20.3 |
.8 |
.3 |
29.0 | |
% di dalam Hasil Laboratorium |
20.7% |
79.3% |
0.0% |
0.0% |
100.0% | ||
Jumlah |
Jumlah |
31 |
81 |
3 |
1 |
116 | |
Jumlah yang diharapkan |
31.0 |
81.0 |
3.0 |
1.0 |
116.0 | ||
% di dalam Hasil Laboratorium |
26.7% |
69.8% |
2.6% |
0.9% |
100.0% |
Tabel 6 Data distribusi serologis uji antibodi IgM anti-Salmonella berdasarkan jenis kelamin di Rumah Sakit Puri Bunda
Jenis Kelamin |
Jumlah | |||
Laki - laki |
Perempuan | |||
Jumlah |
46 |
37 |
83 | |
Negatif |
Jumlah yang diharapkan |
44.4 |
38.6 |
83.0 |
% di dalam Hasil Laboratorium |
55.4% |
44.6% |
100.0% | |
Jumlah |
3 |
3 |
6 | |
Hasil Laboratorium Garis Perbatasan |
Jumlah yang diharapkan |
3.2 |
2.8 |
6.0 |
% di dalam Hasil Laboratorium |
50.0% |
50.0% |
100.0% | |
Jumlah |
13 |
14 |
27 | |
Positif |
Jumlah yang diharapkan |
14.4 |
12.6 |
27.0 |
% di dalam Hasil Laboratorium |
48.1% |
51.9% |
100.0% | |
Jumlah |
62 |
54 |
116 | |
Jumlah |
Jumlah yang diharapkan |
62.0 |
54.0 |
116.0 |
% di dalam Hasil Laboratorium |
53.4% |
46.6% |
100.0% |
Terdapat 46 laki-laki (55,4%) dan 37 perempuan (44,6%) untuk skor ≤ 2 yang menunjukkan hasil negatif. Oleh karena itu, keseluruhannya adalah 83 diuji negatif. Laki-laki dan wanita memiliki jumlah masing-masing 3 orang untuk skor 3 (borderline), maka masing-masing memiliki persentase 50%. Terdapat 13 laki-laki (48,1%) dan 14 perempuan (51,9%) untuk skor tes 4 yaitu positif lemah. Namun, tidak ada sampel dengan skor tes 6-10 yang menunjukkan indikasi kuat dari infeksi demam tifoid. Oleh karena itu, tidak ada data yang tercatat pada tabel di atas. Secara keseluruhan, jumlah laki-laki dan wanita adalah sebanyak 116 sampel.
PEMBAHASAN
Prevalensi hasil skor tes serologis uji antibodi IgM Anti-Salmonella berdasarkan kelompok umur di Rumah Sakit Puri Bunda
Dari hasil yang ditunjukkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ketiga hasil tes tersebut jelas menunjukkan bahwa pasien yang datang ke Rumah Sakit Puri Bunda berada di bawah 20 tahun dan merupakan anak-anak. Subyek-subyek ini memiliki prevalensi tertinggi demam tifoid. Menurut sebuah artikel penelitian oleh Reuben C.R4 dari International Journal of Advanced Research, hal ini adalah karena mereka melakukan sebagian pekerjaan rumah tangga dan mungkin mengambil air dari sungai yang sudah tercemar. Mereka juga mungkin makan makanan yang terkontaminasi. Sehubungan dengan kelompok usia, anak-anak memiliki prevalensi tertinggi. Kebanyakan
dari mereka masih muda dan kurang didikan untuk mengetahui pengetahuan dasar tentang lingkungan, makanan dan kebersihan pribadi. Selain itu, mereka tidak menyadari bagaimana melaksanakan langkah-langkah pencegahan atau pengendalian tertentu untuk mengurangi risiko mendapatkan infeksi.4
Selain itu, penelitian terbaru dari Asia Selatan menunjukkan bahwa insiden demam tifoid lebih tinggi pada anak-anak kurang dari 5 tahun, dengan tingkat komplikasi dan rawat inap yang lebih tinggi. Hal ini mungkin menunjukkan resiko paparan awal dosis infeksi organisme yang besar di dalam populasi ini. Temuan ini bagaimanapun kontras dengan studi sebelumnya dari Amerika Latin dan Afrika - infeksi S. Typhi menyebabkan penyakit ringan pada masa bayi dan kanak-kanak. Namun demikian, alasan yang tepat untuk perbedaan ini dalam epidemiologi dan spektrum infeksi Salmonella antara Asia dan Afrika tetap kurang jelas.5
Prevalensi kedua tertinggi adalah kelompok usia 0-1 tahun dengan 31 sampel. Data terbaru dari Asia Selatan jmenunjukkan bahwa manifestasi tifoid mungkin lebih dramatis pada anak-anak kurang dari 5 tahun. Sejumlah besar sampel diuji dengan hasil skor positif lemah (skor 4) di kelompok usia 2-20 tahun. Sebuah skor 4 mungkin berasal dari presentasi diare, keracunan dan komplikasi seperti DIC, yang lebih sering terjadi pada bayi, seperti yang telah dinyatakan sebelumnya.5
Tahap awal demam enterik mungkin
disalahartikan dengan kondisi seperti gastroenteritis akut, bronkitis dan bronkopneumonia, untuk anak-anak dengan kecirian multisistem. Oleh karena itu, wujudnya kebutuhan yang mendesak untuk mengembangkan multipurpose5 “fever stick” yang memungkinkan diagnosis lebih cepat dan spesifik dari tampilan gejala demam umum, terutama penyakit malaria, demam berdarah dan tifoid. Hal ini cocok dengan jumlah yang signifikan dari hasil nilai skor tes 4 yang ditemukan dalam sampel dari bulan Agustus sampai Oktober 2014 di Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda.
Prevalensi kedua tertinggi yaitu kelompok 0-1 tahun dengan 31 sampel. Gizi buruk dapat menjadi salah satu faktor resiko indikasi demam tifoid. Rumah Sakit Puri Bunda memiliki jumlah bayi dan anak-anak yang lebih banyak datang untuk pemeriksaan medis. Ibu atau bapa mungkin memiliki kurang pengetahuan tentang penanganan awal larutan dehidrasi oral (oralit) pada dehidrasi ringan sampai sedang. Adapun ibu mungkin telah berhenti menyusui atau memberi makanan pendamping selama diare. Hal ini disarankan dalam sebuah artikel penelitian oleh Keusch, G.T6 pada Pengendalian Penyakit Prioritas di Negara Berkembang. Bab 19: Penyakit Diare. Data dari 99 survei nasional yang dilakukan pada pertengahan tahun 1990 yang disusun oleh United Nations Children Fund (UNICEF)6 menunjukkan sejumlah besar pasien diare yang tepat ditangani di sebagian besar tempat di seluruh dunia, dengan keseluruhan penggunaan oralit atau cairan buatan dari rumah yang lebih direkomendasikan sehingga mencapai 49 persen.5 Dianjurkan untuk mendapatkan vaksin rotavirus yang efektif pada bayi untuk melindungi mereka dari rotavirus. Hampir semua bayi memperoleh diare rotavirus pada awal kehidupan ini sehingga menyumbangkan setidaknya sepertiga dari episode diare parah dan berpotensi fatal, terutama di negara-negara berkembang.
Selain itu, penyakit demam undifferentiated yang umum pada anak-anak yang tinggal di daerah tropis Asia. Diagnosa demam akut dengan konfirmasi dari laboratorium juga memerlukan tes / virologi positif bakteriologis sebagai hasil kultur dan PCR; konfirmasi serologis antibodi patogen spesifik imunoglobulin IgM atau kenaikan empat kali lipat dalam IgG juga dapat mendukung penilaian tersebut. Sebuah studi kohort sebagaimana tercantum dalam PLOS Neglected Tropical Diseases oleh Capeding, M.R3 yang dilakukan pada anak-anak di lima negara Asia epidemis denggi - Indonesia, Malayisa, Filipina, Thailand dan Vietnam (selama 2010-2011) di mana episode demam akut terjadi di 289 (19,3%)
dari kelompok di 1.500 anak. Tiga penyebab demam akut yang chikungunya, Salmonella Typhi dan demam berdarah, diikuti oleh influenza A, rickettsia dan hepatitis A. Dalam studi tersebut, Indonesia menunjukkan jumlah tertinggi peserta yang memiliki setidaknya satu episode demam, dari 23,3% dan 40,5 tercatat kepadatan kejadian per 100 orang-tahun (95% Cl). Selanjutnya, Indonesia telah mencatat persentase tertinggi (38,1) dari S.typhi terdeteksi pada peserta demam dibandingkan dengan jenis lain dari infeksi (Chikugunya, Influenza A, Rickettsia dan Hepatitis A). Secara keseluruhan, demam tifoid adalah infeksi kedua paling sering terdeteksi, yang diidentifikasi dalam 29,4% dari peserta demam pada kepadatan kejadian 9,1 per 100 orang-tahun. Studi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan tes rutin untuk demam tifoid (kutur) dan chikugunya (deteksi antigen) di negara-negara ini akan meningkatkan akurasi diagnosis penyakit undifferentiated demam akut pada anak-anak.3
Studi berbasis masyarakat di bidang penyakit endemik menunjukkan bahwa banyak pasien dengan tifoid, terutama anak-anak di bawah usia lima tahun, mungkin memiliki penyakit nonspesifik yang tidak diakui secara klinis sebagai tifoid. Antara 60 sampai 90 persen orang dengan tifoid tidak menerima perhatian medis dan hanya mendapat rawat jalan.7 Hal ini menjelaskan jumlah tertinggi sampel terdeteksi dengan skor ≥ 2 di antara kelompok usia 2-20 tahun di Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda. Anak-anak ini datang dengan demam, gejala influenza dengan menggigil, malaise, mual tetapi tanda-tanda fisik yang sedikit. Kejang dapat terjadi pada anak di bawah lima tahun. Jumlah hemoglobin, sel darah putih dan trombosit biasanya normal atau kurang. Disseminated intravascular coagulation dapat diperoleh dari tes laboratorium, tetapi juga mungkin menjadi sangat penting secara klinis.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Malaysian Journal of Microbiology8, tifoid juga telah menjadi umum di kalangan bayi dan anak-anak di Asia Tenggara. Anak-anak dan orang dewasa berusia 0-4 tahun dan muda berusia 25 sampai 29 tahun lebih rentan terhadap demam tifoid dibandingkan dengan populasi yang lebih tua. Temuan ini juga disepakati oleh peneliti lain dari bagian lain dunia (termasuk Asia Tenggara). Salah satu alasan adalah bahwa sistem kekebalan tubuh sudah mulai menurun pada kelompok usia sehingga membuatkan mereka rentan terhadap patogen enterik ini. Selain itu, terdapat sebagian pembuatan persiapan makanan lokal yang kurang bersih di sekolah-sekolah dan institusi akademis serta penanganan makanan yang tidak praktis, atau makanan yang siap dimasak terlalu dini
dan disimpan pada suhu rendah atau praktek higienis yang buruk adalah antar penyebab kasus keracunan makanan. Selain itu, mungkin ada kurangnya kontrol yang ketat pada warung makan di perumahan atau dekat daerah sekolah. Kemungkinan transmisi S.typhi juga ditingkatkan melalui individu yang terinfeksi tetapi tanpa gejala (pembawa) seperti pengendali makanan karena bakteri dapat ditularkan dari cairan biologis melalui makanan dan minuman yang ditangani oleh mereka, seperti yang dinyatakan dalam Center for Disease Control8, 2005. Konsumsi produk susu mentah yang terkontaminasi, minuman yang berperasa dan es krim juga memainkan peran dalam transmisi demam tifoid.8
Prevalensi serologis uji antibodi IgM AntiSalmonella berdasarkan jenis kelamin di Rumah Sakit Puri Bunda
Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa data yang diambil dari Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda dari bulan Agustus sampai Oktober 2014 berdasarkan skor tes dan jenis kelamin pasien, laki-laki adalah yang tertinggi untuk merekam skor ≤ 2, yaitu negatif, meskipun terdapat perbedaan 9 orang bila dibandingkan dengan pasien perempuan yang diuji negatif. Terdapat distribusi yang sama dari nomor antara laki-laki dan wanita untuk skor 3 yang merupakan perbatasan antara hasil deteksi demam tifoid negatif dan positif, yaitu masing-masing memiliki 3 sampel. Selain itu, tidak ada banyak perbedaan antara jumlah laki-laki dan perempuan yang mendapat skor 4 (indikasi lemah positif demam tifoid), dimana perempuan hanya lebih satu orang dibandingkan dengan laki-laki. Sebuah analisis epidemiologi demam tifoid dilakukan di salah satu negara di Malaysia seperti yang tercatat dalam Malaysian Journal of Microbiology8 bahwa anak-anak dan wanita umumnya dianggap rentan untuk demam tifoid karena mereka menunjukkan hubungan statistik yang signifikan dalam penelitian. Data ini sesuai dengan temuan World Health Organization (WHO)8 di bagian lain dari Asia, yaitu kerentanan terhadap infeksi tifoid kronis pada wanita adalah lebih tinggi daripada laki-laki, serta usia, kehamilan dan obesitas juga mendukung menjalarnya infeksi ini. Infeksi tifoid telah terbukti tertinggi pada anak-anak laki-laki berusia antara 10-14 tahun.8
Selain itu, dapat dikatakan bahwa periode antara Agustus dan Oktober memiliki cuaca yang sangat panas dimana hujan sangat jarang dalam waktu tiga bulan tersebut. Studi saat ini International Journal of Advanced Research2 pada
2013 menunjukkan bahwa kontaminasi mikroba dari makanan dan air lebih banyak di musim panas karena bakteri patogen dapat berkembang biak sangat cepat. Demam tifoid dan paratifoid juga bisa dihubungkan dengan kondisi lingkungan dan hidup yang buruk terutama di negara-negara miskin secara ekonomi. Di daerah penelitian yang disebutkan di dalam jurnal di atas, air pipa mungkin jarang dirawat dan sistem pembuangan limbah juga mungkin sangat buruk.4
Menurut sebuah studi penelitian tentang resistensi antibiotik untuk demam enterik di Australia yang tercatat di MJA 2012, mereka telah menemukan tingkat resistensi antibiotik yang sangat rendah di Indonesia untuk kedua S.typhi dan S. Paratyphi. Hal ini berbeda dari studi Indonesia, yang menunjukkan tingkat resistensi multidrug hingga 6,83% dan ketahanan ciprofloxacin dari 3,90% di Sulawesi Selatan. Hal ini juga dapat menjadi salah satu faktor resiko demam tifoid terdeteksi di Indonesia.9
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa jelas terlihat bahwa anak-anak, terutama bayi dan anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun memiliki sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah. Oleh karena itu, mereka lebih rentan mendapatkan berbagai jenis infeksi, tifoid adalah salah satunya. Mereka juga memiliki pengetahuan dasar yang kurang tentang bagaimana mengelola diri menjaga kebersihan diri yang benar. Tidak hanya anak-anak membutuhkan perhatian ekstra, tetapi orang dewasa muda juga perlu rincian tambahan pada lingkungan sekitarnya dan pribadi kebiasaan makan dan gaya hidup.
Terdapat banyak bayi dan anak-anak yang datang ke Rumah Sakit Puri Bunda untuk pemeriksaan medis karena Rumah Sakit Puri Bunda adalah institusi yang melayani ibu dan anak. Namun, tidak ada pernyataan yang signifikan untuk mengatakan perbedaan antara jumlah laki-laki dan perempuan yang datang ke Rumah Sakit Puri Bunda sebagai pasien. Demam tifoid biasanya sangat sulit untuk didiagnosis sebagai pasien selalu datang dengan keluhan yang sama seperti jenis lain dari infeksi. Itulah sebabnya evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan seperti tes serologi untuk mendeteksi keberadaan S.typhi dalam tubuh. Hal ini juga menjelaskan jumlah tertinggi pasien yang terdaftar di Rumah Sakit Puri Bunda mendapat skor ≤ 2, di mana mereka mungkin telah datang dengan gejala demam tetapi akhirnya dieliminasi sebagai pasien yang terinfeksi dari tifoid.
SARAN
Diharapkan dengan penelitian ini rakyat di Indonesia khususnya, dapat lebih menyadari demam tifoid dan jenis-jenis penyakit lainnya. Disarankan juga bahwa penelitian ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama untuk mengetahui dan memahami dengan jelas distribusi dan dinamika data dalam setiap bulan dan sepanjang tahun.
DAFTAR PUSTAKA
treatment and prevention of typhoid fever. Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and Biologicals. World Health Organization (WHO). 2003 May [cited 2014 December 8]; WHO/V&B/03.07.
-
2. Dewan MA, Corner R, Hashizume M, Ongee TE. Typhoid Fever and Its Association with Environmental Factors in the Dhaka Metropolitan Area of Bangladesh: A Spatial and Time-Series Approach. PLOS Neglected Tropical Disease [Internet]. 2013 [cited 2014 December 8]; 7(1):e1998. Available from: www.plosntds.org
-
3. Capeding, MR, Chua, MN, Hadinegoro, SR, Hussain, IIHM, Nallusamy, R, Pitisuttithum, P, Rusmil, K, Thisyakorn, U, Thomas, SJ, Tran, NH, Wirawan, DN, Yoon, I-K, Bouckenooghe, A, Hutagalung, Y, Laot, T, Wartel, TA. Dengue and Other Common Causes of Acute Febrile Illness in Asia: An Active Surveillance Study in Children. PLOS Neglected Tropical Disease. 2013 [cited 2014 December 7]; 7(7):e2331.
-
4. Reuben, CR, Hassan, SC, Jatau, AG. Research Article: Retrospective and Cross-Sectional Studies of Typhoid Fever in Pregnant Women in a Community in Central Nigeria. International Journal of Advanced Research [Internet]. 2013 [cited 2014 December 8]; 1(3):66-72. Available from: http://www. journalijar.com
-
5. Bhutta, AZ. Clinical Review: Current Concepts in the Diagnosis and Treatment of Typhoid Fever. BMJ [Internet]. 2006 [cited 2014 December 8]; 555. Available from: http:// www.fopme.scuegypt.edu.eg/projects/e-talc/ html/content/bmj/2006/333/78.pdf
-
6. Keusch, GT, Fontaine, O, Bhargava, A, Boschi-Pinto, C, Bhutta, AZ, Gotuzzo, E, Rivera, J, Chow, J, Shahid-Salles, S, Laxminarayan, R. Chapter 19: Diarrheal Disease. Disease Control Priorities in Developing Countries. 2002 [cited 2014 December 8].
-
7. Parry, CM, Hein, MBTT, Dougan, G, White, NJ, Farrar, JJ. Review Article: Typhoid Fever. The New England Journal of Medicine [Internet]. 2002 [cited 2014 December 8]; 347. Available from: www.nejm.org
-
8. Ja’afar, JN, Goay, YX, Zaidi, NFM, Low, HC, Hussin, HM, Hamzah, WM,
Bhore, SJ, Balaram, P, Ismail, A, Phua, KK. Epidemiological Analysia of Typhoid Fever in Kelantan From A Retrieved Registry. Malaysian Journal of Microbiology. 2012 [cited 2014 December 8]; 9(2):147-151.
-
9. Commons, RJ, McBryde, E, Valcanis, M, Powling, J, Street, A, Hogg, G. Twenty-Six Years of Enteric Fever in Australia: An Epidemiological Analysis of Antibiotic Resistance. MJA. 2012 [cited 2014 December 7]; 196 (5).
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
91
Discussion and feedback