GAMBARAN BUKTI MEDIS KASUS KEJAHATAN SEKSUAL YANG DIPERIKSA DI BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI 2009 – DESEMBER 2013
on
ARTIKEL PENELITIAN
E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO. 9, SEPTEMBER, 2017 : 1 - 6
ISSN: 2303-1395
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Gambaran Bukti Medis Kasus Kejahatan Seksual yang Diperiksa di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Periode Januari 2009 – Desember 2013
Cecilia Kartika Wijaya1, Henky2, Ida Bagus Putu Alit2
ABSTRAK
Dorongan seksual yang besar dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan seksual untuk memenuhi keinginannya. Secara umum, kejahatan seksual banyak terjadi di dunia, dan cenderung meningkat setiap tahun dengan bukti medis yang beragam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran bukti medis kasus kejahatan seksual yang diperiksa di RSUP Sanglah periode 2009 - 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional menggunakan data forensik klinik yang tersedia. Kasus yang diteliti dan memenuhi kriteria inklusi sebanyak 291 orang. Hasil penelitian menunjukkan korban kejahatan seksual terbanyak berasal dari golongan remaja, yaitu sebanyak 175 kasus (60,1%). Sebanyak 66,3% merupakan kasus persetubuhan lama, 26,1% merupakan persetubuhan baru, dan dari 7,6% korban tidak ditemukan tanda persetubuhan. Dari pemeriksaan fisik korban ditemukan lebih banyak yang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, sebanyak 85,2%. Tanda persetubuhan yang paling banyak ditemukan adalah tanda penetrasi tanpa tanda ejakulasi yang positif, yaitu 78%. Delapan puluh tujuh koma enam persen kasus tidak mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan korban, namun beberapa korban ada yang mengalami kehamilan dan gangguan psikiatri, sebanyak 10,7% dan 1,7%.
Kata Kunci : Kejahatan seksual, forensik, bukti medis
ABSTRACT
High sex drive can push someone to commit sexual assault to fulfill their need. Generally, sexual assault happens around the world, and it tends to increase annually with diverse medical evidence. This study aims to discover the overview of medical evidence of sexual assault examined in Sanglah Hospital between 2009 and 2013. This study was a descriptive study with cross-sectional approach using clinical forensic data. The number of case which met the inclusion criteria was 291 cases. This study showed that the victims of sexual assault mostly came from teenage group, which were 175 cases (60.1%). Sixty six point three percent of victim had forensic medical examination after 72 hours had passed, 26.1% were examined within 72 hours of the assault, and 7.6 % were not found any sign of sexual intercourse. The physical examination of the victim found that most cases indicating that there were not any sign of physical abuse, as many as 85.2%. The sign of sexual intercourse found in most cases was penetration without positive ejaculation sign, as many as 78%. Eighty seven point six percent of cases did not affect the victim’s life, but some victims got pregnant and suffered psychiatric disorder, 10.7% and 1.7% respectively.
Keyword : Sexual assault, forensic, medical evidence.
Diterima : 14 Agustus 2017
Disetujui : 28 Agustus 2017
Diterbitkan : 1 September 2017
PENDAHULUAN
Dorongan seksual adalah salah satu aspek kompleks dari pengalaman manusia yang berkaitan dengan unsur kognitif, emosional, sensual, dan perilaku dari individu yang menjadi pola pengalaman pribadi yang unik yang berasal dari fantasi internal dan perilaku eksternal. Keinginan seksual juga didorong oleh aspek biologis, fisiologis, dan psikoseksual, yang jika terlalu besar dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan seksual untuk memenuhi keinginannya.1
Secara umum, kejahatan seksual banyak terjadi di seluruh dunia, khususnya terhadap wanita. Mayoritas korban kejahatan seksual adalah wanita, kebanyakan pelaku kejahatan seksual adalah laki-laki, dan sebagian besar korban mengenal atau bahkan dekat sekali hubungannya dengan
pelaku. Diperkirakan sekitar 700.000 wanita mengalami kejahatan seksual tiap tahun di Amerika Serikat. Tidak menutup kemungkinan, kejahatan seksual terhadap laki-laki juga dapat terjadi. Namun, sangat sulit untuk memastikan insiden kejahatan seksual karena memberikan laporan menjadi korban kejahatan seksual dan diketahui menjadi tidak perawan bagi wanita masih dianggap tabu oleh keluarga dan masyarakat, sehingga ada kecenderungan terjadi underreport dari kasus kejahatan seksual ini.2,3
Di Indonesia, kasus kejahatan seksual terhadap anak mulai marak diberitakan. Menurut kutipan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan laporan kekerasan terhadap anak pada tahun 2011, 58% dari 2.509 kasus kekerasan merupakan
kekerasan seksual. Dan pada tahun 2012 tercatat 2.637 kasus dimana 62% merupakan kasus kekerasan seksual. Data tersebut ditambah pada semester pertama 2013 tercatat sebanyak 1.824 kasus dengan 724 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual.4
Banyaknya kasus kejahatan seksual dan adanya kecenderungan peningkatan kasus kejahatan seksual inilah, perlu diketahui berapa banyak kasus yang ada untuk melihat perkembangan kasus kejahatan seksual dan gambaran bukti medis kasus kejahatan seksual tersebut. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk pemerintah dalam mengurangi kasus kejahatan seksual dan dasar untuk penelitian selanjutnya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui gambaran bukti medis kasus kejahatan seksual yang diperiksa di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode Januari 2009 hingga Desember 2013. Bukti medis yang diteliti yaitu usia korban, tanda kekerasan, tanda persetubuhan, waktu persetubuhan, dan akibat persetubuhan.
Tahun |
Jumlah Kasus |
Persentase (%) |
2009 |
77 |
26,5 |
2010 |
51 |
17,5 |
2011 |
41 |
14,1 |
2012 |
59 |
20,3 |
2013 |
63 |
21,6 |
Total |
291 |
100,0 |
Tabel 2 Klasifikasi Usia Korban Kejahatan Seksual Pertahun
Klasisfikasi Usia | ||||||
Tahun Kasus |
Balita |
Anak -Anaka |
Remaja |
Dewasa |
Usia Lanjut |
Total |
2009 |
5 |
4 |
39 |
27 |
2 |
77 |
2010 |
1 |
2 |
28 |
20 |
0 |
51 |
2011 |
0 |
1 |
22 |
18 |
0 |
41 |
2012 |
2 |
0 |
47 |
9 |
1 |
59 |
2013 |
1 |
2 |
39 |
19 |
2 |
63 |
Total |
9 |
9 |
175 |
93 |
5 |
291 |
Berdasarkan data sekunder dalam bentuk rekam medis forensik klinis, jumlah sampel yang didapat secara keseluruhan adalah 382 dari 2.098 kasus yang terdaftar dalam registrasi kasus hidup lima tahun terakhir, 291 kasus masuk dalam kriteria inklusi, 91 kasus tereksklusi sesuai dengan kriteria eksklusi. Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah, dianalisis dan diinterpretasikan dalam bentuk naratif deskriptif.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2013 kasus kejahatan seksual mencapai 21,6% dari total kasus yang diteliti, tahun 2012 terdapat 20,3% dari kasus, di tahun 2011 terdapat 14,1% dari kasus, di tahun 2010 terdapat 17,5% dari kasus, sedangkan tahun 2009 terdapat 26,5% dari total kasus yang diteliti.
Pada tabel 2, terlihat bahwa korban kejahatan seksual terbanyak berasal dari golongan remaja 175 kasus (60,1%), baik secara keseluruhan selama lima tahun observasi maupun pertahunnya. Dimana jumlah kasus kejahatan seksual pada remaja mencapai puncak pada tahun 2012, yaitu sebanyak 47 kasus.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kasus kejahatan seksual yang diperiksa, banyak korban yang tidak mengalami kekerasan fisik, yaitu 248 kasus (85,2%) dan yang mengalami kekerasan fisik relatif sedikit. Dimana letak tanda kekerasan yang terbanyak ditemui di bagian tubuh extra aerogen.
Tabel 3 Letak Tanda Kekerasan
Letak Tanda Kekerasan |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Extra aerogen |
42 |
14,4 |
Aerogen dan extraaerogen |
1 |
0,3 |
Tidak ada |
248 |
85,2 |
Total |
291 |
100,0 |
Pada grafik 1, tampak bukti persetubuhan yang paling banyak ditemukan adalah adanya tanda penetrasi, yaitu sebanyak 227 kasus (78,0%). Sebanyak 42 kasus (14,4%) ditemukan tanda penetrasi dan tanda ejakulasi yang positif, dan 22 kasus (7,6%) tidak ditemukannya tanda penetrasi maupun tanda ejakulasi.
Data tabel 4 menunjukkan tanda penetrasi yang paling banyak ditemukan adalah adanya robekan lama himen dan tanpa perlukaan di kelamin luar yaitu sebanyak 229 kasus (78,7%). Terdapat 22 kasus (7,6%) yang tidak menunjukkan adanya tanda penetrasi.
Persetubuhan lama |
193 |
66,3 |
Persetubuhan baru |
76 |
26,1 |
Tidak ada tanda persetubuhan |
22 |
7,6 |
Total |
291 |
100,0 |
Tanda Penetrasi |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Robekan lama himen |
229 |
78,7 |
Robekan baru himen |
10 |
3,4 |
Tidak ada robekan himen |
22 |
7,6 |
Perlukaan kelamin luar dan robekan lama himen |
15 |
5,2 |
Perlukaan kelamin luar dan robekan baru himen |
9 |
3,1 |
Perlukaan kelamin luar tanpa robekan himen |
6 |
2,1 |
Total |
291 |
100,0 |
Berdasarkan tabel 7, pada 255 kasus (87,6%) yang diperiksa tidak mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan korban, 31 kasus (10,7%) korban mengalami kehamilan, dan 5 kasus (1,7%) korban mengalami gangguan psikiatri karena kejahatan seksual tersebut.
Akibat |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Tidak ada |
255 |
87,6 |
Hamil |
31 |
10,7 |
Gangguan psikiatri |
5 |
1,7 |
Total |
291 |
100,0 |
Hasil pemeriksaan hapusan atau bilasan liang sanggama (tabel 5), sebanyak 249 kasus (85,6%) tidak menunjukkan adanya sel mani dan komponennya (PSA). Sebanyak 42 kasus (14,4%) hasil pemeriksaannya positif terdapat sel mani dan/ atau komponennya.
Tabel 5 Tanda Persetubuhan berupa Tanda Ejakulasi
Hasil Pemeriksaan |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Positif |
42 |
14,4 |
Negatif |
249 |
85,6 |
Total |
291 |
100,0 |
Berdasarkan tabel 6 didapatkan hasil, 193 kasus (66,3%) merupakan kasus persetubuhan lama. Sebanyak 76 kasus (26,1%) merupakan persetubuhan baru, dan 22 kasus (7,6%) tidak ditemukannya tanda persetubuhan.
PEMBAHASAN
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, 2009 merupakan tahun dengan kasus kejahatan seksual terbanyak yaitu 77 kasus (26,5%) dan yang terendah di tahun 2011 sebanyak 41 kasus (14,1%), yang kemudian kembali meningkat di tahun 2012 dan 2013. Di tahun 2011 data dari penelitian ini tampak menurun drastis disebabkan karena banyaknya data yang rekam medisnya tidak ada atau tidak lengkap sehingga tereksklusi.
Peningkatan kasus kejahatan seksual dari tahun 2011 hingga tahun 2013 pada penelitian ini sesuai dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual yang diberitakan di Indonesia. Menurut kutipan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, berdasarkan laporan kekerasan terhadap anak pada tahun 2011, 58% dari 2.509 kasus kekerasan merupakan kekerasan seksual. Pada tahun 2012 tercatat 2.637 kasus dimana 62% merupakan kasus kekerasan seksual. Data tersebut ditambah pada semester pertama
2013 tercatat sebanyak 1.824 kasus dengan 724 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual.4
Adapun dari 291 kasus yang diteliti, perzinahan merupakan jenis kasus kejahatan seksual terbanyak, yaitu 100 kasus (34,4%), diikuti dengan persetubuhan di luar pernikahan sebanyak 99 kasus (34%), perkosaan sebanyak 64 kasus (21,9%), dan perbuatan cabul sebanyak 28 kasus (9,6%). Hal ini memiliki dampak pada gambaran bukti medis yang akan ditemukan pada pemeriksaan.
Pada tabel 2, terlihat bahwa korban kejahatan seksual terbanyak berasal dari golongan remaja, baik secara keseluruhan selama lima tahun observasi maupun pertahunnya Menurut data dari sistem peradilan di Chile, Malaysia, Meksiko, Papua Nugini, Peru dan Amerika Serikat, sekitar satu sampai dua per tiga korban kejahatan seksual berusia kurang atau sama dengan 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan berusia remaja memang lebih rentan menjadi korban kejahatan seksual daripada wanita dewasa.6
Dilihat dari jenis kejahatan seksual yang banyak ditemui pada penelitian di Bagian Kedokteran Forensik RSUP Sanglah adalah kasus perzinahan dan persetubuhan di luar pernikahan yang dilakukan oleh golongan usia remaja (1225 tahun). Hal ini mungkin disebabkan karena lingkungan keluarganya yang kurang harmonis, tinggal dalam kemiskinan, dan pendidikan yang relatif rendah.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kasus kejahatan seksual yang diperiksa, banyak korban yang tidak mengalami kekerasan fisik, yaitu 248 kasus (85,2%), dan hanya sedikit yang mengalami kekerasan fisik. Adapun bukti adanya kekerasan fisik yaitu berupa luka-luka ringan, seperti memar, lecet, luka gores atau robekan kecil yang menunjukkan adanya perlawanan dari korban. Paling banyak ditemui di area extraaerogen, seperti di wajah, kepala, punggung, lengan dan tangan (gambar 1).
Gambar 1 Tanda kekerasan fisik berupa luka robekan di kepala korban kejahatan seksual yang diperiksa di RSUP Sanglah
Gambar 2 Genitalia eksternal wanita5
Menurut survei dari National Institute of Justice and Center of Disease Control and Prevention bersama National Violence Against Women Survey, 41,4% dari 8.000 sampel perempuan mengalami kekerasan fisik. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Bagian Forensik RSUP Sanglah yang menyatakan bahwa tidak banyak korban yang mengalami kekerasan fisik. Perbedaan ini bisa disebabkan karena perbedaan jenis kasus kejahatan seksualnya. Pada penelitian di Bagian Forensik RSUP Sanglah ini jenis kejahatan seksual yang paling banyak ditemui adalah kasus perzinahan dan persetubuhan di luar pernikahan, maka kemungkinan korban secara suka rela melakukan persetubuhan, sehingga tidak banyak korban yang menunjukkan tanda kekerasan sebagai bukti adanya perlawanan. Berbeda dengan survei dari National Institute of Justice and Center of Disease Control and Prevention bersama National Violence Against Women Survey yang merupakan kasus perkosaan, sehingga lebih banyak yang menunjukkan adanya tanda kekerasan sebagai bukti adanya perlawanan dari korban.7
Jenis kejahatan seksual yang dilakukan juga mempengaruhi tanda persetubuhan yang didapat, dimana tanda persetubuhan diketahui dengan melihat adanya tanda penetrasi dan tanda ejakulasi. Pada grafik 1, tampak bukti persetubuhan yang paling banyak ditemukan adalah adanya tanda penetrasi, yaitu sebanyak 227 kasus (78,0%). Sebanyak 42 kasus (14,4%) ditemukan tanda penetrasi dan tanda ejakulasi yang positif, dan 22 kasus (7,6%) tidak ditemukannya tanda penetrasi maupun tanda ejakulasi.
Data tabel 4 menunjukkan tanda penetrasi yang paling banyak ditemukan adalah adanya robekan lama himen dan tanpa perlukaan di kelamin luar yaitu sebanyak 229 kasus (78,7%) yang menunjukkan bahwa telah terjadi penetrasi pada vagina lebih dari tiga hari yang lalu. Terdapat
22 kasus (7,6%) yang tidak menunjukkan adanya tanda penetrasi. Hal ini dapat terjadi pada kasus perbuatan cabul, khususnya pada anak-anak dan remaja.
Banyak faktor yang mempengaruhi tanda ejakulasi pada pemeriksaan hapusan atau bilasan liang sanggama. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan jika ada tanda penetrasi yang menunjukkan bahwa pernah ada persetubuhan yang dilakukan korban. Namun pada korban yang tidak ditemukan tanda penetrasi, tidak dilakukan pemeriksaan hapusan atau bilasan liang sanggama karena pemeriksaan ini bersifat invasif dan dapat menimbulkan trauma kepada terperiksa, terutama pada anak-anak. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar korban yang diperiksa tidak menunjukkan adanya sel mani dan komponennya (PSA). Pemeriksaan tanda ejakulasi dapat ditemukan positif atau negatif, tergantung apakah pelaku memakai kondom atau tidak ketika melakukan persetubuhan, apakah tindakan yang dilakukan korban setelah persetubuhan, apakah langsung dilakukan pemeriksaan atau korban sempat membersihkan dirinya terlebih dahulu, dan waktu pemeriksaan dilakukan segera atau sudah lebih dari tiga hari terhitung sejak waktu persetubuhan itu terjadi.
Waktu persetubuhan dapat diketahui dari tanda-tanda persetubuhan yang diperiksa, dari tanda penetrasi dan tanda ejakulasi. Tanda penetrasi menunjukkan waktu persetubuhan tersebut baru (kurang dari tiga hari sebelum pemeriksaan) jika luka-luka yang ditemui masih menunjukkan tanda peradangan, seperti kemerahan di sekitar robekan himen. Sebaliknya, jika tidak ada tanda peradangan di sekitar luka, kemungkinan persetubuhan tersebut sudah lama terjadi (lebih dari tiga hari sebelum pemeriksaan). Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar kasus merupakan persetubuhan lama. Sebagian kecil kasus merupakan persetubuhan baru, dan terdapat beberapa kasus tidak ditemukan tanda persetubuhan.
Namun tidak semua penetrasi baru menunjukkan tanda peradangan. Pada kasus tertentu, misalnya pada kasus perzinahan atau persetubuhan diluar pernikahan, dimana terperiksa sudah sering melakukan persetubuhan atau bahkan sudah pernah melahirkan, maka tidak akan tampak tanda peradangan walaupun persetubuhan tersebut terjadi kurang dari tiga hari sebelum pemeriksaan. Diperlukan pemeriksaan untuk melihat tanda ejakulasi. Jika tanda ejakulasi positif ditemukan sel mani dan/atau komponennya dapat dikatakan persetubuhan tersebut baru terjadi. Sebaliknya, waktu persetubuhan dikatakan lama apabila pemeriksaan tanda ejakulasi menunjukkan hasil negatif dan dari tanda penetrasi tidak ditemukan
tanda peradangan.
Berdasarkan tabel 7, pada sebagian besar kasus yang diperiksa tidak mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan korban. Namun terdapat beberapa korban yang mengalami kehamilan dan mengalami gangguan psikiatri karena kejahatan seksual tersebut. Gangguan psikiatri yang sering ditemui adalah stres akut pada korban berusia remaja.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Bagian Forensik RSUP Sanglah pada diketahui bahwa tahun 2009 merupakan tahun dengan kasus kejahatan seksual terbanyak, dan yang terendah di tahun 2011 yang kemudian kembali meningkat di tahun 2012 dan 2013.
Berdasarkan klasifikasi usia, kasus kejahatan seksual terbanyak dialami oleh remaja wanita, sedangkan kasus kejahatan seksual terendah dialami oleh wanita lanjut usia. Ditemukan lebih banyak korban yang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan dari pemeriksaan fisik. Tanda persetubuhan yang paling banyak ditemukan adalah adanya tanda penetrasi tanpa tanda ejakulasi yang positif. Waktu persetubuhan yang paling banyak terperiksa merupakan kasus persetubuhan lama, sebagian kecil merupakan persetubuhan baru, dan beberapa kasus tidak ditemukannya tanda persetubuhan. Sebagian besar kasus yang diperiksa tidak mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan korban, namun terdapat beberapa korban yang mengalami kehamilan dan mengalami gangguan psikiatri.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Hazelwood, R.R. & Burgess, A.W. Practical aspects of rape investigation: a multidisciplinary approach. 4th ed. Boca Raton: CRC Press; 2009.
-
2. Rao V.J., Lew E.O., & Matshes E.W. Forensic pathology. sexual battery investigation. Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. London: Elsevier; 2005. p. 467-485.
-
3. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence. Geneva: WHO; 2003.
-
4. Larasati, S.B. Kejahatan seksual terhadap anak marak di tahun 2013. Diunduh dari: http://metrotvnews.com/read/
news/2013/07/18/169347/Kejahatan-Seksual-terhadap-Anak-Marak-di-Tahun-2013. Diakses pada 31 Januari 2014.
-
5. Putz, R. & Pabst, R. Sobotta: atlas of human anatomy. ed. 14. vol. 2. Munich: Elsevier; 2006. p. 235.
-
6. Jewkes, R., Sen, P., Garcia-Morena, C. World report on violence and health: sexual violence. Krug, E.G., Dahlberg, L. L., Mercy, J. A., Zwi, A.B., Lozano, R. Geneva: WHO; 2002. p. 147181.
-
7. Tjaden, P. & Thoennes, N. Full report of the prevalence, incidence, and consequences of violence against women: findings from the national violence against women survey. U.S.: Dept. of Justice; 2000.
6
Discussion and feedback