ISSN: 2303-1395

E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO.4, APRIL, 2017

HUBUNGAN GOLONGAN DARAH TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI RSUP SANGLAH

Pande Putu Firsta Widyaning1, I Made Gede Dwi Lingga Utama2 1Program Studi Pendidikan Dokter, 2Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue telah menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia karena tingkat insidennya yang masih sangat tinggi meskipun angka kematiannya semakin menurun seiring tahun. Angka kematian ini dapat meningkat apabila tidak mendapatkan penanganan dengan baik sehingga pasien jatuh ke derajat DBD yang berat yakni syok. Terdapat beberapa faktor yang dapat memperberat derajat DBD. Salah satu faktornya adalah golongan darah. ;Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan golongan darah terhadap meningkatnya derajat DBD serta mencaritahu hubungan tiap-tiap golongan darah terhadap derajat keparahan DBD. Dilakukan penelitian cross sectional dengan pemilihan sampel secara total sampling terhadap anak usian 0 hingga 12 tahun yang mnederita DBD mulai grade I hingga IV berdasarkan kriteria WHO. Pemeriksaan golongan darah menggunakan metode slide test. Korelasi dihitung menggunakan uji chi square. berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa golongan darah berhubungan dengan meningkatnya derajat keparahan DBD (IK 95% >7.814 p=0.026). Berdasarkan perhitungan odd ratio didapatkan pengaruh tiap golongan darah sebagai berikut golongan darah A (OR=0,31348 IK95% 0,1-1,5), B (OR=0,308642 IK95% 0,1-1,2), O (OR=4,854369 IK95% 1,4-7,4) dan AB (OR=0,694444 IK95% 0,1-4,5). Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan antara golongan darah dengan menigkatnya derajat keparahan DBD, dan golongna darah O memiliki pengaruh yang paling besar dibandingkan ketiga golongan darah lainnya.

Kata Kunci: Derajat keparahan DBD, Golongan darah.

ABSTRACT

Dengue has become one of the major health problems in the world because the high incidence rate despite the death rate which has declined over the year. But, the mortality rate can be increased if it is not treated well so that the patient falls into the severe degree of dengue shock. There are several factors that can aggravate the severity of DHF. One of them is blood type. This study aimed to determine the relationship of the blood group in increasing the severity degree of dengue and to find out the relationship of each blood type on the degree severity of DHF. cross sectional study with a total sampling was performed in children between 0 to 12 years who suffer from DHF grade I to IV according to WHO criteria. Blood type is tested using the slide test. Correlations were calculated using the chi square test. the results of the analysis showed that the blood type associated with increasing degree severity of DHF (CI 95 % > 7,814 p = 0.026). Based on the calculation of odds ratios, obtained the effect of each blood: blood type A OR=0,31348 CI 95% 0,1-1,5), B (OR=0,308642 CI 95% 0,1-1,2), O (OR=4,854369 CI 95% 1,4-7,4) dan AB (OR=0,694444 CI 95% 0,1-4,5). The conclusion there is a relationship between blood type with increasing the degree severity of DHF, and blood type O has the greatest influence compared to the three other blood type.

Keywords: The severity of dengue fever, blood type

PENDAHULUAN

Dengue telah menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Dengue, termasuk beberapa manifetasi spektrum klinisnya yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD), disebabkan oleh empat jenis

serotipe virus yang serupa namun berbeda yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4.1

Insiden penyakit yang menular lewat gigitan nyamuk yang terinfeksi khususnya aedes aegepty ini telah meningkat tiga puluh kali lipat lebih banyak selama rentang lima dekade terakhir.

1

Menurut World Health Organization (WHO) sejumlah lima puluh hingga seratus juta kasus diperkirakan akan muncul di lebih dari seratus negara, dengan perkiraan 500.000 kasus DBD dengan angka kematian sebesar 20.000 nyawa, yang sebagian besar terjadi pada anak-anak. Kasus-kasus tersebut terutama tersebar di daerah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, dan Karibean serta telah mengakibatkan kematian 90% pada anak-anak dibwah 15 tahun.2

Dengue telah menjadi epidemik di negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2008 data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan jumlah kasus DBD masih cukup tinggi yakni mencapai 133,402 kasus dengan angka kejadian (incidence rate) 58,85/100.000 penduduk an Bali termasuk satu dari tiga provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi disamping Jakarta dan Kalimantan Timur. Menurut Profil Indonesia Sehat 2007 dan Ditjen P2PL Departemen Kesehatan RI 2008, penderita DBD di Bali berjumlah 6375 orang dengan Incidence Rate yang tinggi yaitu sebesar 193,2.3 Dilaporkan sebanyak 5.870 kasus DBD terjadi di pulau Bali pada tahun 2013. Prevalensi DBD mencapai 145 orang per 100.000 penduduk. Bali memiliki populasi 4,1 juta. Sementara itu, angka kematian untuk wabah demam berdarah mencapai 1 persen dari total kasus pada tahun 2013.4

Tren angka kematian akibat DBD memang telah menurun sepanjang tahun, namun angka kematian ini dapat meningkat lebih dari 20% bila penatalaksanaan tidak tepat, tetapi apabila ditangani dengan baik di ruang intensif, angka kematian dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Kematian pada kasus DBD biasanya disebabkan oleh kebocoran plasma yang berujung pada kejadian syok. WHO mengklasifikasikan derajat DBD menjadi 4, yakni DBD derajat I, II, III, dan IV. Derajat III dan IV lebih dikenal dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) yang merupakan kegawatan serta perlu tindakan segera untuk mencegah kematian.2

Situasi kegawatan tersebut bisa diantisipasi lebih awal apabila kita mengetahui sedini mungkin apa saja faktor faktor yang dapat memperberat derajat DBD seseorang menuju ke arah SSD, faktor tersebut antara lain : serotipe virus (DENV-2), usia anak-anak dan orang tua, infeksi sekunder, malnutrisi, dan status penyakit kronik seperti diabetes mellitus, hipertensi, and anemia bulan sabit.5 Salah satu faktor lain yang memperberat derajat infeksi dengue adalah faktor golongan darah ABO.6 Penelitian yang dilakukan Fitri Hartanto pada tahun 2005 menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara golongan darah dengan kejadian syok pada DBD, dan dinyatakan bahwa golongan darah O memiliki hubungan bermakna terhadap meningkatnya perdarahan pada pasien DBD dikarenakan hubungannya dengan faktor von willebrand yang mempengaruhi

homeostasis sehingga mungkin mempengaruhi derajat keparahan pada DBD.7 Namun pada penelitian yang dilakukan Kalayanarooj di Thailand dua tahun setelahnya menyatakan hal yang berbeda. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa golongan darah berpengaruh terhadap meningkatnya derajat keparahan DBD, terutama golongan darah AB. Kalayanarooj menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya reaksi silang antara antigen A dan atau B pada sel endotel dengan IgM yang berujung pada kebocoran plasma.6

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi potong lintang untuk mengidentifikasikan adanya perbedaan pengaruh antara golongan darah dengan derajat keparahan demam berdarah pada anak di RSUP Sanglah.. Penelitian ini dilakukan Selama 13 bulan sejak bulan Januari 2013 hingga januari 2014 yang akan dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Bagian Anak FK UNUD/RSUP Sanglah yaitu bangsal Pudak, Jempiring, dan PICU. Kriteria inklusi, semua pasien yang menderita DBD di RSUP sanglah sesuai diagnosis secara klinis dan laboratorik menurut kriteria WHO 1997, Umur <12 tahun. Kriteria eksklusi, Pasien menolak ikut serta dalam penelitian, pasien dengan data pada rekam medis yang tidak lengkap atau hilang. Responden dalam penelitian ini sebanyak 84 pasien dengan menggunakan metode total sampling. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu Data rekam medik yang diperoleh dari RSUP Sanglah terkait biodata lengkap pasien, riwayat penyakit pasien untuk mengetahui riwayat penyakit yang diduga menjadi karakter eklusi, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan serologi pasien untuk mencari derajat keparahan demam berdarah dengue dan data lainnya yang dapat menunjang. Data rakam medis yang masuk kriteria inklusi dimasukan sebagai sample penelitian. Data derajat keparahan demam berdarah dengue disesuaikan dengan Klasifikasi dari WHO 1997. Pada sampel dilakukan penentuan golongan darah (A, B, AB atau O) menggunakan slide test dengan memberikan informed consent terlebih dahulu. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dan ditentukan hubungan antar variabel dengan rumus chi-squere.

HASIL

Hubungan Golongan Darah dengan Derajat Keparahan DBD

Berdasarkan Tabel 1. dari 17 pasien dengan Golongan Darah A, terdapat 15 pasien (88.2%) yang tidak syok dan hanya 2 pasien (11.8 %) mengalami syok. Selanjutnya, dari 24 pasien dengan Golongan Darah B, terdapat 21 pasien (87.5%) tidak syok, dan 3 pasien (12.5%) cenderung syok. Pada pasien yang memiliki Golongan Darah O

2

Tabel 1. Tabulasi Silang antara Golongan Darah dengan Derajat Keparahan DBD

Golongan Darah

Derajat Keparahan

Total      Chi Square   P value

Tidak Syok      Syok

Gol A Gol B Gol O Gol AB Total

15 (88.2%)     2 (11.8%)     17 (100%)

21 (87.5%)     3 (12.5%)    24 (100%)

22 (57.9%)     16 (42.1%)    38 (100%) 9.235        0.026

4 (80.0%)      1 (20.0%)     5 (100%)

62 (66.7%)    22 (33.3%)    84 (100%)

Tabel 2. Tabulasi Silang antara Golongan Darah A dengan Derajat Keparahan DBD

Golongan Darah

Derajat Keparahan

Total    Odd Ratio  Chi Square P value

Tidak Syok    Syok

Gol A

Bukan Gol A

Total

15 (88.2%)   2 (11.8%)   17 (100%)

47 (70.1%)  20 (29.9%)  67 (100%)    3.191 2.294      0.130

62 (73.8%)  22 (26.2%)  84 (100%)

Tabel 3. Tabulasi Silang antara Golongan Darah B dengan Derajat Keparahan DBD

Golongan Darah

Derajat Keparahan

Total    Odd Ratio  Chi Square P value

Tidak Syok    Syok

Gol B

Bukan Gol B

Total

21 (87.5%)   3 (12.5%)  24 (100%)

41 (68.3%)   19 (31.7%)  60 (100%)    3.244 3.258      0.071

62 (73.8%)  22 (26.2%)  84 (100%)

diketahui bahwa dari 38 pasien, terdapat 22 pasien (57.9%) yang tidak syok dan 16 pasien (42.1%) yang syok. Sedangkan pada 5 pasien bergolongan Darah AB, terdapat 4 pasien (80.0%) yang tidak syok dan hanya 1 pasien (20%) yang mengalami syok. Didapatkan hitung Chi square (9.235) dan nilai signifikansi sebesar 0.026. Karena nilai hitung Chi square (9.235) > Chi square tabel (7.814) dan nilai signifiknsi (0.026) < nilai alpha (0.05) berarti ada hubungan antara Golongan Darah dengan derajat keparahan DBD.

Hubungan Golongan Darah A dengan Derajat Keparahan DBD

Terdapat 17 pasien dengan Golongan Darah A, 15 pasien (88.2%) tidak syok dan hanya 2 pasien (11.8 %) mengalami syok. Sedangkan pada 67 pasien bukan bergolongan Darah A, terdapat 47 pasien (70.1%) yang tidak syok dan 20 pasien (29.9%) yang mengalami syok. Didapatkan hitung Chi square (2.294) dan nilai signifikansi sebesar 0.130. Karena nilai hitung Chi square (2.294) < Chi square tabel (3.841) dan nilai signifiknsi (0.130) > nilai alpha (0.05) berarti tidak ada hubungan antara Golongan Darah dengan derajat keparahan DBD. Hasil analisis memperoleh nilai Odd rasio sebesar 0,31348 menjelaskan bahwa pasien dengan golongan dara A beresiko syok sebesar 0,31348 kali lebih besar daripada golongan darah bukan A atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah A memiliki peluang yang lebih kecil untuk terkena syok daripada pasien dengan golongan darah selain A (Tabel 2.).

Hubungan Golongan Darah B dengan Derajat Keparahan DBD

Terdapat 24 pasien dengan Golongan Darah B, 21 pasien (87.5%) tidak syok dan hanya 3

pasien (12.5%) mengalami syok. Sedangkan pada 60 pasien bukan bergolongan Darah B, terdapat 41 pasien (68.3%) yang tidak syok dan 19 pasien (31.7%) yang mengalami syok. Hasil hitung Chi square (3.258) dan nilai signifikansi sebesar 0.071. Karena nilai hitung Chi square (3.258) < Chi square tabel (3.841) dan nilai signifiknsi (0.071) > nilai alpha (0.05) berarti tidak ada hubungan antara Golongan Darah dengan derajat keparahan DBD. Nilai Odd rasio sebesar 0,308642 menjelaskan bahwa pasien dengan golongan darah B beresiko syok sebesar 0,308642 kali lebih besar daripada golongan darah bukan B atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah B memiliki peluang yang lebih kecil untuk terkena syok daripada pasien dengan golongan darah selain B (Tabel 3.).

Hubungan Golongan Darah O dengan Derajat Keparahan DBD

Terdapat 38 pasien dengan Golongan Darah O, 22 pasien (57.9%) tidak syok dan 16 pasien (42.1%) mengalami syok. Sedangkan pada 46 pasien bukan bergolongan Darah O, terdapat 40 pasien (87%) yang tidak syok dan 6 pasien (13%) yang mengalami syok. Didapatkan hitung Chi square (9.092) dan nilai signifikansi sebesar 0.003. Karena nilai hitung Chi square (9.092) > Chi square tabel (3.841) dan nilai signifiknsi (0.003) < nilai alpha (0.05) berarti ada hubungan antara Golongan Darah dengan derajat keparahan DBD. Nilai Odd rasio sebesar 4,854369 menjelaskan bahwa pasien dengan golongan darah O beresiko syok sebesar 4,854369 kali daripada golongan darah bukan O atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah O memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena syok daripada pasien dengan golongan darah selain O (Tabel 4.).

3

Tabel 4. Tabulasi Silang antara Golongan Darah O dengan Derajat Keparahan DBD

Golongan Darah

Derajat Keparahan

Total    Odd Ratio  Chi Square P value

Tidak Syok    Syok

Gol O

Bukan Gol O

Total

22 (57.9%)   16 (42.1%)  38 (100%)

40 (87.0%)   6 (13.0%)  46 (100%)    0.206 9.092      0.003

62 (73.8%)  22 (26.2%)  84 (100%)

Tabel 5. Tabulasi Silang antara Golongan Darah AB dengan Derajat Keparahan DBD

Golongan Darah

Derajat Keparahan

Total    Odd Ratio  Chi Square P value

Tidak Syok    Syok

Gol AB

Bukan Gol AB

Total

4 (80.0%)    1 (20.0%)   5 (100%)

58 (73.4%)  21 (26.6%)  79 (100%)     1.448 0.105      0.745

62 (73.8%)  22 (26.2%)  84 (100%)

Hubungan Golongan Darah AB dengan Derajat Keparahan DBD

Terdapat 5 pasien dengan Golongan Darah AB, terdapat 4 pasien (80.0%) yang tidak syok dan 1 pasien (20.0%) mengalami syok. Sedangkan pada 79 pasien bukan bergolongan Darah AB, terdapat 58 pasien (73.4%) yang tidak syok dan 21 pasien (26.6%) yang mengalami syok. Nilai hitung Chi square adalah 0.105 dan nilai signifikansi sebesar 0.745. Karena nilai hitung Chi square (0.105) < Chi square tabel (3.841) dan nilai signifiknsi (0.745) > nilai alpha (0.05) berarti tidak ada hubungan antara Golongan Darah dengan derajat keparahan DBD. Nilai Odd rasio sebesar 0,694444 menjelaskan bahwa pasien dengan golongan darah AB beresiko syok sebesar 0,694444 kali daripada golongan darah bukan AB atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah AB memiliki peluang yang lebih kecil untuk terkena syok daripada pasien dengan golongan darah selain AB (Tabel 5.).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara golongan darah dengan derajat keparahan DBD. Diantara keempat jenis golongan darah tersebut, golongan darah O terbukti yang paling memberikan pengaruh paling besar terhadap jatuhnya seseorang dalam keadaan DBD yang parah. Hal ini sesuai dengan penelitian Fitri Hartanto di Semarang pada tahun 2005, menyatakan bahwa golongan darah O mempengaruhi derajat keparahan DBD paling besar dibandingkan golongan darah lainnya.7

Derajat keparahan DBD terbagi menjadi 4 tingkat yakni grade I,II,III,dan IV. Berat ringaannya derajat tersebut dipegaruhi oleh gangguan hemostasis yang merupakan inti dari pathogenesis dan patofisiologi DBD/SSD. Pada fase awal demam disertai perdarahan disebabkan oleh vasculopati dan trombositopeni, dan fase syok disebabkan oleh trombositopeni diikuti oleh koagulopati, terutama pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/ Disseminated intravascular coagulation=DIC), dan fibrinolysis.8 Vaskuopati bermanifestasi klinis sebagai petekia, uji bendung positif, dan adanya kenaikan permeabilitas kapiler akibat dilepaskannya

mediator yang menyebabkan kebocoran plasma, elektrolit, dan protein ke dalam rongga ekstravaskular. Trombositopeni dan koagulopati menyebabkan perdarahan dalam berbagai bentuk yaitu epistaksis, hematemesis, melena,bahkan perdarahan hebat (massive bleeding).7

Terjadinya DBD yang berlanjut menjadi SSD disebabkan oleh dua patofisiologi utama: pertama, meningkatnya permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dimana hal ini menyebabkan hipovolemia dan hemokonsenrasi. Kedua adanya hemostasis abnormal yang melibatkan perubahan pembuluh darah, trombsitopeni dan koagulopati.9 Oleh kerananya, menjaga hemostasis agar selalu normal adalah kunci agar seseorang tidak jatuh ke keadaan lebih parah. Hemostasis disini dibagi menjadi dua. Hemostasis primer meruakan mekanisme untuk berupaya dengan cepat menyumbat jejas pembuluh darah, dengan cara mengikutsertakan interaksi endotel, subendotel, dan trombosit. Hemostasis sekunder merupakan proses terjadinya aktivasi sistem koagulasi dan pembentukan bekuan fibrin 7.

Von Willebrand factor (vWf) merupakan glikoprotein yang terdiri dari beberapa oligosakarida yang kadarnya dipengaruhi oleh golongan darah sistem ABO. Diketahui Seeorang dengan golongan darah O memiliki kadar vWf yang paling rendah dibandingkan dengan tipe golongan darah lainnya yaitu A, B, dan AB, padahal vWf sangat berperan dalam semua tingkat hemostasis, baik primer maupun sekunder.10

Pada tingkat homeostasis primer vWf berperan sebagai mediator adhesi antara trombosit pada lokasi kerusakan endothel dengan cara memacu perlekatan trombosit pada kolagen subendotel. Dalam perannya sebagai perantara adhesi trombosit, vWf berfungsi sebagai jembatan antara komponen dinding pembuluh darah dan reseptor spesifik pada permukaan trombosit., Telah dipelajari kolagen tipe III, yang terdapat pada subendotel dan merupakan tempat ikatan vWF setelah terdapat trauma vaskuler.11

Trombosit mempunyai dua reseptor berbeda untuk vWf yaitu GP 1b pada kompleks GP

4

Respon antibody sebelumnya

Aktivasi komplemen

Dengue Infection

Permeabililas pembuluh darah T

Anafllatoksin

fungsi trombosit

Koinplck virus-antibody

Aktivasi koagulasi



Pclcpasan faktor IlI TmnhMi1 ij'"fel feteT

H-Syerrieii

Koagulcpati T

Faktor Dembekuan-X

Gambar 1. pengaruh golongan golongan darah O dalam peningkatan keparahan DBD.7

1b- IX-V dan kompleks GP IIb-IIIa. GP 1b berperan pada kontak awal antara trombosit dengan permukaan yang trombogenik dan pembentukan sinyal pengaktibasi. GP IIb-IIIa berikatan dengan vWf setelah trombosit teraktivasi dan memperantarai penyebaran trombosit pada permukaan pembuluh darah serta berperan pada agregasi trombosit. Oleh karena fungsinya tersebut diyakini bahwa dengan rendahnya kadar vWf dalam tubuh, seperti yang terdapat pada seseorang bergoloongan darah O, maka proses hemostasis primer melalui adhesi trombosit akan terganggu, sehingga penutupan kerusakan sel endotel yang terjadi pada DBD/SSD tidak sempurna yang mengakibatkan kebocoran plasma yang lebih parah.

Pada tingkat hemostasis sekunder vWf berperan dengan cara berikatan dan stabilisasi prokoagulan protein faktor VIII yang merupakan protein koagulan yang dibutuhkan untuk aktivasi faktor X pada jalur interinsik. Faktor VIII dapat beredar di sirkulasi darah dengan waktu paruh yang cukup panjang bila berikatan dengan vWf. F VIII yang berada dalam kompleks dengan vWf akan terlindungi dari degradasi oleh protein C aktif sampai F VIII menjadi F VIIIa. Apabila FVIIIa telah teraktivasi maka sistem kaskade koagulasi akan berjalan hingga pembentukan fibrin. Fibrin akan terbentuk pada tempat di mana pembuluh darah mengalami trauma bila mekanisme koagulasi teraktivasi. Interaksi dengan vWf berpengaruh terhadap kecepatan pembentukan dan stabilitas dari fibrin tersebut. Multimer vWf yang besar akan berikatan dengan fibrin baik yang berikatan silang maupun yang tidak. Penelitian van Gorp, dkk mendapatkan bahwa pada SSD yang bertahan hidup terjadi kondisi prokoagulan pada awal perjalanan penyakit , sehingga konsidi prokoagulan yang baik sangat dibutuhkan.12 Selain itu adanya vWf menjadi tanda lokasi adanya kerusakan endotel, sehingga kadar vWf yang rendah seperti pada golongan darah

O akan menyebabkan FVIIIa tidak cukup teraktivasi yang berujung pada kegagalan pembentukan fibrin dan kegagalan memperbaikin kerusakan endotel pada DBD/SSD (Gambar 1).7 Selain itu penelitian oleh Colonia tahun 1979 menyatakan bahwa golongan darah O memang memiliki kemampuan koagubilitas yang sangat rendah dibandingkan golongan darah yang lain, hal ini dilihatan dari pengukuran RT, PTT, K-PTT, F.V, F.II, F.VII, fibrinogen, HAE 0.2, HAE 0.5, ELT, LIP, Col.1, Col.2 dan TRI.

Kalayanarooj di Thailand dan Rahayu di Bandung mendapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian ini. Kedua penelitian tersebut sama-sama mendapatkan hasil golongan darah AB sebagai golongan darah yang berpengaruh paling besar terhadap peningkatan derajat keparahan DBD. Hal tersebut dijabarkan melalui mekanisme cross reaction antara antibodi dengan antigen A dan B. Walaupun antigen golongan darah merupakan antigen sel darah merah, sebenarnya beberapa antigen tersebar luas pada berbagai jaringan manusia dan terdapat pada sebagian besar sel epitel dan endotel sesuai dengan genotip individu ABO. Beberapa penulis berpendapat bahwa antigen golongan darah ABO disebut sebagai antigen histo-blood group ABO karena secara primer merupakan antigen jaringan. Antibodi tersebut predominan IgM dan secara alamiah antibodi tersebut bisa dirangsang oleh zat-zat yang alami terdapat di alam. Beberapa protein virus dengue merupakan protein glycosilated dan antibodi, khususnya IgM yang dihasilkan oleh pasien terinfeksi virus dengue diduga bereaksi silang dengan sel pejamu diantaranya sel eritrosit dan sel endotel.6

Antibodi yang terbentuk sebagai reaksi terhadap virus dengue seharusnya menyerang antigen virus dengue, namun diarenakan struktur antigen virus dengue dengan antigen A dan B mirip, sehingga antibodi juga menyerang antigen A dan B

5

yang terdapat pada sel-sel endothelial. Kompleks        3.

antigen (antigen A dan atau B) dan antibodi IgM yang dihasilkan oleh pasien terinfeksi virus dengue akan mengaktifkan kaskade komplemen menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai efek langsung terhadap permeabilitas vaskular, bersama-        4.

sama dengan IFN-γ, TNF-α memicu terjadinya kebocoran plasma.13

Perbedaan hasil diantara penelitian Kalayanarooj dan Rahayu dengan peneltiian ini        5.

dikarenakan pada kedua penelitian yang lain tidak mengeksklusi status nutrisi yakni gizi lebih dan gizi kurang. Nimmannitya tahun 2005 dan Pichainarong       6.

tahun 2006, mengatakan bahwa gizi kurang dan atau gizi lebih pada pasien DBD memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi syok dan memiliki persentasi yang tidak biasa serta komplikasi yang sangat jarang terjadi, dimana kedua hal ini dapat menyebabkan meningkatnya keparahan bahkan       7.

menignkatnya resiko kematian.14,15 Selain itu penelitian Kalayanarooj menggunakan sampel yang lebih besar yakni 399 orang dengan metode penelitian yang berbeda engan yang digunakan pada penelitian ini.6                                                   8.

SIMPULAN

Ada hubungan antara golongan darah       9.

dengan meningkatnya derajat keparahan DBD pada anak dengan hasil yang signifikan. Hasil uji chi square > tabel yakni 9.235 (chi square=7.814) dan        10.

dengan nilai signifikansi 0.026 (p<0.05). Golongan darah A berisiko mengalami SSD sebesar 0,31348 (OR=0,31348). atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah A memiliki peluang yang lebih kecil untuk terkena syok daripada pasien dengan        11.

golongan darah selain A. Golongan darah B berisiko mengalami SSD sebesar 0,308642 (OR=0,308642).

atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah        12.

B memiliki peluang yang lebih kecil untuk terkena syok daripada pasien dengan golongan darah selain B. Golongan darah O berisiko mengalami SSD sebesar 4,854369 (OR=4,854369) atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah O memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena syok daripada pasien dengan golongan darah selain O.

Golongan darah AB berisiko mengalami SSD        13.

sebesar 0,694444 (OR=0,694444) atau dengan kata lain pasien dengan golongan darah AB memiliki peluang yang lebih kecil untuk terkena syok daripada pasien dengan golongan darah selain AB.         14.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko        15.

Penularan. Spirator. 2010. 2(2):110 –119.

  • 2.   WHO.  Dengue Guidlines for Diagnosis,

Treatment, Prevention, and Control. France: World Health Organization and Special Program for Research and Training in Tropical Diseases. 2005.

Kusumobroto B., Purwanto H., Hasnawati, Brahim R., Sugito, Sunaryadi, et al. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008.

Arvinth G. Prevalensi Kasus Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Juni-November 2014. Intisari Sains Medis. 2015. 2(1):39-48.

Pawitan J. Dengue Virus Infection: Predictors for Severe Dengue. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. 2011. vol 43 No.2 , 129-135.

Kalayanarooj S., Gibbons RV., Vaughn D., Green S., Nisalak A., Arman RG. Blood Group AB Is Associated with Increased Risk for Severe Dengue Disease in Secondary Infections. The Journal of Infectious Diseases. 2007. 195:1014–7.

Hartanto F. Hubungan Golongan Darah O dengan Kejadian Syok pada Penderita Demam Berdarah Dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Ilmu Kesehatan Anak, Semarang. 2005.

Hoffbrand AV., Pettit JE., Moss PA. Platelets, blood coagulation and haemostasis. Essential haematology. 2001. 4:236-49

Halstead SB. Pathophysiology and pathogenesis of dengue haemorrhagic fever.. New delhi:WHO, SEARO . 1993. 80-103.

Miller CH., Haff S., Platt SJ., et al. Measurement of von willebrand factor activity:reative effects of ABO blood type and race. Journal of thrombosis and haemostasis. 2003. 1: 2191-2197.

Pusparini. Peran faktor von willebrand dalam sistem hemostasis. Universa medicina. 2001. 20 (3):110-143.

Dwiyandari V. Kadar trombin antitrombin dan antitrombin III pada demam berdarah dengue: pendekatan patofisiologi gangguan hemostatis pada demam berdarah dengue. Jakarta:ilmu kesehatan anak fkui. 2006. Available from: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp ?id=112036&lokasi=lokal [accessed at 28 november 2014]

Rahayu, Hilmanto D., Setiabudi D. Golongan Darah AB sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue pada Anak. Bandung: Majalah Kedokteran Indonesia. 2008. Vol 58.

Nimmannitya S., Kalayanarooj S. Is dengue severity related to nutritional status?. Southeast Asian j trop med public health. 2005. Vol 36(2):378-384.

Pichainarong N., Mongakalangoon N., Kalayanarooj S., et al. Relationship between body size and severity of dengue haemorrhagic fever among children aged 0-14 years. Southeast asian j trop med public health. 2006. 37(2):283-8.


6

7

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum