KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN IGM ANTI SALMONELA TYPHI DI LABORATORIUM SURYA HUSADHA DENPASAR PADA BULAN JUNI -NOVEMBER 2013

Sagung Novita Widyaningrat1, A.A. Wiradewi Lestari2, I Wayan Putu Sutirta Yasa2

  • 1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar

2

  • 2Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

Email : sagung.novita@gmail.com

ABSTRAK

Demam tifoid menjadi permasalahan kesehatan global, terutamanya di negara berkembang di daerah tropis yang memiliki higienitas buruk. Indonesia merupakan negara berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi dilaporkan insiden demam tifoid masih cukup tinggi yaitu mencapai 358-810/100.000 penduduk. Demam tifoid merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi oleh S. typhi dan menginfeksi saluran pencernaan. Tes tubex termasuk uji serologis yang kini cukup sering digunakan untuk membantu dalam diagnosis demam tifoid. Tes tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana yang dapat mendeteksi terbentuknya IgM. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik hasil pemeriksaan pada pasien terduga demam tifoid dengan menggunakan tes tubex di Laboratorium RS Surya Husadha pada bulan Juni sampai dengan bulan November 2013. Metode penelitian menggunakan rancangan cross sectional, non-eksperimental dengan data diambil secara retrospektif dari laboratorium RS Surya Husadha. Dari 502 pasien yang melakukan tes tubex, 76 pasien (15,1%) hasilnya negatif, 151 pasien (30,1%) hasilnya borderline, dan 275 pasien (54,8%) hasilnya positif. Apabila dilihat dari jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan mana yang lebih banyak melakukan tes tubex antara laki-laki dan perempuan. Dan dilihat dari kelompok usia, kelompok usia dewasa menunjukkan hasil positif yang paling tinggi (30,5%).

Kata kunci : demam tifoid, tes tubex, prevalensi tes tubex

CHARACTERISTICS EXAMINATION RESULTS IGM ANTISALMONELLA TYPHI IN LABORATORIUM SURYA HUSADHA

HOSPITAL DENPASAR ON JUNE UNTIL NOVEMBER 2013

ABSTRACT

Typhoid fever had been a global health problem, especially in developing tropical countries which have a bad hygienity. Indonesia is one of them that have high rate incidents of typhoid fever (358-810/100,000 population). Typhoid fever is an acute infection caused by the bacterium Salmonella typhi. The bacterial inserted into the body through contaminated food by S. typhi and infecting the gastrointestinal tract. Tubex test is one of serological test, which often used to aid in the diagnosis of typhoid fever. Tubex test is a simple agglutination test which able to detect the establishment of IgM. This research described characteristics of the examination results in patients with typhoid fever using Tubex test at RS Surya Husadha laboratory in June until November 2013. Research methode that used is cross sectional, non-experimental with the data had taken retrospective from the RS Surya Husadha Laboratory. 502 of patients that doing test tubex, 76 patient ( 15.1 % ) the result negative, 151 patient ( 30.1 % ), the results borderline and 275 patient ( 54.8 %) the result is positive. From gender characteristic, there was no significant difference which one more test tubex between men and women. But from the age group characteristic, the adult age group showed a higher positive results (30.5%).

Keywords: Tyfoid Fever, Tubex Test, Tubex Test prevalence.

PENDAHULUAN

Demam tifoid saat ini menjadi permasalahan kesehatan global, terutamanya di negara berkembang di daerah tropis yang memiliki higienitas buruk. Berdasarkan data dari WHO, terdapat 600.000 kasus kematian dari 17 juta kasus tiap tahunnya dengan kasus keematian terbesar terjadi di Asia (70%). Di Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi dilaporkan

insiden demam tifoid masih cukup tinggi yaitu mencapai 358 - 810/ 100.000 penduduk. Berdasarkan kasus yang terjadi di rumah sakit besar Indonesia, kasus demam tifoid mengalami peningkatan tiap tahunnya. Insiden kasus yang terjadi diperkirakan 500/100.000 penduduk dengan 0,6-5% diantaranya mengalami kematian. Penyebab tersering kasus demam tifoid di Indonesia diakibatkan oleh bakteri Salmonella enterika subspecies

enterika serovar typhi (S. typhi) dan Salmonella enterika subspecies enterika serovar paratyphi A (S. paratyphi A).1

Demam tifoid merupakan infeksi akut dengan gejala demam yang bisa terjadi selama 1 minggu atau lebih, disertai gangguan saluran pencernaan dan pada beberapa kasus dapat disertai dengan gangguan kesadaran.2 Salmonella typhi (S. typhi) sebagai penyebab demam tifoid ini merupakan bakteri gram negatif, memiliki flagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen, yaitu antigen O, antigen H, dan antigen Vi. Pada pasien yang terkena demam tifoid, akan menyebabkan terbentuknya antibodi terhadap ketiga antigen tersebut.1

Adapun cara penularan dan faktor 1 yang berperan, diantaranya :

  • 1.    Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini biasanya pada anak-anak.

  • 2.    Higiene    makanan    dan

minuman yang rendah. Faktor ini yang paling berperan dalam penularan demam tifoid.

  • 3.    Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran, dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

  • 4.    Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.

  • 5.    Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

  • 6.    Belum membudaya imunisasi untuk demam tifoid.

S. typhi yang masuk melalui makanan akan masuk ke lambung dan mencapai usus halus kemudian menginvasi jaringan limfoid yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenterik S. typhi masuk aliran darah sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel retikulo endothelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap fase inkubasi yaitu 7-14 hari. Dari jaringan ini S. typhi dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ tubuh terutama limpa, usus halus, dan empedu. S. typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida     yang     bersifat

pirogenik dan memperbesar peradangan dimana S. typhi berkembang biak. Selain itu endotoksin tersebut juga merupakan stimulator kuat yang dapat menghasilkan sitokin oleh sel makrofag. Sitokin ini yang akan menjadi mediator timbulnya demam dan gejala toksemia.1

Demam tifoid dapat menunjukkan gejala klinis yang bervariasi, dari gejala ringan hingga berat yang dapat menimbulkan komplikasi, dan gejala yang khas. Gejala klinis yang timbul pada minggu pertama yaitu: demam (suhu 39-40oC), nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak nyaman diperut. Dan pada minggu kedua yaitu : demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali, splenomegali dan bisa terjadi gangguan kesadaran.1,3 Komplikasi terjadi pada 10-15% pasien dan dapat terjadi pada pasien yang telah sakit lebih dari dua minggu. Banyak komplikasi yang dapat terjadi, namun yang paling penting adalah perdarahan

gastrointestinal, perforasi usus, dan tifoid ensepalopati.2

Apabila demam tifoid ini tidak tertangani dengan tepat maka dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya pada regio abdominal dapat menyebabkan perforasi gastrointestinal, hepatitis, kolesistitis. Pada sistem respiratorius dapat menyebabkan bronkitis, dan pneumonia. Pada sistem kardiovaskuler dapat terjadi syok kardiogenik dan miokarditis. Komplikasi lainnya yang dapat disebabkan oleh demam tifoid adalah anemia, disseminated intravascular coagulation, ensefalopati, delirium, dan meningitis.

Terkadang sulit untuk mendiagnosis demam tifoid hanya dari gejala klinisnya saja, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan specimen dengan mengambil darah, serum, dan sampel feses. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan mikrobiologi (kultur). Pemeriksaan

serologis berupa test widal dan pemeriksaan serologis terbaru yaitu tes tubex, typhidot, dan dipstick.4

Pemeriksaan yang menjadi gold standar dalam penegakan diagnosis demam tifoid yaitu isolasi S. thypi dengan metode kultur darah atau sumsum tulang.4,6 Namun akibat keterbatasan fasilitas pemeriksaan kultur tidak merata di pusat-pusat pelayanan kesehatan, serta biaya yang mahal dan memerlukan waktu yang cukup panjang sekitar 5-7 hari, kultur jarang dilakukan.6 Pada penderita demam tifoid, IgM akan terbentuk sebagai reaksi akut dari infeksi S. typhi. Sehingga dalam menegakkan diagnosis demam tifoid, salah satu pemeriksaan yang dapat digunakan yaitu melalui pemeriksaan terbentuknya IgM akibat infeksi S. typhi.7 Pemeriksaan serologis dengan mendeteksi adanya IgM tersebut dapat dilakukan dengan pemeriksaan tes tubex, typhidot, dan dipstick.4,5 Pemeriksaan IgM yang saat ini paling sering digunakan adalah tes tubex. Tes tubex menjadi salah satu pilihan dalam penegakan diagnosis demam tifoid

dikarenakan tes tubex hanya memerlukan sampel darah yang sedikit dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya.5 Sedangkan pemeriksaan dengan tes typhidot dan dipstick masih lebih jarang digunakan dibandingkan dengan tes widal. Tes tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana. Secara akurat dapat mendeteksi infeksi akut karena dapat mendeteksi terbentuknya IgM. Tes tubex ini memanfaatkan kemudahan tes widal dan tes aglutinasi lateks namun tes tubex menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan resolusi dan sensitivitas. Sedangkan antigen O9 yang spesifik ditemukan pada Salmonella serogrup D dapat digunakan untuk meningkatkan spesifisitas. Tes tubex hanya bisa mendeteksi adanya IgM namun tidak bisa mendeteksi IgG.8

Seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, tes tubex juga memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelebihannya :8,9

  • 1.    Antibodi IgM muncul pada hari ke 3 terjadinya demam sehingga tes tubex dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut oleh S.typhi.

  • 2.    Pemeriksaannya yang sangat mudah, karena memerlukan sampel darah yang sedikit dan langkah pemeriksaan yang sederhana.

  • 3.    Hasil yang diperoleh lebih cepat.

  • 4.    Pada penelitian di Filipina menunjukkan tes tubex memiliki angka sensitivitas 95% dan spesifisitas 80%.

Kelemahannya :

  • 1.    Tes bersifat subjektif karena hasil tes tersebut berdasarkan dari mata pemeriksa.8,9

  • 2.    Biayanya      lebih      tinggi

dibandingkan tes widal.8,9

  • 3.    Tes tubex tidak dapat mendeteksi infeksi yang disebabkan oleh S. paratyphi.8

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hasil pemeriksaan pada pasien terduga demam tifoid dengan menggunakan tes tubex di Laboratorium RS Surya

Husadha pada bulan Juni sampai dengan bulan November 2013.

METODE

Metode penelitian menggunakan rancangan cross sectional, dengan mengambil data secara retrospektif dari laboratorium RS Surya Husadha. Sampel yang didapat sebanyak 502 sampel pasien yang diduga demam tifoid berdasarkan gejala klinik. Sampel diambil dari data sekunder pada laboratorium RS Surya Husadha dari bulan Juni-November 2013.

Sampel darah diperiksa dengan tes tubex. Tes tubex merupakan pemeriksaan serologis yang biasanya menggunakan serum darah yang diambil dari pasien yang diduga menderita tifoid. Tes tubex dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

  • 1.    Penetesan Brown reagent (berupa partikel magnetik yang dilapisi dengan antigen) sebanyak 45 µl pada tabung reaksi yang berbentuk V;

  • 2.    Penetesan sampel serum yang di uji ke dalam tabung tersebut sebanyak 45 µl;

  • 3.    Pencampuran selama 2 menit;

  • 4.    Penetesan Blue reagent (berupa partikel indikator berwarna biru yang dilapisi dengan monoklonal antibodi) sebanyak 90 µl;

  • 5.    Tutup tabung reaksi tersebut dan dicampurkan selama 2 menit;

  • 6.    Meletakkan tabung yang sudah berisi campuran tersebut diatas color scale. Interpretasi hasil tes tubex;

  • 7.    Penilaian dimulai dari 0-10, skor 0 menunjukan warna merah yang berarti hasilnya negatif, dan semakin biru warna yang muncul semakin positif.9,10

Uji tubex dilakukan dengan cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan tubex color scale sehingga uji tubex ini bersifat subjektif dan semi kuantitatif. Interpretasi hasil sebagai berikut.

Tabel 1. Interpretasi Hasil Tes

Tubex11

Skor

Nilai

Interpretasi

<2

Negatif

Tidak mengindikasikan infeksi demam tifoid

3

Borderline

Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian 3-5 hari kemudian

4-5

Positif lemah

Menunjukkan indikasi infeksi demam tifoid

6-10

Positif

Indikasi kuat infeksi demam tifoid

HASIL

Terdapat 502 sampel darah pasien yang diduga menderita demam tifoid pada RS Surya Husadha dari bulan Juni-November 2013 yang diperiksa menggunakan tes tubex. Terdapat beragam usia yang melakukan tes tubex, dari balita hingga usia lanjut. Apabila dilihat berdasarkan kategori umur menurut Depkes RI pada tahun 2009, didapatkan kelompok usia dewasa memiliki persentase yang paling tinggi (26,7%) walaupun tidak terlalu signifikan perbedaannya dengan kelompok usia balita (22,1%) dan kanak-kanak (20,9%). Namun apabila     dibandingkan     dengan

kelompok usia lanjut, terdapat perbedaan yang cukup signifikan, persentase yang didapat pada kelompok usia lanjut hanya 2,8%.

Sedangkan apabila dilihat dari jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lelaki dan perempuan (Tabel 2). Data hasil pemeriksaan tes tubex berdasarkan bulan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2. Hasil Sampel Darah Pasien Menggunakan Tes Tubex berdasarkan Kelompok Usia dan Jenis Kelamin

Tabel 3. Hasil Sampel Darah Pasien Menggunakan Tes Tubex berdasarkan Bulan

Bulan

Total

Pasien

Negatif (%)

Boderline (%)

Positif (%)

Juni

79

19

(24,1)

20  (25,3)

40

(50,6)

Juli

84

8

(9,6)

27  (32,1)

49

(58,3)

Agustus

128

20

(15,6)

28  (21,9)

80

(62,5)

September

55

5 (9,0)

14  (25,5)

36

(65,5)

Oktober

98

13

(13,3)

35  (35,7)

50 (51,0)

November

58

11

(18,9)

27  (46,6)

20

(34,5)

Total

502

(100)

76

(15,1)

151 (30,1)

275

(54,8)

Frekuensi Persentase

Jumlah Seluruh

Pasien

502

100%

Kelompok

Usia :

Balita (0-5 th)

111

22,1%

Kanak-

105

20,9%

Kanak (5-11 th)

Remaja (1225 th)

95

18,9%

Dewasa

134

26,7%

(26-45 th)

Lansia (46-

43

8,6%

65 th) Usia Lanjut (66 tahun ke atas)

14

2,8%

Kelompok

Jenis

Kelamin :

Lelaki

255

50,8%

Perempuan

247

49,2%

Tabel 3. Menunjukkan bahwa jumlah pasien yang melakukan tes tubex tiap bulannya berfluktuatif. Pada bulan Agustus terdapat 128 pasien yang melakukan tes tubex. Dimana terjadi peningkatan jumlah pasien apabila dibandingkan dengan bulan Juni sebanyak 79 pasien dan bulan Juli sebanyak 84 pasien. Hasil yang didapat pada bulan Agustus menunjukkan 80 pasien (62,5%) positif terinfeksi demam tifoid, hasil negatif 20 pasien (15,6%) dan 28 pasien (21,9%) menunjukkan hasil borderline.

Dapat dilihat bahwa hasil tes tubex positif cukup tinggi ditiap bulannya dibandingkan hasil negative dan borderline terkecuali pada bulan November, hasil tes tubex yang paling tinggi yaitu borderline sebanyak 27 pasien (46,6%), sedangkan yang hasilnya negative sebanyak 11 pasien (18,9%) dan yang positif sebanyak 20 pasien (34,5%). Hasil borderline ini menunjukkan bahwa pemeriksaan harus diulang kembali 3-5 hari kemudian untuk mendapatkan hasil yang akurat.

Untuk lebih mempermudah melihat perbedaan hasil pemeriksaan tes tubex pada tabel 2 dan tabel 3 berikut akan disajikan dalam bentuk grafik 1 berdasarkan bulan dan grafik 2 berdasarkan kelompok usia.


Grafik 1. Hasil Sampel Darah dengan Tes Tubex Berdasarkan Bulan


90


80


70


60


50


Negatif Borderline Positif



S


40


30


20


10


0


Juni


Agustus Bulan


Oktober


Data Hasil Pemeriksaan Sampel Darah


Pasien Menggunak


n Tes Tubex


Grafik 2. Hasil Sampel Darah Pasien Menggunakan Tes Tubex Berdasarkan Kelompok Usia


Balita        Dewasa

Kelompok Usia Prevalensi Hasil Tes Tubex Berdasarkan Kelompok Usia


Tabel 4. Hasil Sampel Darah Pasien Menggunakan Tes Tubex berdasarkan Kelompok Usia

Kelompok Usia

Negatif

Borderline

Positif

Total

Balita (0-5 th)

21

33

57

111

Kanak-Kanak (5-11 th)

14

39

52

105

Remaja (12-25 th)

12

28

55

95

Dewasa (26-45 th)

20

30

84

134

Lansia (46-65 th)

7

16

20

43

Usia Lanjut (66 tahun ke atas)

2

5

7

14

Total

76

151

275

502

Tabel 4. menunjukkan prevalensi hasil tes tubex berdasarkan kelompok usia. Dapat dilihat bahwa pada kelompok usia dewasa memiliki prevalensi hasil tes tubex positif paling tinggi yaitu 84 pasien (30,5%). Kelompok usia balita memiliki prevalensi hasil tes tubex negatif paling tinggi yaitu 21 pasien (27,6%) dan kelompok usia kanak-kanak memiliki prevalensi tes tubex borderline paling tinggi yaitu 39 pasien (25,8%).

Dari keseluruhan hasil pemeriksaan pasien dengan menggunakan tes tubex menunjukkan persentase yang positif demam tifoid cukup tinggi sedangkan yang negatif lebih rendah, ini terlihat dari hasil pemeriksaan tes tubex diatas. Dari 502 pasien yang melakukan tes tubex, 76 pasien (15,1%) hasilnya negatif, 151 pasien (30,1%) hasilnya borderline, dan 275 pasien (54,8%) hasilnya positif.

PEMBAHASAN

S. typhi yang merupakan bakteri gram negatif, memiliki flagel, dan tidak berspora merupakan penyebab dari demam tifoid. Penularannya dapat melalui makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi oleh S. typhi, sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, sumber air, dan standar kebersihan industri yang buruk.1 Demam tifoid telah menjadi permasalahan global terutamanya bagi negara-negara berkembang di daerah tropis. Indonesia termasuk negara berkembang yang memiliki angka kejadian kasus demam tifoid yang terus meningkat tiap tahunnya. Untuk itu, diperlukan pemberian informasi

tentang     pentingnya     menjaga

kebersihan dan kehigienisan makanan serta cara pencegahan penyebaran bakteri. Demam tifoid memiliki masa inkubasi 7-14 hari dan pada umumnya pasien yang datang ke rumah sakit menunjukkan gejala seperti demam yang tidak turun selama satu minggu, nyeri otot, nyeri kepala, konstipasi 1

ataupun diare.

Salah satu pemeriksaan yang dapat menunjang penegakan diagnosis demam tifoid dapat dilakukan dengan pemeriksaan tes tubex, cukup banyak pasien yang dapat langsung didiagnosis demam tifoid dengan menggunakan tes tubex. Walaupun terkadang hasil borderline masih sering didapat dan pemeriksaan harus diulang kembali 3-5 hari berikutnya sehingga tidak dapat langsung terdiagnosis demam tifoid. Hasil borderline yang didapat dari tes tubex bisa terjadi karena sampel darah pasien yang diperiksa dengan uji tubex mengandung IgM Salmonella typhi tidak cukup terdeteksi sehingga perlu dilakukan pengulangan tes tubex. Sedangkan hasil negatif yang didapat bisa diakibatkan oleh sampel yang

diperiksa berasal dari pasien yang dalam fase penyembuhan atau menderita demam tifoid kronis. Hal ini disebabkan oleh immunoglobulin yang beredar dalam darah adalah IgG sedangkan tes tubex hanya dapat mendeteksi IgM sebagai pertanda infeksi akut dan tidak dapat 7 mendeteksi adanya IgG.7

Pasien yang memiliki gejala klinis demam tifoid belum dapat dipastikan terdiagnosis demam tifoid karena penyakit ini memiliki gejala klinis yang mirip dengan gejala klinis dari penyakit lainnya seperti malaria, demam      berdarah,      demam

chikungunya. Maka dari itu seringkali pasien tidak hanya melakukan pemeriksaan tes tubex untuk menegakan diagnosis.

Pemeriksaan dengan tes tubex memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya. Penelitian di Filipina menunjukkan tes tubex memiliki angka sensitivitas 95% dan spesifisitas 80%. Selain itu pemeriksaannya sangat mudah, karena hanya memerlukan sampel darah yang

sedikit dan langkah pemeriksaan yang sederhana serta hasil yang diperoleh tidak perlu waktu lama.9,10 Namun pemeriksaan dengan tes tubex ini bersifat subjektif karena hasil tes tersebut berdasarkan hasil yang dilihat oleh mata pemeriksa. 9,10

SIMPULAN

Tes tubex yang termasuk uji serologis menjadi salah satu uji yang kini cukup sering digunakan untuk membantu dalam diagnosis demam tifoid. Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana. Secara akurat dapat mendeteksi infeksi akut karena dapat mendeteksi terbentuknya IgM. Tes tubex ini memanfaatkan kemudahan tes widal dan tes aglutinasi lateks namun tes tubex menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan resolusi dan sensitivitas. Sedangkan antigen O9 yang spesifik ditemukan pada Salmonella serogrup D digunakan untuk meningkatkan spesifisitas.. Tes tubex hanya bisa mendeteksi adanya IgM namun tidak bisa mendeteksi IgG. Dari gambaran hasil pemeriksaan tes tubex yang dilakukan di RS Surya

Husadha dari bulan Juni 2013-November 2013 nampak bahwa persentase yang positif demam tifoid cukup tinggi sedangkan yang negatif lebih rendah. Dari 502 pasien yang melakukan tes tubex, 76 pasien (15,1%) hasilnya negatif, 151 pasien (30,1%) hasilnya borderline, dan 275 pasien (54,8%) hasilnya positif. Hasil borderline sebanyak 30,1% yang didapat bisa terjadi karena sampel darah pasien yang diperiksa dengan uji tubex mengandung IgM Salmonella typhi tidak banyak sehingga perlu dilakukan pengulangan tes tubex. Sedangkan hasil negatif yang didapat bisa diakibatkan oleh sampel yang diperiksa berasal dari pasien dalam fase penyembuhan atau menderita demam tifoid kronis karena immunoglobulin yang beredar dalam darah adalah IgG sedangkan tes tubex hanya dapat mendeteksi IgM sebagai pertanda infeksi akut dan tidak dapat mendeteksi adanya IgG.

Apabila dilihat dari jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan mana yang lebih banyak melakukan tes tubex antara lelaki dan

perempuan. Dan dilihat dari kelompok usia, kelompok usia dewasa menunjukkan hasil positif yang lebih tinggi (30,5%).

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai     faktor-faktor     yang

mempengaruhi timbulnya hasil negatif pada pemeriksaan tes tubex. Untuk hasil yang lebih akurat diperlukan dilakukannya pengulangan tes 2-3x.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Keputusan  Menteri   Kesehatan

Republik  Indonesia.   Pedoman

Pengendalian Demam Tifoid Mentri    Kesehatan    Republik

Indonesia. Menkes 2006;364(5):1-

5.

  • 2.    Christopher M. Parry, M.B., Tran Tinh Thien, M.D., dkk Typhoid Fever. N Engl J Med, 2002; 347 (22) : 1-9.

  • 3.    Tania Nugrah Utami. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Riau. 2010:3-8.

  • 4.    Indian J Med. Typhoid Fever. 2006;123:489-492

  • 5.    African Journal of Microbiology Research. New Advances in the

Rapid Diagnosis of Typhoid Fever. 2010;4(16):1676-1677

  • 6.    Aftab R, Khurshid  R.  Widal

Aggluctination Titre:  A Rapid

Serological Diagnosis of Typhoid Fever in Developing Countries. Pak J Physiol 2009; 5(1):1-8

  • 7.    Wafaa M.K. Bakr. Tubex Test Versus Widal Test in the Diagnosis of Typhoid Fever in Kafr-El Shekh Egypt. 2010;85(5):3-15

  • 8.    WHO. Diagnosis of typhoid fever. Background document :  The

diagnosis,     treatment,      and

prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;14:1-38.

  • 9.    Tam FCH, Leung DTM, Ma CH, Lim PL. Modification of the TUBEX typhoid test to detect antibodies      directly      from

haemolytic serum and whole blood. Journal of Medical Microbiology. 2008;57:1349-1353.

  • 10.    Olsen SJ, Pruckler J, et al. Evaluation of rapid diagnosis tests for typhoid fever. Journal of Clinical Microbiology. 2004; 42

  • (5)    : 1885-1889.

  • 11.    Anonim. Laboratorium Surya Husadha. 2013. Hasil Pemeriksaan Tes Tubex.

14