GAMBARAN DESKRIPTIF POLA PENATALAKSANAAN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BULELENG TAHUN 2013

Putu Yunita Primasari1, I Gusti Ayu Artini2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Hipertensi saat ini masih menjadi masalah utama di dunia. Pencapaian target tekanan darah, pengontrolan faktor risiko kardiovaskular serta pengobatan penyakit komorbid harus dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penatalaksanaan hipertensi di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng pada tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan cross-sectional. Subyek penelitian ini adalah semua pasien hipertensi yang memiliki data rekam medis pada bulan Oktober-Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng yang telah dipilih dengan menggunakan metode consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 45 sampel penelitian, sebanyak 77,8% subyek menerima terapi kombinasi dan 22,2% subyek menerima terapi tunggal. Berdasarkan atas tingkat keparahan hipertensi, baik hipertensi tingkat I maupun hipertensi tingkat II lebih banyak menerima terapi kombinasi. Sebanyak 11,1% subyek dengan penyakit penyerta menerima terapi kombinasi. Dapat disimpulkan bahwa pola penggunaan obat antihipertensi di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng pada tahun 2013 terbanyak dalam bentuk terapi kombinasi.

Kata kunci : Hipertensi, Pola penatalaksanaan, Terapi tunggal, Terapi kombinasi

DESCRIPTIVE OVERVIEW ABOUT PATTERN OF HYPERTENSION MANAGEMENT IN OUTPATIENT INSTALLATION OF BULELENG’S GENERAL HOSPITAL IN 2013

ABSTRACT

Hypertension is still a major problem in the world. Achieving the blood pressure target, controlling the risk factor and treating the comorbid disease should be done to decrease the morbidity and mortality from hypertension. This study was conducted to determine the pattern of hypertension management in Outpatient Installation of Buleleng’s General Hospital in 2013. This study was a descriptive observational with cross-sectional design. The subjects were all patients with hypertension who had medical records from October to December 2013 in Outpatient Installation of Buleleng’s General Hospital, which were selected using a consecutive sampling method. The result showed that from 45 samples, 77,8% subjects were received combination therapy and 22,2% subjects were received monotherapy. Based on the severity of hypertension, either stage 1 and stage 2 hypertension mostly received combination therapy. There were 11,1% subjects with comorbid disease and they were received combination therapy. It was concluded that the pattern of hypertension management in Outpatient Installation of Buleleng’s General Hospital in 2013 mostly in combination therapy.

Keywords : Hypertension, Management pattern, Monotherapy, Combination therapy

PENDAHULUAN

Hipertensi yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) maupun tekanan darah diastolik (TDD) ≥140/90 mmHg saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia karena sulit diatasi serta menimbulkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Berdasarkan data epidemiologi beberapa penelitian di Indonesia, hipertensi dialami oleh sekitar 6% hingga 15% penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan masih banyak penderita hipertensi yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Saat ini diperkirakan di seluruh dunia lebih dari 1 miliar orang menderita hipertensi dan sekitar 7,1 juta kematian berkaitan dengan hipertensi.1,2

Penatalaksaan hipertensi meliputi penatalaksanaan nonfarmakologis dan farmakologis. Pemilihan penatalaksanaan didasarkan pada tingginya tekanan darah, keberadaan dan beratnya kerusakan organ target serta keberadaan penyakit penyerta. Penurunan tekanan darah yang efektif dengan obat-obatan telah terbukti mencegah kerusakan pembuluh darah serta menurunkan morbiditas dan mortalitas secara nyata. Banyak obat-obat yang efektif tersedia namun masih banyak penggunaan obat-obat ini yang belum sesuai dengan pedoman yang berlaku.2,3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dkk. (2010) pada beberapa

kasus obat yang diberikan tidak sesuai dengan tingkat keparahan penyakit pasien dimana pasien yang seharusnya mendapat kombinasi obat antihipertensi hanya diberikan obat tunggal saja.4 Penelitian yang dilakukan oleh Mutmainah dkk. (2008) menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus, sebanyak 77,11% pasien diberikan obat yang tidak tepat dan adanya kombinasi obat yang tidak diperlukan.5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setriana dkk. (2014) pada pasien hipertensi dengan stroke hemoragik, terdapat ketidaktepatan pemilihan obat dalam kombinasi antihipertensi yang diberikan, dari lima belas variasi kombinasi antihipertensi yang telah diresepkan, sembilan diantaranya merupakan kombinasi yang tidak tepat karena berasal dari golongan antihipertensi yang sama.6 Penggunaan obat secara tidak tepat dapat menyebabkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, memperparah penyakit hingga kematian serta memerlukan biaya pengobatan yang sangat tinggi.3

Berdasarkan atas fakta-fakta tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pola penatalaksanaan hipertensi yang dipusatkan di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng. Data tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi evaluasi dalam penalataksanaan hipertensi sehingga berimplikasi pada penurunan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan menggunakan rancangan cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui pola penatalaksanaan hipertensi di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng pada tahun 2013. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 45 pasien hipertensi yang memiliki data rekam medis pada bulan Oktober 2013 sampai Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng yang telah dipilih dengan menggunakan metode consequtive sampling. Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah, dianalisis dan diinterpretasikan dalam bentuk naratif deskriptif.

HASIL

Tabel 1 menunjukkan bahwa subyek penelitian terdiri dari 23 orang (51,1%) laki-laki dan 22 orang (48,9%) perempuan dengan usia lebih dari 26 tahun. Sebagian besar subyek penelitian yaitu 19 orang (42,2%) digolongkan pada masa manula (65 tahun ke atas), diikuti oleh masa lansia awal (46-55 tahun) dan masa lansia akhir (56-65 tahun) masing-masing sebanyak 12 orang (26,7%) serta masa dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak dua orang (4,4%). Berdasarkan atas tingkat keparahan hipertensi, subyek penelitian lebih banyak digolongkan pada hipertensi tingkat I yaitu 38 orang (84,4%),

diikuti oleh hipertensi tingkat II yaitu tujuh orang (15,6%). Subyek penelitian yang datang dengan penyakit penyerta sebanyak lima orang (11,1%) dan tanpa penyakit penyerta sebanyak 40 orang (88,9%). Penyakit yang menyertai hipertensi pada subyek penelitian ini meliputi diabetes melitus dan penyakit jantung koroner.

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Variabel                     Jumlah (%)

Total (N=45)

Jenis Kelamin

Laki-laki

23 (51,1)

Perempuan

22 (48,9)

Usia

Masa Dewasa Akhir

2 (4,4)

Masa Lansia Awal

12 (26,7)

Masa Lansia Akhir

12 (26,7)

Masa Manula

19 (42,2)

Tingkat Keparahan Hipertensi

Hipertensi Tingkat I

38 (84,4)

Hipertensi Tingkat II

7 (15,6)

Penyakit Penyerta Hipertensi

Dengan Penyakit Penyerta

5 (11,1)

Tanpa Penyakit Penyerta

40 (88,9)

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak sepuluh orang subyek (22,2%) menerima terapi tunggal dan 35 orang subyek (77,8%) menerima terapi kombinasi.

Tabel 2. Pola Penggunaan Obat Antihipertensi Tunggal dan Kombinasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Hipertensi Tingkat Pola Penatalaksanaan Total Keparahan Jumlah (%)

Tunggal Kombinasi

Hipertensi

9 (20)

29 (64,4)

38 (84,4)

Tingkat I Hipertensi

1 (2,2)

6 (13,3)

7 (15,6)

Tingkat II Total

10 (22,2)

35 (77,8)

45 (100)

Tidak terdapat perbedaan bermakna

secara statistik pada pola penatalaksanaan hipertensi berdasarkan atas tingkat keparahan hipertensi (p>0,05). Baik hipertensi tingkat I maupun hipertensi tingkat II lebih banyak 3

mendapat terapi kombinasi dengan dua obat atau lebih.

Tabel 3. Pola Penggunaan Obat Antihipertensi Tunggal Berdasarkan Tingkat Keparahan Hipertensi

Golongan Tingkat Keparahan Total

Antihiper Hipertensi

tensi Jumlah (%)

Tingkat I Tingkat

II

Diuretik

0 (0)

0 (0)

0 (0)

β-Blocker

2 (4,4)

0 (0)

2 (4,4)

CCB

0 (0)

1 (2,2)

1 (2,2)

ACE-I

4 (8,8)

0 (0)

4 (8,8)

ARB

3 (6,6)

0 (0)

3 (6,6)

Total

9 (20)

1 (2,2)

10 (22,2)

Berdasarkan Tabel 3 pada kelompok

terapi tunggal, golongan obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah golongan ACE-I pada empat orang subyek dengan hipertensi tingkat I (8,8%), diikuti oleh golongan ARB pada tiga orang subyek dengan hipertensi tingkat I (6,6%), golongan β-Blocker pada dua orang subyek dengan hipertensi tingkat I (4,4%) dan golongan CCB pada satu orang subyek dengan hipertensi tingkat II (2,2%).

Tabel 4. Pola Penggunaan Obat Antihipertensi Kombinasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Hipertensi

Kombi Tingkat Keparahan Total nasi         Hipertensi

Jumlah (%)

Tingkat I

Tingkat II

2 Obat

21 (46,7)

6 (13,3)

27 (60)

3 Obat

6 (13,3)

0 (0)

6 (13,3)

4 Obat

2 (4,4)

0 (0)

2 (4,4)

Total

29 (64,4)

6 (13,3)

35 (77,8)

Berdasarkan Tabel 4, kombinasi yang

paling banyak diberikan adalah kombinasi dua obat pada 27 orang subyek (60%) yaitu pada 21 orang subyek (46,7%) dengan hipertensi tingkat I dan enam orang subyek

(13,3%) dengan hipertensi tingkat II. Kombinasi tiga obat diberikan pada enam orang subyek (13,3%) dengan hipertensi tingkat I dan kombinasi empat obat diberikan pada dua orang subyek (4,4%) dengan hipertensi tingkat I. Tabel 5 menjabarkan golongan obat antihipertensi yang digunakan secara kombinasi dengan lebih rinci.

Tabel 5. Golongan Obat Antihipertensi Kombinasi

Kombinasi

Golongan Obat Antihipertensi

Jumlah (%)

2 Obat

CCB, ARB

8 (17,7)

Diuretik, β-Blocker

4 (8,8)

β-Blocker, CCB

4 (8,8)

CCB, ACE-I

3 (6,6)

Diuretik, ARB

3 (6,6)

β-Blocker, ARB

2 (4,4)

Diuretik, CCB

2 (4,4)

Diuretik, ACE-I

1 (2,2)

3 Obat

Diuretik, CCB, ACE-I

2 (4,4)

Diuretik, β-Blocker, ACE-I

2 (4,4)

Diuretik, β-Blocker, ARB

1 (2,2)

β-Blocker,     CCB,

ARB

1 (2,2)

4 Obat

Diuretik, β-Blocker, CCB, ACE-I

2 (4,4)

Total

35 (77,8)

Berdasarkan Tabel 5, kombinasi dua obat yang paling banyak diberikan adalah kombinasi golongan CCB dan ARB pada delapan orang subyek (17,7%), diikuti oleh kombinasi golongan diuretik dan β-Blocker serta β-Blocker dan CCB masing-masing pada empat orang subyek (8,8%), kombinasi golongan CCB dan ACE-I serta golongan diuretik dan ARB pada tiga orang subyek (6,6%). Kombinasi golongan β-Blocker dan ARB serta golongan diuretik dan CCB hanya

diberikan pada dua orang subyek (4,4%), begitupula kombinasi golongan diuretik dan ACE-I hanya diberikan pada satu orang subyek (2,2%). Kombinasi tiga obat meliputi golongan diuretik, CCB, ACE-I dan diuretik, β-Blocker, ACE-I masing-masing diberikan pada dua orang subyek (4,4%). Kombinasi golongan diuretik, β-Blocker, ARB dan β-Blocker, CCB, ARB masing-masing diberikan pada satu orang subyek (2,2%). Kombinasi empat obat juga diberikan pada penelitian ini. Kombinasi tersebut meliputi golongan diuretik, β-Blocker, CCB, ACE-I yang diberikan pada dua orang subyek (4,4%).

Pada penelitian ini, dua orang subyek menderita diabetes melitus dan diberikan injeksi insulin yang dosisnya disesuaikan dengan target gula darah masing-masing serta diberikan obat anti hipertensi kombinasi golongan CCB dan ACE-I. Tiga orang subyek menderita penyakit jantung koroner dan diberikan antiangina serta kombinasi golongan β-Blocker dengan golongan diuretik, CCB atau ACE-I.

PEMBAHASAN

Tingkat keparahan hipertensi akan mempengaruhi pemilihan terapi antihipertensi, dimana pasien dengan hipertensi tingkat I pertama-tama disarankan terapi menggunakan satu macam obat dan pasien dengan hipertensi tingkat II disarankan terapi menggunakan kombinasi obat. Keberadaan penyakit penyerta juga akan

mempengaruhi pemilihan terapi antihipertensi.7,8

Berdasarkan Tabel 3 pada kelompok terapi tunggal, golongan obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah golongan ACE-I. ACE-I menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACE-I juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.9

Pada penelitian ini, golongan ARB juga banyak digunakan. ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia meliputi, vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2) sehingga efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB.9

β-Blocker dan CCB juga digunakan pada penelitian ini. Beberapa penelitian telah menunjukkan berkurangnya resiko kardiovaskular apabila β-Blocker digunakan setelah infark miokard, pada sindroma koroner akut, atau pada angina stabil kronis. CCB bekerja dengan menghambat masuknya

kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer.9

Berdasarkan hasil penelitian ini, diuretik tidak digunakan sebagai terapi tunggal padahal JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik tunggal atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, β-Blocker, CCB).8

Pada penelitian ini, satu orang subjek (2,2%) dengan hipertensi tingkat II diberikan terapi tunggal dengan CCB padahal JNC 7 merekomendasikan pasien dengan hipertensi tingkat II sebaiknya memulai terapi dengan kombinasi dua obat antihipertensi dari golongan yang berbeda.8

Ketika obat tunggal belum mampu mengontrol tekanan darah, obat-obat dengan tempat kerja yang berbeda dapat dikombinasikan untuk menurunkan tekanan darah secara efektif sementara toksisitas diminimalkan.10

Pada penelitian ini, kombinasi dua obat yang paling banyak diberikan adalah kombinasi golongan CCB dan ARB pada delapan orang subyek (17,7%). Sedangkan kombinasi golongan CCB dan ACE-I diberikan pada tiga orang subyek (6,6%). Obat antihipertensi yang menghambat RAAS dan CCB telah banyak diteliti serta terbukti

dapat menurunkan tekanan darah dengan lebih baik jika digunakan sebagai kombinasi. Penambahan penghambat RAAS secara signifikan mampu memperbaiki profil tolerabilitas CCB.11

Berdasarkan hasil penelitian, kombinasi diuretik dan β-Blocker diberikan pada empat orang subyek (8,8%). Penambahan diuretik meningkatkan efek antihipertensi dari β-Blocker pada pasien 12 hipertensi dengan kadar renin yang rendah.12 Kombinasi ini tidak direkomendasikan pada pasien dengan sindrom metabolik, pasien prediabetes atau pasien dengan risiko tinggi 13 diabetes.

Penggunaan β-Blocker dan CCB secara kombinasi juga diberikan pada empat orang subyek (8,8%). Kombinasi dari golongan β-Blocker dan CCB dihidropiridin memiliki efek aditif dalam menurunkan tekanan darah.11

Pada penelitian ini, kombinasi golongan diuretik dan ARB diberikan pada tiga orang subyek (6,6%) sedangkan kombinasi golongan diuretik dan ACE-I hanya diberikan pada satu orang subyek (2,2%). Diuretik akan menurunkan volume intravaskular dan mengaktivasi RAAS sehingga menyebabkan vasokonstriksi serta retensi garam dan air. Dengan adanya penghambat RAAS, efek ini akan diturunkan.11

Kombinasi golongan β-Blocker dan ARB diberikan pada dua orang subyek

(4,4%). Kedua golongan obat ini bersifat kardioprotektif dan sering diberikan secara kombinasi kepada pasien dengan penyakit jantung koroner atau gagal jantung.11

Kombinasi golongan diuretik dan CCB diberikan pada dua orang subyek (4,4%). Kombinasi ini memiliki efek aditif sebagian dalam menurunkan tekanan darah. Efek aditif sebagian ini terjadi karena tumpang tindih antara farmakologi kedua obat. CCB juga bersifat natriuretik yaitu meningkatkan eksresi natrium walaupun tidak sebesar efek diuretik terhadap eksresi natrium.11

Pada penelitian ini, delapan orang subyek (17,7%) dengan hipertensi tingkat I menerima terapi kombinasi dengan tiga atau empat obat antihipertensi. Hal ini tidak sesuai dengan panduan JNC 7 yang menyatakan bahwa obat antihipertensi pada kebanyakan pasien hipertensi sebaiknya adalah diuretik tiazid. Rekomendasi ini terutama untuk pasien yang tanpa indikasi penyulit dengan hipertensi tingkat I, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan pula obat antihipertensi lain seperti β blocker, ACEI, 8 ARB, CCB, atau kombinasi dengan dua obat.8 Diberikannya kombinasi dengan tiga atau empat obat pada subyek penelitian dengan hipertensi tingkat I ini mungkin disebabkan oleh indikasi medis lain dan bukan merupakan terapi inisial pada hipertensinya. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari penelitian ini dimana pemilihan subyek pada

penelitian ini tidak membedakan antara pasien lama dan pasien baru serta penelitian ini menggunakan data sekunder dengan instrumen penelitian berupa rekam medis sehingga kemungkinan banyak terdapat data yang tidak lengkap.

Berdasarkan pedoman JNC 7, adanya penyakit penyerta membutuhkan obat antihipertensi tertentu sebagai lini pertama.8

Bila hipertensi disertai diabetes melitus, risiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular akan meningkat.14 Kombinasi dua atau lebih obat selalu diperlukan untuk mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes melitus.8,15 Disarankan agar terapi kombinasi terdiri dari golongan obat yang menghambat RAAS. Golongan obat kedua meliputi CCB dan diuretik atau kombinasi ACE-I dan ARB.8 Pada penelitian ini, dua orang subyek menderita diabetes melitus dan pola penatalaksanaan pada kedua pasien ini telah sesuai dengan pedoman JNC 7.

Penyakit jantung koroner adalah bentuk kerusakan organ target yang paling sering akibat hipertensi. Target tekanan darah pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung koroner adalah <140/90 mmHg.16 Untuk mencapai target tekanan darah tersebut, JNC 7 merekomendasikan untuk menggunakan obat antihipertensi golongan diuretik, CCB, β-Blocker dan ACE-I.8,15 Pada penelitian ini, tiga orang subyek menderita penyakit jantung koroner dan pola

penatalaksanaan pada ketiga pasien ini telah sesuai dengan pedoman JNC 7.

SIMPULAN

Sebagian besar subyek menerima terapi kombinasi dan sisanya menerima terapi tunggal. Pada terapi tunggal, obat antihipertensi yang paling banyak diberikan adalah golongan ACE-I sedangkan pada terapi kombinasi, obat antihipertensi yang paling banyak diberikan adalah kombinasi golongan CCB dan ARB. Pola penggunaan obat antihipertensi pada subyek dengan hipertensi tingkat I maupun hipertensi tingkat II lebih banyak diberikan dalam bentuk kombinasi. Pola penggunaan obat antihipertensi pada subyek dengan penyakit penyerta diberikan dalam bentuk kombinasi dan telah sesuai dengan pedoman JNC 7.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Tedjasukmana, P. 2012. Tata Laksana Hipertensi. CDK-192: 251-255.

  • 2.    Darnindro, N., Muthalib, A. 2008. Tatalaksana Hipertensi Pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik. Majalah Kedokteran Indonesia. 58(2).

  • 3.    Katzung, B.G., Akporiaye, E.T., Aminoff, M.J., Basbaum, A.I., Benowitz, N.L., Berkowitz, B.A., dkk.

2007. Basic & Clinical Pharmacology. 10th ed. New York : The McGraw Hill; 11

  • 4.    Wulandari, A.S., Perwitasari, D.A., Hidayati, T. 2010. Faktor Risiko Ketidakrasionalan Penggunaan Obat Antihipertensi di Puskesmas Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta Periode Juli-Agustus 2009. Ikatan Apoteker Indonesia. 142-147.

  • 5.    Mutmainah, N., Ernawati, S., Sutrisna, E.M. 2008. Identifikasi Drugs Related Problems (DRPs) Potensial Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat Pada Pasien Hipertensi dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X Jepara Tahun 2007. Pharmacon Vol 9: 14-20.

  • 6.    Setriana, L., Dharma, S., Suhatri. 2014. Kajian Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Stroke Hemoragik di Bangsal Saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV.

  • 7.    Hardiman, A. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.

  • 8.    Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L., dkk. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,

and Treatment of High Blood Pressure. JAMA;289:2560-2572

  • 9.    Muchid, A., Umar, F., Chusun., Masrul., Wurjati, R., Purnama, N.R., dkk. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan.

  • 10.    Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan

  • 11.    Gradman, A.H., Basile, J.N., Carter, B.L., Bakris, G.L. 2010. Combination Therapy in Hypertension. J Am Soc Hypertens, 4(2): 90– 98.

  • 12.    Sever, P.S., Messerli, F.H. 2011. Hypertension Management 2011: Optimal Combination Therapy. J Eur Heart; 32: 2499–2506.

  • 13.    Mallat, S.G., Itani, H.S., Tanios, B.Y. 2013. Current Perspectives on Combination Therapy in The Management of Hypertension. J Dovepress; 6: 69–78.

  • 14.    Kalra, S., Kalra, B., Agrawal, N. 2010. Combination Therapy in Hypertension: An Update. J DMS; 2:44.

  • 15.    Frank, J. 2008. Managing Hypertension Using Combination

Therapy. Am Fam Physician; 77(9):1279-1286.

  • 16.    Lindsay, P., Poirier, L. 2011. Canadian Recommendation for the Management of Hypertension. Canadian Hypertension Education Program.

9