TERAPI RESPERIDONE PADA SKIZOFRENIA PARANOID: SEBUAH LAPORAN KASUS

Ni Wayan Desy Lestari

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

ABSTRACT

Sifat yang menjadi ciri dari subtipe skizofrenia paranoid adalah adanya halusinasi audiotorik atau adanya delusi. The Diagnostic and Statistical Manua of Mental Disorders (DSM –IV TR) mendefinisikan adanya gejala positif dan negatif dari skizofrenia, yang dikatakan muncul diantara periode 1 dan 6 bulan. Gejala positif yang dimaksud adalah munculnya gejala aktif termasuk delusi dan halusinasi. Gejala negatif yang dimaksud adalah kehilangan emosi, berbicara, atau motivasi. Gangguan skizofrenia memiliki kesinambungan dari gejala ringan hingga berat yang sulit dibedakan dengan gangguan bipolar, yang dimana sama-sama mengamati munculnya gejala positif dan negatif. DSM-IV TR membagi skizofrenia menjadi beberapa tipe, diantaranya disorganisasi, katatonik, paranoid, schizophreniform, residual, skizoafektif, undiferensiasi dan yang tidak terspesifikasi. Laporan kasus ini membahas kasus skizofrenia paranoid pada pria berusia 35 tahun. Penanganan yang diberikan terapi medikamentosa (resperidone2 x 1 mg per oral) dan psikoterapi suportif.

Kata kunci: skizofrenia paranoid, farmakoterapi, psikoterapi.

RESPERIDONE THERAPY ON PARANOID SCHIZOPHRENIA :

A CASE REPORT

ABSTRACT

Traits that is characteristic of paranoid schizophrenia subtypes is the presence of delusion or audiotoric hallucinations. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth revised edition (DSM-IV TR) defines positive and negative symptoms of schizophrenia, which are present for a period of at least between 1 and 6 months. In this regard positive symptoms are the emergence of active symptoms including delusions and hallucinations. Negative symptoms are lost of emotion, speech, or motivation. Schizophrenic disorders have a continuity from mild to severe symptoms that are difficult to distinguish from bipolar disorder, in which both observe the emergence of positive and negative symptoms. DSM-IV TR classify schizophrenia into several types, such as disorganized, catatonic, paranoid, schizophreniform, residual, schizoaffective, undifferentiated and not otherwise specified. This case report discusses a case of paranoid schizophrenia in men aged 35 years. Treatment given in this case are pharmacological therapy (resperidone 2 x 1 mg orally) and supportive psychotherapy.

Keywords: paranoid schizophrenia, pharmacotherapy, psychotherapy.

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan yang mempengaruhi fungsi normal otak, fungsi kognitif, emosional dan tingkah laku. Skizofrenia paranoid merupakan salah satu tipe skizofrenia dengan ciri khas adanya delusi dan halusinasi audiotorik. Pasien dengan skizofrenia paranoid, kemampuan dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari mungkin masih lebih baik dibandingkan dengan tipe skizofrenia lainnya. Permasalahan pada memori, konsentrasi atau emosi yang tumpul terkadang tidak sering nampak, namun skizofrenia paranoid tetap menjadi masalah yang serius, dengan komplikasi jangka panjang yang serius, termasuk diantaranya percobaan bunuh diri. Dengan terapi yang efektif, gejala yang muncul dapat dikontrol sehingga pasien dapat hidup lebih sehat dan bahagia.

ILUSTRASI KASUS

Pasien laki-laki, berusia 35 tahun, agama Kristen Protestan, suku Jawa, bangsa Indonesia, pendidikan terakhir tamat S1 Informatika, belum menikah, tidak memiliki

pekerjaan datang ke Poliklinik jiwa RSUP Sanglah pada hari Jumat, 8 November 2013 diantar oleh karyawan bibi pasien. Pasien menggunakan baju kaos lengan pendek berwarna biru, celana panjang berwarna cokelat tua. Penampilan pasien tampak rapi, rambut pendek disisir rapi dan pasien mengenakan kacamata. Pasien berperawakan tinggi gemuk, warna kulit putih, serta kuku tangan tampak bersih. Selama wawancara berlangsung, pasien dapat berbicara dan menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, meskipun terkadang pasien terlihat berpikir keras saat menjawab pertanyaan sehingga memerlukan waktu beberapa detik untuk menjawab beberapa pertanyaan. Jika sedang berbicara dengan pemeriksa, pasien mampu menatap mata pemeriksa, namun jika sedang diam pasien sering melihat ke sekelilingnya dengan pandangan curiga. Pasien berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan volume suara terdengar jelas, intonasi terkontrol, meskipun terkadang lambat dalam merespon pertanyaan. Pasien mampu menjawab pertanyaan dengan jelas dan dapat dimengerti.

Pasien dapat menjawab dengan benar saat ditanya nama, nama pengantar pasien, sedang berada dimana dan waktu pemeriksaan. Pasien dapat menjawab dengan baik mengenai 100-7 dan seterusnya. Saat pasien diminta mengeja mundur kata “PINTU”, pasien dapat melakukannya dengan benar. Saat ditanya mengenai perbedaan dan persamaan antara buah jeruk dan bola tenis, pasien mengatakan bahwa perbedaannya adalah buah jeruk untuk dimakan dan bola tenis untuk dimainkan sedangkan persamaan antara buah jeruk dan bola tenis adalah bentuknya sama-sama bulat. Pasien dapat melanjutkan peribahasa “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian” kemudian mampu mengartikannya, yakni “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Pasien dapat menyebutkan dengan benar ibukota provinsi Bali dan nama Presiden Republik Indonesia saat ini.

Saat ditanyakan mengapa pasien datang ke Poliklinik Jiwa, pasien menjawab “saya takut”, namun saat ditanya bagaimana takut yang dikeluhkan, pasien terdiam lalu tampak berpikir keras, lalu menjawab “tidak tahu”. Saat ditanyakan bagaimana perasaannya, pasien menjawab “saya takut, saya kacau” dengan muka tanpa ekspresi. Saat diminta untuk menceritakan lebih lanjut, pasien

tampak berpikir dan tampak ingin bercerita, menyampaikan sesuatu yang dirasakan, namun beberapa detik kemudian menggelengkan kepala dan mengatakan “tidak tahu”.

Pasien kemudian bersedia menceritakan alasannya takut ketika ditanyakan kembali oleh pemeriksa. Pasien mengatakan bahwa dia merasa orang- orang di sekitarnya membuat dia merasa ketakutan. Pasien kemudian mengatakan bahwa ia merasa seperti dikejar-kejar orang jahat. Saat ditanya apakah pasien melihat orang yang mengejar tersebut, pasien mengatakan tidak. Pasien merasa dirinya dikejar orang jahat yang tidak dia lihat tapi dia rasakan kalau dirinya ada yang mengejar. Ketika diberitahu bahwa tidak ada yang mengejar pasien saat ini karena sedang berada di poliklinik, ada banyak dokter dan satpam dibawah, pasien tetap meyakini dirinya dikejar dan mau dicelakai. Pasien juga bercerita akhir- akhir ini sering mencurigai keluarganya membicarakan hal buruk tentang dirinya. Mereka mengatakan pasien tidak berguna dan hanya memberatkan hidup mereka. Saat pemeriksa menjelaskan, bahwa tidak mungkin anggota keluarga berniat buruk kepada pasien, tetapi pasien tetap yakin dengan pendiriannya. Apalagi saat menonton TV, dia mendengar bahwa

orang-orang dalam TV menghina-hina dirinya. Saat disangkal bahwa tidak mungkin orang di dalam TV membicarakan dirinya, pasien tetap kukuh pendirian bahwa apa yang dia dengar tidak salah lagi. Pasien selalu menjawab pertanyaan dengan sebelumnya tampak ketakutan, tetapi menunjukkan ekspresi muka datar. Saat ditanyakan apakah pernah mendengar suara-suara yang tidak didengar oleh orang lain, pasien mengatakan pernah mendengar suara laki-laki yang terdengar di telinganya. Suara ini sudah terdengar sejak 6 bulan lalu. Suara laki-laki ini dikatakan berbisik- bisik dan mengomentari dirinya. Pasien mengatakan suara- suara tersebut seperti mengejar-ngejar dirinya sehingga pasien merasa ketakutan. Pasien juga mengaku mendengar suara seperti suara ibunya di telinga, suara ibunya memanggil-manggil namanya dan pasien meyakini itu adalah suara ibunya yang sudah meninggal. Suara- suara yang didengar itu dikatakan mengganggu aktivitas pasien. Suara-suara tersebut terutama terdengar pada malam hari, sehingga membuat pasien terbangun pada malam hari. Pasien terbangun akibat mendengar suara-suara yang mengomentari dirinya tersebut, dan saat terbangun pasien menjerit ketakutan, lalu bengong dan susah tertidur kembali. Pasien selain mendengar suara

tersebut, tidak bisa melihat siapa yang bersuara tersebut, tidak dapat meraba atau menyentuh sumber suara tersebut dan tidak ada mencium bau busuk atau bau yang tidak wajar di sekitarnya.

Pasien mengatakan tidurnya sering terganggu. Sebelum sakit, pasien tertidur malam hari pada pukul 21.00 WITA dan bangun pagi sekitar pukul 06.00 WITA. Pasien mengatakan sudah tiga bulan terakhir pasien sering terbangun dari tidur sekitar pukul 01.00 WITA. Pasien terbangun akibat gelisah karena mendengar suara laki-laki. Setelah terbangun pasien mengakui sering menjerit ketakutan dan berusaha untuk menghentikan suara-suara tersebut. Setelah itu, pasien mengatakan ia sulit untuk tertidur lagi dan biasanya bengong dan akan memaksa memejamkan mata untuk dapat tertidur kembali. Pasien juga mengatakan sering pula terbangun karena mimpi buruk. Ketika ditanya mimpi buruknya seperti apa, pasien menjawab mimpi seperti hantu- hantu menakutkan yang ingin mengejar dirinya. Pada saat ditanyakan apakah saat itu pernah melihat bayangan yang tidak dilihat orang lain, pasien mengatakan tidak pernah melihat bayangan tersebut. Saat ini, pasien mengatakan nafsu makannya baik. Biasanya pasien makan teratur tiga kali sehari bahkan sering lebih, yaitu empat hingga lima kali.

Pasien makan atas keinginannya sendiri. Pasien mengambil makanan sendiri jika sudah merasa lapar. Pasien mandi hanya satu kali dalam sehari, karena pasien mengatakan ia malas untuk mandi dan lebih memilih untuk berbaring diatas tempat tidur. Pasien mengatakan saat ini sudah tidak pernah beraktivitas di luar rumah. Pasien mengatakan tidak percaya diri untuk keluar rumah. Sehari- hari pasien hanya berbaring di atas tempat tidur dan menghabiskan waktu di kamar. Saat ditanya apa yang dilakukan di kamar, pasien kembali menjawab ia hanya berbaring. Sebelum sakit, pasien mengatakan hobinya adalah membaca buku dan sekarang pasien sudah tidak melakukan hobinya lagi karena sudah malas membaca. Sebelum sakit, pasien sempat bekerja sebagai programmer computer di Lembah Pujian (Nangka Utara). Tapi saat ini pasien sudah tidak pernah ke Lembah Pujian baik untuk bekerja maupun untuk beribadah.

Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang ataupun riwayat merokok. Riwayat penyakit seperti asma, tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit ginjal, dan cedera kepala disangkal.

Pasien lahir di Bali dan merupakan anak tunggal. Sejak lahir, pasien dibesarkan di Bali bersama kedua orangtuanya. Kedua orang tua pasien telah meninggal dunia. Ayah pasien meninggal saat pasien berusia 18 tahun atau sedang duduk di bangku kelas 3 SMA akibat penyakit ginjal kronis. Ibu pasien telah meninggal sekitar 1 tahun lalu dikatakan oleh pasien karena sakit stroke, dan sempat diopname di RS Dr. Sutomo. Pasien merasa sangat terpukul sejak meninggalnya ibunya. Sejak ibu pasien meninggal, pasien dibawa bibinya ke Bali. Saat ini pasien tinggal bersama bibinya di Jalan Legian- Kuta. Saat ini pasien tinggal bersama bibi, pekerja di usaha milik bibinya serta pembantu rumah tangga.

Pasien dibesarkan di Bali dan menempuh pendidikan sebagian besar di Bali. Pasien menempuh SD di sebuah SD swasta di Denpasar. Kemudian melanjutkan ke sebuah SMP negeri di Denpasar selama 3 tahun dan ke salah satu SMA negeri di Denpasar selama 3 tahun. Setelah itu, pasien mencoba UMPTN untuk melanjutkan kuliah pada tahun 1996. UMPTN pertama gagal dan pasien sempat menganggur 1 tahun. Pasien mencoba UMPTN 1 tahun kemudian dan lulus di jurusan teknik fisika universitas negeri di Jawa. Selama 1 tahun menjalani perkuliahan pasien kembali

mengikuti UMPTN dan lulus di elektro universitas negeri di Jawa. Setahun kemudian pasien kembali mendaftar di sebuah universitas swasta S1 Informatika. Pasien sempat menjalani 3 jurusan perkuliahan berbeda selama 1 tahun, yaitu di jurusan teknik fisika semester 6, jurusan teknik elektro semester 4, dan Informatika semester 2. Pasien lalu di drop out dari kuliahnya di jurusan teknik fisika maupun teknik elektro. Pasien lulus sarjana di sebuah universitas swasta S1 Informatika. Saat ditanya, mengapa pasien mengambil banyak jurusan perkuliahan sekaligus, pasien mengatakan hal ini dilakukan supaya pasien gampang diterima bekerja dan bisa diterima oleh banyak orang.

Saat ditanyakan pribadi yang seperti apa pasien, pasien langsung menjawab bahwa banyak orang menilainya introvert, tertutup, pendiam dan pemalu. Pasien dikatakan lebih suka menyendiri dan jarang keluar rumah untuk mengikuti kegiatan sosial, misalnya pertemuan di gereja. Pasien juga lebih sering bekerja di rumah sehingga dikatakan tidak memiliki banyak teman. Pasien mengatakan hingga saat ini belum menikah dan belum pernah menjalin hubungan serius dengan wanita. Pasien mengatakan pernah memiliki sosok ideal wanita seperti ibunya, tetapi pasien malu untuk mengatakan cintanya

pada wanita tersebut, dan akhirnya pasien ditinggal menikah. Bila ada masalah, pasien mengaku dulu selalu bercerita kepada ibunya karena pasien sangat tergantung pada ibunya. Pasien mengaku sangat dimanja oleh ibunya. Ketika ditanya dimanja seperti apa, pasien tidak mau menceritakan lebih lanjut dan hanya mengatakan ibunya sangat baik dan ia sangat menyayangi ibunya. Saat ini, bila ditanyakan bagaimana pasien menyelesaikan masalah, pasien menjawab hanya memendam murung dan memendam masalahnya sendiri. Pasien mengaku pernah merasa putus asa dan pesimis, tetapi tidak pernah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya.

Selama dilakukan wawancara, pasien hanya duduk berhadapan dengan pemeriksa dan tampak tenang. Sampai wawancara berakhir, pasien tidak bangun dari kursi.

Berdasarkan hasil heteroanamnesis dengan karyawan bibi pasien (karyawan ini mengaku sudah lama bekerja di usaha bibi pasien, yaitu usaha garmen. Karyawan tersebut mengaku saat pasien kecil beliau sudah bekerja di usaha keluarga pasien), pasien mengalami kebingungan sejak sekitar 1 bulan yang lalu. Bibi pasien mengatakan pasien sering terlihat bingung dan sering terlihat bengong. Pasien dikatakan sering terlihat bengong di kamarnya tanpa

melakukan aktivitas apapun dengan terkadang sering terlihat menatap tajam suatu hal tampak seperti memikirkan sesuatu. Ketika ditanya oleh keluarganya apa yang sedang dilakukan, pasien lalu terlihat bingung dan selalu menjawab “tidak tahu”. Setiap pertanyaan yang ditanyakan selalu dijawab dengan hal yang sama. Pasien juga pernah bercerita mengenai suara-suara laki-laki yang mengomentari pasien yang hanya didengarkan oleh pasien. Pasien juga dikatakan menjadi lupa merawat diri seperti mandi. Pasien selalu diam di kamar, jarang melakukan aktivitas ke luar kamar. Jika keluar kamar, pasien hanya makan. Nafsu makan pasien dikatakan meningkat. Dalam 1 hari, pasien dapat makan 4 hingga 5 kali, dan sekali mengambil makanan sangatlah banyak seakan tidak memikirkan apakah anggota keluarga lain sudah makan atau belum. Meskipun demikian, pasien sering tampak lelah dan tidak bersemangat. Pasien mulai menunjukkan gejala-gejala ini semenjak ibu kandungnya meninggal 1 tahun yang lalu akibat sakit. Pasien pindah ke Bali setelah ibunya meninggal. Sejak kejadian itu, pasien mulai berubah sikapnya perlahan-lahan. Sebelumnya, pasien masih dapat melakukan aktivitas rutin, yaitu bekerja sebagai programmer, bekerja di bagian administrasi dan beribadah. Enam

bulan terakhir, pasien sudah tidak mau melakukan aktivitasnya sehari-hari dan hanya mengurung diri di kamar. Ibu pasien meninggal di Surabaya dan setelah peristiwa itu pasien dibawa ke Bali untuk tinggal bersama bibinya. Pasien dikatakan sangat dekat dengan ibunya. Pasien selalu dimanjakan sejak kecil, misalnya mencucikan pakaian, piring, mangambilkan makanan, dan selalu membersihkan kamar pasien. Pasien selalu bergantung pada ibunya dalam banyak hal, dan selalu menceritakan masalah yang dihadapinya hanya pada ibunya.

Pasien dikatakan tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Sebelum sakit, pasien memang jarang menceritakan masalahnya kepada paman maupun bibinya. Pasien hanya pernah menceritakan masalahnya secara terbuka dengan ibunya.Pasien tidak memiliki teman akrab dan tidak pernah mengenalkan wanita yang dekat dengannya. Bibi pasien pernah mencoba untuk mengenalkan wanita kepada pasien, dikatakan pasien sempat antusias, tetapi malu untuk memulai percakapan. Bibi pasien juga mengatakan pasien hanya suka berandai-andai dan menghayal tentang wanita. Pasien lebih suka di kamar dan mengerjakan tugasnya sebagai programmer.

Di kediamannya saat ini, pasien tinggal

bersama paman, bibi, pekerja dan pembantu rumah tangga. Hubungan pasien dengan keluarga dikatakan baik. Tidak ada keluhan yang sama diderita oleh keluarga pasien. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang. Pasien juga tidak pernah dikatakan menderita tekanan darah tinggi, dan kejang.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan status general dan status neurologi dalam batas normal. Status psikiatri, Penampilan pasien tampak wajar, koorperatif, wajah tanpa ekspresi, kontak visual dan verbal cukup, kesadaran jernih, orientasi baik, daya nilai dan daya ingat baik, daya wicara lancar, dapat dimengerti, konsentrasi dan perhatian baik, pikiran abstrak baik, intelegensi sesuai tingkat pendidikan, mood/afek takut/datar. Bentuk pikir non logis non realis, arus pikir perlambatan ada, isi pikir waham curiga dan waham kejar ada. Terdapat halusinasi auditorik. Pasien juga mengalami insomnia tipe late, hipobulia ada, raptus tidak ada. Saat pemeriksaan pasien tenang, serta pemahaman akan penyakitnya memiliki tilikan derajat IV.

Berdasarkan data tersebut, pasien didiagnosis multiaxial dengan: Axis I : skizofrenia paranoid (F 20.0), axis II : ciri kepribadian skizoid, axis III : tidak ada, axis

IV : masalah dengan “primary support group” (keluarga), axis V : GAF saat ini 7061 dengan GAF 1 tahun terakhir 90-81. Pasien diterapi dengan risperidone 1 mg intra oral (i.o) dua kali sehari dan psikoterapi suportif.

DISKUSI

Tingkat insiden skizofrenia per tahun mencapai 0,1 hingga 0,4 per 1000 penduduk dengan prevalensi pria dan wanita tersebar merata, dimana onset pada pria lebih awal dibandingkan pada wanita. Pria cenderung mengalami gejala negatif.1

Belum terdapat penelitian di Indonesia yang menunjukkan prevalensi Skizofrenia.1 Namun diperkirakan jumlahnya dapat mencapai 1 permil. Data yang diperoleh dari rekam medik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara tahun 2009, diketahui dari 12.377 penderita yang dirawat jalan, 9.532 (96,51%) di antaranya mengalami skizofrenia paranoid.1

Dalam menentukan diagnosis skizofrenia paranoid, diperlukan pemenuhan terhadap kriterian diagnosis yang disesuaikan dengan DSM IV.2 Berdasarkan karakteristik gejala, sekurang-kurangnya dua atau lebih gejala terpenuhi, seperti: delusi (waham), halusinasi, pembicaraan yang

tidak terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi, gejala negative. Gejala-gejala tersebut berlangsung sekurang-kurangnya 1 bulan secara signifikan dengan minimal mengalami gangguan yang menetap dalam periode waktu 6 bulan yang terjadi tanpa pengaruh penggunaan obat-obatan tertentu.2,3 Akan tetapi, jika pasien mengalami gejala yang menunjukkan adanya delusi kacau (bizarre) atau terdapatnya halusinasi auditorik yang berupa suara suara mengomentari perilaku penderita, maka hanya dibutuhkan kesesuaian terhadap sekurang-kurangnya 1 kriteria gejala tersebut. Disamping itu, sesuai dengan DSM IV penderita mengalami disfungsi sosial atau pekerjaan.2

Penderita skizofrenia paranoid umumnya mengalami preokupasi terhadap satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar yang menonjol secara berulang-ulang, seringkali terdapat pembicaraan dan perilaku yang tak terorganisasi atau katatonik, serta afek yang datar atau tidak sesuai.2,3,4

Dalam ilustrasi kasus, diagnosis ini dengan jelas ditunjukkan dalam pernyataan tentang pasien. Pasien meyakini bahwa dirinya dikejar kejar dan ingin dicelakai oleh orang orang disekitarnya. Pasien juga dikatakan sering mencurigai keluarganya membicarakan hal buruk tentang dirinya,

bahwa dirinya tidak berguna dan hanya memberatkan hidup keluarganya. Pernyataan – pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami waham curiga dan waham kejar yang menonjol meskipun telah diyakinkan.

Dalam kasus ini pasien juga mengalami afek datar, yang dapat dilihat ketika pasien menjawab pertanyaan dengan ekspresi wajah datar.

Pasien mengalami halusinasi auditorik sesuai dengan kriteria diagnostic DSM IV yang ditunjukkan dengan pengakuan pasien yang menyatakan mendengar suara laki-laki yang mengomentari dirinya, serta suara seperti ibunya yang memanggil mangil nama pasien, di malam hari.

Dalam hal periode terjadinya gejala, juga telah terdapat kesesuaian dengan kriteria diagnostic yang dipergunakan, yakni dinyatakan bahwa pasien telah mengalami gejala ini menetap selama 6 bulan. Semenjak munculnya gejala tersebut, pasien sudah tidak lagi bekerja dan tidak lagi beraktivitas diluar rumah. Hal ini menunjukkan telah terjadi disfungsi social dan pekerjaan.

Berdasarkan ilustrasi kasus juga ditunjukkan bahwa pasien memiliki ciri kepribadian skizoid yang merupakan ciri

kepribadian yang paling sering mengembangkan skizofrenia paranoid. Hal ini ditunjukkan dengan sifat pasien yang tidak pernah terbuka dengan orang-orang disekitarnya terkait permasalahan yang dialaminya. Pasien juga dikatakan sulit bergaul.

Secara umum, terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan etiologi skizofrenia, antara lain: teori model diatesis-stres, faktor biologis, faktor genetik, serta faktor psikososial.2,5,6 Dari keterangan keluarga pasien, diketahui bahwa pasien tidak pernah mengalami gejala gejala tersebut sebelumnya. Di keluarga pasien pun disangkal ada yang mengalami gejala serupa. Oleh sebab itu, faktor genetik dalam etiologi gangguan yang dialami pasien dapat disingkirkan. Dalam kasus ini model diatesis-stres memiliki cakupan yang lebih nyata untuk menjelaskan etiologi yang mungkin menjadi dasar gangguan yang dialami pasien. Model ini menjelaskan adanya interaksi dari faktor psikososial, biologis dan lingkungan dalam mengembangkan gejala gejala skizofrenia seperti yang dialami pasien.5,7,8 Ditinjau dari faktor psikososial, sesuai dengan ilustrasi kasus, perubahan perilaku yang dialami pasien muncul sepeninggal ibu pasien. Dalam hal ini ibu pasien merupakan orang

terdekat pasien yang selama hidup pasien selalu memanjakan pasien dan selalu menjadi tempat pasien untuk berbagi masalah yang dialaminya. Meninggalnya ibu pasien memberikan perubahan yang besar dalam kehidupan pasien. Kepindahan pasien ke Bali dan diasuhnya pasien oleh bibinya diperkirakan memunculkan perbedaan pola asuh dan lingkungan yang signifikan dalam kehidupan pasien. Ditambah lagi pasien yang tidak memiliki teman akrab dan susah bergaul, serta pekerjaan pasien sebagai programmer yang kurang bersosialisai dengan orang sekitarnya, mengakibatkan semakin sulitnya pasien untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Jika ditinjau dari faktor biologis, secara teoritis aktivitas dopaminergic yang meningkat secara berlebih pada korteks otak diperkirakan memberikan peranan penting dalam munculnya gejala positif dari skizofrenia.9,10,11 Selain itu, serotonin, norepinefrin, glutamat dan GABA juga diperkirakan terkait dengan kejadian skizofrenia. Umumnya terjadi perubahan anatomi otak antara lain pelebaran lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi cerebellum, khususnya pada penderita skizofrenia dalam jangka waktu yang lama.2,3,9,12

Dalam gangguan skizofrenia, penatalaksanaan yang dilakukan tidak hanya menitikberatkan pada terapi farmakologis, tetapi juga pada terapi non farmakologi, di mana dalam hal ini peran keluarga pada pengobatan pasien memiliki andil yang besar dalam menentukan kesembuhan dan tingkat kekambuhan pasien.13,14 Pada pasien ini diberikan terapi risperidon 1 mg per oral dua kali sehari dan dilakukan psikoterapi suportif.

RINGKASAN

Waham yang menonjol disertai dengan adanya halusinasi auditorik dan afek datar menjadi karakteristik yang paling sering ditemukan pada penderita skizofrenia paranoid. Dalam kasus ini pasien memenuhi kriteria gejala yang sesuai dengan diagnosis skizofrenia paranoid. Pasien diterapi dengan risperidone dua kali sehari dengan dosis 1 mg serta psikoterapi suportif.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Depkes RI. Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kesehatan. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa. Jakarta. 2006.

  • 2.    Harold I Kaplan, Benjamin J Sadock, Jack A Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara.

  • 3.    Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga, Universitas Press. Surabaya. 2004.

  • 4.    Rusdi Maslim. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.

  • 5.    Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III. 2003. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta.

  • 6.    Kupfer DJ, Regier DA (eds). 2013. Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-5. American Psychiatric Association: Washington DC.

  • 7.    Sadock BJ and Sadock VA. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry Tenth Edition. 2007. Lippincott Williams and Wilkins. New York.

  • 8.    Queirazza F, Semple DM and Lawrie SM. Transition to skizofrenia in acute and transient psychotic disorders. The British Journal of Psychiatry 2013;1–7.

  • 9.    Singh SP, Burns T, Amin T, Jones PB and Harrison G. Acute and transient psychotic disorders: precursors, epidemiology, course and outcome. British Journal of Psychiatry 2004;185:452-459.

  • 10.    Douma T.N, Millan M.J, Olivier B and Groenink L. Linking Stress and Skizofrenia: A Focus on Prepulse Inhibition. In: Uehara T (ed). Psychiatric Disorders - Trends and Developments. 2011. ISBN: 978-953307-745-1.

  • 11.    Lodge DJ and Grace AA. Developmental pathology, dopamine, stress and skizofrenia. Int. J. Devl Neuroscience 2011;29:207–213.

  • 12.    Jauhar S, McKenna PJ, Radua J, Fung E, Salvador R and Laws KR. Cognitive–behavioural therapy for the symptoms of skizofrenia: systematic review   and meta-analysis with

examination of potential bias. The British    Journal of Psychiatry

2014;204:20–29.

  • 13.    Kuipers E, Kendall T, Antoniou J, et al. Skizofrenia: Core Interventions in the Treatment and Management of Skizofrenia in Adults in Primary and Secondary Care (Updated Edition). 2010. The British Psychological Society and The Royal College of Psychiatrists

  • 14.    Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ke-3. 2007. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta.

12