Potensi Ekstrak Bunga Gemitir (Tagetes erecta L.) sebagai Upaya Preventif terhadap Infeksi Sekunder oleh Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
on
ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA
Essence of Scientific Medical Journal (2023), Volume 21, Number 1:58-63
P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

TINJAUAN PUSTAKA
POTENSI EKSTRAK BUNGA GEMITIR (TAGETES ERECTA L.) DALAM MENCEGAH INFEKSI SEKUNDER OLEH METHICILLIN-RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Putu Nindya Krisnadewi,1 Ananda Eka Raharja,1 Winnie Chandra,1 I Putu Bintang Pradita Kirana,1 I Gede Krisna Arim Sadeva,2 Ledwin Meikel Wibisono,1 Agus Eka Darwinata3
ABSTRAK
Pendahuluan: Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan bakteri penyebab berbagai penyakit infeksi, khususnya infeksi nosokomial di seluruh dunia. Infeksi sekunder mengakibatkan peningkatan mortalitas, morbiditas, serta berdampak buruk terhadap prognosis pasien yang dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial tak hanya berdampak buruk secara medis, namun juga mengakibatkan kerugian ekonomi pada pasien karena memperpanjang durasi perawatan. Penanganan penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh S. aureus, khususnya Methicillin-Resistant S. aureus (MRSA) sering menimbulkan resistensi terhadap antibiotik. Oleh sebab itu, diperlukan modalitas baru sebagai upaya preventif terhadap infeksi MRSA. Sementara itu, bunga gemitir banyak dibudidayakan di Bali karena memiliki berbagai manfaat. Bunga yang mencerminkan kearifan lokal Bali ini juga memiliki aktivitas antibakteri, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi modalitas preventif terhadap infeksi sekunder oleh MRSA.
Pembahasan: Bunga gemitir (Tagetes Erecta L.) mengandung berbagai senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba efektif dalam membunuh bakteri patogen dan menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian membuktikan bahwa ekstrak bunga gemitir memiliki daya hambat terhadap perkembangan dari MRSA, dimana konsentrasi yang lebih tinggi menghasilkan daya hambat pertumbuhan bakteri MRSA yang semakin besar.
Kata kunci: infeksi nosokomial, Staphylococcus aureus, MRSA, Tagetes erecta.
ABSTRACT
1Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia
2Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia 3Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia
Introduction: Staphylococcus aureus (S. aureus) is a bacterium that causes nosocomial infections throughout the world. Secondary infection increases mortality, morbidity, and worsens the prognosis of hospitalized patients. It also causes economic losses because of prolongation of the treatment duration. Treatment of infectious diseases caused by S. aureus, especially Methicillin-Resistant S. aureus (MRSA) often causes antibiotics resistance. Therefore, a new modality is needed as a prevention. Meanwhile, marigold flowers are widely cultivated in Bali because they have various benefits. This flower, which reflects local Balinese wisdom, also has antibacterial activity, so it has the potential to be developed as a preventive modality against secondary infection by MRSA.
Discussion: Marigold flower (Tagetes erecta L.) contains various compounds that have antimicrobial activity which is effective in killing pathogenic bacteria and inhibiting bacterial growth. Research has shown that marigold flower extract has an inhibitory effect on the development of MRSA, where higher concentrations result in greater inhibition of the growth of MRSA.
Keywords: nosocomial infection, Staphylococcus aureus, MRSA, Tagetes erecta
PENDAHULUAN
Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan salah satu jenis bakteri gram positif penyebab berbagai penyakit yang paling sering menimbulkan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Bakteri ini sangat mudah untuk mengalami penyebaran dan menyebabkan berbagai infeksi, mulai dari infeksi kulit, infeksi saluran pernapasan, infeksi daerah operasi (IDO), infeksi kardiovaskular, infeksi sendi prostetik, hingga infeksi nosokomial.[1,2] Berbagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri S. aureus ini juga menimbulkan permasalahan yang lebih besar karena kemampuan resistensi antibiotik yang dimiliki oleh bakteri tersebut, salah satunya
adalah resistensi terhadap metisilin pada Methicillin-Resistant S. aureus (MRSA).[3]
Peningkatan infeksi MRSA berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara global sejak tahun 1960. Prevalensi MRSA secara global mencapai persentase sebesar 14,69%, bahkan dapat mencapai persentase sekitar 70-80% di beberapa daerah Asia.[4,5] Menurut data, estimasi prevalensi MRSA di Indonesia dan Hongkong mencapai persentase sebesar 28%.[6] MRSA yang berasal dari rumah sakit memiliki prevalensi dengan persentase sekitar 8-32% pada beberapa rumah sakit di Indonesia.[7]
MRSA juga menimbulkan efek infeksi yang lebih berbahaya daripada infeksi S.
aureus lain. Pada umumnya, transmisi bakteri dapat terjadi melalui kontak fisik pada orang atau benda yang telah terinfeksi atau terkontaminasi oleh bakteri tersebut.[8,9] Risiko terjadinya bakteremia, insiden masuk kembali ke rumah sakit, dan peningkatan angka mortalitas serta morbiditas dapat terjadi lebih sering akibat infeksi MRSA dibandingkan dengan infeksi S. aureus lain. Infeksi MRSA, terutama yang berasal dari rumah sakit, memiliki resistensi terhadap banyak antibiotik sehingga lingkup penggunaan obat untuk mengatasi infeksi ini menjadi lebih sempit dan terbatas. Berdasarkan penelitian Guthridge et al., menunjukkan bahwa fatalitas kasus bakteremia oleh MRSA adalah sekitar 10% pada rentang tahun 2014-2020.[10]
Dewasa ini, salah satu terapi infeksi MRSA yang digunakan adalah dengan penggunaan vancomycin. Namun, peningkatan penggunaan dan penyalahgunaan vancomycin akan memunculkan resistensi baru bagi S. aureus, yaitu menciptakan Vancomycin-Resistant Staphylococcus aureus (VRSA) yang juga sering ditemukan di lingkungan rumah sakit.[11] Berdasarkan urgensi dari masalah tersebut, maka diperlukan suatu modalitas baru untuk mengatasi infeksi MRSA, sehingga tercetuslah sebuah pemikiran untuk memanfaatkan salah satu kekayaan alam lokal, yaitu bunga gemitir (Tagetes erecta L.).
Bunga gemitir (Tagetes erecta L.) banyak dibudidayakan untuk tanaman hias, pewarna makanan, dan sarana upacara agama di Bali, Indonesia. Suatu studi menunjukkan bahwa bunga ini memiliki kandungan senyawa flavonoid golongan kuersetin, fenolik, dan patulitrin yang memiliki aktivitas antibakteri.[12] Sayangnya, fungsi bunga yang banyak dipakai dalam upacara agama menyebabkan sampah bunga yang telah digunakan tidak selalu berakhir dengan baik dan sebagian besar dilakukan pengomposan.[13] Padahal, bunga gemitir memiliki potensi manfaat yang besar mengingat kandungan senyawa antibakteri dan antioksidan yang berpotensi menjadi sarana preventif terhadap infeksi bakteri, salah satunya MRSA. Potensi ini juga dapat memberikan keuntungan bagi perkebunan gemitir di Bali karena dapat meningkatkan dan memperluas pemanfaatannya.[12,13]
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahas mengenai pemanfaatan ekstrak bunga gemitir (Tagetes erecta L.) sebagai upaya preventif terhadap infeksi sekunder oleh Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
PEMBAHASAN
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Staphylococcus aureus memiliki
taksonomi sebagai berikut.[14]
Kingdom : Bacteria
Subkingdom : Posibacteri
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
-
S. aureus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat (kokus) dengan diameter 0,5 - 1,5 µm. Bakteri ini tidak dapat bergerak dan tidak dapat membentuk spora. Pengamatan S. aureus secara mikroskopis ditunjukkan oleh Gambar 1. Pengamatan dengan pewarnaan gram menunjukkan warna ungu atau kebiruan pada S. aureus, sedangkan pengamatan di bawah mikroskop elektron menunjukkan bentuk S. aureus secara jelas, yakni kokus tunggal dan berpasangan atau berkelompok seperti anggur.[15]
Gambar 1. S. aureus dengan pewarnaan gram dan mikroskop elektron.[16]
Berbagai faktor virulensi dimiliki oleh S. aureus, seperti molekul perekat, perusak sel inang, dan imunomodulator, menyebabkan bakteri ini memiliki keragaman infeksi yang tinggi. Faktor virulensi yang ada memungkinkan S. aureus menghadapi sistem kekebalan tubuh manusia lebih mudah. Meskipun demikian, S. aureus bisa mempertahankan faktor-faktor virulensi yang dimiliki dengan baik sehingga jarang menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa pada manusia yang sehat.[17,18] Berdasarkan hal tersebut, infeksi yang berbahaya oleh S. aureus cenderung terjadi ketika sistem kekebalan tubuh inangnya sedang buruk, seperti saat sedang ada luka terbuka, adanya penyakit yang melemahkan, atau sedang mengonsumsi obat yang mengganggu sistem kekebalan tubuh.[19]
-
S. aureus menunjukkan sifat resistensi terhadap metisilin atau disebut Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) terlebih dahulu sebelum penisilin anti-staphylococcal pertama kali diuji klinis. Resistensi metisilin tersebut diperantarai oleh gen mecA, yaitu gen pengkode protein
pengikat penisilin 2a (PBP2a) yang memiliki afinitas rendah terhadap β-laktam. Rendahnya afinitas menyebabkan resistensi terhadap seluruh antibiotik golongan β-laktam, salah satunya adalah metisilin. Melalui resistensi tersebut, MRSA menjadi lebih berbahaya daripada S. aureus normal karena menyempitnya jenis pengobatan yang dapat dilakukan.[3]
Evolusi S. aureus menjadi MRSA menyebabkan peningkatan kasus kematian, morbiditas, dan meningkatkan waktu rawat inap di rumah sakit. MRSA muncul dalam kurang dari satu tahun sejak metisilin ditemukan pada tahun 1961. Kemunculan MRSA menyebabkan peningkatan kasus hingga 10 tahun mendatang pada masa itu, terutama di negara-negara Eropa. Mekanisme resistensi MRSA tersebut baru ditemukan sekitar dua dekade setelah kemunculan MRSA pertama kali, yakni pada tahun 1981.[20] Peningkatan durasi rawat inap yang disebabkan oleh terbatasnya pilihan pengobatan MRSA berbanding lurus dengan peningkatan biaya perawatan. Pasien yang dirawat lebih lama berkemungkinan mendapatkan pengobatan yang lebih banyak dan mahal sehingga akan membebani perekonomian pasien.[21]
Vancomycin merupakan antibiotik yang diperbolehkan dalam pengobatan MRSA. Vancomycin menunjukkan suseptibilitas pada S. aureus sebesar 97%. Namun, ditemukan sekitar 5-20% kasus bakteremia yang sifatnya persisten meskipun telah diobati dengan vancomycin. Penelitian in vitro dan in vivo juga menunjukkan aktivitas antibiotik yang lambat dari vancomycin, yakni mencapai ambang batas (threshold) setelah 24-72 jam. Vancomycin juga memiliki risiko 535% terjadinya cedera ginjal akut apabila dikonsumsi.[22]
Bunga Gemitir (Tagetes erecta L.)
Gambar 2. Tagetes erecta[23]
Bunga gemitir (Tagetes erecta L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Tengah dan tumbuh di negara
beriklim tropis, termasuk Indonesia. Tanaman ini banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat, tanaman hias, dan sebagai pewarna makanan alami.[24] Di Bali, bunga gemitir juga dikenal sebagai salah satu tanaman yang mencerminkan kearifan lokal dan digunakan secara rutin untuk upacara keagamaan.[12] Namun, setelah digunakan dalam proses persembahyangan, sisa bunga ini dibuang menjadi sampah sehingga dapat menyebabkan penumpukan sampah di Bali.[13]
Marigold flower (Tagetes sp.) merupakan bagian dari famili Asteraceae, dan memiliki 59 spesies di antaranya Tagetes erecta, T. filifolia, T. tenuifolia, T. lucida, T. lacera, dan T. minuta. Spesies Tagetes erecta juga dikenal dengan nama American marigold, African marigold, atau Mexican marigold. Tagetes erecta dapat tumbuh mencapai ketinggian 0,6 m hingga 1,3 m, memiliki akar tunggang, daun menyirip berwarna hijau gelap, dan bunga berbentuk bonggol yang memiliki mahkota bunga berwarna putih, kuning, jingga, ataupun berwarna ganda.[25] Senyawa yang terkandung dalam bunga gemitir antara lain flavonoid, karotenoid (beta karoten, lutein, likopen), tanin, saponin, xantofil, dan zeaxanthin. Bunga gemitir memiliki berbagai efek bioaktif termasuk antioksidan, antibakteri, antivirus, anti inflamasi, serta aktivitas hepatoprotektif dan kardioprotektif.[25,26]
Bunga gemitir dapat tumbuh sepanjang tahun, mudah ditanam, dan memiliki waktu panen yang relatif singkat. Bunga ini dapat mekar sempurna di bawah sinar matahari langsung setelah 50 hari penanaman.[27] Suasana yang lembap dan berair menyebabkan bunga ini rentan terhadap pembusukan, sehingga tidak disarankan untuk terlalu sering melakukan penyiraman.[28] Beberapa lokasi yang menjadi pusat perkebunan gemitir di Bali, yakni Petang, Baturiti, Kintamani, dan Klungkung.[29,30]
Aktivitas Antibakteri Bunga Gemitir (Tagetes erecta L.)
Bunga gemitir yang dikenal sebagai marigold sering digunakan sebagai tanaman hias atau untuk tujuan sosial dan keagamaan. Berbagai bagian dari tanaman ini, termasuk bunganya dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Dalam pengobatan tradisional, tanaman ini telah digunakan untuk keluhan pada kulit, luka bakar, konjungtivitis, penglihatan yang buruk, ketidakteraturan menstruasi, varises, wasir, tukak duodenum, dan lain-lain [31].
Studi mengungkapkan bahwa bunga gemitir mengandung senyawa flavonoid golongan kuersetin, fenolik, dan patulitrin
yang memiliki aktivitas antimikroba efektif untuk membunuh bakteri patogen. Aktivitas biologis flavonoid, yang merupakan turunan senyawa fenol terhadap bakteri, disebabkan oleh rusaknya dinding sel bakteri yang tersusun atas lipid dan asam amino yang bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa fenol.[29,32] Zat-zat tersebut masuk ke dalam inti sel bakteri akibat penghancuran dinding sel, berinteraksi dengan DNA di dalamnya, dan merusak struktur lipid DNA bakteri. Hal ini menyebabkan inti sel bakteri menjadi lisis.[33] Flavonoid bekerja dengan mengubah membran sel mikroba serta menghambat metabolisme energi dan sintesis asam nukleat.[34] Kuersetin memiliki aktivitas antibakteri dengan menempel pada subunit GyrB DNA gyrase dan mengurangi aktivitas enzim ATPase. Kuersetin juga menyebabkan membran bakteri lebih permeabel dan secara signifikan mengurangi motilitas bakteri [35].
Senyawa tanin juga ditemukan dalam kandungan bunga gemitir selain flavonoid. Tanin adalah zat fenolik yang kompleks dengan gugus hidroksil. Tanin bekerja dengan memanfaatkan ketidaksesuaian polaritas antara gugus alkohol senyawa tanin dan lipid yang menyusun sel bakteri untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Protein dapat mengikat tanin untuk membentuk interaksi tanin-protein yang kompleks. Adanya gangguan pengiriman nutrisi, menyebabkan dinding sel berkontraksi yang dapat membatasi perkembangan sel atau bahkan mengakibatkan kematian sel. Sifat antimikroba tanin lainnya termasuk kapasitasnya untuk membuat enzim protease bakteri menjadi tidak aktif, serta kemampuannya untuk menonaktifkan adhesin dan enzim.[33]
Penelitian Yuwana, dkk. pada tahun 2021 membuktikan adanya daya hambat pada percobaan menggunakan ekstrak Tagetes erecta pada bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Diameter zona hambat yang dihasilkan dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi, dimana konsentrasi yang lebih tinggi menghasilkan daya hambat pertumbuhan bakteri MRSA yang semakin besar. Daya hambat tertinggi ditemukan pada konsentrasi 75% dengan zona hambat 17,25 ± 1,25 cm dilanjutkan dengan yang berukuran 11,25 ± 0,50 cm.[36]
SIMPULAN
Infeksi MRSA sangat erat kaitannya sebagai salah satu penyebab utama penyakit yang mempengaruhi peningkatan mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia. Kemampuan resistensi antibiotik yang dimiliki MRSA, membuat efek infeksi yang dihasilkan lebih
berbahaya dari infeksi S. aureus lainnya dan pilihan terapi menjadi terbatas. Penelitian mengenai ekstrak bunga gemitir (Tagetes erecta L.) sebagai upaya preventif terhadap infeksi sekunder oleh MRSA turut dikembangkan sebagai modalitas baru.
Senyawa flavonoid golongan kuersetin, fenolik, dan patulitrin yang terkandung dalam bunga gemitir, memiliki aktivitas antimikroba efektif dalam membunuh bakteri patogen. Ekstrak bunga gemitir diketahui memiliki daya hambat dengan konsentrasi tinggi terhadap perkembangan dari MRSA. Oleh karena itu, terdapat potensi dalam ekstrak bunga gemitir sebagai modalitas baru dalam upaya preventif terhadap infeksi sekuder oleh MRSA.
SARAN
Berdasarkan hasil tinjauan pustaka ini, penulis mengemukakan bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut baik secara in vitro maupun in vivo mengenai kandungan ekstrak bunga gemitir dalam menghambat
perkembangan dari MRSA, serta formulasi efektifnya sehingga potensi bunga gemitir sebagai antibakteri dapat terwujud menjadi produk yang dapat digunakan oleh masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Cheung GYC, Bae JS, Otto M.
Pathogenicity and virulence of Staphylococcus aureus. Virulence 2021;12(1):547–69.
-
2. Tong SYC, Davis JS, Eichenberger
-
E, Holland TL, Fowler VGJ. Staphylococcus aureus infections: epidemiology, pathophysiology,
clinical manifestations, and
management. Clin Microbiol Rev 2015;28(3):603–61.
-
3. Turner NA, Sharma-Kuinkel BK,
Maskarinec SA, Eichenberger EM, Shah PP, Carugati M, et al. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: an overview of basic and clinical research. Nat Rev Microbiol 2019;17(4):203–18.
-
4. Wu S, Huang J, Zhang F, Wu Q,
Zhang J, Pang R, et al. Prevalence and Characterization of Food-Related Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in China. Front Microbiol 2019;10:304.
-
5. Chuang YY, Huang YC. Molecular
epidemiology of community-
associated meticillin-resistant
Staphylococcus aureus in Asia. Lancet Infect Dis 2013;13(8):698– 708.
-
6. Chen CJ, Huang YC. New
epidemiology of Staphylococcus aureus infection in Asia. Clin Microbiol Infect Off Publ Eur Soc Clin Microbiol Infect Dis 2014;20(7):605– 23.
-
7. Agastya IGS, Darwinata AE, Pinatih
KJP, Fatmawati NND. Prevalence of SCCmec Types I, II, III, and pvl gene among Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) isolated from clinical specimens in Sanglah General Hospital. Intisari Sains Medis 2022;13(1):254–7.
-
8. Horváth A, Dobay O, Sahin-Tóth J,
Juhász E, Pongrácz J, Iván M, et al. Characterisation of antibiotic
resistance, virulence, clonality and mortality in MRSA and MSSA bloodstream infections at a tertiary-level hospital in Hungary: a 6-year retrospective study. Ann Clin Microbiol Antimicrob 2020;19(1):17.
-
9. Banach DB, Bearman GM, Morgan
DJ, Munoz-Price LS. Infection control precautions for visitors to healthcare facilities. Expert Rev Anti Infect Ther 2015;13(9):1047–50.
-
10. Guthridge I, Smith S, Law M, Binotto
-
E, Hanson J. Efficacy and Safety of Intravenous Lincosamide Therapy in Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Bacteremia. Antimicrob Agents Chemother
2021;65(9):e0034321.
-
11. Turbawaty DK, Logito V, Tjandrawati
A. Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) Patterns and Antibiotic Susceptibility in Surgical and Non-Surgical Patients in a Tertiary Hospital in Indonesia. Maj Kedokt Bandung
2021;53(3):148–54.
-
12. Santi NM. REVIEW: AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN EKSTRAK BUNGA GEMITIR (Tagetes erecta Linn.). J Farmagazine 2021;8(1):25.
-
13. Wijaya IMW, Putra IKA. Potensi Daur
Ulang Sampah Upacara Adat Di Pulau Bali. J Ecocentrism
2021;1(1):1–8.
-
14. Najiyah PSA. Uji Efektivitas Ekstrak
Daun Cengkih (Syzygium
aromaticum (L.) Merr. & L.M.Perry) sebagai Hand Sanitizer Alami dalam Menghambat Bakteri Staphylococcus aureus. 2021;
-
15. Rasheed NA, Hussein NR.
Staphylococcus aureus: An overview of Discovery, Characteristics,
Epidemiology, Virulence Factors and Antimicrobial Sensitivity. Eur J Mol Clin Med 2021;8(3):1160–83.
-
16. Riedel S, Hobden JA, Miller S, Morse
SA, Mietzner TA, Detrick B, et al.
Jawetz Melnick & Adelbergs Medical Microbiology. 28th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2019.
-
17. Lee AS, de Lencastre H, Garau J,
Kluytmans J, Malhotra-Kumar S, Peschel A, et al. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Nat Rev Dis Prim 2018;4(1):18033.
-
18. Lakhundi S, Zhang K. Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus:
Molecular Characterization,
Evolution, and Epidemiology. Clin
Microbiol Rev 2018;31(4).
-
19. Craft KM, Nguyen JM, Berg LJ,
Townsend SD. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA): antibiotic-resistance and the biofilm phenotype. Medchemcomm
2019;10(8):1231–41.
-
20. Gnanamani A, Hariharan P, Paul-
Satyaseela M. Staphylococcus aureus: Overview of Bacteriology, Clinical Diseases, Epidemiology, Antibiotic Resistance and
Therapeutic Approach. Rijeka:
IntechOpen; 2017. page Ch. 1.
-
21. Zhen X, Lundborg CS, Zhang M, Sun
-
X, Li Y, Hu X, et al. Clinical and Economic Impact of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus: A Multicentre Study in China. Sci Rep 2020;10(1):3900.
-
22. Rose W, Volk C, Dilworth TJ,
Sakoulas G. Approaching 65 Years: Is It Time to Consider Retirement of Vancomycin for Treating Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Endovascular Infections? Open Forum Infect Dis 2022;9(5):ofac137.
-
23. Amirah N, Fadzli F, Ruznan WS,
Suhaimi SA, Ahmad MR.
Colourfastness Properties of Natural Dye From Tagetes. J Acad 2021;9(1):166–72.
-
24. Aristyanti NPP, Wartini NM, Gunam
IBW. Rendemen dan Karakteristik Ekstrak Pewarna Bunga Kenikir (Tagetes erecta L.) Pada Perlakuan Jenis Pelarut dan Lama Ekstraksi. J Rekayasa dan Manaj Agroindustri 2017;5(3):13–23.
-
25. Kurniati F. Potensi Bunga Marigold
(Tagetes erecta L.) Sebagai Salah Satu Komponen Pendukung
Pengembangan Pertanian. Media Pertan 2021;6(1):22–9.
-
26. Kresnapati INBA, Khaerunnisa S,
Safitri I. Ethanol Extract of Marigold Flower (Tagetes Erecta L.) Decreases The Total Cholesterol, Low Density Lypoprotein (LDL), Malondialdehyde (MDA), and
Apoliprotein B (APOB) on
Hyperlipidemia Rat Models. Folia
Medica Indones 2021;57(3):245.
-
27. Zulfita D, Hariyanti A. Pertumbuhan
dan Pembungaan Tagetes erecta L. Dengan Pemberian Beberapa
Konsentrasi Paclobutrazol. Agrika 2020;14(2):211.
-
28. Suryanti IAP, Mulyadiharja S.,
Widiyanti NLPM. Pertumbuhan Tanaman Gemitir (Tagetes erecta) Dengan Penggunaan Pupuk Organik dan Anorganik. J Mat Sains, dan Pembelajarannya 2019;13(1):40–8.
-
29. Cahyaningrum PL, Yuliari SAM,
Mediastari APA. Efektivitas
Antibakteri Sediaan Sabun Bunga Gemitir (Tagetes erecta L.) Terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. J Muhammadiyah Med Lab Technol 2020;3(2):11.
-
30. Nata INIB, Dharma IP, Wijaya IKA.
Pengaruh Pemberian Berbagai Macam Pupuk terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Gumitir (Tagetes erecta L.). J Agroekoteknologi Trop ISSN
2020;9(2):115–24.
-
31. Padalia H, Chanda S. Antimicrobial
Efficacy of Different Solvent Extracts of Tagetes erecta L. Flower, Alone and in Combination with Antibiotics. Appl Microbiol open access 2015;1(1).
-
32. Mekvimol T, Poonthong G,
Chaipunna C, Pumipuntu N. Antimicrobial activity of marigold (Tagetes erecta), mulberry (Morus indica), and red shallot (Allium ascalonicum) extracts against
Streptococcus agalactiae. Int J One Heal 2020;6(1):56–60.
-
33. Sari T. Efektivitas Ekstrak Etanol
Bunga Tahi Kotok (Tagetes Erecta Linn) Terhadap Pertumbuhan
Staphylococcus Aureus Secara In Vitro. 2016;
-
34. Nigussie D, Davey G, Legesse BA,
Fekadu A, Makonnen E. Antibacterial activity of methanol extracts of the leaves of three medicinal plants against selected bacteria isolated from wounds of lymphoedema patients. BMC Complement Med Ther 2021;21(1):1–10.
-
35. Jannata RH, Gunadi A, Ermawati T.
Daya Antibakteri Ekstrak Kulit Apel Manalagi ( Malus sylvestris Mill .) Terhadap Pertumbuhan
Streptococcus mutans ( Antibacterial Activity of Manalagi Apple Peel ( Malus sylvestris Mill .) Extract on The Growth of Streptococcus mutans ). Univ Jember 2014;2(1):23–8.
-
36. Yuwana KT, Sukrama IDM,
Fatmawati NND. Pengaruh
pemberian kombinasi ekstrak etanol bunga Tahi Kotok (Tagetes erecta l.) dan daun Jamblang (Syzygium cumini l.) terhadap pertumbuhan bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Multidrug-resistant Pseudomonas aeruginosa secara. Intisari Sains Medis2 2021;12(1):443–8.
63
Discussion and feedback