ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA


Essence of Scientific Medical Journal (2021), Volume 19, Number 2:25-31

P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

TINJAUAN PUSTAKA

KETERKAITAN CARA KERJA KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN RISIKO TERJADINYA KANKER PAYUDARA

Vanessa Els1

ABSTRAK

Pendahuluan: Kanker payudara telah menyerang sebesar 42,1 per 100 ribu penduduk wanita di Indonesia dengan rata-rata angka kematian sebesar 17 per 100 ribu penduduk per tahunnya. Salah satu faktor risiko dari kanker payudara adalah pemakaian kontrasepsi hormonal yang menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia. Terdapat sejumlah perbedaan mengenai faktor risiko penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap kanker payudara, maka tinjauan pustaka ini dibuat untuk menelaah keterkaitan cara kerja kontrasepsi hormonal dengan risiko terjadinya kanker payudara.

Pembahasan: Kanker payudara merupakan penyakit mematikan yang umumnya terjadi pada perempuan, baik di negara berkembang maupun maju. Salah satu faktor risiko yang dianggap memengaruhi terjadinya kanker payudara yaitu penggunaan kontrasepsi hormonal. Kebanyakan kontrasepsi mengandung hormon estrogen dan progesteron, yang merupakan hormon penting untuk perkembangan organ reproduksi wanita dan fungsi fisiologis payudara. Sebagian besar studi menunjukkan adanya peningkatan risiko kanker payudara dan beberapa menunjukkan tidak adanya keterkaitan sehingga hal ini masih menimbulkan kontroversi. Kaitan antara kontrasepsi hormonal dengan kanker payudara harus ditelaah lebih mendetail dengan mempertimbangkan faktor risiko lainnya, seperti patofisiologi kanker payudara, dan jangka waktu penggunaannya.

Simpulan: Hormon estrogen maupun progesteron yang terdapat pada kontrasepsi hormonal memiliki beberapa fungsi penting bagi tubuh salah satunya bagi perkembangan fungsi fisiologis payudara. Di sisi lain, dosis kontrasepsi hormonal yang rendah memiliki efek yang minimal terhadap kanker payudara dan masih banyak faktor risiko selain kontrasepsi hormonal yang harus ditelaah.

Kata Kunci: Kontrasepsi hormonal, Kanker payudara

ABSTRACT

Introduction: Breast cancer has attacked 42.1 per 100 thousands of female residents in Indonesia with an average mortality rate of 17 per 100 thousands each year. One of the risk factors is the usage of hormonal contraceptives which is the main contraceptive option used in Indonesia. There are a number of differences regarding the risk factors for the use of hormonal contraceptives against breast cancer, so this review was created to examine the relationship between how hormonal contraception works and its risk for breast cancer.

Discussion: Breast cancer is a deadly disease common in women, both in developing and developed countries. One of the risk factors considered is the usage of hormonal contraceptives. Most contraceptives consist of estrogen and progesterone. Estrogen and progesterone are important hormones for the development of female reproductive organs and the physiological function of the body including breast. Most studies show an increased risk of breast cancer and some show no association so this issue still causes controversy. The link between hormonal contraceptives and breast cancer should be studied in more detail taking into account other risk factors, breast cancer pathophysiology, and the length of time they are studied.

Conclusion: Estrogen and progesterone found in hormonal contraceptives have several important functions for the body, one of which is the development of physiological functions of several organs in the body including breast. On the other hand, low doses of hormonal contraceptives have minimal effects on breast cancer and there are still many risk factors other than hormonal contraceptives that should be studied.

1 Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana


Keywords: Hormonal contraceptive, Breast cancer

PENDAHULUAN

Kanker merupakan penyebab utama kematian di negara industri, penyebab kedua kematian di negara berkembang[1], serta menyumbang 13% pada penyebab kematian di dunia. Terdapat 12,7 juta kasus baru di dunia setiap tahunnya dan 7,6 juta kematian akibat kanker[2]. Data dari Riskesdas menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018[3]. Kanker berawal dari kerusakan atau mutasi dari protoonkogen dan tumor supressor gen. Protoonkogen bertugas mengode protein yang berfungsi dalam induksi proliferasi dan diferensiasi sel, sementara gen supresor tumor bertugas mengode protein yang menghasilkan sinyal penghambatan pertumbuhan sel serta merangsang apoptosis[1,4]. Kanker dapat terjadi karena neoplasia, displasia, atau hiperplasia yang menyebabkan pertumbuhan abnormal sel-sel dalam tubuh.

Neoplasia merupakan kondisi di mana sel tidak berproliferasi secara normal dan bersifat invasif, displasia merupakan kondisi di mana sel tidak dapat berkembang secara normal dengan indikasi perubahan inti sel, dan hiperplasia merupakan kondisi di mana sel normal mengalami pertumbuhan secara berlebihan[5].

Angka kejadian penyakit kanker di Indonesia menduduki posisi ke-8 di Asia Tenggara dan posisi ke-23 di Asia. Jenis kanker tertinggi di Indonesia berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kanker paru menduduki peringkat tertinggi untuk populasi laki-laki di Indonesia, sementara kanker payudara menduduki peringkat tertinggi untuk populasi perempuan di Indonesia, yaitu sebesar 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100 ribu penduduk per tahunnya[3]. Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi kanker payudara di Indonesia sebesar 0,5 per 1000 perempuan[6] dan berdasarkan data dari Sistem Informasi Rumah Sakit tahun 2010, kanker

payudara merupakan jenis kanker dengan pasien rawat jalan maupun rawat inap tertinggi di Indonesia[7]. Kanker payudara memiliki arti keganasan yang berasal dari epitel duktus payudara maupun lobulus pada jaringan payudara[8].

Hingga saat ini, penyebab pasti terjadinya kanker payudara belum terdeteksi secara jelas namun terdapat sejumlah faktor risiko yang mendorong terjadinya kanker payudara. Faktor risiko tersebut antara lain faktor genetik, endokrin, dan lingkungan yang mungkin berperan dalam inisiasi pertumbuhan abnormal pada sel-sel payudara[9]. Adapun faktor risiko terjadinya kanker payudara apabila dilihat pada sisi yang lebih detail antara lain; usia >50 tahun, riwayat keluarga mengidap kanker payudara, obesitas, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi alkohol, pemakaian kontrasepsi hormonal dengan dosis estrogen yang tinggi dalam jangka waktu yang panjang, paparan radiasi, tidak pernah melahirkan atau riwayat melahirkan pertama kali pada usia lebih dari 35 tahun, tidak menyusui, usia ketika menopause >50 tahun, dan usia ketika menarche <12 tahun[12].

Salah satu faktor risiko terjadinya kanker payudara adalah penggunaan kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu yang lama. Kontrasepsi hormonal merupakan alat kontrasepsi yang dapat memengaruhi level hormon seorang individu dengan tujuan mencegah kehamilan. Kontrasepsi hormonal bukan hanya mencegah ovulasi, namun juga dapat mencegah sel telur yang sudah dibuahi menempel pada rahim serta membuat mukus di serviks menebal untuk mencegah terjadinya kehamilan[10]. Penggunaan kontrasepsi dianjurkan pemerintah dalam program KB di Indonesia, salah satu jenisnya merupakan kontrasepsi hormonal. Kebijakan pemerintah ini diatur dalam UU No. 10 tahun 1992, di mana penggunaan kontrasepsi ini memberikan kesempatan pada pasangan untuk mengatur kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera[11].

Kontrasepsi hormonal menjadi metode kontrasepsi utama yang digunakan di Indonesia. Kontrasepsi hormonal seperti suntik, pil, dan implan digunakan oleh mayoritas pengguna kontrasepsi di Indonesia dikarenakan efektivitas campuran hormon estrogen dan progesteron dalam mencegah kehamilan. Penggunaan kontrasepsi hormonal dalam waktu lama berpengaruh negatif pada kehidupan seksual wanita. Sebagai contoh, penggunaan estradiol dalam jangka waktu yang panjang dapat berpengaruh pada sel epitel wanita, berkurangnya lubrikasi vagina, dan menurunkan libido[13].

Penelitian di RSUP Mohammad Hoesin Palembang menunjukkan sebanyak 56,38% dari 94 pasien pengidap kanker payudara menggunakan kontrasepsi hormonal dengan jenis paling umum yaitu injeksi tiga bulan sebanyak 36,81%[14]. Sementara penelitian di RSD dr. Soebandi Jember menunjukkan hasil yang berbeda, yakni sebagian besar peserta penelitian yang terdiri atas 88 orang kelompok kontrol dan 44 orang kelompok kasus kanker payudara tidak mempunyai riwayat keluarga yang menderita kanker payudara dan sedang atau pernah menggunakan kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu yang lama meskipun penelitian ini membuktikan bahwa lama penggunaan serta jenis kontrasepsi hormonal berpengaruh pada terjadinya kanker payudara[15]. Penelitian lain yang dilakukan di

RSUD Kudus yang sama-sama menggunakan metode case control menunjukkan bahwa usia, riwayat keluarga, usia melahirkan pertama kali, riwayat menyusui, usia menopause, usia menarche, dan pemakaian pil kontrasepsi bukan faktor risiko dari kanker payudara[16]. Terdapat faktor risiko yang berbeda-beda di sejumlah penelitian, baik yang dilakukan di Indonesia maupun luar Indonesia.

Beberapa perbedaan hasil penelitian mengenai faktor risiko penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap penyakit kanker payudara ini membuat penulis meninjau kembali hubungan antara keduanya dengan penelitian-penelitian lain yang sudah dilakukan serta menganalisgis cara kerja kontrasepsi hormonal berkaitan dengan kejadian kanker payudara. Maka dari itu, dibuatlah tinjauan pustaka ini mengenai keterkaitan cara kerja kontrasepsi hormonal dengan risiko terjadinya kanker payudara di Indonesia.

PEMBAHASAN

I.    KANKER PAYUDARA

Informasi Umum dan Perjalanan Penyakit

Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum terjadi dan penyebab kematian akibat kanker kedua di dunia pada wanita. Normalnya, payudara memiliki jaringan kelenjar susu, lemak, dan jaringan ikat. Jaringan kelenjar susu berada pada otot pektoralis mayor di mana terdapat 15 hingga 20 lobus yang membentuk payudara. Kanker payudara adalah kondisi di mana sel-sel dalam kelenjar susu membelah diri secara abnormal dan tidak terkendali sehingga pada akhirnya berkembang menjadi neoplasma jinak atau ganas. Kebanyakan orang menyadari abnormalitas pada payudaranya melalui benjolan pada payudaranya, perubahan ukuran atau bentuk payudara, atau nipple discharge. Tingkat kelangsungan hidup pasien pengidap kanker payudara akan lebih baik apabila didiagnosis sejak dini dikarenakan tumor cenderung bermetastasis sehingga berakibat pada prognosis yang buruk.

Kanker payudara dapat terjadi akibat kerusakan DNA dan mutasi genetik yang dipengaruhi oleh kadar estrogen dalam tubuh. Terkadang terdapat pewarisan DNA yang rusak atau gen prokanker seperti BRCA1 dan BRCA2 sehingga riwayat keluarga pengidap kanker payudara menjadi salah satu faktor risiko penting. Gen BRCA sendiri berperan dalam kontrol pertumbuhan sel supaya tetap normal. Apabila gen BRCA mengalami mutasi menjadi BRCA1 dan BRCA2 fungsinya tidak lagi berjalan sehingga terjadilah pertumbuhan sel yang tidak terkontrol[17].

Angka Kejadian

Data angka kematian di negara berkembang akibat kanker lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju karena adanya perbedaan faktor risiko, keberhasilan deteksi dan penanganan, serta ketersediaan obat. Kanker paru-paru merupakan kanker yang memiliki angka kematian paling tinggi pada laki-laki, sementara kanker payudara merupakan kanker dengan angka kematian tertinggi pada perempuan, baik di negara berkembang maupun maju[18]. Angka kejadian kanker di Indonesia berada di urutan ke-8 di Asia Tenggara dan urutan ke-23 di Asia. Data dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk menjadi 1,79 per 1000 penduduk dalam kurun waktu lima tahun[3].

Essence of Scientific Medical Journal (2021), Volume 19, Number 2:25-31

P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

Tipe kanker payudara yang paling umum terjadi dengan angka kejadian sebesar 75% adalah invasive ductal darcinoma mammae (IDCM), sementara invasive lobular carcinoma mammae (ILCM) mengambil angka kejadian sebesar 5-10% dari seluruh kasus kanker payudara[19].

Klasifikasi

Klasifikasi kanker payudara berdasarkan pemeriksaan immunohistochemistry adalah sebagai berikut: subtipe luminal A, luminal B, dan basal[20].

Lama penggunaan kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko kanker payudara secara keseluruhan. Penggunakan kontrasepsi oral yang sedang berlangsung dapat meningkatkan kejadian kanker payudara subtipe luminal A sebanyak tiga kali lipat tetapi tidak dengan kanker payudara subtipe HER2-positive dan triple-negative. Lebih dari sepuluh tahun penggunaan kontrasepsi oral dapat meningkatkan semua subtipe kanker payudara kecuali subtipe luminal B dan HER2-positive. Maka dari itu, terapi yang efektif digunakan pada subtipe luminal adalah terapi hormonal. Sebaliknya pada subtipe triple-negative, terapi hormonal tidak disarankan karena faktor hormonal memiliki efek yang lebih kuat pada tumor ER+ PR+ yang ada pada subtipe luminal[21].

Faktor Risiko

Beberapa faktor diketahui dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara, antara lain; wanita dewasa, riwayat penyakit kanker payudara, riwayat keluarga yang terkena kanker payudara terutama hubungan kerabat tingkat pertama, abnormalitas pada pemeriksaan histologi misalnya melalui biopsi payudara, usia menarche <12 tahun, riwayat melahirkan pertama kali >30 tahun, paritas, usia menopause >55 tahun, dan terapi estrogen dan progesteron yang paling umum terjadi pada wanita usia pramenopause serta terapi penggantian hormon pada wanita pascamenopause[17]. Faktor risiko utama berkaitan dengan kanker payudara adalah faktor hormonal dan genetik. Faktor hormonal terdiri atas usia menarche, usia melahirkan pertama, riwayat paritas, riwayat menyusui, infertilitas, dan penggunaan kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu yang lama sementara faktor genetik meliputi riwayat keluarga terutama kerabat tingkat pertama yang mengalami kanker payudara.

Penggunaan kontrasepsi hormonal selama >4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker payudara sebanyak 1,52 kali lipat. Hal tersebut dapat terjadi akibat penumpukan hormon estrogen dalam tubuh. Penumpukan estrogen ini juga dapat mengakibatkan terjadinya obesitas dikarenakan peningkatan kadar adiposa dalam tubuh. Kadar adiposa yang terlalu banyak dapat meningkatkan produksi estrogen sehingga penumpukan estrogen akan meningkat dan mengakibatkan pertumbuhan sel-sel payudara yang tidak terkontrol[22].

Sayangnya penelitian lain menunjukkan penggunaan kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu yang lama menurunkan risiko penyakit payudara jinak dan tidak berefek banyak pada kanker payudara. Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal memang meningkatkan risiko dirinya terkena kanker payudara, tetapi banyak faktor lain yang juga mempengaruhi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam studi kasus di RSUP Dr. Kariadi Semarang, pemakaian kontrasepsi

hormonal dini, lama pemakaian, pemakaian prakehamilan, dosis, atau jenis hormon yang digunakan dalam kontrasepsi hormonal tidak memengaruhi faktor risiko seseorang mengalami kanker payudara, baik dengan atau tanpa riwayat kanker payudara dalam keluarganya[23].

Manifestasi Klinis

Pada umumnya, gejala kanker payudara seringkali dianggap tidak penting dan tidak berbahaya karena minimnya pengetahuan dan kesadaran betapa fatalnya kanker payudara pada stadium lanjut[24]. Padahal, lebih dari 90% wanita yang didiagnosis pada stadium awal dapat bertahan hidup lima tahun lebih lama daripada sisanya yang didiagnosis pada stadium lanjut. Maka, penting untuk menyadari gejala-gejala kanker payudara sejak dini[25].

Benjolan payudara adalah gejala yang paling sering tampak pada kanker payudara dan dapat menjadi tanda keganasan [26]. Hanya terdapat 1 dari 6 pengidap kanker payudara yang tidak menunjukkan gejala benjolan payudara. Selain benjolan payudara, terdapat pula gejala lain seperti nipple discharge, payudara tampak berkerut seperti kulit jeruk, benjolan di aksila, dan lain-lain. Umumnya pada stadium awal, penderita kanker payudara tidak merasakan nyeri pada payudaranya. Namun pada sebagian besar kasus, terdapat benjolan apabila dilakukan perabaan[27].

Patofisiologi

Kanker payudara dapat menyebar melalui kelenjar getah bening atau pembuluh darah. Reseptor estrogen dan progesteron muncul pada beberapa kanker payudara. Sebanyak 2/3 pasien kanker payudara usia pascamenopause memiliki estrogen-receptor positif di mana kasus ini jarang terjadi pada wanita pramenopause. Replikasi DNA dan pembelahan sel terjadi saat hormon yang sesuai melekat pada reseptor tersebut. Reseptor lain yang berperan dalam prognosis buruk kanker adalah epidermal growth factor 2 yang disebut HER2 atau ErbB2[28].

Stadium

Perjalanan penyakit suatu kanker umumnya dinilai berdasarkan sistem penentuan stadium TNM (Tumor-Node-Metastasis). Stadium dapat mendeskripsikan seberapa ekstensifnya kanker payudara. Terdapat lima stadium dari kanker payudara, yakni: stadium 0 yaitu non-invasive ductal carcinoma in situ (DCIS) dan stadium 1 hingga 4 untuk mengindikasikan invasive breast cancer.

  • 1.    Tumor (T)

Tx merupakan tumor primer yang tidak dapat terdeteksi, T0 menunjukkan tidak adanya bukti adanya dari keberadaan kanker pada payudara, Tis mengindikasikan karsinoma in situ, T1 menandakan keberadaan tumor sebesar <20 mm, T2 menandakan adanya tumor >20 mm tapi <50 mm, T3 menandakan adanya tumor >50 mm, dan T4 merupakan tanda bahwa tumor telah tumbuh ke bagian tubuh selain payudara seperti dinding dada dan kulit.

  • 2.    Nodus (N)

Kelenjar getah bening di sekitar area kanker disebut kelenjar getah bening regional, di mana dalam kasus kanker payudara, kelenjar getah bening terletak di bawah ketiak atau axillary

lymph nodes, di atas dan di bawah tulang klavikula, serta di bawah tulang payudara atau internal mammary lymph nodes. Nx menunjukkan tidak terdeteksinya kanker pada kelenjar getah bening, N0 dapat mengindikasikan dua hal yakni tidak terdapat kanker pada kelenjar getah bening atau ukuran kanker < 0,2mm, N1 menandakan kanker sudah menyebar ke-1 hingga 3 axillary lymph nodes dan atau internal mammary lymph nodes, N2 menandakan kanker sudah menyebar ke-4 hingga 0 axillary lymph nodes atau internal mammary lymph nodes, dan yang terakhir N3 menandakan kanker sudah menyebar ke-10 atau lebih axillary lymph nodes.

  • 3.    Metastasis (M)

Metastasis menunjukkan bahwa kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Apabila sudah bermetastasis, kanker tidak mungkin masih berada pada stadium awal. Mx menunjukkan tidak terdeteksi adanya metastasis, M0 menunjukkan tidak adanya bukti metastasis, M0(i+) mengindikasikan adanya bukti mikroskopis sel tumor pada darah, sumsum tulang belakang, atau region kelenjar getah bening lain yang berukuran <0,2 mm, serta M1 yang menunjukkan adanya bukti metastasis ke organ lain[29].

  • II.    KONTRASEPSI HORMONAL Informasi Umum

Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan mengenai KB bagi pasangan usia subur di Indonesia dalam Permenkes No. 39 tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Pemerintah menganjurkan penggunaan kontrasepsi KB untuk mencegah angka kenaikan jumlah penduduk yang signifikan di Indonesia. Berangkat dari sana, kontrasepsi KB mulai dikenal dan digunakan oleh banyak pasangan di Indonesia. Kontrasepsi KB yang paling diminati oleh pasangan usia subur adalah jenis kontrasepsi hormonal dikarenakan tingkat kegagalan hanya sebesar 0,25% dan kemudahan dalam penggunaannya[30].

Kontrasepsi hormonal merupakan alat kontrasepsi dengan tujuan pencegahan kehamilan yang menggunakan bahan utama estrogen dan progesteron[31]. Kontrasepsi hormonal terbagi menjadi tiga metode, yaitu injeksi atau suntik, pil, dan implan atau susuk yang ditanam. Setiap metode memiliki tujuan yang sama, yaitu membantu keluarga mengatur jarak kelahiran dan mencegah kehamilan tidak diinginkan meskipun masing-masing sediaan memiliki efek samping[32].

Data di Indonesia

Contraceptive Prevalence Rate (CPR) atau tingkat pemakai alat kontrasepsi di Indonesia dari tahun ke tahun kian mengalami peningkatan. Pada tahun 1997, data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi penggunaan kontrasepsi sebesar 57%, sementara pada tahun 2007 angka prevalensi meningkat ke angka 61,4%[33]. Data dari Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 59,3% wanita usia subur yang memakai kontrasepsi, 82,6% di antaranya memilih kontrasepsi hormonal[34]. Pengguna kontrasepsi baru pada tahun 2016 didominasi oleh kontrasepsi hormonal sebanyak 86,07% dan sisanya

sebanyak 13,92% memilih kontrasepsi nonhormonal. Apabila digabung oleh pengguna lama, terdapat pengguna kontrasepsi aktif sebanyak 81,9% untuk hormonal dan 18,02% untuk nonhormonal[35].

Cara Kerja

Seluruh jenis kontrasepsi hormonal mengandung hormon eksogen berupa estrogen maupun progesteron. Terdapat dua jenis kontrasepsi hormonal yang tersedia di pasaran, yaitu kombinasi antara estrogen dan progesteron, serta kontrasepsi progestin yang hanya berisi progesteron[36]. hormon-hormon ini berfungsi menghambat siklus hormon dalam tumbuh untuk mencegah kehamilan. Kontrasepsi hormonal dapat menghentikan ovulasi, menebalkan mukus pada serviks agar sperma sulit masuk dan fertilisasi tidak terjadi, mengubah lapisan rahim agar implantasi tidak dapat terjadi[37]. Salah satu efek penggunaan kontrasepsi hormonal yakni dapat meningkatkan risiko seseorang berusia di bawah 35 tahun terkena kanker payudara. Secara keseluruhan, penggunaan kontrasepsi hormonal mulai usia 50 tahun tidak meningkatkan faktor risiko terkena kanker payudara.

Kontrasepsi hormonal memiliki efektivitas sebesar 99% apabila digunakan dengan benar. Selain itu, kontrasepsi hormonal juga bermanfaat dalam menurunkan risiko terkena kanker rahim, kanker indung telur, dan kanker kolon serta mengurangi nyeri menstruasi. Tiga metode kontrasepsi hormonal yang popular di Indonesia, yakni injeksi atau suntik, pil, dan implan atau susuk memiliki cara kerja yang berbeda-beda. Suntik berisi progestin diberikan setiap 12 minggu sekali dan memakan waktu hampir 12 bulan untuk penggunanya kembali berovulasi. Pil atau kontrasepsi hormonal oral umumnya mengandung campuran estrogen dan progesteron, serta dipakai untuk mengatur regularitas siklus menstruasi. Implan atau susuk yang mengandung progestin dipasang dengan ditanam di bawah kulit dan dapat bekerja sampai tiga tahun lamanya[38].

Pengaruh Kontrasepsi Hormonal Terhadap Payudara

Kebanyakan kontrasepsi mengandung hormon estrogen dan progesteron atau progestin sintetik. Estrogen dan progesteron merupakan hormon penting untuk perkembangan organ reproduksi wanita, karakteristik seks sekunder, pengaturan siklus menstruasi, dan fungsi fisiologis dari tulang, otak, payudara, uterus, dan jaringan lemak. Selama siklus menstruasi normal, kadar hormon estrogen dan progesteron akan mengalami lonjakan ke titik puncak di tengah-tengah siklus. Lonjakan tersebut mengakibatkan kelenjar pituitari melepaskan hormon FSH dan LH, yang nantinya akan memicu terjadinya ovulasi. Pemakaian kontrasepsi hormonal membuat kadar estrogen dan progesteron dalam peredaran darah tetap tinggi dan tidak mencapai titik puncaknya sehingga menghambat pelepasan hormon FSH dan LH dan pada akhirnya menghambat ovulasi[37]. Tingginya kadar hormon ini dalam tubuh dapat dikaitkan dengan fungsi kedua hormon dalam tumbuh kembang organ reproduksi wanita termasuk payudara.

Essence of Scientific Medical Journal (2021), Volume 19, Number 2:25-31

P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

Pengaruh Kontrasepsi Hormonal Terhadap Neoplasia Payudara

Banyak studi observasi dan epidemiologi yang sudah dilakukan untuk mengkaitkan hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara. Sebagian besar menunjukkan adanya peningkatan risiko kanker payudara dan beberapa menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kanker payudara sehingga hal ini masih menimbulkan kontroversi. Risiko kejadian kanker payudara yang dikaitkan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal tergantung pula dari faktor pasien, formulasi kontrasepsi, dan lama penggunaan. Perubahan formulasi dari kontrasepsi hormonal yang beredar di pasaran, lama penggunaan, dan data demografis pasien dapat memengaruhi faktor risiko kanker payudara.

Banyak studi epidemiologi yang menyatakan paparan estrogen dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko kejadian kanker payudara. Paparan estrogen dalam jangka waktu yang lama ini dapat dikarenakan menarche dini atau terlambat menopause. Hal tersebut karena estrogen berperan dalam perkembangan sel-sel payudara sehingga kadarnya yang terlalu tinggi justru memicu tumbuhnya sel-sel kanker. Estrogen menempel dengan reseptornya dan menstimulasi proliferasi sel payudara sementara progesteron belum pasti menimbulkan efek proliferasi atau anti-proliferasi pada sel-sel payudara[39]. Maka dari itu, pengunaan kontrasepsi hormonal sering dikaitkan dengan kenaikan risiko kejadian kanker payudara. Terdapat kenaikan risiko terkena kanker payudara sebesar 24% pada pengguna kontrasepsi oral[40]. Studi lain menetapkan penggunaan kontrasepsi oral dengan dosis estrogen tinggi dapat meningkatkan risiko kanker payudara sebesar 10-30%. Pengguna kontrasepsi oral yang sudah berhenti mengonsumsi selama sepuluh tahun atau lebih memiliki risiko yang sama dengan pengguna yang tidak pernah mengonsumsi sebelumnya[41]. Berdasarkan North America Menopause Society, prevalensi kanker payudara meningkat dengan penggunaan terapi estrogen dan progestin selama tiga hingga lima tahun pada wanita menopause. Wanita menopause yang tidak menggunakan terapi tersebut memiliki angka mortalitas yang lebih rendah dalam kurun waktu lima tahun tersebut[42]. Terapi estrogen dan progestin yang digunakan harus diteliti jenis dan formulasinya supaya bisa dikaitkan dengan patofisiologi terjadinya kanker payudara. Selain itu, pengaitan dengan perjalanan penyakit kanker payudara dapat menelaah lebih dalam tentang perkembangan neoplasma jinak atau ganas pada payudara yang disebabkan oleh faktor risiko seperti kontrasepsi hormonal ini.

Dosis estrogen rendah (<20 μg) tidak meningkatkan risiko kejadian kanker payudara, sedangkan dosis estrogen sedang (30-35 μg) dan tinggi (50 μg) meningkatkan risiko kejadian kanker payudara 1,6-2,7 kali lipat lebih tinggi[43]. Meskipun ada kenaikan risiko pada pengunaan kontrasepsi hormonal, kebanyakan wanita menggunakannya pada usia 20-an dan 30-an ketika risiko terkena kanker payudara rendah[40]. Sebuah penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Mayo Clinic pada tahun 2006 menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara sebanyak 19% pada wanita

pramenopause. Risiko tertinggi dalam penggunaan kontrasepsi dipegang oleh wanita yang mengonsumsi sebelum kehamilan pertamanya. Studi oleh The Women’s Contraceptive and Reproductive Experience (CARE) yang diikuti oleh 4574 penderita kanker payudara berusia 35-64 tahun dan 4682 nonpenderita kanker payudara menunjukkan tidak adanya dampak yang ditimbulkan dari riwayat penggunaan kontrasepsi, baik ditinjau dari sisi lama penggunaan, usia saat pertama kali memakai atau dosis estrogen. Kedua studi di atas memiliki kelemahan karena keduanya merupakan studi observasi di mana peserta penelitian melaporkan sendiri pengalamannya menggunakan kontrasepsi oral tanpa bukti konkret[39].

Terdapat perbedaan hasil studi di berbagai belahan dunia dan masing-masing menampilkan bukti yang kuat. Kaitan antara kontrasepsi hormonal dengan kanker payudara ini harus ditelaah lebih mendetail dengan mempertimbangkan faktor risiko lainnya, patofisiologi kanker payudara, dan jangka waktu penggunaannya.

  • III.    KONTROVERSI PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAN RISIKO KONTRASEPSI HORMONAL

Program keluarga berencana di Indonesia dirancang karena semakin naiknya pertumbuhan jumlah penduduk dan tingginya mortalitas ibu akibat masalah kesehatan reproduksi[44]. Perspektif yang masih bervariasi tentang dampak menggunakan kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker payudara membuat program keluarga berencana masih gencar dipromosikan. Hal ini karena dampak yang diberikan dari pengunaan kontrasepsi hormonal tidak sebanding dengan dampak pertumbuhan penduduk apabila tidak ada program keluarga berencana, meskipun kanker payudara merupakan kanker tersering pada wanita Indonesia.

Namun demikian, dosis dan lama penggunaan kontrasepsi hormonal dari setiap subtipenya memiliki dampak yang berbeda-beda untuk masing-masing individual sehingga perencanaan program keluarga berencana harus dibarengi dengan pemeriksaan faktor risiko kanker payudara terutama penggunaan kontrasepsi hormonal.

Program    keluarga    berencana    dapat

menguntungkan dari aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan ibu secara keseluruhan sementara penggunaan kontrasepsi hormonal hanya salah satu faktor risiko kejadian kanker payudara yang masih belum jelas kepastiannya.

SIMPULAN

Penelitian mengenai hubungan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara masih menjadi misteri hingga sekarang akibat banyaknya perbedaan persepsi akan isu ini dan diperlukannya jangka waktu yang cukup lama untuk meneliti dampak penggunaan kontrasepsi hormonal.

Hormon estrogen maupun progesteron yang terdapat pada kontrasepsi hormonal memiliki fungsi penting dalam perkembangan organ reproduksi wanita dan kesehatan secara umum, salah satunya dalam     pengembangan karakteristik seksual

sekunder, seperti pertumbuhan payudara, pelebaran panggul, dan pertumbuhan rambut di ketiak, regulasi siklus menstruasi, dan perkembangan fungsi fisiologis dari beberapa organ dalam tubuh termasuk payudara. Di sisi lain, dosis kontrasepsi hormonal

yang rendah memiliki efek yang minimal bahkan tidak       12.

ada pada kanker payudara dan masih banyak faktor risiko selain kontrasepsi hormonal yang harus diperhatikan.

Gencarnya promosi program keluarga berencana di Indonesia tidak dibarengi dengan penelitian risiko penggunaan kontrasepsi hormonal       13.

ditinjau dari setiap subtipe, dosis, dan lama penggunaannya. Namun, apabila dilihat secara keseluruhan program keluarga berencana memberi lebih banyak keuntungan dari  berbagai  aspek

daripada sebagai faktor  risiko  kejadian  kanker       14.

payudara.

Maka dari itu, penelitian yang akan dilakukan selanjutnya dapat menelaah dosis dan jenis kontrasepsi mana saja yang meningkatkan risiko neoplasma jinak maupun ganas menggunakan      15.

subjek studi berskala besar dengan memperhatikan pula data demografisnya. Dengan demikian, program keluarga berencana dapat dikaji secara lebih holistic melihat dari berbagai aspek kehidupan pengguna kontrasepsi.

16.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Bray, F. et al. Global Cancer Statistics 2018:

GLOBOCAN estimates incidence and mortality17.

worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA: A Cance Journal for Clinicians. 2018; 68(6): 398399.18.

  • 2.    Al-Dimassi S, Abou-Antoun T, ElSibai M. Cancer cell resistance mechanisms: a mini review. Clin Transl Oncol. 2014; 16:511–6.

Hari Kanker Sedunia 2019. 2020. Available

from:

https://www.kemkes.go.id/article/view/190201020.

0003/hari-kanker-sedunia-2019.html (diakses 8 September 2020).

  • 4.    Devita VT Jr, Rosenberg SA. Two hundred years

of cancer research. N Engl J Med. 2012; 366(23):2207–2214.

  • 5.    Azizah, Maria Nur, G2A013004. TINGKAT

DEPRESI   PASIEN   KANKER   YANG     21.

MENJALANI AKAN KEMOTERAPI DI RSI SULTAN AGUNG SEMARANG. Undergraduate thesis, Universitas Muhammadiyah Semarang. Nov 2017.

  • 6.   Kementerian kesehatan RI. Pusat Data dan

Informasi (Stop Kanker). Jakarta selatan. 2015.        22.

  • 7.   Kementerian kesehatan RI. Pusat Data dan

Informasi. Jakarta Selatan. 2014.

  • 8.   Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara.

Komite Penanggulangan Kanker Nasional.       23.

2020.             Available             from:

http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKPayu

dara.pdf (diakses 8 September 2020).

  • 9.   Brilliana, A.R., Arafah, & Notobroto, H.B. Faktor        24.

yang Berhubungan dengan Perilaku Ibu Rumah Tangga Melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). The Indonesian Journal of

Public Health. 2017; 12(2): 143-154.

  • 10. Buku Saku Pencegahan Kanker Leher Rahim &      25.

Kanker Payudara.    Jakarta:    Direktorat

Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktorat Jenderal PP & PL. 2009.

  • 11.    Informed Health. Contraception:  Hormonal

contraceptives. Place of publication not identified]: Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG). 2017.

Handayani, L., Hariastuti, I., Latifah, C. Peningkatan Informasi Tentang Kb:  Hak

Kesehatan Reproduksi yang Perlu Diperhatikan Oleh Program Pelayanan Keluarga Berencana. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2017; 15(3): 289–297.

Isfaizah I, Widyaningsih A. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual di Wilayah Kerja Puskesmas Lerep. Indonesian Journal of Midwifery (IJM). 2019; 2(2): 65-66.

Muttaqien F, Umar M. Penggunaan Kontrasepsi Hormonal pada Penderita Kanker Payudara yang dirawat di RSUP Mohammad Hoesin Palembang. Syifa' MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2017; 7(2):122.

Oktavianisya, N. Risiko Riwayat Keluarga dan Pengggunaan Alat Kontraspsi Hormonal terhadap Kanker Payudara di RSD dr. Soebandi Jember. Risiko Riwayat Keluarga Dan Penggunaan Alat Kontrasepsi Hormonal Terhadap Kanker Payudara. 2011.

Lindra Anggorowati. Faktor Resiko Kanker Payudara. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013; 8(2): 123-125.

Fadi M. Alkabban; Troy Ferguson. Cancer, Breast - StatPearls - NCBI Bookshelf, StatPearls. 2020.

Torre, Lindsey A. MSPH. Global cancer statistics. 2012. Volume 65, Issue 2. March/April 2015. Pages 87–108. First published:  4

February 2015. doi: 10.3322/caac.21262.

Suyatno dan Pasaribu, E.T. Kanker Payudara. Dalam : Bedah Onkologi Diagnostik dan Terapi. Sagung Seto, Jakarta, Indonesia. 2010; 35-82. Goldhirsch A, Winer EP, Coates AS, Gelber RD, Piccart-Gebhart M, Thurlimann B, Senn HJ, Panel M. Personalizing the treatment of women with early breast cancer: highlights of the St Gallen International Expert Consensus on the Primary Therapy of Early Breast Cancer 2013. Ann Oncol. 2013;24(9):2206–23.

Ellingjord-Dale M, Vos L, Tretli S, Hofvind S, dos-Santos-Silva I, Ursin G. Parity, hormones and breast cancer subtypes - results from a large nested case-control study in a national screening program. Breast Cancer Res. 2017; 19: 10.

Soroush A, Farschian N, Komasi S, Izadi N, Amirfirard N, Shahmohammadi A. The roles of oral contraceptive pills on increased risk of breast cancer in iranian populations. J Cancer Prev. 2016 Dec;21(4):294-301.

Priyatin, Ulfiana, S. Faktor Risiko Yang berpengaruh Terhadap Kejadian  Kanker

Payudara Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, Jurnal Kebidanan. 2013; 2(5): 15-19.

Siregar, R. Kenali dan pahami gejala kanker payudara. Perpustakaan Untirta. 2012. Available from: http://perpustakaan. untirta. ac.id/berita-151-kenali-dan-         pahami-gejala-kanker-

payudara.html (diakses 7 September 2020).

American Cancer Society. Recommendations For Early Breast Cancer Detection In Women Without Breast Symptoms. 2015. Available from: http://www.cancer.org/cancer/breastcancer/mor einformation/breastcancerearly detection/breast-cancer-early-detection-acs-recs (diakses 7 September 2020).


Essence of Scientific Medical Journal (2021), Volume 19, Number 2:25-31

  • 26.    S. Walker, C. Hyde, W. Hamilton, Risk of breast cancer in symptomatic women in primary care: a case-control study using electronic records, Br. J. Gen. Pract. 64  (2014)  e788–e793,

doi:http://dx.doi.org/10.3399/bjgp14X682873.

  • 27.    Riadinata and Pratiwi, F. Pengetahuan Tingkat Pengetahua Ibu Tentang Kanker Payudara Dengan Perilaku Sadari Pada Ibu Rumah Tangga. Ilmu Kebidanan. 2016.

  • 28.    Kosir, M. Breast Cancer - Gynecology And Obstetrics - MSD Manual Professional Edition. MSD Manual Professional Edition. 2019. Available                                from:

https://www.merckmanuals.com/professional/gy necology-and-obstetrics/breast-disorders/breast-cancer#v1065837 (diakses 8 September 2020].

September 2020).

  • 30.    Sugiharto, M. & Pratiwi, L. N. Comparisons of Contraceptive Method Selections Based on’, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2020.

doi:https://doi.org/10.22435/hsr.v23i1.2015.

  • 31.    BKKBN. Informasi Pelayanan Kontrasepsi. 2011. Available from: http://www.bkkbn.com (diakses 8 September 2020).

  • 32.    Sriwahyuni, E., Wahyuni, C.U. Hubungan antara Jenis dan Lama Pemakaian Alat Kontrasepsi Hormonal dengan Peningkatan Berat Badan Akseptor. Indonesian Journal of Public Health, 2012; 8 (3), 112–116.

  • 33.    BKKBN. Pemakaian Kontrasepsi di Indonesia. 2008.     Available     from:     http://www.

bkkbn.go.id/gemapria/article-detail.php?artid=96 (diakses 8 September 2020).

  • 34.    Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta.

2013; 164-67.

  • 35.    Kementerian Kesehatan RI. Data dan Informasi Kesehatan Republik Indonesia 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2017.

  • 36.    Schindler Adolf E. Non-contraceptive benefits of oral hormonal contraceptives. International journal of endocrinology and metabolism. 2013; 11(1): 41 [PubMed: 23853619].

  • 37.    Todd, N. How Does Hormonal Contraception Work?. WebMD. 2020. Available from: https://www.webmd.com/sex/birth-control/qa/how-does-hormonal-contraception-work#:~:text=Hormonal%20contraceptives%20( the%20pill%2C%20the,stops%20the%20body %20from%20ovulating. (diakses 9 September 2020}.

  • 38.    ReproductiveFacts. Hormonal Contraception. American Society for Reproductive Medicine. 2018.             Available             from:

https://www.reproductivefacts.org/news-and-publications/patient-fact-sheets-and-booklets/documents/fact-sheets-and-info-booklets/hormonal-contraception/. (diakses 9 September 2020).

  • 39.    Subedee, A. The Risk of Control : Assesing the Link Between Birth Control Pills and Breast Cancer. . Harvard University. 2014. Available from                      :                      http://

P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

sitn.hms.harvard.edu/flash/2014/therisks-of-control-assessing-the-linkbetween-birth-control-pills-and-breastcancer. (diakses 10 September 2020)

  • 40.    Ban KA, Godellas CV. Epidemiology of breast cancer. Surg Oncol Clin N Am 2014; 23: 409422. (PMID: 24882341).

  • 41.    Al-Naggar R. Principles and Practice of Cancer Prevention and Control. California: OMICS Group eBooks; 2014.

  • 42.    North American Menopause Society: The 2012 hormone therapy position statement of the North American Menopause Society. 2012 Journal 19: 257.

  • 43.    Dorchak, J. A. et al. The Impact of Hormonal Contraceptives on Breast Cancer Pathology. Hormones and Cancer. 2018; 9(4): 13 p.

  • 44.    Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Keluarga Berencana. Kementerian Kesehatan RI. 2014:1

https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index

31