ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA


Essence of Scientific Medical Journal (2020), Volume 18, Number 2:20-28

P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

TINJAUAN PUSTAKA

CORED (CHRONIC-RELAPSING DEPRESSION) PREVENTION: PENDEKATAN NOVEL BERBASIS APLIKASI SELULER PADA FOLLOW UP PASIEN GANGGUAN DEPRESI

Sandra1, Ni Putu Nadia Ramayanti1, Made Syanindita Putri Larasati1, I Made Siswadi Semadi1, I Made Winarsa Ruma1, I Wayan Sumardika1

ABSTRAK

Pendahuluan: Gangguan depresi merupakan salah satu gangguan mood yang dapat berdampak serius bagi kehidupan seseorang, baik dalam kesehatan maupun fungsinya dalam masyarakat. Gangguan ini juga memiliki risiko kekambuhan sehingga dapat berdampak pada depresi kronis. Maka dari itu, diperlukan suatu pendekatan terapi untuk mengurangi beban tersebut dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang sebelumnya didiagnosis dengan gangguan depresi. Implementasi aplikasi seluler dapat menjadi pilihan untuk memitigasi hal tersebut. Studi ini bertujuan untuk meninjau pendekatan terapi aplikasi seluler untuk mencegah progresi dan kekambuhan pada gejala depresi.

Pembahasan: Upaya untuk mencegah progresi dan kekambuhan dari gangguan depresi dapat dilakukan melalui aplikasi seluler CORED (Chronic-Relapsing Depression) Prevention yang berfokus pada: (1) Follow Up, (2) Bantuan manajemen waktu, (3) Pelatihan meditasi dan mindfulness, dan (4) Layanan Group-Therapy. Intervensi pada empat hal tersebut memiliki efek klinis yang baik untuk mencegah rekurensi pada pasien gangguan depresi. Selain itu, mengingat akan tingginya risiko kekambuhan pada depresi, maka aplikasi ini dilengkapi dengan Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) sebagai alat skrining untuk mendeteksi warning sign di mana pasien harus kembali menjalankan terapi dalam lingkup klinis.

Simpulan: Penggunaan aplikasi, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip yang tepat, diharapkan dapat memberikan efek yang maksimal serta dapat bersifat efektif baik dari segi waktu maupun biaya. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk meneliti implementasi aplikasi yang lebih terintegrasi untuk menilai efektivitas dari penggunaan aplikasi seluler sebagai pencegah kekambuhan dan depresi kronis pada pasien gangguan depresi.

Kata Kunci: aplikasi seluler, depresi, follow up, kekambuhan

ABSTRACT

Introduction: Depressive disorder is a mood disorder that can have a serious impact on a person's life, both in health and in society. This disorder also has a risk of recurrence so that it can have an impact towards chronic depression. Therefore, a novel therapeutic approach is needed to reduce this burden and improve the quality of life of patients previously diagnosed with depressive disorders. Implementation of mobile applications can be an option to mitigate this. This study aims to review cellular application therapy approaches to prevent progression and recurrence in depressive symptoms.

Discussion: Efforts to prevent progression and recurrence from depressive disorders can be done through the CORED (Chronic-Relapsing Depression) Prevention mobile application which focuses on: (1) Follow Up, (2) Time management assistance, (3) Meditation and mindfulness training, and (4) Group-Therapy services. The interventions on these four things have good clinical effects to prevent recurrence in depressive patients. In addition, given the high risk of relapse in depression, this application is equipped with Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) as a screening tool to detect warning signs, in which patients must return to therapy in clinical settings.

Conclusion: The use of the application, based on the right principles, is expected to provide maximum effect and can be both effective in terms of time and cost. Further research needs to be carried out to examine the implementation of more integrated applications to assess the effectiveness of the use of cellular applications as prevention of recurrence and chronic depression in depressive disorders patients.

Keywords: mobile application, depression, follow up, relapse

1Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali


PENDAHULUAN

Kesehatan mental setiap individu merupakan suatu hal yang sering dipandang sebelah mata, namun memiliki signifikansi yang sangat berarti pada kualitas hidup seseorang. Salah satu gangguan yang sering ditemukan adalah gangguan depresi. Gangguan ini merupakan suatu gangguan mood yang serius pada seseorang yang ditandai dengan gejala seperti perasaan inadekuat, kesedihan, anhedonia, dan penurunan aktivitas yang dapat mengganggu seseorang untuk menjalankan kesehariannya di masyarakat.[1] Diagnosis dapat ditegakkan jika seorang pasien mengalami gejala yang disebutkan selama minimal 2 minggu. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa sebanyak 2%-6% populasi di dunia mengalami depresi yang menempati urutan ketiga sebagai penyebab utama tahun hidup dengan disabilitas (years lived with disability; YLD).[1,2] Data di Indonesia menunjukkan

bahwa 6% masyarakat di Indonesia mengalami gangguan depresi.[3] Data-data yang terkumpul menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada negara dengan pendapatan tinggi dan rendah hampir sama, yaitu sebesar 5.5% dan 5.9%. Hal ini mengindikasikan bahwa depresi tidak semata-mata dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup yang modern maupun kemiskinan.[4] Dengan demikian, gangguan depresi bersifat universal, dapat menyerang seluruh kalangan tanpa terkecuali.

Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) Reaksi terhadap stres dan trauma akibat kehilangan pekerjaan, bercerai, memulai karier serta memiliki anak, (2) kurangnya frekuensi hubungan dan kontak sosial dengan masyarakat, (3) abnormalitas atau kurangnya kadar serotonin dan norepinephrin dalam otak, dan (4) faktor genetik.[5] Depresi dapat berkembang dengan adanya faktor risiko antara lain faktor usia, jenis

kelamin wanita, gangguan kognitif, tidak memiliki pasangan hidup, tingkat pendidikan rendah, memiliki penyakit kronis, serta memiliki gangguan fungsional.[6]

Depresi menjadi masalah yang sangat serius karena dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat. Jika dibiarkan, depresi dapat menyebabkan seseorang mengalami penurunan kesehatan fisik. Selain itu, dapat menyebabkan berkurangnya motivasi dan emosi dalam berbagai kegiatan. Kemudian, dapat mengakibatkan kehilangan kepercayaan diri sehingga cenderung fokus pada kelemahannya dan tidak fokus pada peningkatan prestasi dalam bidang yang ditekuni. Selanjutnya, dapat juga mengakibatkan penurunan kemampuan berkomunikasi, serta memperparah penyakit dan meningkatkan disabilitas hingga berpotensi untuk meningkatkan risiko bunuh diri. Hal tersebut akan sangat mengganggu kinerja masyarakat dalam melakukan pekerjaan mereka di kemudian hari.[7]

Penelitian yang dilakukan oleh Verdujin dkk. menyoroti bahwa sering kali, gangguan depresi dipandang secara sempit sebagai gangguan episodik berulang.[8] Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan bias pada prognosis dari pasien yang menerima penanganan dan sering kali pasien yang datang sejatinya mengalami gangguan depresi kronik.[9,10] Studi ini memaparkan bahwa depresi sebaiknya dipandang secara luas dan holistik agar seseorang yang mengalami depresi dapat menerima penangananan lebih baik.[8] Melihat hal tersebut, jenis terapi dan pendekatan yang tepat sangat diperlukan dan diperlukan adanya kajian lebih mengenai metode tersebut.

Pendekatan aplikasi seluler atau mobile application menjadi pilihan yang praktis dalam melakukan pendekatan terhadap gangguangangguan psikiatri. Beberapa penyakit dan gangguan yang sudah mengimplementasikan pendekatan tersebut, seperti pada diabetes, asma, dan gangguan psikis lainnya.[11–13] Studi yang dilakukan oleh Pospos dkk. menyoroti peran dari penerapan perangkat berbasis website dan aplikasi seluler untuk memitigasi masalah-masalah kesehatan mental yang dialami oleh mahasiswa dan tenaga profesional bidang kesehatan. Penelitian ini mencakup aplikasi untuk melatih mindfulness, meditasi, Cognitive Behavioral Therapy, dan aplikasi untuk mencegah untuk bunuh diri.[14] Namun, sampai saat ini, belum ada suatu aplikasi terintegrasi yang dapat membantu seseorang untuk mengurangi gejala-gejala depresi mereka yang kerap dapat

mengganggu kegiatan dan aktivitas sehari-hari ataupun mencegah kekambuhan pada gangguan yang mereka alami. Berkaitan dengan hal tersebut, studi ini bermaksud untuk melakukan tinjauan terhadap pendekatan terapi aplikasi seluler untuk mencegah progresi dan kekambuhan pada gejala depresi, terutama pada pasien-pasien yang sebelumnya telah didiagnosis secara klinis. Diharapkan, dengan adanya studi ini, terdapat pilihan terapi yang praktis agar dapat mencapai objek terapeutik bagi pasien dan pada waktu yang bersamaan, untuk tetap menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat.

PEMBAHASAN

Diagnosis Gangguan Depresi

Dalam penegakan diagnosis depresi dapat menggunakan kriteria DSM-IV-TR. Di Indonesia dapat juga dengan menggunakan pedoman diagnosis menurut PPDGJ III. Namun penegakan diagnosis ini tidak dapat hanya dilakukan oleh pasien, namun juga harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yaitu psikiater. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadinya self diagnosed oleh pasien yang berdampak pada kekeliruan diagnosis.

Implementasi Aplikasi CORED Prevention

Prinsip suatu aplikasi CORED (ChronicRelapsing Depression) prevention ditujukan untuk pasien-pasien dengan riwayat gangguan depresi yang sebelumnya telah terdiagnosis dan menjalani terapi. Adanya risiko relapse dan depresi kronik pada pasien yang sebelumnya dirawat meningkatkan urgensi untuk memiliki suatu penanganan yang holistik dan tidak dipandang sebagai gangguan episodik.[8] Penanganan pasien yang terdiagnosis depresi harus tetap dijalankan sesuai dengan kaidah yang ada agar pasien dapat kembali menjalankan fungsinya di masyarakat. Penatalaksanaan tersebut termasuk pelayanan psikoterapi, cognitive brain therapy (CBT) sesuai indikasi, serta pengobatan farmakoterapi jika diperlukan. Penerapan aplikasi akan ditawarkan pada pasien-pasien yang sudah siap untuk kembali ke dalam masyarakat sehingga dapat memperbaiki prognosisnya.

Aplikasi CORED akan terintegrasi pada seluler dan terhubung antara pasien dengan provider dari jasa kesehatan tersebut. Aplikasi ini akan terdiri dari beberapa fungsi: (1) Follow Up, (2) Bantuan manajemen waktu, (3) Pelatihan meditasi dan mindfulness, dan (4) Layanan Group-Therapy seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Fitur Aplikasi CORED


Selain itu, aplikasi ini dilengkapi dengan Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) sebagai alat skrining untuk mendeteksi warning sign di mana pasien harus kembali menjalankan terapi dalam lingkup klinis.

Penentuan durasi follow up rutin dibuat berdasarkan episode-episode yang singkat dibandingkan dengan episode yang panjang untuk meningkatkan risiko kepulihan pasien dari gangguan depresi. Follow up dilakukan setiap 2 tahun selama jangka 6 tahun. Hal ini didasarkan pada studi yang memaparkan bahwa angka kesembuhan dan episode kronik setelah melakukan follow up dalam waktu yang lebih singkat adalah 58% dan 21% secara berurutan. Sebaliknya, pada follow up yang dilakukan pada episode yang lebih panjang, angka kekambuhan dan episode kronik adalah 17% dan 55%.[8] Course trajectory atau lintasan waktu disusun

berdasarkan DSM-IV Composite International Diagnostic Interview (CIDI) versi 2.1 dan Life Chart Interview (LCI).[15,16] Kriteria CIDI digunakan untuk menentukan adanya gejala depresi, kecemasan, dan (hipo)mania, sedangkan LCI dilakukan dengan mengingat kembali suatu kejadian tertentu dalam hidup yang diiringi gejala afektif ringan.[16] Adapun aplikasi ini akan menerima data terkait pertama kali aplikasi digunakan, sehingga follow up dapat bersifat otomatis dan dikirimkan ke aplikasi pasien. Selanjutnya, data tersebut akan diterima oleh penyedia jasa kesehatan untuk ditindaklanjuti. Jika kondisi dari pasien memburuk, maka pasien menghubungi kembali terapis yang bersangkutan. Namun, jika keadaan membaik, maka dapat dibantu dengan aplikasi yang ada, diikuti dengan follow up pada waktu yang sudah ditentukan. Alur tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Alur Penetapan Peserta Pengguna Aplikasi


Perbandingan Follow Up Konvensional dan Berbasis Aplikasi Seluler

Orang yang didiagnosis depresi akan mengalami kesulitan dalam memperhatikan pola makan dan aktivitas fisiknya. Selain itu, dalam jangka waktu tertentu gejala-gejala depresi akan muncul kembali (relapse rate).[17]

Gejala depresi yang akan muncul dalam jangka waktu tertentu mewajibkan dokter untuk melakukan follow up terhadap pasiennya. Follow up yang selama ini dilakukan oleh dokter (follow up konvensional) adalah menjadwalkan kunjungan kembali pasiennya pada hari tertentu. Seringkali dalam praktiknya follow up yang dilakukan dalam jangka waktu panjang akan lebih sering mengalami lost follow up. Faktor yang sering mempengaruhi terjadinya lost follow up, yakni dari waktu dan biaya. Faktor terkait waktu dapat dihubungkan dengan kunjungan pasien ke dokter yang seringkali mengharuskan pasien mengantri dikarenakan jumlah pasien dari dokter tersebut yang bertambah seiring berjalannya waktu. Lamanya waktu mengantri biasanya dapat lebih panjang atau mungkin setengah dari waktu dilakukannya follow up, sehingga dapat dikatakan sebagai penggunaan waktu yang tidak efektif. Selain itu, dikarenakan cukup lamanya waktu yang dihabiskan pada saat follow up dapat menghambat aktivitas atau pekerjaan sehari-hari pasien. Kemudian terkait biaya, pasien umumnya tinggal dalam jarak yang cukup jauh dari rumah sakit/ praktik dokter sehingga dapat memberatkan pada biaya.

Selain follow up yang dilakukan secara konvensional sekarang juga dikenal follow up berbasis aplikasi seluler yang lebih efektif dari segi waktu dan lebih hemat dari segi biaya. Follow up berbasis aplikasi seluler membuat pasien tidak perlu pergi ke praktik dokter/rumah sakit untuk melakukan follow up karena dapat melakukannya di segala tempat hanya dengan menggunakan ponsel yang mereka miliki. Berdasarkan hal tersebut, maka pasien tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk transportasinya menuju rumah sakit/praktik dokter serta tidak perlu khawatir mengenai terhambatnya aktivitas sehari-hari/pekerjaan karena melakukan Follow up.[18,19]

Warning Sign dalam Melakukan Follow Up Konvensional

Pasien yang dinyatakan pulih dari depresi masih memiliki risiko untuk mengalami kekambuhan. Kekambuhan depresi terjadi ketika gejala kembali berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah seseorang pulih dari episode terakhir, umumnya dalam 6 bulan pertama. Sekitar 20% orang akan mengalami kekambuhan, tetapi ini bisa meningkat ketika pasien mengalami depresi parah. Relaps kemungkinan besar terjadi dalam 2 bulan setelah menghentikan pengobatan untuk episode sebelumnya. Setelah episode depresi pertama berakhir, American Psychiatric Association memperkirakan bahwa 50-85% orang akan memiliki setidaknya satu episode depresi lagi dalam hidup mereka. Setelah dua atau tiga episode sebelumnya, kemungkinan depresi kembali jauh lebih tinggi.[20] Dengan demikian, pasien dapat melakukan follow up dalam jangka waktu yang lebih cepat untuk

mengantisipasi progres lebih lanjut dari kekambuhan tersebut.

Seseorang sering dapat mengenali tanda-tanda peringatan inti yang sama dari depresi yang mereka alami selama episode sebelumnya, tetapi kadang-kadang, gejalanya bisa berbeda. Beberapa gejala tersebut mencakup suasana hati yang tertekan, merasa gelisah, perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan, sakit dan nyeri fisik, hingga pikiran bunuh diri.[21] Skrining dapat dilakukan dengan menggunakan Patient Health Questionaire-9 (PHQ-9) untuk menilai depresi serta derajat keparahannya. Skor PHQ-9 berkisar dari 0 sampai 27, dan skor akut Z10 telah direkomendasikan untuk mendeteksi kasus MDE saat ini.[22] Cut-point Z10 direkomendasikan untuk PHQ-9 karena menghasilkan sensitivitas 0,93 dan spesifisitas 0,52 dibandingkan dengan MDE diagmentasi MINI. Cutoff Z13 yang lebih tinggi menghasilkan sensitivitas 0,83 dan spesifisitas 0,72.(23) Skrining yang dilakukan juga harus diimbangi dengan kondisi pasien dalam berfungsi dan berinteraksi dalam lingkungan sosialnya. Jika berdasarkan kriteria tersebut pasien ditemukan mengalami relapse, maka pasien harus kembali melakukan terapi dalam lingkup klinis.

Manajemen Waktu dalam Gangguan Depresi

Manajemen waktu merupakan hal yang sangat berharga. Waktu yang dimiliki setiap orang itu sama dalam sehari yaitu 24 jam. Diperlukan manajemen waktu yang berfungsi sebagai perencanaan, penggerak, pengendalian, dan pengorganisasian. Manajemen waktu merupakan hal yang dapat membantu individu lebih produktif, memberikan keseimbangan antara bekerja dan bermain serta mencegah stres. Adapun aspek manajemen waktu ialah (1) rencana dan menetapkan prioritas, (2) menciptakan dan memonitor waktu, (3) mentoring, dan (4) menghindari penangguhan.[24]

Stressor psikososial merupakan kondisi atau keadaan dimana seseorang terpaksa melakukan adaptasi atau penyesuaian diri terhadap lingkungan. Namun tidak semua orang mampu melakukan adaptasi atau menghadapi stressor tersebut, sehingga seseorang akan merasakan stres, cemas, dan depresi. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa prevalensi depresi dan gangguan kecemasan terbanyak didapatkan pada mahasiswa kedokteran tahun pertama. Dimana faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut diantaranya perbedaan hormonal, strategi koping, dan kehidupan sosial.[25,26] Kurangnya perhatian dan dukungan dari pihak keluarga juga menjadi salah satu penyebab seseorang mengalami depresi. Adapun penelitian lain juga menyebutkan mahasiswa rumpun kesehatan tahun pertama paling banyak menyebabkan depresi sejak awal kuliah dengan berbagai penyebab, seperti lingkungan belajar yang baru, homesickness, dan jadwal yang padat.[26]

Berdasarkan penelitian pada mahasiswa Farmasi semester IV Universitas Mulawarman didapatkan bahwa terdapat hubungan negatif antara manajemen waktu dengan stres, artinya semakin rendah kemampuan manajemen waktu maka semakin tinggi tingkat stress mahasiswa, begitu pula sebaliknya semakin tinggi kemampuan manajemen waktu, semakin rendah tingkat stres mahasiswa. Hal

ini menandakan bahwa manajemen waktu merupakan hal krusial yang harus diperhatikan.[24]

Pendekatan aplikasi dalam upaya preventif gangguan depresi yaitu mencakup program manajemen waktu sebagai salah satu solusi. Manajemen waktu merupakan langkah mengatur dan mengelola waktu dengan sebaik baiknya dalam setiap kegiatan sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Manajemen waktu seseorang ditentukan oleh Self Regulated Learning mahasiswa tersebut, dimana manajemen waktu sendiri dipengaruhi oleh motivasi, pengaturan diri, dan tujuan yang ditetapkan.[27] Gawai ini juga dapat

digunakan dalam manajemen waktu. Melalui aplikasi yang terintegrasi salah satunya dengan menyediakan fitur pengaturan waktu prioritas kegiatan dan pengaturan penggunaan gawai yang terintegrasi dengan google calendar. Pada aplikasi dapat disertakan kalender dan urutan prioritas yang terjadwal sehingga seseorang dapat mengingat dan menyelesaikan kegiatannya dengan efektif. Dengan adanya manajemen waktu yang diatur dalam aplikasi, harapannya dapat meringankan beban sehingga dapat mencegah depresi pada pengguna aplikasi.

Gambar 3. Google Calendar Sebagai Upaya Manajemen Waktu


Efek Meditasi

Peningkatan kualitas hidup pada pasien-pasien dengan gangguan depresi tidak hanya diiringi dengan follow up dan intervensi langsung dari tenaga profesional (dokter psikiatri maupun psikolog), namun juga dengan modifikasi dari kebiasaan dan pelatihan mental. Salah satu intervensi tersebut adalah dengan menerapkan meditasi.

Penelitian menunjukkan hasil yang beragam terkait efek melakukan meditasi terhadap penurunan gejala-gejala gangguan depresi. Studi menunjukkan penerapan meditasi untuk mengurangi stres psikologis tidak bersifat signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan intervensi psikoterapi, aktivitas fisik, maupun terapi perilaku yang lain. Selain itu, meditasi memiliki manfaat yang subjektif pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan komorbid gejala depresi.[28,29] Pelatihan yang baik

dan tepat perlu dilakukan sebelum menyarankan dan menerapkan teknik meditasi untuk mengurangi beban dari gangguan depresi tersebut.[30] Akan tetapi, jika dijadikan sebagai terapi tambahan, meditasi dapat menunjukkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup pasien yang terdiagnosis depresi maupun dengan gejala depresi.

Intervensi meditasi menjadi penting untuk dipertimbangkan jika bertujuan untuk meningkatkan prognosis baik kepada pasien. Studi pada ibu-ibu yang sedang mengandung dengan riwayat depresi menunjukkan bahwa penerapan Mindfulness Based Cognitive Therapy for the Prevention of Depressive Relapse/Recurrence (MBCT-PD), secara signifikan, mengurangi risiko kekambuhan gejala depresi selama jangka waktu penelitian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.[31] Hasil yang paralel juga ditunjukkan oleh beberapa penelitian yang lain pada subjek yang berbeda.[32]


Gambar 4. Kecenderungan Tidak Terjadinya Kekambuhan Pada Ibu Hamil Dengan Riwayat Depresi [31] 1 1TAU = Treatment as Usual; MBCT-PD = Mindfulness-based Cognitive Therapy for Perinatal Depression

Jenis meditasi yang banyak diteliti adalah meditasi transendental (transcendental meditation; TM) dan meditasi mindfulness yang memiliki efek signifikan terhadap gejala depresi dan stres yang kerap mengiringi.[33–35]

Durasi yang diperlukan untuk melihat efek tersebut cukup beragam, namun perubahan dapat mulai dilihat pada minggu keenam setelah penerapan intervensi.[36]

Studi yang meneliti peran gabungan dari yoga serta meditasi dalam terapi terhadap gaya hidup menunjukkan bahwa kedua hal tersebut juga dalam meningkatkan neuroplastisitas serta mengurangi keparahan dari gangguan depresi mayor.[37] Meditasi ini dapat diterapkan selama kurang lebih 15-20 menit selama beberapa kali dalam seminggu. Meditasi disarankan untuk dilakukan secara rutin.[36] Intervensi ini kerap kali diawali dengan adanya pernapasan yang terfokus, kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah lain yang sesuai dengan tujuan meditasi.[30]

Melihat dari hasil penelitian yang ada, strategi meditasi sebagai intervensi dalam pasien yang terdiagnosis depresi namun sudah menjalankan terapi dapat diterapkan. Aplikasi yang didesain mencakup video terkait pelatihan terlebih dahulu sesuai dengan evidence-based intervention yang sudah dibuktikan secara klinis, diikuti dengan panduan-panduan melakukan meditasi dengan durasi yang sesuai. Hal ini diharapkan dapat membantu pasien untuk mencegah terjadinya depresi kronik maupun relapse.

Dukungan Sosial Group-Therapy

Depresi merupakan suatu kondisi yang dapat ditandai dengan kecenderungan seseorang untuk menarik diri dari orang lain. Dijelaskan bahwa angka depresi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat disebabkan karena kurangnya dukungan sosial pada penderita depresi. Dukungan sosial menjadi sangat penting karena dapat meringankan beban penderita depresi saat dihadapkan pada suatu persoalan. Dukungan sosial dapat muncul dari berbagai kalangan namun dukungan dari individu yang mengalami masalah yang sama akan lebih efektif dari segi penyelesaian permasalahan.[38] Berdasarkan hal tersebut salah satu intervensi yang efektif dalam kasus depresi

adalah terapi kelompok. Terapi kelompok menjadi efektif karena dapat berfokus pada emosi dengan memberikan media untuk penyaluran emosi dan pikiran para penderita depresi sehingga merasa lebih baik. Inspirasi juga dapat datang ketika melakukan terapi kelompok melalui pengamatan dan refleksi antar peserta kelompok. Terapi kelompok juga memungkinkan terjadinya proses pembelajaran sosial melalui pengalaman anggota kelompok yang lain sehingga menjadi sumber kekuatan individu untuk bangkit dan memperoleh energi baru. Terapi kelompok juga dapat berperan dalam menampung emosi negatif dari anggotanya serta menjadi tempat yang aman dalam membagi pikiran dan pengalaman negatifnya. Oleh sebab itu, terapi kelompok dapat menurunkan gejala depresi anggotanya serta mampu mengatasi gejala depresi yang dirasakan agar memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.[39]

Efektivitas Penggunaan Aplikasi

Gangguan depresi pada masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti gangguan kehidupan sosial, kurang perhatian keluarga, dan gangguan hormonal.(5) Untuk menanggapi faktor-faktor tersebut, pada aplikasi ini terdapat beberapa hal yang telah disediakan seperti manajemen waktu, meditasi dan mindfulness, serta group therapy. Dalam era globalisasi, penggunaan teknologi dan gadget dapat menjadi solusi upaya pencegahan dan penanganan gangguan depresi pada masyarakat, khususnya pada masyarakat yang memiliki waktu dan kegiatan yang padat sehingga dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih efisien. Dengan menempatkan semua aspek yang terintegrasi melalui aplikasi, maka hal ini dapat membuat program sebelumnya menjadi lebih sederhana dan efektif. Implementasi aplikasi ini dapat memberikan beberapa manfaat baik kepada masyarakat, keluarga, maupun institusi, yaitu (1) Masyarakat dapat melakukan healing secara mandiri di manapun mereka berada, (2) Memberikan akses yang mudah dan cepat bagi pihak konselor dan masyarakat tanpa perlu bertatap muka karena dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja (efektif waktu), serta (3) Mengemat biaya. Hal ini juga ditemukan pada penelitian yang membandingkan upaya preventif terhadap kasus bunuh diri melalui telepon maupun pertemuan tatap muka. Pada

penelitian tersebut, konsultasi pada jarak jauh tidak menunjukkan perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan pertemuan tatap wajah, sehingga penggunaan telepon dapat digunakan pada situasi-situasi yang memungkinkan.[40] Akan tetapi, perlu diketahui bahwa hal-hal tersebut tidak mengurangi signifikansi dalam melakukan pertemuan dan follow up tatap muka.[14] Hal ini juga berlaku terhadap keterlibatan dalam kelas meditasi

yang memungkinkan adanya feedback secara langsung antara individu dengan instruktur. Perlu dipahami bahwa aplikasi CORED tidak dapat menggantikan proses diagnosis yang harus ditegakkan oleh tenaga medis yang berwenang. Aplikasi yang dirancang dibuat untuk membantu meringankan beban depresi dan mencegah kekambuhan pada pasien dengan gangguan depresi.

Tabel 1. Perbandingan Konsultasi Preventif Melalui Telepon Dan Tatap Muka Pada Pikiran Dan Perilaku Bunuh Diri.[40]

Faktor

Waktu

Telepon

Tata

p Muka

P*

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Pikiran Bunuh Diri

Minggu 2

11 (38)

18 (62)

13 (50)

13 (50)

0.038*

Bulan 1

11 (38)

18 (62)

13 (50)

13 (50)

Bulan 2

7 (24)

22 (76)

6 (23)

20 (77)

Bulan 3

5 (17)

24 (83)

4 (15)

20 (77)

Bulan 4

2 (7)

25 (86)

4 (15)

18 (69)

Bulan 5

2 (7)

25 (86)

3 (12)

20 (77)

Bulan 6

3 (10)

22 (76)

2 (8)

20 (77)

Bulan 8

2 (7)

23 (79)

1 (4)

21 (81)

P**

<0.001

<0.001

Upaya Bunuh Diri

Minggu 2

0 (0)

29 (100)

0 (0)

26 (100)

0.132*

Bulan 1

0 (0)

29 (100)

0 (0)

26 (100)

Bulan 2

0 (0)

29 (100)

1 (3,8)

25 (96,2)

Bulan 3

0 (0)

29 (100)

0 (0)

26 (100)

Bulan 4

0 (0)

29 (100)

2 (8,7)

21 (91,3)

Bulan 5

1 (3,7)

26 (100)

0 (0)

23 (100)

Bulan 6

0 (0)

29 (100)

1 (4,5)

21 (95,5)

Bulan 8

0 (0)

29 (100)

0 (0)

22 (100)

P**

0.652

0.426

Tentunya dalam pengadaan sebuah program diperlukan langkah-langkah kemitraan agar tercapainya tujuan yang diharapkan. Adapun kemitraan dapat dijalankan dengan pemerintah, dimana pendanaan pembuatan dan promosi aplikasi ini dapat didukung oleh pemerintah sehingga dapat tercapainya derajat kesehatan di Indonesia, baik kesehatan secara fisik maupun mental. Kemitraan lainnya yaitu dengan institusi dan tenaga kesehatan seperti psikolog dan psikiater sebagai profesi yang dapat memfasilitasi media konseling bagi masyarakat Selain itu dalam pembuatan aplikasi ini tentunya diperlukan tenaga ahli dalam bidang teknologi. Tentunya masyarakat menjadi kemitraan sebagai subjek yang menggunakan aplikasi ini, sehingga kekurangan dari aplikasi ini dapat diketahui berdasarkan pendapat masyarakat sehingga sistem selanjutnya dapat diperbaiki.

Suatu aplikasi untuk menunjang terapi pada gangguan psikiatri tidak lepas dari adanya suatu penilaian terhadap kualitas tersebut. Sampai saat ini, belum ada kriteria khusus yang dapat menilai suatu aplikasi seluler, namun model evaluasi yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association dapat dijadikan sebagai *panduan. Suatu aplikasi harus memiliki: 1) latar belakang yang jelas, 2) sistem keamanan terhadap data-data pribadi dan privasi pengguannya, 3) bukti nyata dari efek penggunaan aplikasi, (4) kemudahan untuk digunakan, dan (5) interoperabilitas antar aplikasi-aplikasi lain.[41]

SIMPULAN

Depresi merupakan suatu gangguan yang dapat memiliki dampak buruk pada kehidupan seseorang.

Melihat adanya risiko kekambuhan dan progresi gangguan menjadi kronis, maka pendekatan terapi menggunakan aplikasi berprinsip CORED dapat membantu mengurangi hal tersebut. Pendekatan CORED akan berfokus pada follow up, manajemen waktu, meditasi, serta group therapy. Intervensi terhadap dan melalui empat hal tersebut memiliki efek yang signifikan untuk memperbaiki prognosis dari pasien. Dengan aplikasi tersebut, diharapkan akan membantu pasien untuk menjalani aktivitasnya dengan lebih baik serta mencegah terjadinya kekambuhan. Akan tetapi, penelitian komprehensif terkait aplikasi tersebut masih sangat terbatas sehingga perlu untuk dikaji lebih lanjut. Studi selanjutnya duharapkan dapat mengkaji aplikasi yang lebih terintegrasi sehingga dapat memberikan penilaian terkait efek klinis untuk pasien gangguan depresi.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Iyer K dan Khan Z. Depression – A review. Res J Recent Sci. 2012 Apr 1;1:79–87.

  • 2.    James SL, Abate D, Abate KH, Abay SM, Abbafati C, Abbasi N, et al. Global, regional, and national incidence, prevalence, and years lived with disability for 354 diseases and injuries for 195 countries and territories, 1990–2017. A systematic analysis for the global burden of disease      study      2017.      Lancet.

2018;392(10159):1789–858.

  • 3.    Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kementrian Kesehatan RI. 2013.

  • 4.    Malhi GS dan Mann JJ. Depression. Lancet

(London, England) [Internet]. 2018 Nov 24;392(10161):2299–312.Terdapat pada : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3039651 2

  • 5.    Dianovinina K. Depresi pada Remaja: Gejala dan Permasalahannya. J Psikogenes. 2018;6(1):69–78.

  • 6.    Marsasina A dan Fitrikasari A. Gambaran dan hubungan tingkat depresi dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pada pasien rawat jalan puskesmas :  Studi deskriptif analitik di

puskesmas Halmahera Semarang. Universitas Diponegoro. 2016.

  • 7.    Sari YR. Hubungan antara kerapuhan dengan depresi pada pasien lanjut usia. ePrints Universitas Diponegoro. 2013.

  • 8.    Verduijn J, Verhoeven JE, Milaneschi Y, Schoevers RA, van Hemert AM, Beekman ATF, et al. Reconsidering the prognosis of major depressive disorder across diagnostic boundaries: full recovery is the exception rather than the rule. BMC Med [Internet]. 2017 Dec 12;15(1):215.Tersedia         pada         :

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2922894 3

  • 9.    Baldessarini RJ, Lau WK, Sim J, Sum MY, dan Sim K. Duration of initial antidepressant treatment and subsequent relapse of major depression. J Clin    Psychopharmacol.

2015;35(1):75–6.

  • 10.    Forte A, Baldessarini RJ, Tondo L, Vázquez GH, Pompili M, dan Girardi P. Long-term morbidity in bipolar-I, bipolar-II, and unipolar major depressive disorders. J Affect Disord. 2015;178:71–8.

  • 11. Farzandipour M, Nabovati E, Sharif R, Arani MH,

dan Anvari S. Patient self-management of asthma using mobile health applications: A systematic review of the functionalities and effects. Appl Clin Inform [Internet]. 2017 Oct;8(4):1068–81.       Available       from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2924125 4

  • 12.    Fu H, McMahon SK, Gross CR, Adam TJ, dan Wyman JF. Usability and clinical efficacy of diabetes mobile applications for adults with type 2 diabetes: A systematic review. Diabetes Res Clin Pract  [Internet]. 2017  Sep;131:70–81.

Available                                from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2869283 0

  • 13.    Brzan PP, Rotman E, Pajnkihar M, dan Klanjsek P. Mobile applications for control and self management of diabetes: A Systematic Review. J Med Syst [Internet]. 2016/08/13.  2016

Sep;40(9):210.         Available         from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2752061 5

  • 14.    Pospos S, Young IT, Downs N, Iglewicz A, Depp C, Chen JY, et al. Web-based tools and mobile applications to mitigate burnout, depression, and suicidality among healthcare students and professionals: A Systematic Review. Acad

Psychiatry [Internet]. 2017/12/18.   2018

Feb;42(1):109–20.       Available       from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2925603 3

  • 15.    Wittchen HU. Reliability and validity studies of the WHO-Composite International Diagnostic Interview (CIDI): A critical review. J Psychiatr

Res. 1994;28(1):57–84.

  • 16.    Lyketsos CG, Nestadt G, Cwi J, dan Heithoff K. The life chart interview: a standardized method to describe the course of psychopathology. Int J Methods Psychiatr Res. 1994.

  • 17.    Santoso MB, Asiah DHS, dan Kirana CI. Bunuh diri dan depresi dalam perspektif pekerjaan sosial. Pros Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 2018;4(3):390–8.

  • 18.    Novianty A dan Retnowati S. Intervensi psikologi di layanan  kesehatan  primer. Bul Psikol.

2016;24(1):49–63.

  • 19.    Auliasin E,  Rusdianto  DS, Soebroto AA.

Pengembangan Aplikasi Diagnosis Gejala Depresi pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (Studi Kasus:   Fakultas Ilmu

Komputer Universitas Brawijaya)No Title. J Pengemb Teknol Inf dan Ilmu Komput. 2019;3(9).

  • 20.    Association AP. Treating major depressive disorder: A quick reference guide. Am Psychiatr Assoc Washington, DC. 2010;1–28.

  • 21.    Conradi HJ, Ormel J, dan de Jonge P. Symptom profiles of DSMIVdefined remission, recovery, relapse, and recurrence of depression: the role of the core symptoms. Depress Anxiety. 2012;29(7):638–45.

  • 22.    Na PJ, Yaramala SR, Kim JA, Kim H, Goes FS, Zandi PP, et al. The PHQ-9 Item 9 based screening for suicide risk: a validation study of the Patient Health Questionnaire (PHQ)- 9 Item 9 with the Columbia Suicide Severity Rating Scale (C-SSRS). J Affect Disord. 2018;232:34– 40.

  • 23.    Beard C, Hsu KJ, Rifkin LS, Busch AB, dan Björgvinsson T. Validation of the PHQ-9 in a psychiatric sample. J Affect Disord. 2016;193:267–73.

  • 24.    Rusdi R. Hubungan antara efikasi diri dan manajemen waktu terhadap stres mahasiswa farmasi semester iv Universitas Mulawarman. EJournal Psikol Fisip Unmul. 2015.

  • 25.    Yadav R, Gupta S, dan Malhotra AK. A cross sectional study on depression, anxiety and their associated factors among medical students in Jhansi, Uttar Pradesh, India. Int J Community Med Public Heal. 2017;3(5):1209–14.

  • 26.    Maulida A. Gambaran tingkat depresi pada mahasiswa program sarjana yang melakukan konseling di badan konseling mahasiswa universitas indonesia [skripsi]. Jakarta Fak Ilmu Keperawatan Univ Indonesia. 2012.

  • 27.    Mulyani MD. Hubungan antara manajemen waktu dengan self regulated learning pada mahasiswa. Educ Psychol J. 2013;2(1).

  • 28.    Goyal M, Singh S, Sibinga EMS, Gould NF, Rowland-Seymour A, Sharma R, et al. Meditation programs for psychological stress and well-being: a systematic review and metaanalysis. JAMA Intern Med [Internet]. 2014 Mar;174(3):357–68.      Available      from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2439519 6

  • 29.    Thomas Z, Novak M, Platas SGT, Gautier M, Holgin AP, Fox R, et al. Brief mindfulness meditation for depression and anxiety symptoms in patients undergoing hemodialysis: a pilot feasibility study. Clin J Am Soc Nephrol. 2017;12(12):2008–15.

  • 30.    Simkin DR, Black NB. Meditation and

mindfulness in clinical practice. Child Adolesc Psychiatr Clin. 2014;23(3):487–534.

  • 31.    Dimidjian S, Goodman SH, Felder JN, Gallop R, Brown AP, dan Beck A. Staying well during pregnancy and the postpartum:  A pilot

randomized trial of mindfulness-based cognitive therapy for the prevention of depressive relapse/recurrence. J Consult Clin Psychol [Internet]. 2016  Feb;84(2):134–45. Available

from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2665421 2

  • 32.    Song Y dan Lindquist R. Effects of mindfulnessbased stress reduction on depression, anxiety, stress and  mindfulness in Korean nursing

students. Nurse Educ Today [Internet]. 2014/07/09. 2015 Jan;35(1):86–90. Available

from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2506665 1

  • 33.    Elder C, Nidich S, Moriarty F, dan Nidich R. Effect of transcendental meditation on employee stress, depression, and burnout: a randomized controlled study. Perm J    [Internet].

2014;18(1):19–23.       Available       from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2462606 8

  • 34.    Travis F, Valosek L, Konrad 4th A, Link J, Salerno J, Scheller R, et al. Effect of meditation on psychological distress and brain functioning: A randomized controlled study. Brain Cogn [Internet]. 2018/06/21. 2018 Aug;125:100–5.

Available                                from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2993640 8

  • 35.    van der Riet P, Levett-Jones T, dan Aquino-Russell C. The effectiveness of mindfulness meditation for nurses and nursing students: An integrated literature review. Nurse Educ Today. 2018;65:201–11.

  • 36.    Carpena MX, Tavares P de S, dan Menezes CB. The effect of a six-week focused meditation training on depression and anxiety symptoms in Brazilian university students with 6 and 12 months of follow-up. J Affect Disord [Internet]. 2018/12/26. 2019 Mar 1;246:401–7. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3059730 2

  • 37.    Tolahunase MR, Sagar R, Faiq M, dan Dada R. Yoga and meditation-based lifestyle intervention increases neuroplasticity and reduces severity of major depressive disorder: A randomized controlled trial. Restor Neurol Neurosci [Internet]. 2018;36(3):423–42. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2961470 6

  • 38.    Parasari GAT dan Lestari MD. Hubungan dukungan sosial keluarga dengan tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Sading. J Psikol Udayana. 2015;2(1):68–77.

  • 39.    Kurniawan Y dan Savitri AD. Group Therapy to Reduce Depression Symptoms in Refugee Immigrants Terapi Kelompok untuk Menurunkan Gejala Depresi pada Imigran Pengungsi. J Din Sos Budaya. 2018;19(2):329–37.

  • 40.    Mousavi SG, Amini M, Mahaki B, dan Bagherian-Sararoudi R. Effect of phone call versus  face-to-face  follow-up on recurrent

suicide attempts prevention in individuals with a history of multiple suicide attempts. Adv Biomed Res [Internet]. 2016 Nov 28;5:184. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2802852 4

  • 41.    App Evaluation Model [Internet]. [cited 2019 Dec

16].               Available               from:

https://www.psychiatry.org/psychiatrists/practic e/mental-health-apps/app-evaluation-model

28

https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index