ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA


Essence of Scientific Medical Journal (2020), Volume 17, Number 2:15-21

P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

TINJAUAN PUSTAKA

MEDITASI RAJA YOGA SEBAGAI MODALITAS PENCEGAHAN DAN TERAPI POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) PADA KORBAN PASCABENCANA ALAM

I Gusti Ngurah Bagus Rai Mulya Hartawan,1 Rovie Hikari Parastan,1 I Made Widianantara,1 Ni Ketut Sri Diniari,2

ABSTRAK

Pendahuluan: Indonesia merupakan negara rawan bencana alam. Sekitar 30-40% korban bencana akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Hal terpenting dari terapi pada kasus PTSD adalah untuk menciptakan pikiran positif pada korban. Psikoterapi dan farmakoterapi belum dapat dijadikan sebagai penanganan optimal ke perubahan pikiran dan perilaku orang dengan PTSD. Meditasi Raja Yoga telah diteliti selama bertahun-tahun dengan fungsinya yang dapat mengubah perilaku, kepribadian, kemampuan berpikir, serta gaya hidup yang dimiliki seseorang termasuk pada penderita PTSD.

Pembahasan: PTSD berkaitan dengan level kortisol dan glutamat yang tinggi. PTSD juga terjadi akibat menurunnya kontrol diri, rasionalitas, superego, dan kualitas mental para korban akibat meningkatnya ego, yang menyebabkan mekanisme koping atau pertahanan diri. Meditasi Raja Yoga terbukti meregulasi neurotransmiter serotonin dan dopamin yang mampu menekan progresivitas PTSD. Peningkatan superego akibat meditasi Raja Yoga dalam meregulasi diri juga dilibatkan untuk melunakkan mekanisme koping sehingga menurunkan perasaan cemas dan takut. Penerapan Meditasi Raja Yoga dapat meningkatkan ego distonik dan libidinal (id) seseorang sehingga menjadikannya lebih semangat dan bergairah yang dapat mencegah terjadinya PTSD. Analisis manfaat dari Meditasi Raja Yoga sebagai upaya pencegahan dan terapi pada PTSD yakni memiliki keunggulan mudah dilaksanakan, ekonomis, efisien, dan pelaksanaan latihan Meditasi Raja Yoga sangat aman. Pelaksanaan Meditasi Raja Yoga secara rutin berdasarkan hasil penelitian terbaru juga menunjukan efek yang signifikan dalam mencegah morbiditas dan progresivitas PTSD.

Simpulan: Meditasi Raja Yoga secara efektif dan signifikan mencegah perkembangan menuju terjadinya manifestasi klinis dari PTSD serta menterapi orang dengan PTSD.

Kata kunci: Meditasi Raja Yoga, Neuropsikologi, Psikodinamik, PTSD

ABSTRACT

Introduction: Indonesia prone to natural disasters. About 30-40% of victims will experience Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). The most important thing about therapy in PTSD cases is to create positive thoughts in the sufferers. Psychotherapy and pharmacotherapy can not be used as an optimal treatment yet to change the mind and behavior of people with PTSD. Raja Yoga Meditation has been researched for years with its function which can change the behavior, personality, thinking ability, and lifestyle of a person including PTSD sufferers.

Discussion: PTSD is associated with high cortisol and glutamate level. PTSD also occur due to decreased selfcontrol, rationality, superego, and mental qualities of the victims due to increase in ego, which causes coping or self defense mechanisms. Raja Yoga Meditation is proven to regulate the neurotransmitters serotonin and dopamine which are able to suppress the progression of PTSD. The increase in superego due to Raja Yoga meditation in self-regulation is also involved to soften the coping mechanism so as to reduce feelings of anxiety and fear. The application of Raja Yoga Meditation can also increase dystonic ego and libidinal (id) so that makes it more energetic and passionate which can prevent PTSD. Analysis of the benefits of Raja Yoga Meditation as a preventive and therapeutic effort in PTSD which has the advantage of being easy to implement, economical, efficient, and the implementation of Raja Yoga Meditation exercises is very safe. The routine implementation of Raja Yoga Meditation based on the latest research results also shows a significant effect in preventing PTSD morbidity and progression.

Conclusion: Raja Yoga Meditation effectively and significantly prevents progression to the clinical manifestations of PTSD and treats people with PTSD.

Keywords: Raja Yoga Meditation, Neuropsychology, Psychodynamics, PTSD

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas

Udayana, Bali 2Departemen/SMF Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, Bali


PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah yang luas dan terletak pada jalur gempa bumi serta gunung berapi. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia rawan terhadap berbagai bencana alam. Peristiwa bencana alam merupakan kejadian yang sulit dihindari dan diperkirakan secara tepat. Terdapat bahaya yang dapat mengancam keselamatan jiwa, kerusakan alam, dan kehancuran lingkungan apabila terjadi bencana alam sewaktu-waktu. Dampak bencana dapat berupa korban jiwa, harta benda, kerusakan infrastruktur, lingkungan sosial, dan gangguan terhadap tatanan kehidupan

maupun penghidupan masyarakat yang telah mapan sebelumnya. Korban pascabencana alam terutama yang tinggal di pengungsian akan menghadapi situasi dan kondisi yang sangat kompleks, baik secara fisik, sosial, maupun psikis. Kejadian luar biasa yang dialami seseorang dan tidak mampu diantisipasinya termasuk bencana alam dapat menyebabkan gangguan jiwa.[1]

Gangguan jiwa menurut Kementerian Kesehatan adalah suatu perubahan pada jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan hambatan dalam melaksanakan peran sosial.[2] Data

Riskesdas 2013 melaporkan bahwa wilayah Aceh dan DI Yogyakarta memiliki tingkat prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi dengan korban bencana alam sebagai salah satu dari tiga proporsi tertinggi.[3] Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar populasi korban pascabencana akan tetap memiliki reaksi psikologis yang normal. Meskipun demikian, ditemukan kuantitas yang tergolong tinggi yakni sekitar 30-40% korban yang akan mengalami gangguan jiwa berupa gangguan mental ringan atau sedang yang merujuk pada kondisi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).[4] Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition (DSM V) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan mental yang bisa berkembang setelah seseorang mengalami peristiwa yang penuh tekanan atau mengancam jiwa memburuk dan berdampak negatif pada fungsi seseorang sehari-hari. Tanda-tanda PTSD yang menetap setelah trauma, yakni gagal remisi ke kondisi normal setelah melewati fase akut (setelah 1 bulan). Adanya peningkatan tekanan darah setelah 1 minggu pascatrauma dan abnormalitas fisiologi, seperti mudah terkejut secara berlebihan setelah 3 minggu pascatrauma.[5]

Berdasarkan penelitian kasus PTSD, khususnya pada anak di daerah sekitar lokasi bencana cukup tinggi.[6] Pada tahun 2015, 20,6% anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi tsunami Aceh positif mengalami PTSD.[7] PTSD merupakan manifestasi gangguan jiwa dengan frekuensi tersering dan tercepat pada korban pascabencana. Sementara itu, 3-4% akan mengalami gangguan jiwa berupa gangguan mental berat, seperti psikosis, depresi, dan kecemasan yang tinggi.[4] Kondisi PTSD pada korban pascabencana akan semakin memburuk bila tidak dideteksi sejak dini dan ditangani dengan baik. Diperlukan pelayanan kesehatan mental (trauma healing) yang mampu menjangkau korban pascabencana, khususnya di pengungsian.[8] Berdasarkan penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa korban pascabencana yang mengalami PTSD masih memperlihatkan trauma, ketakutan serta gejala residual lainnya, meskipun telah diobati dengan kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi.[9] Selain itu, dilaporkan pula bahwa psikoterapi yang kurang tepat menyebabkan tidak timbulnya ketertarikan, kepedulian, perhatian, dan minat terhadap orang lain maupun realita yang tengah dihadapi.[10] Melihat fakta tersebut maka psikoterapi dan farmakoterapi belum dapat dijadikan sebagai penanganan optimal ke perubahan pikiran dan perilaku orang dengan PTSD.

Menurut penelitian hal terpenting dari terapi pada kasus PTSD adalah untuk menciptakan pikiran positif pada korban. Tidak ada penanganan yang lebih efektif, terkecuali korban memiliki kemauan untuk ikut serta dalam terapi.[11] Dengan demikian, kunci dari keberhasilan terapi berasal dari dalam diri korban. Sehingga diperlukan suatu kegiatan yang dilakukan atas kesadaran diri sendiri (mindfulness) yang dapat membuat korban mampu mengubah jalan pikiran dan diharapkan berimplikasi pada perilaku yang dimiliki.[9] Kegiatan yang sekiranya dapat diterapkan sebagai solusi kasus PTSD adalah melalui meditasi.

Meditasi merupakan strategi yang sejak lama digunakan sebagai media pengatur dan pengendalian diri oleh superego (self-regulatory) yang digunakan pada konseling kesehatan mental dan psikiatri. Meditasi dapat menurunkan nafsu maupun ego berlebihan, kondisi kecemasan, depresi, serta ganguan perilaku.[12] Pada tingkat molekuler, teknik

meditasi mampu memengaruhi modulasi berbagai neurotransmiter yang mengarah pada perbaikan kondisi.[13] Hal ini sesuai dengan neuropsikologis dan psikodinamik orang dengan PTSD, yang melakukan tindakan akibat disregulasi neurotransmitter serta kompensasi dari rasa kecemasan dan ketidakmampuan mengontrol mekanisme pertahanan ego.[11]

Meditasi yang dapat diterapkan pada orang dengan PTSD adalah Meditasi Raja Yoga. Meditasi ini telah diteliti selama bertahun-tahun dengan fungsinya yang dapat mengubah perilaku, kepribadian, kemampuan berpikir serta gaya hidup yang dimiliki seseorang.[14] Selain itu, penelitian sebelumnya menunjukan bahwa Meditasi Raja Yoga dapat meningkatkan pemikiran positif dan membangun kebahagiaan.[11] Sehingga dengan menerapkan Meditasi Raja Yoga, diharapkan orang dengan PTSD mampu mengembangkan kontrol diri oleh superego serta pemikiran-pemikiran positif agar tidak menimbulkan mekanisme koping berlebihan lagi.[15] Disamping psikodinamik, secara neuropsikologis Meditasi Raja Yoga mampu meregulasi transmisi dopamin dan menormalkan pengeluarannya dalam sistem saraf pusat melalui kontrol dopaminergik sistem via basal ganglia.[16]

Melihat potensi dari terapi Meditasi Raja Yoga, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai Meditasi Raja Yoga dalam mencegah dan memberi terapi PTSD pada korban pascabencana alam. Tujuan penulisan yakni untuk mendeskripsikan potensi Meditasi Raja Yoga sebagai modalitas pencegahan dan terapi PTSD pada korban pascabencana alam. Metode yang digunakan yaitu studi kepustakaan dengan memasukkan kata kunci pada www.nature.com, www.pubmed.com, dan scholar.google.com. Jurnal yang memenuhi kriteria sesuai topik bahasan digunakan sebagai referensi karya.

PEMBAHASAN

PTSD Ditinjau dari Aspek Neuropsikologis

Stres pada umumnya diketahui memainkan peranan besar dalam patogenesis sejumlah besar gangguan psikiatrik, termasuk PTSD. Dua pola utama dalam respons stres, yakni sensitisasi dan habituasi.[17] Pada permulaannya ketika terjadi stimulus stres baru, individu mengerahkan orientasinya pada stimulus ini. Respon pada momen ini bisa terjadi secara berlebihan lantaran individu amat sensitif terhadap stimulus maupun peristiwa yang begitu katastropik. Respons sensitif semacam ini dipicu oleh naiknya level glukokortikoid.[18] Contoh dari sensitisasi stres yang berkepanjangan dapat ditemukan pada pasien penderita PTSD.

Apabila respons stres akut belum berhasil, adaptasi terhadap stres lebih lanjut diperlukan. Adaptasi stres lanjutan ini diatur oleh komunikasi integratif yang dijalankan sistem saraf otonomik dan hipothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. HPA axis mengatur sekresi glukokortikoid, adrenal kortikal steroid yang bekerja pada jaringan-jaringan target di seluruh badan guna menjaga homeostasis (keadaan setimbang) selama stres. Di dalam alur HPA axis ini, yang menjadi mediator kimiawi utama di dalam hipothalamus adalah corticotrophin-releasing factor (CRF). CRF kemudian bergerak menuju kelenjar pituitari dan berpengaruh pada sekelompok sel dalam kelenjar ini yang meningkatkan produksi dan

pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) dan kemudian menginduksi beta-endorfin. Beta-endorfin menghasilkan analgesia karena peran agonisnya dengan reseptor opiat dalam tubuh. Oleh karena itu, beta-endorfin yang dihasilkan dari HPA axis bisa mereduksi pengalaman fisik dan emosional yang menyakitkan sebagai mekanisme pemulihan sehubungan dengan stres.[19]

ACTH kemudian bergerak menuju korteks adrenal, di mana ACTH menstimulasi produksi dan pelepasan glukokortikoid seperti kortisol. Kortisol mempunyai berbagai efek atas tubuh, salah satunya adalah peningkatan sensitivitas thalamus terhadap stimuli yang datang. Apabila otak terpapar secara konsisten pada level kortisol yang tinggi, sistem saraf menjadi sensitif terhadap stimuli yang sifatnya membahayakan secara psikologis. Proses ini disebut kindling, yakni respons psikologis dan fisiologis yang lebih kuat dalam trauma kronis ditimbulkan oleh pemicu yang kekuatannya melemah. Pada pasien PTSD, proses kindling telah mencapai tahap progresif dimana pasien dapat menimbulkan respon berlebih hanya dari mendengar, merasakan, atau membayangkan hal-hal terkait kejadian katastropik (misalnya bencana alam).[19]

Level kortisol yang tinggi juga meningkatkan kemampuan mengingat informasi yang relevan secara emosional dan mempercepat konsolidasi memori jangka panjang. Karena hal inilah, memori trauma menjadi semakin mengendap kuat sebagai bagian jaringan neural yang mewarnai representasi mental di dalam otak penderita PTSD. Endapan memori ini selanjutnya akan mempengaruhi appraisal mengenai kejadian di masa datang yang mirip sifatnya dengan pengalaman trauma, dan kemudian memicu kemungkinan intrusi memori trauma melalui bayangan, pikiran, atau persepsi.[20]

Selain kortisol, stimulasi kelenjar adrenal juga menghasilkan sekresi glutamat. Pelepasan berlebihan glutamat di dalam hipokampus dan korteks prefrontal selama peristiwa stres traumatik berakibat pada stres oksidatif dan eksitotoksisitas, yakni kerusakan sel lantaran berlebihannya eksitasi atau aktivitas neural. Kelebihan eksitasi ini pada sirkuit neural tertentu berhubungan dengan gejala-gejala avoidance dan numbing dalam stres traumatik termasuk pada penderita PTSD.[21]

PTSD Ditinjau dari Aspek Psikodinamik

Dari segi psikodinamik, seorang PTSD dengan pola untuk menahan ketegangan yang mengancam dirinya dan untuk menyelesaikan masalah atau stres menimbulkan suatu mekanisme pertahanan yang disebut dengan mekanisme koping. Mekanisme koping dipengaruhi ego yang tinggi dan pada penderita PTSD, mekanisme koping ditemukan sangat berlebihan. Akibatnya, seorang PTSD tidak akan terlalu mempertimbangkan baik dan buruk, bermoral atau tidak, terutama untuk lingkungan sekitar dikarenakan insting egonya yang terlalu tinggi. Kejadian PTSD terjadi karena menurunnya pengendalian diri, rasionalitas, superego, serta kualitas mental dari dalam diri pelaku akibat meningkatnya ego yang menyebabkan mekanisme koping yang berlebihan. Selain itu, terjadi penurunan libidinal (id) dan peningkatan ego sintonik dimana individu akan merasa nyaman, menerima, dan tidak mengalami konflik batin akan keputusan yang telah dibuatnya, dalam hal ini berupa perilaku avoidance,

isolation, hyper-reaction, mekanisme koping, dan sebagainya yang menunjukkan gejala PTSD.[22]

Potensi Meditasi Raja Yoga Sebagai Modalitas Pencegahan dan Terapi PTSD pada Korban Pascabencana Alam

Meditasi Raja Yoga merupakan salah satu teknik latihan untuk mengenal diri sehingga dapat menganalisis lebih lanjut tentang pikiran dan tindakan yang sudah dilakukan. Dalam tahapan pelaksanaan Meditasi Raja Yoga terdapat delapan tahapan. Adapun tahapan latihanya meliputi; Yama (Selfcontrol) yakni tahapan untuk mengkontrol kondisi pikiran; Niyama (Discipline) atau tahapan konsentrasi dan fokus; Asana (Physical position) yakni tahapan posisi duduk bersila sempurna; Pranayama (Breath exercises) yakni tahapan untuk mengatur irama pernapasan dan kedamaian pikiran; Pratyahara (Withdrawal of the senses from external objects) yakni menginduksi pikiran bawah sadar; Dharana (Concentration) yakni tahapan konsentrasi dalam Meditasi Raja Yoga, Dhyana (Meditation) yakni tahapan inti Meditasi Raja Yoga dimana terjadi peningkatan kualitas mental dan memberikan kebahagiaan utama; serta Samadhi (Complete Realisation) yakni tahap tertinggi, tahap dalam peningkatan kualitas individu pada kedamaian jiwa, pikiran, serta perilaku.[23]

Sebelum melakukan Meditasi Raja Yoga, kejadian PTSD terjadi dikarenakan mekanisme yang cukup kompleks yakni dapat ditinjau dari aspek neuropsikologis dan psikodinamik. Dilihat dari aspek neuropsikologis yakni terjadinya dishomeostasis atau ketidakseimbangan neurotransmiter akibat pengaktifan jalur HPA axis dan sensitisasi kerusakan neural. Serta dari aspek psikodinamik, yakni menurunnya pengendalian diri, rasionalitas, superego, serta kualitas mental dari dalam diri pelaku akibat meningkatnya ego yang menyebabkan mekanisme koping yang berlebihan. Penurunan kedua fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada beberapa bagian otak penderita PTSD. Untuk mengurangi terjadinya kerusakan lebih lanjut yang akan berdampak semakin memburuk pada pelaku, maka dilakukan terapi yang dianggap efektif yakni Meditasi Raja Yoga.[24]

Meditasi Raja Yoga merupakan meditasi tertinggi dari segala meditasi dalam kegiatan yoga. Tujuan dari Meditasi Raja Yoga adalah meningkatkan kualitas mental, mengendalikan hawa nafsu, serta mengenali ke dalam diri secara menyeluruh. Meditasi Raja Yoga memberikan arti baik dan positif dalam mengurangi pencetus pikiran-pikiran yang tidak baik. Kegiatan ini telah terbukti dengan penelitian-penelitian yang dilakukan, bahwa terjadi keseimbangan pada proses neurotransmiter di otak setelah melakukan meditasi.[24,25]

Setelah terjadi PTSD, HPA axis secara langsung memengaruhi neurotransmiter yakni epinefrin (adrenalin). Meningkatnya tingkat kortisol karena aktivasi HPA axis mestimulasi sintesis katekolamin (sejenis hormon stres serupa adrenalin) yang meningkatkan pelepasan epinefrin. Di samping itu, dalam keadaan stres, hipothalamus mengaktifkan medulla adrenal dengan menstimulasi sistem saraf simpatik dan pelepasan epinefrin ke dalam sirkulasi. Sirkulasi epinefrin ini meningkatkan metabolisme, respirasi, percepatan denyut jantung, serta aktivitas-aktivitas mental, seperti atensi dan konsentrasi. Semua fenomena ini sering disebut hyperarousal yang

bersifat adaptif dalam jangka pendek ketika

menghadapi tantangan. Hasil riset menunjukkan bahwa pada individu dengan pengalaman trauma atau sensitisasi trauma berkepanjangan, sering terjadi hyperarousal sistem saraf sentral yang persisten. Hal ini menyebabkan level epinefrin (adrenalin) yang lebih tinggi, serta arousal eksesif dalam respon terhadap tanda-tanda trauma.[26] Elevasi epinefrin diduga kuat melatarbelakangi gejala-gejala, seperti reaktivitas yang berlebihan, kecenderungan untuk mengingat ngingat, dan generalisasi berlebihan dalam menanggapi situasi atau kejadian di luar trauma itu sendiri.[27]

Selain epinefrin, norepinefrin juga berfungsi mempengaruhi arousal untuk mempertahankan kewaspadaan dan mempertajam fokus selama dalam keadaan terancam (dapat diakibatkan oleh trauma). Namun, peningkatan aktivitas norepinefrin yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai gejala hyperarousal, seperti mudah tersinggung, cemas, gangguan tidur, serta mimpi buruk. Semua gejala ini sangat berhubungan dengan PTSD. Memori traumatik ditopang oleh formasi jaringan neuron yang diperkuat oleh elevasi aktivitas epinefrin maupun norepinefrin. Konsolidasi memori jangka panjang ini mempunyai andil bagi gejala gejala PTSD lainnya, seperti sensasi mengalami kembali peristiwa trauma atau reexperiencing atau mudah flashback.[27]

Sebagai mekanisme reliever, Meditasi Raja Yoga dapat meningkatkan serotonin dalam kadar yang signifikan.[18] Neurotransmiter ini berperanan dalam patofiologi ansietas, depresi, PTSD, dan impulsivitas. Serotonin dalam kadar yang tepat berperan dalam regulasi tidur, kontrol nafsu makan, aktivitas kardiovaskular dan respirasi, output motorik, dan sekresi neuroendokrin serta analgesia. Di dalam kondisi stres yang berat akibat peningkatan kadar epinefrin maupun norepinefrin, serotonin dilepaskan ke dalam korteks frontal dan bertindak untuk menenangkan dan mereduksi kesedihan atau kekhawatiran.[25] Meditasi Raja Yoga terbukti meningkatkan kadar serotonin normal yang disekresikan guna menanggapi stres dengan menurunkan kadar monoamin oksidase, yakni enzim yang memecah serotonin. Serotonin yang meningkat juga memiliki efek supresi terhadap epinefrin serta kortisol sehingga menurunkan progresivitas penyakit yang disebabkan akibat beban atau stres psikologikal, termasuk PTSD.[24]

Serupa dengan serotonin, temuan riset mengindikasikan peningkatan level dopamin di dalam korteks prefrontal dan amigdala dalam keadaan stres akut dan kronis.[15] Konsentrasi dopamin yang terlalu tinggi justru akan mencederai processing sensory dan memberi andil bagi gejala-gejala hyperarousal serta penurunan libidinal. Berdasarkan penelitian oleh Mohandas (2008), Meditasi Raja Yoga mampu meregulasi transmisi dopamin dalam sistem saraf pusat melalui kontrol dopaminergik sistem via basal ganglia. Sebesar 65% responden setelah diukur menunjukkan pelepasan dopamin endogen yang mendekati normal setelah 3 minggu pelaksanaan yoga, baik dari kadar dopamin yang rendah maupun yang tinggi. Dihipotesiskan bahwa regulasi dopamin pada Meditasi Raja Yoga dikaitkan dengan gerbang interaksi kortikal-subkortikal, yang mengarah pada

kesadaran diri atau mindfullness yang terkait dengan jenis meditasi ini.[19]

Berdasarkan teori psikoanalitik klasik dari Sigmud Freud dalam Kaplan dan Sadock, bahwa seseorang memiliki psikologi kepribadian yakni ego, id, dan superego. Teori ini memiliki hubungan dengan setiap kejadian penyimpangan terhadap perilaku seseorang dikarenakan konsep ini melekat dalam diri manusia sejak lahir. Berhubungan dengan melakukan meditasi Raja Yoga, memberikan efek terhadap pengendalian ego oleh superego dalam diri individu. Dikarenakan pada penderita PTSD terjadi ketidakstabilan fungsi neurotransmiter pada otak selain penurunan libidinal dan peningkatan fungsi ego untuk mengendalikan mekanisme koping. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Vago (2012), bahwa terjadi peningkatan libidinal ke arah normal seseorang dengan pengendalian diri dari superego dalam meditasi Raja Yoga. Selain itu, dengan Meditasi Raja Yoga dapat mencegah terjadinya perilaku PTSD dengan cara pengendalian diri oleh superego.[15]

Berdasarkan penelitian sebelumnya, kejadian trauma lebih efektif dihilangkan dengan terapi meditasi dan perenungan bawah sadar. Anak-anak yang menjadi korban dapat melakukan meditasi untuk merubah ketakutannya menjadi benteng pertahanan yang baik dan mencegah korban berkembang mengalami perburukan. Disebutkan pula bahwa yang paling penting dari terapi kasus PTSD adalah untuk melunakkan mekanisme koping yang dimiliki oleh pelaku. Tidak ada penanganan PTSD yang efektif, terkecuali orang dengan PTSD memiliki kemauan untuk ikut serta dalam terapi.[18] Penanganan dengan meditasi akan mengaktifkan ego distonik yang membuat superego berfungsi dan menyebabkan tertekannya perilaku PTSD tersebut. Ego distonik akan menyebabkan ketidak-konsistenan konsep diri seseorang atau kondisi ego sehingga menyebabkan perasaan bersalah atau mengoreksi mekanisme koping yang telah dilakukan sebelumnya.[26]

Superego merupakan salah satu kunci untuk mengendalikan diri agar terbentuk kembali diri dengan perilaku yang bermoral dan regulasi self-healing. Penurunan ketertarikan dan melunaknya keinginan mempertahankan ego dapat berhasil juga karena keinginan untuk berubah, yakni berdasarkan ego distonik. Peranan superego ini membantu membangun kembali regulasi diri dikarenakan sudah terbentuknya tekad dari ego orang dengan PTSD. Penurunan perilaku PTSD dengan meditasi Raja Yoga ini, memberikan dampak positif dengan mencegah dan menterapi agar perilaku PTSD terkendali dan terhindar dari tindakan membahayakan orang lain.[28]

Meditasi ini juga akan mengurangi perasaan cemas, ketakutan, dan meningkatkan kembali gairah untuk beraktivitas pada korban pascabencana yang belum mengalami PTSD. Peranan peningkatan superego dalam mencegah terjadinya PTSD sangat efektif untuk menurunkan mekanisme kopingnya dikarenakan pelaku menjadi sadar akan akibat perilaku tersebut baik jasmani maupun rohani.[15,29] Potensi Meditasi Raja Yoga sebagai modalitas pencegahan dan terapi PTSD pada korban pascabencana alam secara ringkas tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Strategi Meditasi Raja Yoga sebagai Modalitas Pencegahan dan Terapi PTSD pada Korban Pascabencana Alam


Analisis Manfaat Meditasi Raja Yoga Sebagai Modalitas Pencegahan dan Terapi PTSD pada Korban Pascabencana Alam

Meditasi Raja Yoga memiliki berbagai keunggulan di antaranya telah terbukti dapat memperbaiki kontrol neurotransmiter dalam tubuh; dapat memperbaiki fungsi id, ego, dan superego; serta kesehatan tubuh secara umum. Meditasi Raja Yoga, khususnya tahap Pranayama terbukti membuat otot diafragma dan otot-otot pernapasan bekerja secara efisien, melatih seseorang agar memperoleh kontrol atas pernapasan, memperbaiki kapasitas difusi, menguatkan sistem pernapasan, meningkatkan fungsi kerja paru-paru, mampu mengurangi inflamasi maupun eksaserbasi, mampu mengurangi kecanduan akibat zat adiktif, menguatkan sistem kekebalan tubuh, memperbaiki sel maupun jaringan yang rusak, serta meningkatkan kualitas hidup pada pasien dengan penyakit kronis.[30,31]

Selain rehabilitasi mental, Meditasi Raja Yoga juga berperan dalam rehabilitasi fisik, seperti peregangan otot, melenturkan tubuh, pelemasan sendi-sendi, yang membuat Meditasi Raja Yoga dapat dikategorikan sebagai terapi yang komprehensif. Meditasi Raja Yoga terbukti sangat baik untuk kesehatan mental, aman apabila dilakukan sesuai petunjuk, tidak memerlukan banyak biaya dan waktu, serta mudah untuk dilakukan oleh siapa saja, termasuk penderita PTSD. Meditasi Raja Yoga terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan menurunkan rasa cemas dan takut, serta menimbulkan kesadaran dan kebahagian, yang mana sangat penting dalam mencapai kesuksesan terapi.[24] Berbagai keunggulan tersebut membuat terapi Meditasi Raja Yoga sangat berpotensi untuk menjadi upaya pencegahan sekaligus dapat menjadi rehabilitasi untuk pasien PTSD.[22,23]

Dalam melakukan Meditasi Raja Yoga, diperlukan kemauan yang tinggi serta tekad yang kuat. Hasil rehabilitasi yang baik akan dapat dicapai dengan pelaksanaan Meditasi Raja Yoga yang serius, terutama pada kegiatan asana, pranayama, dan meditasi yang memerlukan konsentrasi dan fokus. Selain itu, kegiatan Pranayama, yakni tahap yang paling mudah untuk dilakukan dimana saja dalam Meditasi Raja Yoga juga harus dilakukan secara rutin untuk mencapai hasil yang maksimal.[32]

Penerapan Meditasi Raja Yoga sebagai upaya pencegahan dan terapi pada PTSD sebaiknya dilaksanakan dengan kerja sama pihak terkait dan implementasi di masyarakat dengan baik. Pihak terkait

tersebut adalah penderita PTSD, masyarakat, pemerintah, dan praktisi Meditasi Raja Yoga. Implementasi Meditasi Raja Yoga dapat dilakukan dalam jangka waktu dua bulan yang dilakukan satu jam sehari dengan tujuan untuk membiasakan kegiatan latihan ini diiringi dengan follow up seminggu tiga kali. Diharapkan masyarakat mendapat manfaat klinis secara signifikan dan meneruskan latihan secara rutin.[33]

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa telah dilakukannya berbagai penelitian untuk mengetahui potensi Meditasi Raja Yoga sebagai upaya pencegahan dan terapi pada PTSD. Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa Meditasi Raja Yoga secara efektif dan signifikan mencegah perkembangan menuju terjadinya manifestasi klinis dari PTSD serta menterapi orang dengan PTSD. Hasil tersebut didukung dengan adanya regulasi terhadap neurotransmiter serotonin dan dopamin yang mampu menekan progresivitas PTSD. Selain itu, peningkatan superego dalam meregulasi diri juga dilibatkan untuk melunakkan mekanisme koping sehingga menurunkan perasaan cemas dan takut sehingga tercipta peningkatan kualitas hidup. Selain itu, penerapan Meditasi Raja Yoga juga dapat meningkatkan ego distonik dan libidinal seseorang sehingga menjadikannya lebih semangat dan bergairah yang dapat mencegah menuju PTSD. Oleh karena itu, Meditasi Raja Yoga memiliki potensi besar sebagai upaya pencegahan dan terapi pada PTSD.

Analisis manfaat dari Meditasi Raja Yoga sebagai upaya pencegahan dan terapi pada PTSD, yakni memiliki keunggulan mudah dilaksanakan, ekonomis, efisien, dan pelaksanaan Meditasi Raja Yoga sangat aman. Selain itu, efek klinis dari pelaksanaan Meditasi Raja Yoga juga sangat efektif dalam meningkatkan kadar serotonin, mengontrol kadar dopamin, meningkatkan superego, mencegah progresivitas rasa cemas dan takut, mengurangi aktivitas mekanisme koping yang berlebih, serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelaksanaan Meditasi Raja Yoga secara rutin berdasarkan hasil penelitian terbaru juga menunjukkan efek yang signifikan dalam mencegah morbiditas dan progresivitas PTSD.

Dalam menerapkan Meditasi Raja Yoga sebagai upaya pencegahan dan terapi pada PTSD dilaksanakan kerja sama dengan pihak terkait dan

implementasi di masyarakat dengan baik. Pihak terkait tersebut adalah penderita PTSD, masyarakat, pemerintah, dan praktisi Meditasi Raja Yoga. Implementasi Meditasi Raja Yoga dapat dilakukan dalam jangka waktu dua bulan yang dilakukan satu jam sehari dengan tujuan untuk membiasakan kegiatan latihan ini diiringi dengan follow up seminggu tiga kali. Diharapkan masyarakat mendapat manfaat klinis secara signifikan dan meneruskan latihan secara rutin.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Hikmawati, E. Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi. Informasi. 2017;17(2):98.

  • 2.    Kurniawan, F. Gambaran Karakteristik Pada Pasien Gangguan Jiwa Skizofrenia di Instalasi Jiwa RSUD Banyumas Tahun 2015. Tesis. 2016.

  • 3.    Kemenkes Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan    Dasar; RISKESDAS.    Jakarta:

Balitbang. Kemenkes RI.

  • 4.    WHO. International classification of fuctioning, disability, and health. ICF World Health Organization. 2011.

  • 5.    Depkes. Pengungsi Merapi Lelah, Jenuh Tak Bergairah. [Online] 2010. tersedia di: http://www.depkes.go.id/development/site/jkn/inde x.php?cid=1317&id=pengungsi-merapi-lelah-jenuh-tak-bergairah.html  [Accessed 10 Feb.

2019].

  • 6.    American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fifth Edition. Washinton DC: American Psychiatric Publishing. 2013.

  • 7.    Irwanto, Faizal, Zulfa, H. Post traumatic stress disorder among Indonesian children 5 years after the tsunami. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2015;46(5).

  • 8.    Surendra S, dkk. Post-disaster mental health and psychosocial support: experience from the 2015 Nepal earthquake. WHO South-East Asia Journal of Public Health. 2017.

  • 9.    Gallegos A, Crean H, Pigeon W, Heffner K. Meditation and yoga for posttraumatic stress disorder: A meta-analytic review of randomized controlled trials. Clinical Psychology Review. 2017;58:115-124.

  • 10.    Chandra Z.A. Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Kesembuhan Penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Di Pusat

Pelayanan Terpadu (PPT) “Mawar” Rsud Dr.

Fauziah Bireuen Tahun 2009. Medan: Tesis pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. 2009

  • 11.    Hendin, H. Psychodynamic treatment of combat veterans with PTSD at risk for suicide. Psychodynamic Psychiatry. 2017;45(2):217-235.

  • 12.    Ramesh, M.G., Sathian, B., Sinu, E., dkk. Efficacy of Raja Yoga Meditation on positive thinking: An index for self-satisfaction and happiness in life. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013; 7(10):2265-2267.

  • 13.    Francois, B. Mindfulness meditation is more than you think meditation is more than you think! PsycCRITIQUES, 2015;6060(4747).

  • 14.    Ramesh, M.G., Sathian, B., Sinu, E., dkk. Efficacy of Raja Yoga Meditation on positive thinking: An index for self-satisfaction and happiness in life. Journal of Clinical and Diagnostic

  • 15.    Lang A, Strauss J, Bomyea J, Bormann J,

Hickman S, Good R et al. The Theoretical and Empirical Basis for Meditation as an Intervention for PTSD. Behavior Modification. 2012;36(6):759-786.

  • 16.    Mohandas, E.. Neurobiology of spirituality. mens sana monographs. 2008;6(1):63.

  • 17.    Herman, J.P. Central nervous system regulation of the Hypothalamic-Pituitary- Adrenal axis stress response. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychological effects brain. Malden, MA.: Blackwell. 2011, 29-46.

  • 18.    Thiel, K.J., & Dretsch, M.N. The basics of stress response: A historical context and introduction. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychological effects on the brain. Malden, MA.: Blackwell. 2011, pp. 3-28.

  • 19.    Marin, M.F.,  & Lupien, S.J. Stress and

glucocorticoid effects on learning and memory. In C.D. Conrad (Ed.), The handbook of stress: Neuropsychological effects on the brain. Malden, MA: Blackwell. 2011, pp. 248-265.

  • 20.    Vermetten, E., & Bremmer, J.D. Circuits and

systems in stress. II. Applications to neurobiology and treatment in posttraumatic stress disorder. Depression and Anxiety. 2002;16:14-38.

  • 21.    Weiss, S.J. Neurobiological alterations associated with traumatic stress. Perspective in Psychiatric Care. 2007;43:114-122.

  • 22.    Worby, C. Memahami segalanya tentang yoga: Tingkatkan kekuatan kelenturan, dan kesehatan anda (S.C. Simanjuntak, Trans), In Y.I.Wahyu (Eds). Jakarta: Karisma Publishing Group. 2007.

  • 23.    Vago, D. R., & Silbersweig, D. A. Self-Awareness, Self-Regulation, and  Self-Transcendence (S-

ART) A Framework for Understanding The

Neurobiological Mechanisms of Mindfulness. Frontiers in Human Neuroscience. 2012;6:296.

  • 24.    Rajoira, K. Kumar, S. Therapeutic benefits of Raj Yoga - A Review. Indian Journal of Traditional Knowledge. 2017;16(1):88-95.

  • 25.    Yehuda, R.. Neuroendocrine aspects of PTSD. In T. Steckler, N.H. Kalin, & J.M.H.M. Reul (Eds.), Handbook of stress and the brain: Part 2: Stress: Integrative and clinical aspects. Amsterdam: Elsevier. 2005. pp. 251 – 272.

  • 26.    Bremmer, J.D. Does stress damage the brain. Phi Kappa Phi Forum. 2005;85:27-29.

  • 27.    McEwen, B., & Lupien, S. Stress: Hormonal and neural aspects. In V.S. Ramachandran (Ed.), Encyclopedia of the human brain.2002;4:463-474

  • 28.    Harnischfeger J. Helpful Thoughts - Some Reflections on the Psychodynamic Treatment of Traumatized Refugees. International Journal of Applied Psychoanalytic Studies. 2016;14(1):22-34.

  • 29.    Jahnke, S., dkk. Stigmatizing attitudes towards people with post traumatic and their malleability among psychotherapists in training. Elsevier. Child Abuse & Neglect. 2014. p.1-10.

  • 30.    Maheshwarananda, Sri S. Yoga in Dialy Life: Raja Yoga    [Online]    2016.    Tersedia    pada

http://www.yogaindailylife.org/system/en/the-four-paths-of-yoga/raja-yoga. [diakses pada tanggal 6 Februari 2019].

  • 31.    Pradnya Waghmare, P.S.Baji. Effect of pranayama on cardio-respiratory efficiency. Indian Journal of Basic & Applied Medical Research. 2013;8(2):918-922.

  • 32.    Gupta A, Gupta R, Sood S, Arkham M. Pranayam for treatment of chronic obstructive pulmonary disease: Results from a randomized, controlled trial. Integrative Medicine: A Clinician’s Journal. 2014;13(1):26-31.

  • 33.    Poeppl, Timm B., Eickhoff, Simon B., Fox, Peter T., Laird, Angela R., Rupprecht, R., Langguth, B., dan Bzdok, D. Connectivity and functional profiling of abnormal brain structures in post traumatic stress disorder. Wiley Periodicals, Inc. 2015;36(6):1-13.

https://ojs.unud.ac.id/index/.php/essential/index

21