PEMANFAATAN CITRA SATELIT DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN AGROKLIMAT TANAMAN JAGUNG DI PROVINSI JAWA TENGAH
on
Pemanfaatan Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis..,
[Apritarum Fadianika, dkk]
PEMANFAATAN CITRA SATELIT DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN AGROKLIMAT TANAMAN JAGUNG DI PROVINSI JAWA TENGAH
Apritarum Fadianika1)*, I Wayan Nuarsa2), I Ketut Sardiana3)
1)BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I I Gusti Ngurah Rai, Denpasar – Bali 2)Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Udayana –Denpasar, Bali 3)Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bukit Jimbaran – Bali
*Email: [email protected]
ABSTRACT
UTILIZATION OF WEATHER SATELLITES AND GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEMS FOR MAPPING THE AGROCLIMAT OF CORN CROPS IN CENTRAL JAVA
Corn is a strategic agricultural commodity in Central Java Province because this plant is the second main food crop commodity after rice. Evaluation of agro-climate suitability aims to assess suitable areas based on climatic conditions and efforts to overcome climate-limiting factors in order to achieve optimal productivity in corn cultivation. Satellite imagery can be used to overcome the lack of density of climate stations, which are the source of data for climate suitability evaluation. This study aims to validate GSMaP satellite rainfall data and Terra MODIS satellite air temperature data against BMKG observation data, create a distribution map of climatic conditions, and create a distribution map of agro-climate suitability classes based on GIS for maize in Central Java Province. This study uses rainfall and temperature data from 30 BMKG observation points and satellite imagery data for 20 years (2001–2020). The correlation values, RMSE, and MBE were calculated to validate satellite rainfall and air temperature data with observed rainfall and air temperature. Satellite data correction calculations are used to fill in the data at points without observation. The validation results show that the satellite data is valid and that there is a pattern of conformity with the observational data. Central Java province has an annual rainfall of 1,500 mm/year to 6,000 mm/year, an average annual temperature of 24.9oC to 28.1oC, and three to nine months of wet months. In some areas, the agro-climate suitability class for maize plants was in the moderately suitable category (S2wa, tc) with an area of 156,302 ha, marginally suitable (S3wa) with an area of 1,277,813 ha, and not suitable (Nwa) with an area of 2,008,673 ha.
Keywords: Corn; GSMaP; Terra MODIS; Climate Suitability; GIS
Iklim berpengaruh terhadap berbagai sektor dan rancang bangun, termasuk sektor pertanian. Upaya peningkatan produksi pertanian salah satunya
dilakukan dengan meninjau kondisi cuaca dan iklim yang merupakan salah satu syarat utama (Mardawilis dan Ritonga, 2016).
Di Provinsi Jawa Tengah tanaman jagung merupakan komoditas pertanian strategis yang menempati komoditi utama
kedua tanaman pangan setelah padi (BPS, 2019). Optimalisasi penanaman jagung pada lahan dan iklim yang sesuai dapat dilakukan sebagai salah satu upaya peningkatan produksi tanaman jagung. Saat ini di Provinsi Jawa Tengah belum terdapat peta agroklimat khususnya untuk tanaman jagung.
Evaluasi kesesuaian agroklimat bertujuan untuk menilai daerah yang sesuai berdasarkan kondisi iklim terhadap syarat tumbuh suatu tanaman. Penelitian sebelumnya untuk kesesuaian tanaman jagung di Jawa Tengah di Kabupaten Blora dilakukan oleh Kinayungan et al. (2022) menunjukkan bahwa kriteria kesesuaian hujan berada pada nilai S2wa. Penelitian lain tentang zonasi agroklimat dengan memanfaatkan citra satelit IMERG di Provinsi Bali dilakukan oleh Putranto et al. (2022). Salah satu cara optimalisasi produktivitas dalam budidaya tanaman adalah dengan melakukan evaluasi kesesuaian agroklimat.
Hasil evaluasi kesesuaian agroklimat dapat digunakan dalam upaya penanggulangan faktor pembatas dan mitigasi kendala iklim. Menurut As-Syakur et al. (2011) evaluasi kesesuaian agroklimat dilakukan karena salah satu faktor pembatas yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pertanian adalah iklim. Kondisi iklim yang akurat didapat dengan data iklim yang baik (data spasial dan temporal yang rapat). Pemanfaatan produk citra satelit dilakukan untuk mengatasi kendala kurang rapatnya stasiun iklim di Provinsi Jawa Tengah dengan kualitas dan kuantitas data iklim yang baik.
Global Satelit Mapping of Precipitation (GSMaP) adalah salah satu satelit cuaca yang menyediakan data curah hujan. GSMaP merupakan perpaduan dari beberapa data hasil pengamatan multi-satelit (TRMM, Aqua, DMSP, dan
NOAA) dan algoritma (McCollum, 2002). Satelit GSMaP digunakan karena memiliki cakupan wilayah yang luas, memiliki kemampuan memetakan variasi curah hujan spasial dan temporal yang besar, dan mampu menyediakan data curah hujan dengan resolusi spasial sampai 0,1°x0,1° atau sekitar 11,06 km x 11,06 km (Kachi, 2012). Satelit Terra MODIS dapat memberikan informasi mengenai suhu udara. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk mendapatkan informasi suhu udara telah dilakukan oleh peneliti dari berbagai negara, diantaranya Widyasamratri, et al. (2013), Williamson, et al. (2014). Liu, et al. (2017), Laosuwan, et al. (2017), Noi, et al. (2017), Mira, et al. (2017), Yang, et al. (2017). Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan informasi bahwa satelit Terra MODIS memiliki akurasi baik dalam memberikan informasi suhu udara sebesar 83% hingga 97%.
Penelitian bertujuan untuk memvalidasi data curah hujan satelit GSMaP dan data suhu udara satelit Terra MODIS terhadap data pengamatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), membuat peta sebaran kondisi iklim, dan membuat peta sebaran kelas kesesuaian agroklimat berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk tanaman jagung di Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data iklim dengan periode dua puluh tahun (Januari 2001-2020). Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Tengah yang berada pada 5°43’26”LS-8°13’17”LS dan 108°32’17”BT-111°41’38BT.
Gambar 1.
Lokasi Penelitian dan Titik Data Pengamatan BMKG
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat pengolahan data yaitu komputer lengkap dengan software Microsoft Excel 2016 dan QGIS 3.10. Bahan yang digunakan yaitu data curah hujan bulanan pada 30 pos pengamat hujan dan data suhu udara di lima titik stasiun pengamatan BMKG di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2001-2020, data curah hujan bulanan satelit diambil dari produk GSMaP yang mempunyai resolusi temporal satu jam dan resolusi spasial 0.10 x 0.10 (JAXA, 2007). Data curah hujan GSMaP dengan satuan mm/jam yang dapat diunduh melalui alamat FTP host:hokusai.eorc.jaxa. jp, dan data suhu udara satelit Terra MODIS yang diunduh melalui website: https://mirador.gsfc.nasa. gov/. Data suhu udara satelit Terra MODIS yang diolah merupakan data suhu udara rata-rata harian dengan resolusi spasial 1000 m.
Proses ekstraksi dilakukan terhadap data curah hujan satelit GSMaP dan data suhu udara permukaan dari satelit Terra
MODIS dengan format .nc. Ekstraksi dilakukan pada titik yang sesuai dengan lokasi pengamatan BMKG. Selanjutnya konversi data satelit ke dalam bentuk excel (.xls). Analisa dilakukan dengan cara membandingkan data pada satelit sesuai dengan data titik pengamatan.
Validasi data satelit dilakukan untuk
melihat akurasi data satelit terhadap data
pengamatan BMKG. Metode validasi
menggunakan analisis statistik dengan
menghitung nilai korelasi (r), menghitung
Root Mean Square Error (RMSE) dan
menghitung Mean Bias Error (MBE).
∑^ 1(Yi-Y)(Yi-Y)
r YY = ∖I-
√∑H1(Yi -γ)2 √∑H1((Yi -y) 2
(1)
Keterangan:
rYŶ: nilai koefisien korelasi data satelit
dengan data pengamatan
Yi: data satelit pada periode ke-i dengan i
= 1,2,dst...n
Ȳ: nilai rata-rata data satelit
Ŷi: data pengamatan periode ke-i dengan i
= 1,2,dst...n
Ŷ: nilai rata-rata data pengamatan
n: panjang periode
RMSE = √⅛=1( Y i - Yi)2 (2)
MB E =±∑⅛1( Y i — Yi) (3)
Keterangan:
Yi: data satelit periode ke-i dengan i = 1,2,dst...n
-
2.3.3. Persamaan Konversi Data Satelit dengan Data Stasiun Pengamat
Perhitungan statistik metode regresi linier sederhana dengan rumus:
Y = ax + b (4)
Keterangan:
-
a: koefisien beta atau koefisien arah
-
b: intersep
Perhitungan tersebut digunakan untuk menghitung rumus persamaan konversi dan nilai koreksi data satelit terhadap data pengamatan.
Ŷi: data pengamatan periode ke-i dengan i = 1,2,dst,..n
-
2.3.4. Pemetaan Unsur Iklim dan
Kesesuaian Agroklimat
Tanaman Jagung di Provinsi Jawa Tengah
Tabel 1. Pedoman Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Strategis Tanaman Pangan Jagung (Zea mays)
Persayaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan |
Kelas Kesesuaian Lahan | |||
S1 |
S2 |
S3 |
N | |
Temperatur (tc) |
21-26 |
>26-30 |
>29-33 |
>33 |
Temperaturrata-rata tahunan (oC) |
20-<21 |
18-<20 |
<18 | |
Ketersediaan air (wa) Curah hujan |
1.200-1.500 |
1.000-<1.200 |
800-<1.000 |
< 800 |
tahunan (mm/tahun) |
>1.500-1.900 |
>1.900-2.300 |
>2.300 | |
Jumlah bulan basah |
3 – 5 |
<3 |
- |
- |
(>200mm/bulan) |
- |
>5-7 |
>7 - 8 |
>8 |
(Sumber: BBSDLP, 2016)
Kelas kesesuaian untuk menunjukkan tingkat kesesuaiannya disimbolkan dengan kelas Sesuai (Suitabel=S1:sangat sesuai, S2:cukup sesuai, S3:sesuai marginal,) dan tidak sesuai (not suitabel=N). Pemetaan unsur iklim dilakukan untuk memperoleh peta hujan, peta suhu udara, dan peta bulan basah menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan teknik overlay peta-peta yang telah dibentuk. Peta parameter iklim selanjutnya diklasifikasikan kembali dengan syarat kesesuaian iklim tanaman jagung untuk mendapatkan peta kesesuaian agroklimat pada tanaman jagung di Provinsi Jawa Tengah. Metode matching digunakan untuk mendapatkan
kelas kesesuaian di wilayah penelitian serta mengetahui pengaruhnya. Evaluasi dilakukan dengan berpedoman pada kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian (BBSDLP, 2016).
Korelasi (r) data series curah hujan bulanan dari produk hujan satelit GSMaP dengan data curah hujan di 30 titik pengamat hujan digambarkan pada Gambar 2.
Gambar 2.
Nilai Korelasi antara GSMaP dengan Data Pengamatan
Perhitungan korelasi menghasilkan nilai yang sangat baik antara 0,89-0,99 dengan nilai korelasi rata-rata sebesar 0,96. Nilai korelasi tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara data produk hujan satelit GSMaP dengan data stasiun pengamat hujan berdasarkan katagori koefisien korelasi (Guilford, 1973).
Perhitungan nilai RMSE dan MBE digunakan untuk mengetahui dan menentukan seberapa besar nilai kesalahan rata-rata (error) antara data hujan satelit GSMaP terhadap data hujan stasiun pengamat dijelaskan pada Gambar 3.
Gambar 3.
Nilai RMSE dan MBE antara GSMaP dengan Data Pengamatan
Nilai RMSE yang dihasilkan sebesar 28,16 hingga 246,45 dengan nilai rata-rata sebesar 69,83. Nilai rata-rata bias error (MBE) terkecil -6,1 hingga -217,71 dengan rata-rata 57,59. MBE bernilai positif dan negatif menunjukkan bahwa produk hujan satelit GSMaP dapat diatas estimasi (overestimate) atau dapat dibawah estimasi (underestimate) terhadap data pengamatan (fluktuatif).
Nilai korelasi >0,89 menggambarkan bahwa secara umum data GSMaP mampu
mendeteksi kejadian curah hujan bulanan dan pola kejadian hujan bulanan dengan sangat baik di wilayah penelitian. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman, 2020 yang menunjukkan nilai korelasi kuat antara data curah hujan GSMaP dan data Automatic Weather Station (AWS) atau Automatic Rain Gauge (ARG) pada estimasi curah hujan di Jabodetabek.
Nilai error yang cukup besar pada beberapa titik pengamatan pada nilai
intensitas hujan antara data satelit dengan pengamatan di darat. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian mengenai evaluasi GSMaP yang menunjukkan bahwa daerah yang berada di kawasan monsunal memiliki korelasi hingga 0,92 namun dengan error mencapai 80 mm/bulan bahkan lebih dari 100 mm/bulan yang dilakukan oleh Setyoko et al. (2019). Nilai RMSE yang tinggi juga terjadi pada pemanfaatan satelit cuaca lainnya (IMERG) di Bali yaitu sebesar 108.44mm (Putranto et al., 2022).
Nilai rata-rata bias error yang cukup tinggi menunjukkan bahwa data hujan satelit memiliki keterbatasan dalam
di wilayah penelitian. Keterbatasan data hujan satelit dalam menentukan intensitas curah hujan harian juga terdeteksi di Provinsi Bali dan beberapa wilayah di Indonesia (Yuda et al., 2020).
Perhitungan konversi dilakukan dengan menghitung persamaan regresinya. Perhitungan regresi dilakukan setiap bulan dengan tujuan agar rumus konversi agar mendapatkan nilai koreksi dan untuk meminimalisir faktor variabilitas curah hujan yang tinggi.
menentukan intensitas curah hujan harian
Tabel 2. Persamaan Koreksi Curah Hujan Satelit GSMaP terhadap Curah Hujan Observasi
Januari |
y= 1,25186x -110,853 |
Juli |
y= 1,58669x + 11,326 |
Februari |
y= 1,22366x - 45,796 |
Agustus |
y= 1,84800x + 4,139 |
Maret |
y= 0,82824x + 48,900 |
September |
y= 1,55087x + 3,819 |
April |
y= 1,50776x - 89,203 |
Oktober |
y= 1,78933x - 31,802 |
Mei |
y= 1,49628x - 3,756 |
November |
y= 1,34560x – 71,190 |
Juni |
y= 1,07102x + 20,305 |
Desember |
y= 1,03745x – 73,983 |
Persamaan dihitung berdasarkan seluruh data (30 titik pengamatan) untuk mendapatkan rumus konversi setiap bulan. Rumus konversi dihitung setiap bulan untuk menentukan nilai hujan di 10 titik kosong (blank area) dimana tidak terdapat pos pengamatan hujan pada lokasi tersebut. Hasil akhir yang akan digunakan untuk analisis iklim dan agroklimat adalah nilai curah hujan tahunan di 40 titik yang merupakan kombinasi antara data curah hujan hasil pengamatan dan data hujan dari satelit yang telah terkoreksi.
Uji akurasi data suhu udara rata-rata harian dilakukan terhadap data suhu udara rata-rata harian produk satelit Terra MODIS pada periode 20 tahun (20012020) dengan data suhu udara di lima titik stasiun pengamatan BMKG di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Suhu udara yang diuji merupakan suhu udara rata-rata harian.
Gambar 4.
Uji Akurasi Data Satelit Terra MODIS dengan Data Stasiun Pengamatan
Nilai korelasi r = 0,91 menunjukkan korelasi yang sangat kuat antara data suhu udara satelit dengan data suhu pengamatan BMKG. Hal ini sesuai dengan penelitian Wardani & Sukojo (2012) yang menyatakan bahwa korelasi kuat dari uji validasi suhu satelit Terra MODIS dengan suhu suhu pengamatan. Hasil uji validasi lain terhadap satelit Terra MODIS menghasilkan nilai yang akurat baik secara spasial ataupun temporal yang ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang rendah terhadap data pengamatan didapatkan dari penggabungan nilai suhu pada siang dan malam hari (Wan et al., 2004; Wan, Z.2014; Wang et al., 2009). Nilai error yang cukup kecil antara data suhu satelit Terra MODIS terhadap data suhu udara stasiun pengamat BMKG ditunjukkan oleh nilai RMSE sebesar 1,66. Hasil analisis rata-rata bias error (MBE) secara umum memperlihatkan semua parameter yang dianalisis memperlihatkan kondisi data produk suhu satelit Terra MODIS diatas estimasi (overestimate) terhadap data BMKG dengan nilai 1,53. Kondisi overestimate dapat diartikan jika data suhu udara Satelit Terra MODIS menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai pengamatan di permukaan (data observasi).
Perhitungan regresi data suhu udara satelit Terra MODIS dengan data suhu udara permukaan dilakukan untuk mendapatkan persamaan koreksi data suhu udara satelit. Perhitungan konversi dilakukan untuk meningkatkan keakuratan data satelit terhadap data pengamatan di darat. Persamaan konversi yang didapat selanjutnya digunakan untuk mencari data suhu udara pada titik-titik yang tidak mempunyai data suhu udara permukaan. Berdasarkan data tersebut nilai persamaan koreksi yang dihasilkan adalah y = 0,329x – 18,081 dan nilai r2 sebesar 0,91. Koefisien korelasi (r) mengukur derajat hubungan linier antara distribusi yang diestimasi dan yang diamati. Sedangkan koefisien determinasi r2 menggambarkan tingkat pengaruh antara data satelit terhadap data observasi.
Kondisi sebaran curah hujan tahunan secara spasial di Provinsi Jawa Tengah pada periode waktu 20 tahun (2001-2020) ditunjukkan pada Gambar 5. Data hujan yang dipetakan merupakan gabungan antara data hujan observasi BMKG dengan data hujan satelit terkoreksi.
Gambar 5.
Peta Sebaran Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah
Curah hujan tahunan di Provinsi Jawa Tengah berkisar antara 1.500 mm hingga 6.000 mm. Curah hujan tahunan yang paling rendah (1.500-2.000 mm) dominan berada pada wilayah Jawa Tengah bagian pesisir utara yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Pati bagian timur, Kabupaten Rembang, dan Kabupaten Blora. Curah hujan rendah (1.500-2.000 mm) juga terdapat di sebagian wilayah selatan Provinsi Jawa tengah yang berbatasan dengan Provinsi DIY Yogyakarta, yaitu Kabupaten Wonogiri, sebagian wilayah Kabupaten Sukoharjo, dan sebagian wilayah Kabupaten Klaten. Curah hujan tahunan yang tinggi (diatas 4000 mm) terdapat pada wilayah Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan daerah dataran tinggi yaitu di bagian selatan Kabupaten Pekalongan, bagian utara Kabupaten Purbalingga, bagian utara Kabupaten
Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Temanggung.
Suhu udara yang dipetakan merupakan data suhu udara gabungan dari data observasi BMKG dengan data suhu udara satelit yang telah dikoreksi. Suhu udara bulanan rata-rata di Jawa Tengah berkisar antara 24,50C-28,50C yang terbagi ke dalam 8 kelas suhu udara (Gambar 6). Tiga kelas suhu udara terendah antara 24,50C-26,00C secara umum terjadi di daerah dataran tinggi yang terletak di bagian tengah sampai barat Provinsi Jawa Tengah yaitu di daerah Banyumas, sebagian kecil Tegal, sebagian kecil Brebes, sebagian kecil Cilacap, wilayah Pekalongan, Banjarnegara, Wonosobo, Magelang, dan daerah tenggara yaitu Wonogiri.
Gambar 6.
Peta Sebaran Suhu Udara di Provinsi Jawa Tengah
Suhu udara tertinggi tercatat di daerah pesisir pantai utara Jawa Tengah yaitu di Kota Tegal, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, dan Jepara. Terdapat juga tiga kelas suhu udara dominan di wilayah Jawa Tengah yaitu 26,00C-27,50C yang menutupi wilayah Jawa Tengah bagian tengah ke arah barat dan selatan serta bagian pesisir utara dan timur. Suhu udara tertinggi (28,00C-28,50C) hanya terjadi di wilayah yang sempit di daerah Kudus bagian tengah.
Berdasarkan peta sebaran di atas, suhu udara tahunan memiliki nilai yang lebih rendah pada dataran tinggi dibandingkan pada wilayah dataran rendah atau pesisir. Peningkatan ataupun penurunan suhu udara dapat disebabkan oleh pengaruh ketinggian tempat, lamanya penyinaran matahari, dan dapat dipengaruhi aktivitas manusia sehari hari.
Jumlah bulan basah di wilayah Jawa Tengah terbagi menjadi enam kelas (Gambar 7). Klasifikasi bulan basah berdasarkan kriteria bulan dengan curah hujan diatas 200mm/bulan (BBSDLP, 2016). Nilai bulan basah terendah adalah 3 bulan dalam setahun yang terdapat di wilayah Pati. Nilai bulan basah tertinggi adalah 9 bulan selama setahun yang terdapat pada wilayah perbatasan wilayah Pekalongan-Banjarnegara serta wilayah pesisir Cilacap. Daerah dengan jumlah bulan basah 5-6 bulan pertahun mendominasi wilayah pesisir utara hingga ke timur dan selatan. Provinsi Jawa Tengah bagian utara dan timur didominasi oleh wilayah dengan jumlah bulan basah antara 4-5 bulan pertahun. Wilayah dengan jumlah bulan basah 7-8 bulan pertahun di dominasi oleh wilayah Jawa Tengah bagian selatan-barat.
Gambar 7.
Peta Sebaran Bulan Basah di Provinsi Jawa Tengah
-
3.8 Sebaran Kelas Kesesuaian Agroklimat Tanaman Jagung di Provinsi Jawa Tengah
Tiga faktor iklim yaitu faktor curah hujan, suhu udara, dan bulan basah kemudian digabungkan untuk melihat
tingkat kesesuaian agroklimat pada tanaman jagung di Provinsi Jawa Tengah. Hasil kesesuaian agroklimat tanaman jagung ditampilkan pada Tabel 3 dan Gambar 8.
Tabel 3. Luasan Wilayah Kelas Kesesuaian Agroklimat Jagung di Provinsi Jawa Tengah
Kesesuaian |
Luas area (ha) Persentase Keterangan |
S2tc,wa |
Cukup sesuai, faktor pembatas utama 156.302,17 5% ketersediaan air |
S3wa |
Sesuai marginal, faktor pembatas utama 1.277.813,53 37% ketersediaan air |
Nwa |
Tidak sesuai, faktor pembatas utama 2.008.673,49 58% ketersediaan air |
Jumlah |
3.442.789,19 100% |
Gambar 8.
Sebaran Kelas Kesesuaian Agroklimat Tanaman Jagung di Provinsi Jawa Tengah
Sebaran kelas kesesuaian agroklimat tanaman jagung di Provinsi Jawa Tengah berada pada kelas kesesuaian S2wa,tc, S3wa, dan Nwa. Sebagian besar wilayah Provinsi Jawa Tengah terutama di bagian barat dan tengah termasuk ke dalam kategori kesesuaian agroklimat yang tidak sesuai untuk tanaman jagung dengan faktor pembatas utama adalah ketersediaan air (Nwa). Kelas kesesuaian ini menutupi wilayah seluas dua juta hektar atau sekitar setengah wilayah Provinsi Jawa Tengah. Ketersediaan air tersebut berupa jumlah curah hujan yang tinggi di atas 2.300 mm/tahun dan atau jumlah bulan basah di atas 8 bulan per tahun, dimana kondisi ini sangat berat atau sulit untuk diatasi.
Kriteria kesesuaian agroklimat berikutnya yang memiliki tutupan wilayah terluas kedua adalah kategori sesuai
marjinal dengan faktor pembatas ketersediaan air (S3wa). Kelas kesesuaian ini memiliki tutupan wilayah lebih dari sepertiga wilayah Provinsi Jawa Tengah (1.277.813 ha). Hal ini menandakan bahwa sebagain lahan di Jawa Tengah mempunyai faktor pembatas berupa curah hujan dan hari hujan yang berat. Faktor pembatas berupa curah hujan antara 1.900-2.300 mm/tahun dan terdapat bulan basah antara 7-8 bulan per tahun dapat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman jagung jika ditinjau dari segi iklimnya saja. Modal yang tinggi diperlukan untuk menanggulangi faktor pembatas ketersediaan air, sehingga bantuan pihak pemerintah atau pihak swasta diperlukan dalam kondisi ini.
Tingkat kesesuaian agroklimat paling bagus di Jawa tengah adalah cukup sesuai dengan pembatas suhu udara dan
ketersediaan air (S2tc, wa) yang hanya mencakup sedikit wilayah yaitu di sebagian kecil Pati, Rembang, Blora, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri. Kelas kesesuaian ini hanya mencaku sekitar 5% dari luas Provinsi Jawa Tengah atau sekitar 156.302 ha. Faktor pambatas berupa suhu udara dan ketersesiaan air dapat diatasi oleh petani sendiri karena tidak membutuhkan modal yang besar.
Provinsi Jawa Tengah memiliki faktor pembatas utama berupa kelebihan air jika ditinjau dari segi iklimnya. Namun faktor pembatas tersebut tidak menyebabkan wilayah Provinsi Jawa Tengah mempunyai tingkat produktivitas jagung yang kecil. Tingginya tingkat produktivitas jagung di Provinsi Jawa Tengah dapat tercapai karena berbagai faktor lain misalnya kondisi tanah, pemupukan, pemilihan bibit yang baik, dan irigasi serta drainase yang baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Kinayungan et al. (2022) juga menunjukkan kesesuaian hujan pada tanaman jagung di Jawa Tengah di Kabupaten Blora berada pada kriteria S2wa dengan faktor pembatas kelebihan hujan. Menurutnya, kesesuaian lahan memiliki potensi untuk ditingkatkan dengan melakukan perbaikan pada faktor pembatasnya, misalnya dengan pembuatan saluran pembuangan air. Penelitian lain dilakukan oleh Hapsari (2011) di Kabupaten Grobogan. Grobogan merupakan salah satu kabupaten penghasil jagung terbesar di Jawa Tengah (BPS, 2021), namun untuk kesesuaian iklimnya menunjukkan kelas kesesuaian S3wa (kelebihan hujan). Sistem pengairan yang dalam dapat dilakukan sebagai upaya agar curah hujan yang tinggi tidak menurunkan produksi jagung.
Adaptasi dan penanganan terhadap faktor pembatas iklim merupakan salah satu upaya peningkatan produksi tanaman jagung di Provinsi Jawa Tengah. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan
melakukan penerapan pola tanam yang sesuai, pemilihan varietas unggul, pengaturan irigasi ataupun drainase juga dengan pengendalian hama yang baik. Penentuan pola tanam dilakukan dengan memperhatikan ekosistem untuk menyesuaiakan teknik budidaya tanaman, varietas yang akan ditanam, dan waktu tanam yang disesuaiakan dengan kondisi agroklimat. Menurut Bunyamin dan Aqil, 2010 penerapan pola tanam dengan sistem tanaman sisipan dapat diterapkan pada pertanian lahan kering dengan musim hujan yang pendek. Teknik sisipan dilakukan untuk mempersingkat masa tanam pada musim hujan dengan menyisipkan tanaman baru sebelum tanaman lama dipanen.
Pertumbuhan tanaman jagung yang terhambat karena pembusukan akar dapat disebabkan karena kelebihan air (Wirosoedarmo et al., 2011) sehingga dibandingkan dengan menanam jagung, petani disarankan menanam padi pada awal musim hujan. Awal musim kemarau merupakan waktu yang baik untuk awal tanam jagung karena pada awal musim kemarau ketersediaan air masih cukup dan pada saat masa hidup jagung tidak menerima terlalu banyak air. Pengaturan sistem irigasi dan drainase juga merupakan hal untuk dapat mengatasi faktor keterbatasan iklim yang terjadi. Pengaturan sistem drainase dapat dilakukan untuk mengatasi resiko kelebihan air. Selain itu, efisiensi penggunaan air untuk memaksimalkan produksi dilakukan dengan pengaturan sistem irigasi yang baik (Rejekiningrum dan Kartiwa, 2015).
Penanaman jagung varietas unggul yang sesuai dengan lingkungan (tahan air ataupun tahan kekeringan) merupakan faktor lain untuk meningkatkan produksi tanaman. Pemilihan varietas jagung umur pendek dapat dilakukan agar mengurangi pengaruh perubahan iklim karens panen dapat dilakukan lebih cepat.
Kesesuaian lahan merupakan tingkat kondisi kesesuaian sebidang lahan untuk penggunaan tertentu dimana kesesuaian agroklimat merupakan bagiannya. Kesesuaian lahan terdiri dari kesesuaian lahan aktual yang merupakan keadaan saat ini saat lahan belum diberikan masukan-masukan untuk mengatasi kendalanya sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kecocokan lahan setelah diadakan perbaikan (masukan-masukan untuk mengatasi kendala).
Tingkat validitas data satelit GSMaP dengan resolusi temporal dari satu jam dan resolusi spasial 11,06 km x 11,06 km terhadap curah hujan pengamatan menunjukkan nilai yang valid dengan nilai r>0,89, RSME antara 28,16 sampai 246,45 dengan rata-rata 69,83, serta MBE -6,1 sampai -217,71 dengan rata-rata 57,59. Tingkat validitas data suhu udara rata-rata harian dari produk satelit Terra MODIS dengan resolusi spasial 1000m menunjukkan nilai yang valid dengan nilai r = 0,91, RMSE = 1,66, dan MBE = 1,53. Hal tersebut menunjukkan adanya kesesuaian pola hujan bulanan dan suhu udara satelit dengan data pengamatan pada periode tahun 2001-2020.
Kondisi iklim di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan data observasi BMKG dan estimasi data citra satelit memiliki curah hujan tahunan sebesar 1.500 mm/tahun hingga 6.000 mm/tahun dengan sebaran curah hujan tahunan terendah dominan di wilayah Jawa Tengah bagian pesisir utara dan curah yang tertinggi terdapat pada wilayah bagian tengah yang merupakan daerah dataran tinggi. Kondisi rata-rata suhu udara tahunan berkisar antara 24,9oC-28,1oC dimana suhu udara terendah terjadi di daerah dataran tinggi. Kondisi bulan basah dominan 5-6 bulan, bulan basah terendah adalah 3 (tiga) bulan
dan tertinggi adalah 9 (sembilan) bulan dalam setahun.
Sebaran kelas kesesuaian agroklimat pada tanaman jagung di Provinsi Jawa Tengah berada pada kategori cukup sesuai (S2wa,tc), sesuai marginal (S3wa), dan tidak sesuai (Nwa). Kelas kesesuaian agroklimat kategori cukup sesuai (S2wa,tc) seluas 156.302 ha, sesuai marginal (S3wa) dengan luas 1.277.813 ha, dan tidak sesuai (Nwa) dengan luas 2.008.673 ha.
Persamaan koreksi data satelit GSMaP dan data satelit Terra MODIS dapat digunakan untuk mencari data hujan dan suhu udara pada daerah tanpa pengamatan darat/pos pengamatan BMKG.
Pemetaan kelas kesesuaian
menggunakan pedoman kelas kesesuaian lain atau menggunakan metode nilai pembobotan dan skor dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan. Berbeda dengan metode matching dimana kelas ketidaksesuaian terberat menjadi faktor pembatas, metode bobot skor memperhitungkan tingkat pengaruh setiap parameter iklim tersebut memiliki kekuatan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman jagung.
Peta kesesuaian agroklimat tanaman jagung di Provinsi Jawa Tengah ini hanya meninjau dari kesesuaian lahan aktual yang ditinjau dari faktor iklimnya saja, sehingga belum dapat digunakan sebagai acuan kesesuaian lahan sepenuhnya. Pemetaan kesesuaian lahan untuk tanaman jagung yang melibatkan semua unsur (agroklimat, sifat fisik, morfologi dan kimia tanah) perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Jawa Tengah.
https://jateng.bps.go.id/indicator/5 3/1765/1/luas-panen-jagung-dan-kedelai-menurut-kabupaten-kota-
di-provinsi-jawa-tengah.html. Diakses tanggal 03 Maret 2022.
Guilford, J.P. 1973. Fundamental Statistic in Psychology and Education. New York: mc graw-hill book company.
Kinayungan, A.J., Budiyanto, S. and Karno, K. 2022. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pangan di Kecamatan Bogorejo Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Jurnal AGROHITA: Jurnal
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah
Tapanuli Selatan. 7(3):570-578.
Mardawilis E, Ritonga. 2016. Pengaruh Curah Hujan terhadap Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Naskah Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. 2: 281-289.
Rahman. 2020. Validasi Performa Satelit Presipitasi GSMaP dalam
Mengestimasi Curah Hujan di Jabodetabek. Jurnal Widya Climago. 2(2):77-85.
Rejekiningrum P, Kartiwa B. 2015. Upaya Meningkatkan Produksi Tanaman Jagung Menggunakan Teknik Irigasi Otomatis di Lahan Kering Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Naskah Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 1:8.
Setiyoko, A., Osawa, T., dan Nuarsa, I. W. Evaluation of GSMaP Precipitation Estimates Over Indonesia. Int. J. Environ. Geosci| Vol 3.1 (2019):26-43.
Wan, Z. 2014. New refinements and validation of the collection-6 MODIS land-surface
temperature/emissivity product. Journal Remote Sensing of Environment. 140:36-45.
Wan, Z., Zhang, Y., Zhang, Q., & Li, Z. L. 2004. Quality assessment and validation of the MODIS global
land surface temperature.
International Journal of Remote Sensing. 25(1):261-274.
Wang W., B. Vinocur, A. Altman. 2003. Plant Responses to Drought, Salinity and Extreme
Temperatures: Towards Genetic Engineering for Stress Tolerance. Planta. 218:1-14.
Wang, X., Xie, H., Liang, T., and Huang, X. 2009. Comparison and validation of MODIS standard and new combination of Terra and Aqua snow cover products in northern Xinjiang, China.
Hydrological Processes: An
International Journal. 23(3):419-429.
Wardani, R. T., & Sukojo, B. M. 2012. Analisa Perbandingan Konsentrasi Klorofil Antara Citra Satelit Terra dan Aqua/Modis Ditinjau dari Suhu Permukaan Laut dan Muatan Padatan Tersuspensi (Studi Kasus: Perairan Selat Madura dan Sekitarnya). Geoid. 8(1):8-74.
Putranto, W.W., Nuarsa I.W., Kartini, N.L., Yuda, I.W., Wiratmaja, I.M. 2022. Pemetaan Zona Agroklimat Schmidt Ferguson Menggunakan Data Stasiun Pengamatan Hujan dan Produk Data Satelit IMERG di Provinsi Bali. Ecotrophic.
16(2):244-253.
Wirosoedarmo, R., Sutanhaji, A. T., Kurniati, E., dan Wijayanti, R. 2011. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman jagung
menggunakan metode analisis spasial. Agritech. 31(1).
Yuda, I.W.A., Prasetia, R., As-syakur, A.R., Osawa, T., Nagai, M. 2020. An assessment of IMERG rainfall products over Bali at multiple time scale. E3S Web of Conferences 153.
26
ECOTROPHIC • 17(1): 14-26 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN: 2503-3395
Discussion and feedback