PROFIL BEBERAPA KOMUNITAS PERAIRAN TELUK BANYUWEDANG
on
ECOTROPHIC • VOLUME 16 NOMOR 1 TAHUN 2022
p-ISSN:1907-5626,e-ISSN: 2503-3395
PROFIL BEBERAPA KOMUNITAS PERAIRAN TELUK BANYUWEDANG
I Made Sara Wijana1*), Ni Made Ernawati2)
1)Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana 2)Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana
*Email: [email protected]
ABSTRACK
Profile of Some Water Communities of Banyuwedang Bay
Banyuwedang Bay is located in the West Bali National Park (TNBB), which is part of the conservation area. There were a lot of tourism activities developed in this area, which potentially caused disruption of the surrounding water conditions. This study aims to determine the profile of various communities in the waters of Banyuwedang Bay and as initial data to see the development of these communities due to the environmental impacts of various activities in the waters and coastal area of Banyuwedang Bay. Data was collected from five observation stations including: Community structure of Plankton, Macrozoobenthos, and seagrass, and coral reef cover. Result shows that the phytoplankton community consist of 9 genera where Nitzschia sp. (Bacillariophyceae) as the dominant species found. Phytoplankton have low diversity index ranging between 0.348 - 1.411. Zooplankton diversity index also has low value 0.693 with three genera found namely Copepoda sp., Nauplius sp. and Daphnia sp. Macrozoobenthos community is composed of 17 macrozoobenthos genera, with low diversity index ranging between 0.562-1.809. There are only two species of seagrass, Halophila ovalis and Cymodocea rotundata, which were found in Banyuwedang Bay. Coral reef cover seems to be ranged from poor to good conditions, with 25% - 73% coverage. Based on the result, we concluded that the Banyuwedang Bay has a moderate condition to the growth of plankton and seagrass, but good for coral reefs. Periodic monitoring is needed to find out changes in conditions that can occur in Banyuwedang Bay.
Keywords: Banyuwedang Bay; community structure; macrozoobenthos
Perairan laut Teluk Banyuwedang berada di wilayah Desa Pejarakan, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng Bali, merupakan bagian dari Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang telah ditetapkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995. Teluk ini memiliki beberapa komunitas unik seperti komunitas mangrove, komunitas
karang, komunitas lamun, komunitas zooplankton dan fitoplankton. Selain itu, tempat wisatawan seperti pemandian air panas telah menjadi objek wisata di Banyuwedang yang menarik wisatawan hingga 36,22 % dari jumlah wisatawan di Kabupaten Buleleng (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, 2015). Objek wisata lain yang populer juga ada di Teluk Banyuwedang seperti wisata Pantai Pasir Putih. Beberapa hotel dan resort berada di sekitar pesisir.
Kegiatan usaha yang berada di Banyuwedang adalah Pengusahaan Pariwisata Alam (resort) dan Wisata Bahari (diving, snorkeling, canoing), bird watching, dan jungle tracking (Mahmud dkk., 2015). Teluk Banyuwedang, selain memiliki komunitas perairan yang unik juga memiliki sedikit pasir putih dan pemandangan yang sangat indah dan nyaman yang diminati oleh wisatawan mancanegara. Wilayah pesisir di Teluk Banyuwedang, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak merupakan batas TNBB yang telah berkembang beberapa usaha akomodasi wisata, yaitu Menjangan Dynasty Resort, Naya Gawana Resort and Spa, dan Mimpi Resort Menjangan. Perairan laut Teluk Banyuwedang yang berada pada TNBB sebagai daerah konservasi, namun disisi lain berkembang kegiatan pariwisata baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan, maka kondisi berbagai komunitas di perairan Teluk Banyuwedang perlu diamati secara berkala.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil beberapa komunitas di perairan Teluk Banyuwedang dan sebagai data awal untuk melihat perkembangan komunitas tersebut, akibat dampak lingkungan dari berbagai kegiatan di perairan dan pesisir Teluk Banyuwedang. Data diambil berupa struktur komunitas plankton, makrozoobentos dan lamun, serta data tutupan terumbu karang. Luaran dari penelitian ini berupa nilai indeks struktur komunitas dari plankton, makrozoobentos dan lamun, serta data persentase tutupan karang, yang dapat memberikan informasi terkait kondisi umum perairan di Teluk Banyuwedang.
Pengamatan beberapa komunitas perairan dilakukan di Teluk Banyuwedang yang dilaksanakan pada bulan Februari 2021. Pengamatan dilakukan pada lima titik sebagai stasiun (Gambar 1).

Gambar 1.
Lokasi Penelitian dengan 5 Stasiun yang Ditunjukkan dengan Titik Warna Merah
-
a) Metode sampling
Pengambilan contoh komunitas plankton dilakukan dengan metode cuplikan, yaitu dengan menyaring air laut sebanyak 200 liter, dengan jaring plankton (plankton net nomor 25). Air contoh yang terkumpul/tersaring dalam satu botol dengan volume 100 ml diawetkan dengan larutan Formalin 4%, dan Lugol 75%, untuk selanjutnya dilakukan identifikasi dan perhitungan kelimpahannya secara mikroskopis di laboratorium Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.
-
b) Metode analisis plankton
Kelimpahan Plankton dapat dihitung dengan rumus APHA (2005):
N= (1)
BDE v 7
Keterangan:
-
A: Jumlah kotakan pada Sadgwich
Rafter (1000 kotak)
-
B: Jumlah kotakan yang diamati (1000 kotak)
-
C: Volume air sampel yang tersaring D: Volume air sampel yang diamati N: Kelimpahan
-
n: Jumlah individu perlapang pandang E: Volume air yang disaring
-
a) Metode sampling
Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggali substrat dasar perairan seluas 1 x 1 m menggunakan skop sebanyak 25 kali ulangan dan dikompositkan. Selanjutnya substrat tersebut disaring dengan ayakan (mata
saringan 1 mm2). Benthos yang tertangkap diawetkan pada larutan alkohol 70% atau formalin 5%, selanjutnya dilakukan identifikasi di laboratorium Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana. Identifikasi makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan acuan dari Robin (2008) yang berjudul Encyclopedia of Marine Gastropods, buku acuan dari Dharma (1998) yang berjudul Resent and Fossil Indonesia Shells dan buku acuan dari Johnson dan Allen (2012) “Zooplankton of the Atlantic and Gulf Coasts”: A Guide Their Identification and Ecology Second Edition, dan dan melalui situs internet www.marinespecies.org.
-
b) Metode analisis data
-
• Kelimpahan jenis
Kelimpahan jenis makrozoobentos dihitung menggunakan persamaan Brower dan Zar (1984), sebagai berikut:
Di = (2)
Keterangan:
Di: Kerapatan jenis (i) (ind/m2) ni : Jumlah total individu jenis i A : Jumlah luas area pengukuran
-
• Indeks Keanekaragaman
Perhitungan keanekaragaman lamun dilakukan dengan menggunakan indeks ’
Shannon-Wiener (H ) dengan rumus sebagai berikut (Krebs 1985) dengan pembagian kategori sesuai dengan Tabel 1.
H' =-∑f=1pi ln pi (3)
Keterangan :
H’: indeks keanekaragaman Shannon– Wiener pi: ni/N
ni: jumlah individu ke-i
N: jumlah total individu
Tabel 1. Tingkat Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman |
Kategori |
H’ ≤ 1 |
Tingkat keanekaragaman rendah |
1 ≤ H’ ≤ 3 |
Tingkat keanekaragaman sedang |
H’ > 3 |
Tingkat keanekaragaman tinggi |
• Indeks Keseragaman
Perhitungan indeks keseragaman makrozoobenthos menggunakan rumus Pielou (1975) sebagai berikut:
=
Hi
H max
(4)
Keterangan :
-
E: Indeks keseragaman jenis
H’: Indeks keanekaragaman ShannonWiener
H max: Nilai keanekaragaman
maksimum (ln S)
-
S: Jumlah spesies
Tabel 2. Tingkat Keseragaman
Nilai Keseragaman (E) |
Kategori |
0 ≤ E ≤ 0,5 |
Keseragaman rendah |
0,5 < E ≤ 0,75 |
Keseragaman sedang |
E > 0,75 |
Keseragaman tinggi |
-
• Indeks Dominansi
Perhitungan indeks dominasi diperlukan untuk mengetahui tingkat dominasi suatu spesies di perairan dengan rumus sebagai berikut (Zumpe dan Michael, 1986) :
C =∑i=ι P^2 (5)
Keterangan:
C : Indeks dominansi
P : ni/N
ni : Jumlah individu jenis ke-i
N : Jumlah total individu dari seluruh jenis.
Tabel 3. Kriteria Indeks Dominansi
No. |
Indeks Dominansi |
Kondisi |
1. |
0 < C ≤ 0,5 |
Dominansi rendah |
2. |
0,5 < C ≤ 0,75 |
Dominansi sedang |
3. |
0,75 < C ≤ 1,0 |
Dominansi tinggi |
-
a) Metode sampling
Pengamatan lamun dilakukan menggunakan metode transek kuadrat berukuran 50×50 cm. Transek tersebut dibagi menjadi 9 plot sehingga setiap plot menjadi berukuran 16,67x16,67 cm. Identifikasi jenis dan penghitungan jumlah tegakan lamun dilakukan pada 5 plot seperti pada Gambar 2.
Pengamatan terhadap luas tutupan lamun menggunakan metode seagrass percent standards dengan melakukan estimasi persentase luas tutupan lamun pada setiap transek kuadran (McKenzie et al., 2003) seperti Gambar 3.

Gambar 3.
Estimasi Persentase Tutupan Lamun Sumber: (McKenzie et al., 2003)
-
b) Metode analisis data
-
• Kerapatan Lamun
Kerapatan jenis yaitu jumlah individu di dalam satu area pengukuran. Berikut merupakan rumus dari kerapatan jenis (Gosari dan Haris, 2012):
Di = ni
A
(6)
Keterangan:
Di: Kerapatan jenis (i) (ind/m2) ni : Jumlah total individu jenis i A : Jumlah luas area pengukuran
Tabel 4. Kondisi Lamun Berdasarkan
Kerapatan | ||
No. |
Kerapatan Lamun (Ind/m2) |
Kondisi |
1. |
<25 |
Sangat jarang |
2. |
25-75 |
Jarang |
3. |
75-125 |
Agak rapat |
4. |
125-175 |
Rapat |
5. |
>175 |
Sangat rapat |
Sumber: (Haris dan Gosari, 2012)
tutupan lamun dan tutupan makro alga. Penutupan lamun merupakan estimasi persentase luasan dalam plot transek yang tertutupi lamun. Persentase tutupan lamun adalah proporsi luas substrat yang ditutupi vegetasi lamun dalam satu satuan luas yang diamati tegak lurus dari atas (Brower et al., 1990). Data estimasi yang didapat pada setiap plot kemudian di rata-rata per stasiun pengamatan. Persentase penutupan lamun dikategorikan atas nilai- nilai seperti pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Kondisi Padang Lamun
• Persentase Tutupan Lamun
Estimasi persentase tutupan pada ekosistem lamun dilakukan terhadap
Berdasarkan Persentase
Tutupan
Kondisi |
Penutupan (%) |
Baik Kaya/Sehat |
≥60 |
Kurang Kaya/Kurang | |
Rusak Sehat |
30-59.9 |
Miskin |
≤29.9 |
Sumber: KepMen LH 2004
-
a) Metode pengamatan
Metode yang digunakan untuk melihat kondisi terumbu karang yaitu metode Line Intercept Transect (LIT). Keunggulan metode LIT yaitu dapat memonitor kondisi terumbu karang secara detail, penyajian struktur komunitas seperti persentase penutupan karang hidup ataupun karang mati, ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh serta dapat
menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang (Suharsono, 1994).
Pengambilan data karang dilakukan pada kedalaman 3 m dan 7 m. Transek garis menggunakan rol meter sepanjang 50 m yang diletakkan sejajar dengan garis pantai. Penentuan titik pada kedalaman 3 m dan kedalaman 7 m dikarenakan terumbu karang hidup optimal pada kedalaman 3-10 m. Prosedur pengambilan data tutupan karang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4.
Prosedur kerja (Sumber: English et al., 1994)
Penyelam bergerak sepanjang garis transek dan mencatat jenis pertumbuhan. Obyek yang diamati karang keras (hard
coral), karang lunak (soft coral), karang mati (death coral), fauna lain (others) sesuai pada Gambar 5.

Gambar 5.
Identifikasi terumbu karang (Sumber: English et al., 1994)
Semua bentuk pertumbuhan karang dan biota yang terletak di bawah transek dicatat. Dari jenis-jenis karang tersebut dapat dihitung jumlah dan panjangnya, kemudian dapat dihitung nilai indeks keragamannya. Selanjutnya jenis karang yang tidak diketahui namanya diambil fotonya dengan menggunakan kamera bawah air untuk diidentifikasi lebih lanjut menggunakan buku (Veron, 2000).
-
b) Metode Analisis Data Karang
Analisis data meliputi perhitungan penutupan karang. Perhitungan penutupan karang diketahui dengan persamaan berikut menurut English et al. (1994).
Hasil identifikasi jenis fitoplankton yang ditemukan di 5 stasiun pengamatan Teluk Banyuwedang ditemukan sebanyak 9 genus fitoplankton yang terdiri dari
Persentase tutupan =
Panjang kategori tutupan ( cm )
Panjang transek ( cm)
X 100%
(7)
Kategori tutupan karang dan bentuk pertumbuhan terumbu karang menurut Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang pada Peraturan Gubernur Bali No.16 Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kategori tutupan karang hidup | ||
No. |
Kategori |
Tutupan Karang (%) |
1. |
Baik Sekali |
75 – 100 |
2. |
Baik |
50 – 74.9 |
3. |
Sedang |
25 – 49.9 |
4. |
Buruk |
0 – 24.9 |
genus Amphipleura, Nitzchia, Tabellaria, Amphora, Synedra, Oschillatoria, Navicula, Skeletonema dan Cyclotella. Data kelimpahan dari kelima stasiun menunjukkan bahwa stasiun 4 memiliki jumlah kelimpahan jenis terbanyak yakni 336,7 Sel/Liter dan stasiun 3 memiliki jumlah kelimpahan jenis paling rendah yakni 14,9 sel/Liter (Gambar 6).
Kelimpahan Fitoplankton (Sel/Liter)

■ Stasiun 1 ■ Stasiun 2 ■ Stasiun 3 ■ Stasiun 4 ■ Stasiun 5
Gambar 6.
Kelimpahan Fitoplankton antar Stasiun di Teluk Banyuwedang
Secara deskriptif, Stasiun 1 dan Stasiun 4 memiliki kelimpahan jenis fitoplankton lebih tinggi dibanding dengan 3 stasiun dan lainnya. Hal ini disebabkan karena pada lokasi dua stasiun tersebut ditemukan komunitas pohon mangrove yang masih tumbuh dengan baik dan memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya. Terlebih pada Stasiun 4 merupakan lokasi yang tidak terlalu banyak terdampak aktivitas manusia, berbeda dengan Stasiun 3 yang memiliki kelimpahan jenis paling rendah. Hal ini disebabkan Stasiun 3 lokasinya sangat dekat dengan restoran dan banyak dilewati oleh kapal-kapal wisatawan yang akan menuju lokasi biorock untuk aktivitas selam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartoko (2013), adanya aktivitas transportasi kapal juga dapat menyebabkan tingginya nilai Material Padatan Tersuspensi (MPT). MPT di perairan dapat berpengaruh terhadap
kualitas air dan organisme akuatik, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti kematian dan menurunnya produksi (Hartoko, 2010).
Berdasarkan hasil yang didapatkan (Tabel 7), persebaran jenis-jenis fitoplankton pada setiap stasiun, memiliki persebaran yang tidak merata, namun jenis Nitzchia sp. Merupakan jenis fitoplankton yang ditemukan hampir di semua stasiun kecuali Stasiun 3. Diketahui Nitzchia sp. merupakan bagian dari kelas Bascillariaophyceae dimana menurut Thoha & Amri (2011), plankton dari kelas ini memiliki tingkat adaptasi yang tinggi dengan ketahanan hidup di berbagai perairan termasuk yang memiliki kondisi ekstrim. Bascillariaophyceae merupakan kelas plankton bersifat kosmopolit, dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrem, serta memiliki tingkat reproduksi yang tinggi (Siregar dkk, 2008; Hejduková dkk, 2019).
Tabel 7. Komposisi jenis dan Nilai Indeks Biologis Komunitas Fitoplankton di Perairan Teluk Banyuwedang, Singaraja, Bali
FITOPLANKTON |
Kelimpahan (Sel/Liter) | |||||
No |
Genus |
Stasiun 1 |
Stasiun 2 |
Stasiun 3 |
Stasiun 4 |
Stasiun 5 |
1 |
Amphipleura sp. |
47,9 |
- |
- |
- |
- |
2 |
Nitzchia sp. |
82,5 |
5 |
- |
1,7 |
8.3 |
3 |
Tabellaria sp. |
3,3 |
- |
- |
- |
- |
4 |
Amphora sp. |
54,5 |
3,3 |
1,7 |
- |
- |
5 |
Synedra sp. |
75,9 |
- |
- |
- |
- |
6 |
Oscillatoria sp. |
- |
18,2 |
13,2 |
6,6 |
- |
7 |
Navicula sp. |
- |
- |
- |
1,7 |
1,7 |
8 |
Skeletonema sp |
- |
- |
- |
237,6 |
69,3 |
9 |
Cyclotella sp. |
- |
- |
- |
89,1 |
- |
Jumlah Spesies (Taxa) |
5 |
3 |
2 |
5 |
3 | |
Kelimpahan Total (Sel/Liter) |
264,1 |
26,5 |
14,9 |
336,7 |
71 | |
Indeks Keanekaragaman (H') |
1,411 |
0,831 |
0,348 |
0,726 |
0,433 | |
Indeks Keseragaman (E) |
0,278 |
0,299 |
0,158 |
0,136 |
0,111 | |
Indeks Dominansi (D) |
0,255 |
0,523 |
0,802 |
0,568 |
0,776 |
Kestabilan komunitas di suatu perairan dapat dilihat dari nilai indeks biologi nya, seperti Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi. Indeks keanekaragaman komunitas fitoplankton yang ditemukan di Teluk Banyuwedang memiliki kisaran 0,348 - 1,411. Odum (1971) menggolongkan kondisi komunitas berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dengan nilai <2,30 termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi komunitas fitoplankton di Teluk Banyuwedang tidak dalam kondisi yang optimal untuk berkembang.
Indeks keseragaman fitoplankton di Teluk Banyuwedang berkisar antara 0,111- 0,299, yang berarti termasuk dalam kategori rendah. Tingkat keseragaman yang rendah mengindikasikan tidak adanya dominansi suatu jenis plankton, sehingga tingkat biodiversitas perairan tergolong dalam kondisi beragam (Hidayat, 2017). Dengan beragamnya jenis plankton maka kondisi perairan di Teluk Banyuwedang dapat digolongkan dalam kondisi baik.
Indeks dominansi fitoplankton yang ditemukan di Teluk Banyuwedang
memiliki kisaran nilai 0,255 - 0,802. Berdasarkan kriteria indeks dominansi oleh Odum (1996) nilai indeks dominansi komunitas fitoplankton di Teluk Banyuwedang terbagi menjadi 2, yakni di Stasiun 1 tidak ditemukan spesies yang mendominasi, namun dari Stasiun 2 hingga Stasiun 4 termasuk kategori ditemukan jenis yang mendominasi, spesies yang mendominasi di stasiun tersebut adalah Oscillatoria sp. yang mendominasi di Stasiun 2 dan 3, sedangkan jenis Skeletonema sp mendominasi di Stasiun 4 dan Stasiun 5.
Hasil pengamatan jenis Zooplankton di Teluk Banyuwedang hanya ditemukan di dua stasiun dari lima stasiun yang diamati. Jenis zooplankton yang ditemukan berasal dari genus copepoda, daphnia, dan nauplius. Stasiun yang ditemukan jenis zooplankton nya adalah Stasiun 1 dan Stasiun 3. Jenis zooplankton yang ditemukan di Stasiun 1 adalah Copepod sp. dan Nauplius sp. sedangkan di Stasiun 3 ditemukan jenis Daphnia sp. (Gambar 7).
Kelimpahan Zooplankton (ind/m2)

■ Stasiun 1 ■ Stasiun 2 ■ Stasiun 3 ■ Stasiun 4 ■ Stasiun 5
Gambar 7.
Kelimpahan Zooplankton di Teluk Banyuwedang
Berdasarkan data pengamatan, stasiun 1 memiliki kelimpahan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3, hal ini disebabkan lokasi Stasiun 1 merupakan lokasi yang belum ditemukan aktivitas manusia yang aktif dilakukan, sedangkan Stasiun 3 merupakan lokasi yang dekat dengan restoran sehingga aktivitas manusia sudah banyak dilakukan serta merupakan lokasi yang sering dilalui kapal wisatawan yang bertujuan untuk melakukan rekreasi selam.
Indeks keanekaragaman komunitas zooplankton yang ditemukan di Teluk Banyuwedang (Tabel 2) memiliki kisaran 0 - 0,693 sehingga digolongkan dalam kategori rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi komunitas fitoplankton di Teluk Banyuwedang tidak dalam kondisi yang optimal untuk berkembang.
Sementara itu, Indeks keseragaman zooplankton di Teluk Banyuwedang (Tabel 8) di Stasiun 1 dengan nilai indeks keseragaman 1 menunjukkan keseragaman jenis di lokasi tersebut tinggi, sedangkan di Stasiun 3 dengan nilai indeks keseragaman 0,5 menunjukkan di lokasi tersebut memiliki keseragaman yang sedang. Begitu pun dengan nilai indeks dominansi, dimana stasiun 1 memiliki nilai indeks dominansi sebesar 0,5 yang menunjukkan bahwa ada spesies yang mendominansi di lokasi tersebut, sedangkan di Stasiun 3 dengan nilai indeks dominansi 0,25 menunjukkan bahwa tidak ditemukan spesies yang mendominasi di lokasi tersebut. Sehingga kondisi di stasiun 3 lebih baik untuk menunjang kehidupan dari zooplankton dibandingkan dengan Stasiun 1.
Tabel 8. Komposisi jenis dan Nilai Indeks Biologis Komunitas zooplankton di
Perairan Teluk Banyuwedang, Singaraja, Bali
ZOOPLANKTON |
Kelimpahan (Ind/m2) | |||||
No |
Genus |
Stasiun 1 |
Stasiun 2 |
Stasiun 3 |
Stasiun 4 |
Stasiun 5 |
1 |
Copepoda sp. |
1,7 |
- |
- |
- |
- |
2 |
Nauplius sp. |
1,7 |
- |
- |
- |
- |
3 |
Daphnia sp. |
- |
- |
1,7 |
- |
- |
Jumlah Spesies (Taxa) |
2 |
0 |
1 |
0 |
0 | |
Kelimpahan Total (ind/m2) |
3,4 |
0 |
1,7 |
0 |
0 | |
Indeks Keanekaragaman (H') |
0,693 |
0 |
0,346 |
0 |
0 | |
Indeks Keseragaman (E) |
1 |
0 |
0,5 |
0 |
0 | |
Indeks Dominansi (D) |
0,5 |
0 |
0,25 |
0 |
0 |
Hasil identifikasi jenis makrozoobentos di 5 stasiun pengamatan Teluk Banyuwedang ditemukan sebanyak 17 genus makrozoobentos, yakni dari genus Pegurus, Littoraria, Thalamita, Uca, Ophryotrocha, nereis, Cerithidea, Conus, Amphiporus, Dreissona, Clypeomorus, Nerita, Turbo, Thiara, Brotia, Charonia
dan Cerithium. Persebaran semua genus yang ditemukan, tidak merata. Tidak ditemukan satu spesies yang ditemukan pada lebih dari 2 stasiun pengamatan. Data kelimpahan dari kelima stasiun menunjukkan bahwa stasiun 5 memiliki jumlah kelimpahan jenis terbanyak yakni 124 ind/m2 dan stasiun 2 memiliki jumlah kelimpahan jenis paling rendah yakni 9 ind/m2 (Gambar 8).
Kelimpahan Makrobentos (ind/m2 )

■ Stasiun 1 ■ Stasiun 2 ■ Stasiun 3 Stasiun 4 ■ Stasiun 5
Gambar 8.
Kelimpahan Makrozoobentos di Teluk Banyuwedang
Data hasil identifikasi makrozoobentos di Teluk Banyuwedang (Tabel 9) menunjukkan hasil di Stasiun 5 memiliki kelimpahan jenis yang jauh lebih tinggi dibanding dengan 4 stasiun lain nya, hal ini mungkin disebabkan karena pada lokasi tersebut ditemukan komunitas pohon mangrove yang masih tumbuh dengan baik dan memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya. Terlebih pada Stasiun 5 merupakan lokasi yang tidak terlalu banyak terdampak aktivitas manusia, berbeda dengan Stasiun 2 dan Stasiun 3 yang memiliki kelimpahan jenis paling rendah. Hal ini disebabkan Stasiun 2 yang banyak ditemukan kapal untuk rekreasi pantai ditemukan dan Stasiun 3 lokasinya sangat dekat dengan restoran dan banyak dilewati oleh kapal-kapal wisatawan yang akan menuju lokasi biorock untuk aktivitas selam. Selain itu substrat stasiun 2 dan stasiun 3 cukup berbeda dengan tiga stasiun pengamatan lainnya, dimana stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki substrat yang berpasir dan tidak ditemukan mangrove di sekitar lokasi tersebut, sedangkan substrat tiga stasiun lainnya lebih berlumpur dan masih
ditemukan mangrove di pinggir pantai nya.
Kestabilan komunitas di suatu perairan dapat dilihat dari nilai indeks biologi nya, seperti Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi. Indeks keanekaragaman komunitas makrozoobentos yang ditemukan di Teluk Banyuwedang memiliki kisaran 0,5621,809, sehingga termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi komunitas makrobentos di Teluk Banyuwedang tidak dalam kondisi yang optimal untuk berkembang.
Indeks keseragaman makrozoobentos di Teluk Banyuwedang berkisar antara 0,322 - 0,614 yang berarti masuk dalam kategori rendah hingga sedang. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 1, sedangkan terendah pada stasiun 5. Pada stasiun 4, indeks keseragaman memiliki nilai 0 karena hanya satu spesies makrozoobentos yang ditemukan. Berdasarkan rentang nilai indeks keseragaman, maka Perairan Teluk Banyuwedang dikategorikan masih dalam kondisi baik.
Tabel 9. Komposisi jenis dan Nilai Indeks Biologis Komunitas Makrobentos di Perairan Teluk Banyuwedang, Kecamatan Gerogak Kabupaten Buleleng Bali
MAKROBENTOS |
Kelimpahan (individu/m2) | |||||
No |
Genus |
Stasiun 1 |
Stasiun 2 |
Stasiun 3 |
Stasiun 4 |
Stasiun 5 |
1 |
Pegurus brnhardus |
8 |
- |
- |
- |
- |
2 |
Littoraria scabra |
24 |
- |
- |
28 |
4 |
3 |
Thalamita crenata |
8 |
- |
- |
- |
- |
4 |
Uca perpexa |
4 |
- |
- |
- |
- |
5 |
Ophryotrocha sp |
10 |
- |
- |
- |
- |
6 |
Nereis sp |
4 |
- |
8 |
- |
- |
7 |
Cerithidea obtusa |
4 |
- |
8 |
- |
- |
8 |
Conus Geographus |
- |
4 |
- |
- |
- |
9 |
Amphiporus lactifloreus |
- |
5 |
- |
- |
- |
10 |
Dreissona polymorpha |
- |
- |
12 |
- |
- |
11 |
Clypeomorus batillariaeformis |
- |
- |
20 |
- |
92 |
12 |
Nerita undata |
4 |
- |
- |
- |
4 |
13 |
Turbo stenogyrus |
- |
- |
- |
- |
4 |
14 |
Thiara scabra |
- |
- |
- |
- |
4 |
15 |
Brotia costula |
- |
- |
- |
- |
4 |
16 |
Cerithium echinatum |
- |
- |
- |
- |
4 |
17 |
Nerita planospira |
- |
- |
- |
- |
4 |
18 |
Charonia tritoris |
- |
- |
- |
- |
4 |
Jumlah Spesies (Taxa) |
8 |
2 |
4 |
1 |
9 | |
Kelimpahan Total (ind/m2) |
66 |
9 |
48 |
28 |
124 | |
Indeks Keanekaragaman (H') |
1,809 |
0,562 |
1,308 |
0 |
1,107 | |
Indeks Keseragaman (E) |
0,614 |
0,405 |
0,526 |
0 |
0,322 | |
Indeks Dominansi (D) |
0,202 |
0,625 |
0,291 |
1 |
0,558 |
batillariaeformis mendominasi di Stasiun
Indeks dominansi makrozoobentos yang ditemukan di Teluk Banyuwedang memiliki kisaran nilai 0,202 - 1. Berdasarkan kriteria indeks dominansi oleh Odum (1996) nilai indeks dominansi komunitas makrozoobentos di Teluk Banyuwedang terbagi menjadi 2, yakni di Stasiun 1 dan Stasiun 3 tidak ditemukan spesies yang mendominasi, namun dari Stasiun 2, Stasiun 4 dan Stasiun 5 termasuk kategori ditemukan jenis yang mendominasi, spesies yang mendominasi di stasiun tersebut adalah Conus Geographus dan Amphiporus lactifloreus yang mendominasi di Stasiun 2, sedangkan spesies Clypeomorus |
3 dan Stasiun 5. Penelitian di Teluk Kao, Halmahera Utara, menunjukkan kelimpahan makrozoobentos yang lebih tinggi dibandingkan dengan Teluk banyuwedang yakni mencapai 1917 ind/m2. Tingginya kelimpahan makrozoobentos di Teluk Kao juga berdampak positif terhadap tingginya tingkat keanekaragaman. Meski begitu hal ini juga dapat menyebabkan tingginya tingkat keseragaman dan dominansi yang ditemukan yang berdampak terhadap kondisi perairan (Talib dkk, 2014). Tinggi rendahnya kelimpahan dari makrozoobentos disebabkan oleh kondisi lingkungan sekitar seperti kondisi salinitas |
air laut, keberadaan nutrisi serta jenis substrat pada dasar perairan. Dalam penelitian Ulfa dkk, (2018) melaporkan parameter suhu, salinitas, kekeruhan dan jenis substrat menjadi pengontrol utama dari kelimpahan makrozoobentos.
Dari 5 stasiun pengamatan, hanya stasiun 3 yang ditemukan hamparan lamun yang terdiri dari spesies Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata. Diduga kedua jenis lamun ini dapat ditemukan di Stasiun 3 karena substrat di stasiun tersebut adalah berpasir. Diketahui menurut Yunitha dkk, (2014) menyatakan bahwa lamun jenis Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun yang masih dapat hidup dan berkembang dengan baik di substrat yang berlumpur. Sedikitnya jenis lamun yang
ditemukan, lebih disebabkan oleh substrat yang tidak mendukung tumbuhnya lamun. Substrat di lokasi pengamatan adalah sedikit berpasir tidak ada lapisan lumpur, sehingga lamun yang dapat tumbuh terbatas pada lamun yang tergolong perintis atau pionir. Lamun jenis Halophila ovalis adalah lamun yang termasuk golongan lamun pionir (Rahmawati, 2011; Zurba, 2018). Dibanding dengan lamun di Pantai Sindu, Sanur Bali jenis yang ditemukan jauh lebih banyak yaitu 8 jenis (Wijana dkk., 2019).
Berdasarkan pengambilan dan pengolahan data yang telah dilakukan, didapatkan persentase tutupan karang pada setiap titik pengamatan disajikan sebagai berikut (Gambar 9).
Tutupan terumbu karang

Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun3
Stasiun 4
Stasiun 5
Gambar 9.
Tutupan Terumbu Karang di Teluk Banyuwedang
Persentase tutupan substrat didominasi oleh 2 komponen yakni abiotik dan coral. Abiotik tertinggi dari kelima stasiun terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 67% dibanding stasiun lainnya. Selain abiotik juga terdapat unsur Coral yang mendominasi di area pengamatan. Coral tertinggi terdapat pada stasiun 4 sebesar 76% dibanding stasiun lainnya. Coral yang terdapat di kelima stasiun yaitu bentuk pertumbuhan massive.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001
(KEPMENLH) tentang kreteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, tutupan terumbu karang di dua dari lima stasiun termasuk ke dalam kategori buruk karena hasil tutupan karang (Gambar 4 ) di bawah 25%. Tutupan terumbu karang paling kecil adalah pada stasiun 1 dan stasiun 2, hal ini diduga akibat kondisi dari faktor fisik di stasiun tersebut. Tutupan karang paling tinggi, yaitu pada stasiun 4 dengan tutupan sebesar 73% (Gambar 4). Stasiun 5 dan stasiun 3, dengan life form yang mendominasi yaitu Coral Massive (CM). Kondisi fisik stasiun
1 dan 2 yang diperkirakan berpengaruh terhadap rendahnya tutupan terumbu karang adalah tingkat kekeruhan air. Kekeruhan akan mengakibatkan tertutupnya polip dari terumbu karang dan menghambat proses metabolisme, disamping rendahnya sirkulasi arus diperariran Teluk Banyuwedang. Stasiun 4 dan stasiun 5 terdapat terumbu buatan Biorock, yang secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tergolong dalam kondisi sedang.
Komunitas fitoplankton ditemukan terdiri atas 9 genus, dengan indeks keanekaragaman yang rendah antara 0,348 - 1,411. Jenis Nitzchia sp yang merupakan kelas Bascillariaophyceae memiliki persebaran merata di perairan Teluk Banyuwedang karena memiliki daya adaptasi tinggi. Indeks keanekaragaman zooplankton juga rendah, paling besar adalah 0,693 dengan 3 genus, yaitu Copepoda sp, Nauplius sp dan Daphnia sp.
Komunitas makrozoobentos disusun oleh 17 genus makrozoobentos, yakni dari genus Pegurus, Littoraria, Thalamita, Uca, Ophryotrocha, Nereis, Cerithidea, Conus, Amphiporus, Dreissona, Clypeomorus, Nerita, Turbo, Thiara, Brotia, Charonia dan Cerithium dengan persebaran tidak merata. Indeks keanekaragaman makrozoobentos di Teluk Banyuwedan adalah rendah dengan kisaran nilai antara 0,562- 1,809, sedangkan keseragamannya adalah sedang.
Komunitas lamun yang ditemukan hanya dua jenis yaitu Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata. Ini menandakan bahwa substrat miskin nutrient dan berpasir. Kehadiran Halophila ovalis pada lokasi ini, karena spesies ini tergolong lamun pionir.
Komunitas karang tergolong buruk sampai baik. Tutupan terumbu karang
antara kurang 25% sampai 73%. Tutupan terumbu karan kurang dari 25%, yaitu pada stasiun 1 dan 2. Ini disebabkan oleh tingkat kekuruhan yang tinggi. Kemudian di stasiun 4 dan 5 terumbu karang terdolong baik dengan tutupan 73%. Ini adalah terumbu karang buatan Biorock yang mengalami pertumbuhan cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA
APHA. 2005. Standard Method for The Examination of Water and
Wastewater. 21th Edition. New
York : American Public Health Association Inc. 1368 hal.
Brower, J. E. and J.H.zar. 1984. Field and laboratory methods for ieneral ecology. w. c. Brown, Dubuque, 226 pp
Brower, J. E., J. H. Zar and C. Von Ende. 1990. General Ecology. Field and Laboratory Methods. Wm. C. Brown Company Publisher, Dubuque, Iowa.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia Indonesian Shell. Jakarta. PT. Sarana Graha.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia
Marine Science Project: Living Coastal Resources.
Gosari, B.A.J dan A. Haris. 2012. Studi Kerapatan Dan Penutupan Jenis Lamun Di Kepulauan Spermonde. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 22 (3):156-162
Hartoko, A. 2010. Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan di Indonesia. UNDIP PRESS.
Semarang. ISBN : 978-979-097
053-3. 466 hal.
Hartoko, A. 2013. Oceanographic Characters and Plankton Resources of Indonesia. Graha Ilmu.
Yogyakarta. ISBN : 978-979-756
957-0. 166 hal.
Hejduková, E., Pinseel, E.,
Vanormelingen, P., Nedbalová, L., Elster, J., Vyverman, W., & Sabbe, K. (2019). Tolerance of pennate diatoms (Bacillariophyceae) to experimental freezing: comparison of polar and temperate strains. Phycologia, 58(4), 382-392.
Johnson, W. S., & Allen, D. M. (2012). Zooplankton of the Atlantic and Gulf coasts: a guide to their
identification and ecology. JHU
Press.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Salinan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 200
tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jakarta.
Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution of Abundance. Third edition. Newyork: Haper & Row Publisher.
Mahmud A, A. Saria, R.A. Kinseng, 2015. Zonasi Konservasi untuk Siapa? Pengaturan Perairan Laut Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 18(3):253-267.
McKenzie, L.J. 2003. Guidlines for the Rapid Assessment and Mapping of Tropical Seagrass Habitats. QFS, NFC, Cairns. 46pp.
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh Ir.T. Samingan. Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta
Odum, E. P., & Barrett, G. W. (1971). Fundamentals of ecology (Vol. 3, p. 5). Philadelphia: Saunders.
Pielou, E.C. Ecological Diversity; John Wiley & Sons: New York, NY, USA, 1975; ISBN 0471689254
Rahmawati, S. 2011. Ancaman Terhadap Komunitas Padang Lamun. Oseana. 36 (2):49-58
Robin, A. Encyclopedia of marine gastropods, Ed. IKAN Unterwasser Archive, ConchBooks, 2008.
Siregar, S. H., Mulyadi, A., & Hasibuan, O. J. (2008). Struktur komunitas diatom epilitik (Bacillariophyceae) pada lambung kapal di Perairan Dumai Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan, 2(02), 33-47.
Suharsono, 1994. Metode penelitian terumbu karang. Pelatihan metode penelitian dan kondisi terumbu karang. Materi Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang: 115 hlm.
Talib, N. H., Lumingas, L. J., & Lasut, M. T. (2014). Study on the community structure of macrozoobenthos in Kobok and Kao estuaries, Kao Bay, North Halmahera. AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT, 6270.
Thoha, H., & Amri, K. 2011. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton di perairan Kalimantan Selatan. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2(7), 372-380.
Ulfa, M., Julyantoro, P. G. S., & Sari, A.
H. W. (2018). Keterkaitan komunitas makrozoobentos dengan kualitas air dan substrat di ekosistem mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Journal of Marine and Aquatic Science, 4(2), 179-190.
Veron J.E.N. 2000. Coral of The World. Australian Institute of Marine Science. Towns ville.
Wijana, I.M.S, I.M. Ernawati, M.A. Pratiwi. 2019. Keanekaragaman Lamun Dan Makrozoobentos Sebagai Indikator Kondisi Perairan Pantai Sindhu, Sanur, Bali. Ecotrophic. 13 (2):238-247 |
of relative dominance status in primates. American Journal of Primatology, 10(4), 291-300. Zurba, N. 2018. Pengenalan padang lamun suatu ekosistem yang terlupakan. Unimal Press. Lhokseumawe. |
Zumpe, D., & Michael, R. P. (1986). Dominance index: a simple measure
ECOTROPHIC • 16(1): 106-121 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN: 2503-3395
121
Discussion and feedback