EVALUATION OF WATER QUALITY USING POLLUTION INDEX IN CIMANUK WATERSHED, INDONESIA
on
Kualitas Air Menggunakan Indeks Pencemaran Di DAS Cimanuk, Indonesia
[Andy Wibawa Nurrohman,dkk.]
EVALUASI KUALITAS AIR MENGGUNAKAN INDEKS PENCEMARAN DI DAS CIMANUK, INDONESIA
Andy Wibawa Nurrohman1*), M. Widyastuti 2), Slamet Suprayogi2)
11Program Studi MPPDAS, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 21Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada *Email: [email protected]
ABSTRACT
EVALUATION OF WATER QUALITY USING POLLUTION INDEX IN CIMANUK WATERSHED, INDONESIA
Land use is one of the macro parameters that affects water quality in a watershed. The Cimanuk watershed which is dominated by agricultural land use and settlements has encountered a decline in water quality. There are eight parameters including pH, TDS, TSS, Nitrate, Phosphate, Sulphate, BOD, and COD analyzed to evaluate water quality utilizing the Pollution Index (IP) method. This research has provided a clear understanding of the status of water quality in the Cimanuk watershed based on six monitoring points carried out at the start of the 2018 rainy season. Overall, the IP values obtained ranged from 2.05 to 5.96 with the lightly polluted category at points A, B, C, D and E, while for point F it was in the moderately polluted category. The key parameters that have the most influence on water quality pollution are Nitrate, Phosphate, Sulphate from fertilization activities in agricultural land, while runoff from settlements contribute to increasing parameters of BOD and COD. These results can be beneficial for sustainable management of water and land resources in the Cimanuk watershed.
Keywords: Water Quality; Land Use; Pollution Index; Cimanuk Watershed
Pencemaran air sungai masih menjadi masalah di negara maju dan berkembang yang diakibatkan oleh proses alami dan aktivitas antropogenik. Memburuknya kualitas air sungai telah mengancam pasokan air bersih dan kesehatan ekosistem perairan (Tian et al., 2019). Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang penilaian dan pengelolaan sumberdaya air tawar. Namun, pada proses penilaian kualitas air menghasilkan data yang kompleks, sehingga diperlukan metode yang sederhana untuk menginterpretasikan hasil.
Beberapa tahun terakhir, metode WQI (Water Quality Index) banyak digunakan untuk menilai kualitas air dan hasilnya sangat berguna bagi masyarakat dan pembuat kebijakan (Tian et al., 2019). Metode WQI merupakan instrumen matematis sederhana
yang mengintegrasikan beberapa parameter ke dalam satu angka, sehingga hasilnya dapat dipahami, memberikan gambaran yang komprehensif mengenai status kualitas air dan tidak banyak memakan biaya (Abbasi and Abbasi, 2012; Noori et al., 2019; Tian et al., 2019).
Metode WQI telah banyak dikembangkan di berbagai negara untuk menilai air permukaan, seperti WQImin digunakan di danau Taihu (Wu et al., 2018), NSFWQI di sungai Luanhe (Tian et al., 2019), dan metode Weighted Arithmetic Index di sungai Kolong (Bora and Goswami, 2017). Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia telah mengadopsi dan menggunakan dua indeks kualitas air, yaitu Indeks Storet dan Indeks Pencemaran (IP). Indeks ini banyak digunakan di Indonesia, seperti dalam penelitian (Effendi, 2016; Susanti and Miardini, 2017).
ECOTROPHIC • 13(1):74 - 84 p-ISSN: 1907-5626,e-ISSN:2503-3395
74
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk berfungsi sebagai sistem drainase utama untuk pertanian, perikanan, dan pasokan air bersih untuk wilayah Cirebon dan Indramayu. Perkembangan lahan pertanian untuk mendukung keamanan pangan telah menimbulkan permasalahan terkait penggunaan pupuk kimiawi yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Industri pengolahan batik di Cimanuk Hilir telah menyebabkan pencemaran logam berat kromium yang mengganggu populasi makrozoobentik(Yustiani, Wahyuni and Alfian, 2018) dan industri pengolahan kulit telah menyumbang pencemaran limbah domestik di wilayah Cimanuk Hulu (Sutriati, 2011). Pemantauan kualitas air perlu dilakukan secara terus-menerus untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi status kualitas airdi DAS Cimanuk menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP).
Penelitian ini dilakukan di DAS Cimanuk yang terletak di Jawa Barat antara 07o041’ 00” – 06o023’ 00” LS dan 107o079’ 00” – 108o030’ 05” BT. Wilayah ini mencakup area sebesar 3,753.9 km2 dengan curah hujan tahunan bervariasi dari 1942.5 – 4231.3 mm. Secara administrasi, terdapat empat kabupaten yang tercakup ke dalam wilayah ini yaitu Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu. Berdasarkan data Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Cisanggarung tahun 2003 DAS Cimanuk memiliki lahan kritis sebesar 178.79 ha, dan terbesar terletak di Kabupaten Garut. Banyaknya lahan kritis disebabkan oleh alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang pada umumnya tersebar di wilayah hulu dan tengah DAS Cimanuk. Lahan pertanian inilah yang akan berkontribusi terhadap perubahan kualitas air. Daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1.
Peta Lokasi Penelitian dan Titik Pengambilan Sampel Kualitas Air di DAS Cimanuk, Jawa Barat
Sampel air dikumpulkan pada tahun 2018 pada saat awal musim hujan di enam titik yang sudah ditentukan berdasarkan kerentanan air permukaan (Tabel 1). Titik sampel A terletak di wilayah hulu Cimanuk yang terdapat di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut. Penggunaan lahan yang dominan di titik ini berupa perkebunan campuran, perkebunan, lahan terbangun dan hutan. Di sekitar wilayah ini terdapat industri pengolahan kulit untuk pembuatan sepatu dan tas. Titik B terletak di Kabupaten Sumedang dengan penggunaan lahan yang dominan berupa sawah dan perkebunan campuran. Titik sampel C terletak di Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang yang didominasi perkebunan campuran. Titik sampel D terletak
di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Titik ini didominasi oleh penggunaan lahan permukiman dan perkebunan campuran.
Titik sampel E terletak di hilir DAS Cimanuk yang berada di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Permukiman penduduk mendominasi penggunaan lahan di sekitar wilayah pengambilan sampel. Titik F terletak di hilir DAS Cimanuk, tepatnya di Bendung Rambatan yang terletak di Kabupaten Indramayu. Sawah dan permukiman mendominasi penggunaan lahan di wilayah ini dan banyak saluran dari irigasi pertanian yang dialirkan melalui pipa ke sungai Cimanuk.
Tabel 1. Ringkasan Lokasi dan Koordinat Pengambilan Titik Sampel
Kode No. Sampel |
Koordinat Lokasi E (Longitude) S (Latitude) |
|
107° 49' 5.638" 7° 16' 13.691" Bayongbong 108° 5' 20.284" 6° 56' 52.496" Wado 108° 8' 3.388" 6° 45' 31.786" Tomo 108° 16' 50.663" 6° 43' 24.940" Jatiwangi 108° 17' 48.777" 6° 28' 12.926" Jatibarang 108° 17' 27.272" 6° 23' 28.195" Bendung Rambatan |
Cara pengambilan sampel air didasarkan pada SNI 6989.57:2008 tentang Metode Pengambilan Contoh Air Permukaan dengan parameter yang digunakan yaitu, pH, Total Dissolved Solid (TDS) diukur secara langsung dengan menggunakan alat MultiParameter Testr 35, sedangkan untuk parameter Total Suspended Solids (TSS), Nitrat, Fosfat, Sulfat, Biochemical Oxygen Demand (BOD), dan Chemical Oxygen
Demand (COD) dilakukan di laboratorium. Metode yang digunakan untuk menganalisis parameter kualitas air di laboratorium disajikan pada Tabel 2. Pengambilan sampel air dilakukan dengan tipe sampel sesaat (grab sample). Sampel air dikumpulkan dan disimpan pada suhu rendah sebelum analisis kualitas air di Laboratorium Kesehatan Daerah Jawa Barat.
Tabel 2. Metode Analisis Parameter Kualitas Air di Laboratorium
No. |
Parameter |
Satuan |
Metode SNI |
1. |
TSS (Total Suspended Solids) |
mg/L |
06-6989.3-2004 |
2. |
Nitrat |
mg/L |
Spektrofotometri |
3. |
BOD (Biochemical Oxygen Demand) |
mg/L |
06-2503-1991 |
4. |
COD (Chemical Oxygen Demand) |
mg/L |
06-6989.73-2009 |
5. |
Fosfat |
mg/L |
06-6989.31-2005 |
6. |
Sulfat |
mg/L |
06-6989.20-2009 |
Data kualitas air dianalisis dengan metode Indeks Pencemaran (IP) yang mengacu pada ketentuan dari Kepmen LH No. 115 Tahun 2003 menggunakan baku mutu air kelas2 untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan dan untuk mengairi tanaman. Status mutu air di DAS Cimanuk dihitung menggunakan metode IP dengan persamaan sebagai berikut.
PIj =
CLy l (Lij)max
QLy
2 (Ltyav9
2
(1)
Keterangan:
Pij = Indeks Pencemar bagi peruntukan (j)
Ci = konsentrasi parameter kualitas air hasil pengukuran
Lij = konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam bakumutuperuntukan air (j)
(Cij/Lij)max = Nilai Cij/Lij maksimum (Cij/Lij)avg = nilai Cij/Lij rata-rata
Evaluasi nilai status mutu air berdasarkan metode Indeks Pencemaran (IP) diklasifikasikan menjadi empat kelas (Tabel 3). Hasil analisis ini akan membantu pemangku kepentingan untuk pengelolaan sumberdaya air dan lahan di masa depan.
Tabel 3. Penilaian Status Mutu Berdasarkan
Indeks Pencemaran
Indeks Pencemaran (IP) |
Mutu Perairan |
0 ≤ Pij ≤ 1,0 |
Memenuhi baku mutu (kondisi baik) |
1,0 < Pij ≤ 5,0 |
Tercemar ringan |
5,0 < Pij ≤ 10 |
Tercemar sedang |
Pij ≥ 10 |
Tercemar berat |
Sumber: Kepmen LH No. 115 Tahun 2003
-
A. Parameter Fisika-Kimia Air Sungai
Kualitas air permukaan dikumpulkan pada awal musim hujan pada tahun 2018 di DAS Cimanuk. Sebaran spasial masing-masing parameter kualitas air dari enam titik pemantauan disajikan pada Gambar 2. TDS merupakan residu bahan organik yang terlarut dalam air. Konsentrasi parameter TDS pada semua titik pengukuran menunjukkan nilai di bawah standar baku mutu air kelas 2. Konsentrasi TDS tertinggi yaitu di Titik D yang didominasi permukiman dan perkebunan sayuran di wilayah hulunya. Konsentrasi TDS yang tinggi dapat diakibatkan oleh DAS yang didominasi oleh lahan pertanian yang berasal dari kandungan terlarut dari pupuk daripada non-pertanian sekalipun di bawah kondisi klimatologis yang sama (Swiechowicz, 2002; Merchán et al., 2019). Konsentrasi TDS yang tinggi pada Titik D kemungkinan bahan terlarut dari proses pemupukan yang terendapkan selama musim kemarau terbawa limpasan permukaan ketika awal musim hujan dan masuk ke sungai.
TSS merupakan bahan organik dan anorganik yang dapat berupa pasir halus ataupun lumpur. Konsentrasi TSS yang tinggi terdapat di Titik F dengan nilai 66 mg/L. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh proses pertanian sawah yang intensif dan permukiman di wilayah hilir Sungai Cimanuk. Penggunaan lahan pertanian cenderung meningkatkan konsentrasi TSS, meskipun pengaruhnya sangat bervariasi tergantung pada faktor-faktor lokal baik alami misalkan bentuk DAS ataupun praktik pengolahan lahan (Merchán et al., 2019). Pada Titik F banyak terdapat saluran dari lahan pertanian yang langsung dialirkan ke Sungai Cimanuk. Hal ini tentu akan mempengaruhi kandungan TSS. Faktor lain yang menjadi penyebab tingginya nilai TSS di Titik F adalah banyaknya permukiman di sekitar wilayah tersebut. Sejalan dengan hasil penelitian Baharem et al. (2014) yang menyebutkan bahwa tingginya aktivitas masyarakat akan cenderung meningkatkan pencemaran TSS. Titik B juga memiliki konsentrasi TSS tinggi dibandingkan dengan 77
titik lainnya. Hal ini dapat diakibatkan karena aktivitas di hulu Cimanuk yang banyak terdapat lahan kritis sehingga mengakibatkan erosi. Proses erosi ini akan membawa lumpur halus, zat hara tanah dan pupuk masuk ke sungai. Setelah melewati Bendungan Jatigede konsentrasi TSS semakin menurun dan mengalami peningkatan kembali di titik F akibat masuknya bahan pencemar dari lahan pertanian dan permukiman. Adanya Bendungan Jatigede membuktikan dapat mengurangi konsentrasi TSS dalam air ke arah hilir. Akan tetapi, dampak langsung yang dapat dilihat ketika wilayah hulu telah mengalami erosi, pasir halur akan terendapkan di bendungan ini. Ini akan mempengaruhi umur bendungan di masa yang akan datang.
Konsentrasi pH di Sungai Cimanuk berfluktuasi baik di bagian hulu, tengah ataupun hilir. Nilai rata-rata pH di Sungai Cimanuk berkisar antara 8.14-8.70. Berdasarkan standar baku mutu air kelas 2 nilai tersebut masih memenuhi baku mutu. Kadar pH tertinggi terdapat di Titik B dan F yang didominasi pertanian sawah. Ada temuan menarik dari penelitian Ginkel(2015) yang menyebutkan bahwa pH dan suhu berkorelasi positif dengan permukiman dan industri, sedangkan berkorelasi negatif dengan hutan dan lahan pertanian kering. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa air yang berasal dari permukiman dan industri bersifat basa sedangkan dari lahan pertanian bersifat asam.
Hasil pemantauan konsentrasi BOD dan COD tidak selalu meningkat dari hulu ke hilir tergantung dari besaran debit aliran. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Abowei et al.(2009) yang mengemukakan bahwa secara umum kandungan BOD tidak berbeda secara signifikan antara hulu dan hilir ataupun perbedaan musim. Konsentrasi tertinggi BOD dan COD di Titik F didominasi oleh lahan terbangun (permukiman) dan lahan pertanian sawah. Limbah dari buangan pertanian dan permukiman di sekitar titik pemantauan ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah BOD dan COD. Kondisi ini dapat diperparah jika di wilayah tersebut kekurangan kapasitas intalasi pengolahan limbah dari permukiman. Temuan ini sejalan dengan banyak penelitian 78
(Ye and Liu, 2009; Venkatesharaju et al., 2010; Pratt and Chang, 2012). Selain itu, BOD dan COD yang tinggi juga diakibatkan oleh industri (Widayati, Suprayogi and M. Widyastuti, 2011; Mishra, Kumar and Yadav, 2018). Permukiman yang terdapat di sekitar titik F belum memiliki IPAL Terpadu dan masih banyak masyarakat yang tidak sadar lingkungan seperti membuang sampah ke saluran air, sehingga dapat menyumbang limbah padat domestik. Limbah cair domestik yang akan mempengaruhi konsentrasi BOD dan COD berasal dari aktivitas masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat MCK (Mandi, Cuci, Kakus). Hal ini tentu akan mempengaruhi kualitas air di Sungai Cimanuk.
Konsentrasi nitrat tertinggi terdapat di Titik B dengan nilai 0.72 mg/L yang didominasi oleh perkebunan campuran, sehingga besar kemungkinan kandungan nitrat tersebut berasal dari lahan pertanian. Potensi pencemaran oleh nitrat diindikasikan berasal dari proses pemupukan, baik itu pupuk kimia ataupun pupuk kandang (Poor and McDonnell, 2007; Li et al., 2019). Diantara titik pemantauan, titik A dan C memiliki konsentrasi fosfat melebihi baku mutu air kelas 2. Aktivitas pertanian di kedua titik ini membutuhkan pupuk untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Akan tetapi, penggunaan pupuk berlebihan dapat menyumbang fosfat ke badan air. Hasil ini sejalan dengan pendapat Adeyemo et al. (2008) yang mengemukakan bahwa di daerah pertanian fosfat berasal dari aktivitas pertanian yaitu pemakaian pupuk, detergen dan limbah cair industri dari aktivitas rumah tangga.
Sulfat merupakan senyawa kimia yang terdapat di tanah atupun air sungai. Konsentrasi parameter sulfat yang terdapat di beberapa titik pemantauan memiliki nilai berkisar 27.37-43.15 mg/L dan masih memenuhi standar baku mutu air. Nilai sulfat yang paling tinggi ditemukan pada Titik D. Kondisi debit aliran yang rendah menyebabkan air tergenang sehingga polutan-polutan dari aktivitas pertanian yang semula terbawa oleh limpasan permukaan akan terendapkan di titik ini. Kandungan sulfat yang tinggi banyak terdapat di wilayah
pertanian dan permukiman (Fianko et al., 2009). Selain itu, penelitian lain menyebutkan bahwa sulfat terkait dengan praktik pertanian yang umumnya berasal dari kandungan pupuk kimiawi (Simedo et al., 2018).
-
B. Status Mutu Air di DAS Cimanuk
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar status mutu air di DAS Cimanuk berada pada kategori tercemar ringan, kecuali pada titik F dengan kategori tercemar sedang dengan nilai 5.96. Nilai yang tinggi pada titik F yang berada di hilir DAS Cimanuk disebabkan oleh peningkatan limpasan dari lahan pertanian sawah dan juga permukiman. Analisis status mutu dari titik F telah mengungkapkan bahwa titik ini paling tercemar di DAS Cimanuk. Fakta ini diperkuat dengan tingginya konsentrasi TSS yang diakibatkan oleh praktik pertanian yang intensif. Saluran pertanian yang langsung dialirkan ke sungai akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas air. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya niai TSS di titik ini adalah banyaknya lahan terbangun (permukiman) di sekitar bantaran sungai. Sejalan dengan penelitian Baharem et al. (2014) yang mengemukakan bahwa semakin tinggi aktivitas manusia akan mempengaruhi terhadap konsentrasi TSS.
Selain itu, hasil penelitian juga telah mengungkapkan bahwa konsentrasi BOD, COD di titik F memiliki nilai yang tinggi. Konsentrasi BOD dan COD di titik F tidak layak digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan dan untuk mengairi tanaman berdasarkan status mutu air kelas 2. Peningkatan BOD juga dapat diperparah jika di wilayah tersebut kekurangan kapasitas intalasi pengolahan limbah dari permukiman dan pertanian. Temuan ini sejalan dengan banyak penelitian penelitian (Ye and Liu, 2009; Venkatesharaju et al., 2010; Pratt and Chang, 2012). Konsentrasi BOD yang tinggi masih sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang mengungkapkan bahwa parameter BOD telah mengalami peningkatan di wilayah hilir Cimanuk (Sutriati, 2011).
Nilai status mutu air di titik D relatif lebih baik diantara semua titik yang diteliti dengan nilai 2.05. Kondisi kualitas air yang relatif baik di titik D pada awal musim hujan terutama karena penggunaan lahan di wilayah sekitar yang tidak banyak permukiman. Hanya saja di titik D ada parameter yang memiliki nilai yang tinggi dibandingkaan dengan titik lainnya yaitu sulfat. Titik D yang berada di Sub-DAS Cimanuk tepatnya di Sungai Cikeruh memiliki penggunaan lahan perkebunan campuran di wilayah hulunya. Tingginya aktivitas pemupukan yang berasal dari pupuk kimia ZA (Zwavelzure Amonium) telah meningkatkan konsentrasi parameter sulfat di titik D, sekalipun masih memenuhi baku mutu air kelas 2. Sejalan dengan penelitian Simedo et al.(2018) yang mengemukakan bahwa aktivitas pertanian yang intensif dengan penggunaan pupuk kimiawi telah meningkatkan konsentrasi parameter sulfat di badan air yang terbawa oleh limpasan permukaan. Sebaran status mutu air di DAS Cimanuk disajikan pada Gambar 3.
Tingkat pencemaran yang berasal dari nilai IP menunjukkan bahwa penggunaan lahan di sekitar titik pengambilan sampel memiliki pengaruh terhadap kualitas air di DAS Cimanuk. Nilai IP yang bervariasi jelas menunjukkan bahwa tingkat pencemaran meningkat dari titik A ke titik B yang berada di wilayah hulu Cimanuk sebelum air memasuki Bendungan Jatigede. Titik C berada setelah bendungan Jatigede dengan nilai yang tidak meningkat dari titik sebelumnya. Hal ini diakibatkan dari air yang terakumulasi pada waktu yang cukup lama di Bendungan Jatigede dapat menurunkan tingkat pencemaran ke arah hilir. Sementara penurunan nilai IP di titik D didukung oleh fakta bahwa tidak seperti lokasi pengambilan sampel lainnya, sampel ini terletak di sungai Cikeruh yang merupakan Sub-DAS Cimanuk sehingga nilai IP yang diamati sebelum memasuki sungai utama. Peningkatan nilai IP terjadi kembali dalam alur sungai utama yaitu pada titik E dan F dengan tekanan dari penggunaan lahan permukiman dan lahan pertanian sawah.
Gambar 2.
Distribusi Spasial Parameter Kualitas Air Sungai di DAS Cimanuk
Evaluasi kualitas air sangat penting untuk dilakukan untuk pengendalian pencemaran dan manajemen sumberdaya air. Penggunaan Indeks Pencemaran (IP) dapat merubah penilaian yang rumit menjadi nilai tunggal yang memudahkan pemangku kepentingkan untuk merumuskan strategi pengendalian pencemaran khususnya di DAS
Cimanuk. Hasil penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Sutriati (2011) mengemukakan bahwa DAS Cimanuk memiliki status mutu air sedang di wilayah hulu dan di hilirnya mengalami tercemar berat. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil analisis yang memberikan gambaran bahwa DAS Cimanuk
secara keseluruhan mengalami pencemaran ringan, kecuali Titik F yang terdapat di hilir Cimanuk telah tercemar sedang. Perbedaan ini merupakan hal yang wajar dikarenakan waktu pengambilan sampel dan juga parameter yang digunakan untuk menilai status mutu air berbeda. Penelitian lain menyebutkan bahwa wilayah hilir DAS Cimanuk memiliki kualitas air sekitar 62% dengan kondisi cemar ringan, 26% cemar sedang dan 12% memenuhi baku mutu (Siahaan, 2017). Perbedaan hasil yang didapatkan diakibatkan oleh lokasi pengambilan sampel yang berbeda. Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Indramayu tahun 2015, status mutu air di DAS Cimanuk dikategorikan tercemar berat. Hal ini berbeda dengan penelitian ini dengan status mutu air tercemar sedang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rentang tiga tahun kondisi kualitas air di hilir DAS Cimanuk sudah mengalami perubahan.
Hasil analisis yang telah diperolah dari perhitungan IP dapat dirumuskan strategi alternatif untuk pengendalian pencemaran di DAS Cimanuk. Strategi alternatif yang dapat dilakukandi Titik A yang terindikasi tercemar ringan dengan nilai 2.23 dengan permasalahan yaitu alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Solusi yang dapat dilakukan yaitu penghutanan kembali lahan-lahan yang kritis di wilayah hulu, karena bagaimanapun telah menyebabkan erosi dan mempengaruhi terhadap penurunan kualitas air. Program pemerintah yang sudah dilakukan untuk penghutanan kembali lahan kritis dapat dibantu oleh masyarakat untuk memantau dan memelihara pohon yang sudah ditanam supaya program yang dilakukan berjalan sesuai dengan tujuan bersama.
Titik B yang terdapat di Kabupaten Sumedang memiliki nilai 4.22 yang masuk dalam kategori tercemar ringan. Hasil IP dengan kriteria tercemar ringan, titik ini memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan titik lainnya. Sumber pencemar yang berkontribusi terhadap peningkatan nilai IP di titik ini adalah lahan pertanian sawah yang memiliki saluran yang dialirkan langsung ke Sungai Cimanuk. Perlu adanya peraturan yang membatasi penggunaan pupuk kimiawi supaya dapat
meminimalisir pencemaran yang masuk ke sungai.
Titik C memiliki nilai status mutu air 2.13. Dampak adanya bendungan dapat diketahui dapat mengurangi pencemaran dari wilayah hulu, karena air akan tersimpan dahulu di bendungan ini sebelum dialirkan ke wilayah hilir. Konsentrasi parameter fosfat yang tinggi di Titik C mengindikasikan pencemaran dari aktivitas pertanian yaitu pemupukan. Hal ini diperkuat dengan kondisi lapangan yang pada umumnya banyak terdapat perkebunan campuran pisang dan mangga. Solusi yang dapat dilakukan untuk pengendalian pencemaran yaitu hampir sama dengan titik-titik pengambilan sampel yang pada umumnya didominasi oleh lahan pertanian yaitu pembuatan aturan yang membatasi penggunaan pupuk kimiawi dan aturan ini harus disosialisasikan kepada masyarakat supaya tahu dampak yang diakibatkan oleh pemakaian pupuk secara berlebihan terhadap penurunan kualitas air sungai.
Titik D terdapat di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka memiliki status mutu air tercemar ringan dengan nilai 2.05. Kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan titik lainnya, hanya saja parameter sulfat akibat pemupukan lahan pertanian perlu dilakukan pembatasan penggunaannya. Titik E terdapat di wilayah hilir DAS Cimanuk dengan penggunaan lahan dominan permukiman. Berdasarkan hasil analisis, titik ini termasuk dalam kategori tercemar ringan dengan nilai 2.19. Solusi alternatif yang dapat diterapkan di wilayah ini adalah pembuatan IPAL Terpadu karena bagaimanapun limbah cair dan padat domestik berasal dari aktivitas masyarakat di wilayah permukiman.
Titik F memiliki nilai status mutu air sebesar 5.95 dengan kategori tercemar sedang. Konsentrasi parameter TSS yang tinggi telah memberikan gambaran bahwa aktivitas pertanian yang di wilayah ini intensif. Permasalahan lain muncul yaitu, banyak saluran irigasi yang langsung dialirkan ke Sungai Cimanuk. Oleh sebab itu, perlu dibuat peraturan yang membatasi penggunaan pupuk kimiawi. Sosialisasi perlu dilakukan kepada masyarakat khususnya petani supaya mengetahui dampak dari
penggunaan pupuk yang berlebihan. Pemerintah setempat perlu memperhatikan pupuk yang digunakan oleh petani supaya dapat dibuat aturan mengenai pupuk apa saja yang dapat digunakan untuk lahan pertanian
sawah. Hal ini dapat menjadi alternatif strategi untuk pengendalian pencemaran dan mewujudkan pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan.
Gambar 3.
Peta Sebaran Spasial Status Mutu Air Berdasarkan Indeks Pencemaran di DAS Cimanuk, Jawa Barat
-
A. Simpulan
Pada penelitian ini, metode Indeks Pencemaran (IP) digunakan untuk menilai status mutu air di DAS Cimanuk, Jawa Barat berdasarkan baku mutu air kelas 2. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa konsentrasi parameter di setiap titik pengambilan sampel bervariasi. Penggunaan lahan pertanian dan permukiman memainkan peranan atas variasi spasial kualitas air tersebut. Parameter kualitas air yang paling berpengaruh dari aktivitas pertanian adalah fosfat dengan konsentrasi tertinggi terdapat di titik C dan sulfat di titik D. Tingginya konsentrasi parameter tersebut diakibatkan dari proses pemupukan secara kimiawi.
Parameter pH, BOD dan COD dengan konsentrasi tertinggi terdapat di titik F yang didominasi lahan pertanian sawah dan permukiman. Secara keseluruhan, hasil analisis status mutu air berdasarkan IP di DAS Cimanuk berada dalam kategori tercemar ringan, kecuali pada titik F memiliki kualitas air tercemar sedang. Penilaian pencemaran air menggunakan IP dapat dipahami bagi pemangku kepentingan dan masyarakat dengan keuntungan perhitungan sederhana dan murah serta berguna untuk mendukung pengelolaan sumberdaya air dan lahan di DAS Cimanuk secara berkelanjutan. Strategi alternatif seperti, pembuatan aturan untuk membatasi penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan pembuatan IPAL Terpadu akan meminimalisir pencemaran di DAS Cimanuk.
-
B. Saran
Penelitian ini terbatas pada kajian penentuan status mutu air menggunakan Indeks Pencemaran (IP), untuk itu penting bagi penelitian selanjutnya dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk menilai dampak penggunaan lahan terhadap kualitas air dengan menggunakan metode analisis statistik spasial lokal GWR (Geographically Weighted Regression) dan indeks kualitas air. Hasil analisis ini akan memberikan pemahaman yang lebih rinci tentang penggunaan lahan lokal yang berkontribusi terhadap penurunan kualitas air di DAS Cimanuk.
DAFTAR PUSTAKA
Abbasi, T. and Abbasi, S. 2012.Water Quality Indices, Water Quality Indices. Oxford: Elsevier. doi: 10.1016/C2010-0-69472-7.
Abowei, J. F. N. and George, A. D. I. 2009.
‘Some Physical and Chemical Characteristics in Okpoka Creek , Niger Delta , Nigeria’, Research Journal of Environmental and Earth Sciences, 1(2), pp. 45–53.
Baharem, Suprihatin and Indrasti, N. 2014. ‘Management Strategy of Cibanten river Banten Province Based on the Analysis of Total Maximum Daily Loads and Assimilation Capacity’, Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 4(1), pp. 60–69.
Bora, M. and Goswami, D. 2017. ‘Water Quality Assessment in Terms of Water Quality Index (WQI ): Case Study of The Kolong River , Assam , India’, Applied Water Science. Springer Berlin Heidelberg, 7(6), pp. 3125–3135. doi: 10.1007/s13201-016-0451-y.
Effendi, H. 2016. ‘River Water Quality Preliminary Rapid Assessment Using Pollution Index’, Procedia Environmental Sciences. Elsevier B.V., 33, pp. 562–567. doi: 10.1016/j.proenv.2016.03.108.
Fianko, J. R., Osae, S., Adomako, D., and Achel, D. G.2009. ‘Relationship Between Land Use and Groundwater Quality in
Six Districts in The Eastern Region of Ghana’, Environmental Monitoring and Assessment, 153, pp. 139–146. doi: 10.1007/s10661-008-0344-0.
Ginkel, V. 2015. Water quality in The Bandung Basin Towards A Better Understanding Of The Water Quality in The Upper Citarum River Basin. Thesis. University Of Twente.
Kepmen LH Nomor 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
Li, C., Li, S., Yue, F., Liu, J., Zhong, J., Yan, Z., and Zhang, R.2019. ‘Identification of Sources and Transformations of Nitrate in The Xijiang River Using Nitrate Isotopes and Bayesian Model’, Science of the Total Environment. Elsevier B.V., 646, pp. 801–810. doi: 10.1016/j.scitotenv.2018.07.345.
Merchán, D., Luquin, E., Hernández-garcía, I., Campo-bescós, M. A., Giménez, R., Casalí, J., Valle, J. Del., and Lersundi, D.2019. ‘Dissolved Solids and Suspended Sediment Dynamics from Five Small Agricultural Watersheds in Navarre , Spain: A 1 O-Year Study’, Catena. Elsevier, 173(May 2018), pp. 114–130. doi: 10.1016/j.catena.2018.10.013.
Mishra, S., Kumar, A. and Yadav, S. 2018. ‘Assessment of Heavy Metal Contamination in Water of Kali River Using Principle Component and Cluster Analysis , India’, Sustainable Water Resources Management. Springer
International Publishing, 4(3), pp. 573– 581. doi: 10.1007/s40899-017-0141-4.
Noori, R., Berndtsson, R., Hosseinzadeh, M., Adamowski, J. F., and Abyaneh, M. R.2019. ‘A Critical Review On The Application of The National Sanitation Foundation Water Quality Index’, Environmental Pollution. Elsevier Ltd, 244, pp. 575–587. doi: 10.1016/j.envpol.2018.10.076.
Poor, C. J. and McDonnell, J. J. 2007. ‘The Effects of Land Use On Stream Nitrate Dynamics’, Journal of Hydrology, 332(1–2), pp. 54–68. doi: 10.1016/j.jhydrol.2006.06.022.
Pratt, B. and Chang, H. 2012. ‘Effects of Land Cover , Topography , and Built Structure On Seasonal Water Quality at Multiple Spatial Scales’, Journal of Hazardous Materials. Elsevier B.V., 209–210, pp. 48–58. doi: 10.1016/j.jhazmat.2011.12.068.
Siahaan, A. M. 2017. "Studi Evaluasi Kualitas Daerah Aliran Sungai Cimanuk Dengan Metode Neraca Massa Di Kabupaten Indramayu". (Skripsi). Jakarta: Universitas Bakrie. Retrieved from http://repository.bakrie.ac.id/1370/
Simedo, M. B. L., Martins, A. L. M., Pissarra, T. C. T., Lopes, M. C., Costa, R. C. A., Campanelli, L. C., Rojas, N. E. T., and Finoto, E. L.2018. ‘Effect of Watershed Land Use On Water Quality: A Case Study in Córrego Da Olaria Basin , São Paulo State , Brazil’, Brazilian Journal of Biology, 78(4), pp. 625–635. doi: http://dx.doi.org/10.1590/1519-6984.168423.
Susanti, P. D. and Miardini, A. 2017. ‘The Impact of Land Use Change on Water Pollution Index of Kali Madiun Subwatershed’, Forum Geografi, 31(1), p. 128. doi: 10.23917/forgeo.v31i1.2686.
Sutriati, A. 2011. ‘Penilaian Kualitas Air Sungai dan Potensi Pemanfaatannya. Studi Kasus Sungai Cimanuk’, Jurnal Sumber Daya Air, 7(1), pp. 1–17.
Swiechowicz, J. 2002. ‘Linkage of Slope Wash and Sediment and Solute Export From A Foothill Catchment in The Carpathian Foothills of South Poland’, Earth Surface Processes and Landforms, 1413, pp. 1389–1413. doi: 10.1002/esp.437.
Tian, Y., Jiang, Y., Liu, Q., Dong, M., Xu, D., Liu, Y., and Xu, X.2019. ‘Using A Water
Quality Index To Assess The Water Quality of The Upper and Middle Streams of The Luanhe River, Northern China’, Science of the Total Environment. Elsevier B.V., 667, pp. 142–151. doi: 10.1016/j.scitotenv.2019.02.356.
Venkatesharaju, K., Ravikumar, P., Somashekar, R., and Prakash, K.2010. ‘Physico-Chemical and Bacteriological Investigation on the River Cauvery of Kollegal Stretch in Karnataka’, Kathmandu University Journal of Science, Engineering and Technology, 6(1). doi: 10.3126/kuset.v6i1.3310.
Widayati, I., Suprayogi, S. and M. Widyastuti. 2011. ‘Kajian Kualitas Air Sungai Bedog Akibat Pembuangan Limbah Cair Sentra Industri Batik Desa Wijirejo’, Majalah Geografi Indonesia, 25(1), pp. 56–69.
Wu, Z., Wang, X., Chen, Y., Cai, Y., and Deng, J. 2018. ‘Assessing River Water Quality Using Water Quality Index in Lake Taihu Basin, China’, Science of the Total Environment. Elsevier B.V., 612, pp. 914–922. doi: 10.1016/j.scitotenv.2017.08.293.
Ye, L. and Liu, Æ. Q. C. Æ. R. 2009. ‘The Influence of Topography and Land Use On Water Quality of Xiangxi River in Three Gorges Reservoir Region’, Environmental Geology, 58, pp. 937–942. doi: 10.1007/s00254-008-1573-9.
Yustiani, Y. M., Wahyuni, S. and Alfian, M. R. 2018. ‘Investigation On The Deoxygenation Rate of Water Of Cimanuk River, Indramayu, Indonesia’, Rasayan Journal of Chemistry, 11(2), pp. 475–481. doi:
10.7324/RJC.2018.1121892.
84
Discussion and feedback