Sistem Tata Kelola Adaptif Melalui Kemitraan Multi-Pihak Dalam Konservasi Sumber Daya...

[Chori Amelia,dkk.]

SISTEM TATA KELOLA ADAPTIF MELALUI KEMITRAAN MULTI-PIHAK DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DI PULAU SERANGAN,KOTA DENPASAR

Chori Amelia1*), Syamsul Alam Paturusi2), I Nyoman Merit1)

1)Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Udayana 2)Program Studi Arsitektur Universitas Udayana *Email: roshermawan@yahoo.com.au

ABSTRACT

ADAPTIVE GOVERNANCE SYSTEM THROUGH MULTI-STAKEHOLDERS PARTNERSHIPS FOR NATURAL RESOURCE CONSERVATION IN SERANGAN ISLAND, DENPASAR CITY

This research aims to understand environmental partnerships that have built in Serangan Island, Denpasar, to understand the governance systems based on environmental partnerships in Serangan Island, Denpasar, and analyze adaptive capacity of those governance systems to changes in socioeconomic and environmental conditions in Serangan Island, Denpasar. This research is conducted in the settlements and tourism areas outside the BTID tourism area in Serangan Island, Denpasar, on December 2018 until Februari 2019, using qualitative approach is used through indepth interviews to sixteen informans, which have particular roles in natural resource conservation in Serangan Island, Denpasar, which include conservation and utilization of turtles, coral reefs, sea biota, and many types of governance and partnerships in Serangan Island. Result shows that the government and business partnerships were initiated from provision of tourism infrastructure which was developed into wider partnerships with NGOs and communities in the area of turtle conservation, while collaborative governance in the shape of community-based coastal resources management in Serangan Island. Meanwhile, adaptive comanagement was developed through devolution of partial responsibility of turtle’s conservation and utilization to local communities through various deals and MoUs. Result also shows that adaptive capacity of Serangan Islanders has developed towards resilience to changes of environmental and socioeconomic conditions. Two recommendations are advised to natural resource managers in Serangan Island. Firstly, robust data collection and supervision systems needs to be developed for governance of turtles, coral reefs, and sea biota. Secondly, social learning through dialogue, reflexions, and evaluation needs to be implemented to reassess the outdated governance practices.

Keywords: governance, conservation, natural resource, partnership

  • 1.    PENDAHULUAN

Penurunan kondisi sumber daya alam terjadi di Pulau Serangan, Kota Denpasar semenjak dilaksanakannya kegiatan reklamasi yang dimulai pada awal tahun 1990an di sebagian pesisir Pulau Serangan – Denpasar. Dampaknya terjadi berbagai permasalahan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Dampak utamanya

adalah kerusakan lingkungan yang terdiri dari abrasi pantai akibat perubahan arus laut, polusi laut akibat “penumpukan lumpur dan sampah di sebelah barat Pulau Serangan” serta kerusakan beberapa “ekosistem penting seperti hutan bakau, terumbu karang, dan padang rumput laut” (Woinarski, 2002). Akibat lanjutan dari kerusakan lingkungan ini berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat seperti penurunan ekonomi dan kesejahteraan akibat hilangnya mata pencaharian nelayan serta hilangnya ‘budaya

85


ECOTROPHIC 13(1): 85 - 96 p-ISSN: 1907-5626,e-ISSN: 2503-3395


nelayan’, yang oleh Suryawan (2015) disebut sebagai marginalisasi nelayan.Di samping itu, reklamasi juga “dianggap mengganggu komponen budaya di Pulau Serangan”…”seperti tempat suci (Pura), kawasan suci (tempat Melasti) dan kawasan cagar budaya” (Burhan, et al., 2017).

Seiring berjalannya waktu, masyarakat di Pulau Serangan memunculkan ketahanan yang melahirkan berbagai bentuk adaptasi. Woinarski (2002) mengisahkan tentang kreatifitas ibu-ibu membentuk kelompok “Pedagang Pantai Timur” yang memanfaatkan peluang berjualan di Taman Penyu demi mengatasi berkurangnya penghasilan keluarga akibat marginalisasi ekonomi yang diakibatkan oleh berkurangnya pendapatan para kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan. Sementara itu, di bidang lingkungan, terjadi transformasi budaya masyarakat dari ketidakpedulian terhadap kelestarian lingkungan menjadi pelestari lingkungan; yakni dari penambang koral menjadi penjaga terumbu karang, serta dari pengonsumsi daging penyu menjadi penangkar penyu. Dari transformasi budaya inilah lahir berbagai aktivitas konservasi sumber daya alam di Pulau Serangan, yang mencakup pelestarian penyu, terumbu karang, dan penangkaran biota laut.

Aktivitas pelestarian penyu di Pulau Serangan diinisiasi oleh Turtle Conservation and Education Center (TCEC). Menurut Darmawan dan Sastrawan (2018), TCEC berfungsi “sebagai tempat penangkaran penyu…sekaligus pula sebagai media pembelajaran untuk masyarakat dari berbagai kalangan usia akan pentingnya pelestarian penyu”. Sudiana (2010) menyoroti dampak positif kegiatan konservasi penyu ini, dimana masyarakat Pulau Serangan lambat laun memahami arti dan manfaat pelestarian penyu di Pulau Serangan.

Sementara itu, kegiatan pelestarian terumbu karang di Pulau Serangan bermula dari aktivitas nelayan ikan hias yang mulai menyadari arti pentingnya terumbu karang. Pada awalnya, para nelayan beralih profesi menjadi penambang koral karena hasil tangkapan ikan yang menurun drastis sebagai dampak reklamasi (Woinarski, 2002). Suriyani (2014) mengungkapkan bahwa 86

kesadaran tentang pelestarian terumbu karang ini muncul sejak tahun 2003, yakni saat dimulainya konservasi terumbu karang oleh Kelompok Nelayan Karya Segara. Cara penanaman terumbu karang ini sama seperti yang dilakukan oleh Yayasan Bahtera Nusantara di Desa Les, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.

Bentuk-bentuk kegiatan konservasi sumber daya alam di atas merupakan bentuk kemitraan lingkungan yang mempertemukan kelompok nelayan, swasta (BTID dan pelaku pariwisata) dan pemerintah. Melalui kegiatan kemitraan lingkungan ini, masyarakat diharapkan dapat menjadi mitra pemerintah dan swasta dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungannya. Hasil akhir yang diharapkan adalah meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan di wilayah pesisir dan laut Pulau Serangan, Denpasar.

Meskipun berbagai dampak dan manfaat kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat di bidang lingkungan telah banyak dipahami, namun demikian hingga saat ini belum ada hasil kajian tentang tingkat/kemampuan adaptasi sistem tata kelola lingkungan berbasis kemitraan lingkungan tersebut bagi konservasi sumber daya alam. Padahal, telah lama disadari bahwa melalui pendekatannya yang bersifat partisipatif, pembangunan kemitraan lingkungan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut sangat potensial menjadi sarana pencapaian dua tujuan sekaligus, yakni pengendalian kualitas lingkungan pesisir dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menjadi pionir dan salah satu obyek studi penerapan kemitraan lingkungan dalam konservasi sumber daya alam di wilayah pulau-pulau kecil di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat menganalisis sistem tata kelola lingkungan yang bersifat adaptif dalam merespon kerusakan lingkungan di Pulau Serangan, Kota Denpasar, sehingga dapat berkontribusi dalam pengembangan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang partisipatif secara efektif dan efisien.

  • 2.    METODOLOGI

    • 2.1    Rancangan dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dirancang menggunakan pendekatan kualitatif melalui proses wawancara yang mendalam kepada para pemangku kepentingan yang berperan dalam konservasi sumber daya alam di Pulau Serangan, Denpasar. Topik yang meliputi aktivitas konservasi sumber daya alam yang ada di Pulau Serangan, yang meliputi pelestarian penyu, terumbu karang, biota laut, serta berbagai tata kelola dan kemitraan yang terbangun di Pulau Serangan.

Lokasi penelitian adalah di daerah pemukiman dan wisata di luar lahan BTID Pulau Serangan, Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Desember 2018 s/d Bulan Februari 2019.

  • 2.2    Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa hasil wawancara dengan informan, dan deskripsi kondisi lingkungan, sosial dan budaya masyarakat Pulau Serangan, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan penyu, terumbu karang dan biota laut yang didapatkan      dari      lembaga-lembaga

pemerintahan yang relevan. Data kuantitatif meliputi data statistik kondisi demografis, sosial dan ekonomi masyarakat yang didapatkan dari BPS dan aparat pemerintahan kelurahan/kecamatan/kota.

Sumber data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa data hasil wawancara dengan para pemangku kepentingan yang relevan, yang diambil secara purposive; yakni para informan yang terdiri dari pelaksana tugas dari institusi yang berwenang serta tokoh/warga masyarakat yang memiliki pengetahuan/pengalaman dalam konservasi sumber daya di Pulau Serangan, Kota Denpasar. Jumlah informan sejumlah 16 orang, yang terdiri dari:

  • -  7 orang tokoh masyarakat, nelayan, dan

pemerintahan desa/kecamatan di Pulau Serangan, Denpasar

  • -   1 orang dari Turtle Conservation and

Education Center

  • -  5 orang dari pemerintahan yang berasal

dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Denpasar, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar.

  • -   1 orang dari Bali Turtle Island

Development.

  • -  2 orang dari pelaku pariwisata di Pulau

Serangan

Di samping itu, dilakukan pengumpulan data sekunder berupa data statistik, laporan-laporan, serta peraturan perundang-undangan dari lembaga yang berwenang.

  • 2.3    Teknik Pengumpulan, Analisis, dan

    Penyajian Hasil Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam, metode observasi-partisipasi, dan teknik dokumentasi. Melalui wawancara secara mendalam diharapkan berbagai pandangan, pengalaman dan harapan para pemangku kepentingan tersebut dapat digali sehingga dapat diklasifikasikan, dibandingkan dan ditarik kesimpulan. Di samping itu, tinjauan lapangan melalui Observasi-Partisipasi juga dilaksanakan untuk melihat secara langsung pelaksanaan konservasi sumber daya alam di Pulau Serangan, Kota Denpasar. Berbagai peristiwa/kejadian yang teramati      dalam      penelitian      ini

didokumentasikan dalam bentuk catatan lapangan serta rekaman suara, gambar dan/atau video.

Data yang terkumpul dianalisis sesuai dengan jenis datanya. Data kualitatif berupa hasil wawancara diklasifikasikan dan dianalisis untuk mengetahui tema utamanya (misalnya tingkatan kemitraan yang terjalin, sistem tata kelola yang sesuai, tingkat adaptasi terhadap perubahan lingkungan, dsb.).

Data kuantitatif seperti data statistik dan laporan-laporan      dianalisis      dengan

pendeskripsian melalui tabel dan grafik untuk menunjukkan tren perkembangan baik kondisi sosial ekonomi maupun kondisi lingkungan di Pulau Serangan, Denpasar, sehingga

menunjang dan memperkuat penyampaian hasil analisis kualitatif.

Secara umum, hasil analisis data kualitatif disajikan dalam bentuk narasi yang mengarah pada perumusan kesimpulan. Sementara itu, data kuantitatif yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang melengkapi tampilan narasi serta memvisualisasikan data dalam bentuk yang lebih mudah dipahami.

  • 3.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 3.1    Wujud Kemitraan Lingkungan di Pulau Serangan

Dengan mengacu pada pemikiran Diaz-Kope dan Miller-Stevens (2015), yang mengulas tentang tipe-tipe kemitraan lingkungan pada Daerah Aliran Sungai, maka dapat dikemukakan bahwa ada 3 wujud kemitraan lingkungan utama yang dijumpai dalam pengelolaan sumber daya alam (penyu, terumbu karang dan biota laut) di Pulau Serangan sebagaimana penjelasan berikut.

  • A.    Kemitraan antar institusi pemerintah

Kemitraan tipe ini merupakan bentuk kerjasama antar institusi pemerintah dalam mengelola sumber daya alam dengan tanpa/sedikit     partisipasi     masyarakat.

Kemitraan tipe ini dapat dijumpai dalam pengelolaan biota laut berbasis aturan perundang-undangan (Command and Control) yang ada di Pulau Serangan. Biota laut berupa karang, ikan hias, dan serta jenis-jenis biota laut lainnya dieskpor dalam bentuk hidup melalui kerjasama pengawasan dan perizinan berbagai instansi pemerintah, terutama BKSDA Bali dan jajaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (Johan, 2017). Kemitraan dalam pencegahan/penangkapan penyelundupan penyu, karang dan jenis-jenis biota laut lainnya juga bisa dimasukkan ke dalam tipe kemitraan ini, karena merupakan bentuk kerjasama antara BKSDA Bali dan Ditpolairud serta jajaran kepolisian lainnya.

  • B.    Kemitraan lintas sektor

Kemitraan tipe ini merupakan bentuk kerjasama antara instansi pemerintah dengan berbagai organisasi masyarakat, organisasi 88

nirlaba, dan swasta. Bentuk kemitraan lintas sektor bisa dijumpai dalam kerjasama pemerintah, BTID dan masyarakat dalam bentuk pelestarian dan pemanfaatan penyu di Pulau Serangan melalui pendirian TCEC (Turtle Conservation and Education Center). Pendirian dan aktivitas TCEC in i merupakan bentuk kemitraan lintas sektor untuk mengatasi persoalan pemanfaatan penyu secara tidak lestari. Pada awal berdirinya, penetapan TCEC didukung oleh WWF, Gubernur Bali, Walikota Denpasar, BKSDA Provinsi Bali, dan masyarakat lokal (WWF, tanpa tahun).

  • C.    Kemitraan level “akar-rumput”

Kemitraan tipe ini merupakan bentuk kemitraan   yang   berkembang dengan

sedikit/tanpa keterlibatan pemerintah. Kemitraan dengan tingkat   partisipasi

masyarakat yang tinggi ini dijumpai pada masyarakat Pulau Serangan dalam bentuk kemitraan kelompok nelayan dengan LSM lingkungan     dalam     pengembangan

transplantasi terumbu karang. Pembentukan kelompok nelayan Karya Segara yang dipelopori oleh Wayan Patut pada awalnya merupakan bentuk keprihatinan atas terjadinya kerusakan lingkungan akibat reklamasi. Seperti penjelasan Wayan Patut (hasil wawancara), kegiatan transplantasi terumbu karang ini pada awalnya tidak melibatkan pemerintah, namun merupakan hasil fasilitasi dari LSM lingkungan, terutama melalui inisiatif CBCRM LeaRN dari Filipina.

  • 3.2    Sistem Tata Kelola Lingkungan Berbasis Kemitraan Lingkungan di Pulau Serangan

Berdasarkan     berbagai     aktivitas

kemitraan lingkungan yang berkembang di Pulau Serangan, dapat dianalisis bentuk-bentuk tata kelola lingkungan di Pulau Serangan sesuai dengan literatur yang ada, yakni:

  • A.    Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP/Public Private Partnerships)

Sesuai dengan definisi kemitraan pemerintah-swasta menurut Sharma dan

Bindal (2014), dimana kemitraan pemerintah-swasta diartikan sebagai salah satu bentuk penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada    swasta,    utamanya    untuk

pengembangan infrastruktur dan penyediaan layanan dasar kepada masyarakat umum, maka bisa dianalisis bahwa berkembangnya kemitraan lingkungan di Pulau Serangan diawali oleh kemitraan pemerintah dengan swasta, dalam hal ini BTID, untuk menyediakan infrastruktur pariwisata Provinsi Bali. Masyarakat Pulau Serangan sendiri memandang positif penyediaan infrastruktur di Pulau Serangan yang dibangun oleh PT. BTID, terutama pembangunan jalan dan jembatan. Secara umum, masyarakat Pulau Serangan mendapat kemudahan memperoleh layanan pendidikan dan kesehatan sejak dibangunnya jembatan yang menghubungkan Pulau Serangan dengan daratan Pulau Bali.

Secara     kronologis,      kerjasama

pemerintah dan swasta ini didasarkan pada SK Gubernur Bali tahun 1992 dan izin kerja keruk dan Reklamasi dari Departemen Perhubungan pada tahun 1996, yang dilanjutkan dengan persetujuan masyarakat melalui MoU pada tanggal 14 Oktober 1998. Adapun isi MoU ini adalah (Darmawan dan Sastrawan, 2018):

  • 1)    Memberikan lahan hasil reklamasi dan membantu pendirian pasar ikan, LPD dan KUD sebagai sektor penggerak perekonomian tradisional di Pulau Serangan.

  • 2)    Mendirikan Cultural Center untuk mendukung keberadaan Pura Sakenan.

  • 3)    Memberikan lahan hasil reklamasi dan mendirikan Turtle Conservation and Education  Center (TCEC)

sebagai tempat  konservasi dan

edukasi tentang penyu.

  • 4)    Memberikan sejumlah lahan hasil reklamasi kepada masyarakat untuk perluasan lahan permukiman.

  • 5)    Mendirikan kanal wisata sebagai pemisah wilayah permukiman penduduk dengan wilayah PT. BTID. Kanal wisata dipergunakan untuk aktivitas wisata seperti lomba jukung, memancing, dll.

  • 6)    Memberikan keleluasaan mendirikan bangunan komersial yang sifatnya semi permanen di wilayah kepemilikan PT. BTID dengan syarat apabila proyek pembangunan oleh PT. BTID dilangsungkan, bangunan-bangunan semi permanen yang didirikan oleh masyarakat lokal tersebut bisa dihancurkan oleh pihak PT. BTID.

  • 7)    Memberikan akses dan perluasan Pura-Pura baik yang berada di wilayah permukiman penduduk maupun di wilayah PT. BTID selama meripakan lahan hasil reklamasi.

  • 8)    Peningkatan sumber daya manusia seperti memberikan kesempatan utama bagi masyarakat Pulau Serangan untuk memperoleh lapangan pekerjaan di proyek PT. BTID maupun saat fasilitas megawisata selesai didirikan.

  • 9)    Masyarakat Pulau Serangan harus mendukung kelancaran proyek PT. BTID, dan juga menjaga dan mengamankan proyek.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Wayan Patut (aktivis lingkungan dan penerima penghargaan Kalpataru dari Pulau Serangan) dan pengelola BTID, kemitraan pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur pariwisata mengalami pasang surut, yang disebabkan oleh perubahan kondisi perekonomian/investasi, protes masyarakat, maupun hambatan perizinan. Meskipun demikian, dampak ikutan yang positif bagi konservasi sumber daya alam adalah terbentuknya kesadaran/kepedulian akan pentingnya menjaga kelestarian penyu. Cikal bakal kemitraan lingkungan dalam pelestarian penyu dimulai dari kesepakatan pendirian Turtle Exhibition berdasarkan MoU tahun 1998, yang kemudian berkembang menjadi TCEC yang didirikan di atas lahan yang dimiliki BTID. Wayan Patut menguatkan peran pemerintah dan BTID dalam masa-masa awal upaya penangkaran penyu sebelum didirikannya TCEC, dimana masing-masing keluarga di Pulau Serangan diberi bantuan oleh pemerintah untuk

membesarkan sepasang tukik, yang setelah besar diserahkan kepada Turtle Exhibition.

  • B.    Tata Kelola Kolaboratif berbasis Masyarakat (Manajemen Sumber Daya alam berbasis Masyarakat)

Tata kelola kolaboratif berbasis masyarakat di Pulau Serangan muncul sebagai reaksi atas kerusakan lingkungan paska reklamasi. Perlawanan masyarakat Pulau Serangan terhadap penggusuran dalam proses pembebasan tanah, serta kerusakan pantai dan terumbu karang paska reklamasi, mendorong beberapa lembaga swadaya masyarakat dari dalam maupun luar negeri memfasilitasi nelayan Pulau Serangan untuk terlibat langsung dalam pengelolaan lingkungan melalui skema kolaboratif berupa manajemen

sumber daya pesisir berbasis masyarakat (CBCRM = Community-Based Coastal Resource Management). Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan CBCRM di antaranya adalah: penangkapan ikan hias ramah lingkungan, transplantasi terumbu karang, serta pembibitan dan penanaman mangrove (Wayan Patut, hasil wawancara)

Conley dan Moote (2003) menyediakan kerangka berpikir yang berguna untuk mengevaluasi tata kelola kolaboratif sumber daya alam. Kriteria-kriteria evaluasi yang sering dipakai meliputi: kriteria proses, kriteria dampak lingkungan, dan kriteria dampak sosial-ekonomi. Secara kualitatif, evaluasi tata kelola kolaboratif dalam pelestarian terumbu karang di Pulau Serangan tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Kualitatif Tata Kelola Kolaboratif Berbasis Masyarakat dalam Pelestarian

Terumbu Karang di Pulau Serangan

No.    Kriteria            Parameter                 Kondisi di Pulau Serangan

1.

Proses     -

Kesamaan visi serta tujuan

- Berawal dari kesamaan visi dan tujuan

yang jelas dan dapat dicapai

dari para nelayan untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat reklamasi

-

Partisipasi masyarakat yang inklusif dan beragam

- Dimulai dari kelompok nelayan, aktivitas kemudian berkembang ke masyarakat luas melalui anak-anak sekolah dan pelaku pariwisata

-

Keterlibatan pemerintahan lokal

- Pemerintah Kota Denpasar dan Bapedalda Prov. Bali ikut terlibat setelah melihat keberhasilan awal upaya kelompok nelayan

-

Perencanaan yang jelas dan tertulis

- Perencanaan dibantu melalui LSM lingkungan CBCRM LeaRN

-

Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dan kebijakan

- Pemanfaatan karang untuk ekowisata serta upaya lanjutan seperti penangkaran kuda laut dan penanaman mangrove tidak bertentangan dengan peraturan

2.

Dampak  -

Lingkungan

Perbaikan habitat

- Perbaikan habitat terumbu karang di lokasi Green Island dan hutan mangrove di depan Br. Ponjok

-

Perbaikan kualitas air

- Perlu penelitian lebih lanjut

-

Keanekaragaman hayati

- Perlu penelitian lebih lanjut

No.

Kriteria

Parameter

Kondisi di Pulau Serangan

3.

Dampak sosial-ekonomi

  • -    Terbangunnya/menguatnya -hubungan kerjasama

  • -    Meningkatnya rasa saling   -

percaya

  • -    Peserta memperoleh        -

pengetahuan dan pemahaman

-

  • -    Peningkatan lapangan kerja

Terbangunnya kerjasama nelayan dengan LSM lingkungan Terbangunnya rasa percaya dan kerjasama antara nelayan dengan pelaku pariwisata (misalnya nelayan ikut membantu mengantar turis menuju Green Island)

Transfer pengetahuan tentang penangkapan ikan ramah lingkungan, transplantasi karang, budidaya mangrove

Lapangan kerja baru di ekowisata Green Island

Sumber: diadaptasi dari Conley dan Moote, 2003

Evaluasi tata kelola kolaboratif berbasis masyarakat yang ada di Pulau Serangan secara lebih terukur (kuantitatif) berada di luar lingkup penelitian ini. Meskipun demikian, dari hasil wawancara dan pengamatan langsung dapat dikenali ciri-ciri serta dampak positif tata kelola kolaboratif dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan CBCRM. Dari segi proses, partisipasi masyarakat yang diinisiasi melalui Kelompok Nelayan Karya Segara telah berkembang dengan melibatkan anak-anak sekolah hingga masyarakat adat Serangan, yang akhirnya juga menggugah perhatian pemerintah daerah. Sementara itu, dari segi dampak lingkungan yang ditimbulkan, meskipun belum didukung perbaikan lingkungan yang signifikan, pemberdayaan masyarakat nelayan melalui CBCRM telah secara nyata menghentikan penambangan karang sebagai bahan bangunan, serta penggunaan potas untuk menangkap ikan hias. Dampak sosial ekonomi dari CBCRM ini lebih nyata lagi dirasakan

oleh masyarakat Pulau Serangan, dengan berkembangnya berbagai aktivitas pariwisata berbasis ekowisata di Pulau Serangan. Salah satunya adalah daya tarik wisata Green Island, yang lahir setelah berkembangnya wisata transplantasi terumbu karang dan pelepasan kuda laut melalui Kelompok Nelayan Karya Segara (Suriyani, 2017).

  • C.    Ko-manajemen Adaptif dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pulau Serangan

Plummer dan Armitage (2006) menyediakan kerangka berpikir yang bermanfaat untuk melihat beberapa karakteristik utama dari tata kelola ko-manajemen ini. Bila dianalisis lebih jauh, beberapa karakteristik tata kelola ko-manajemen ini bisa dijumpai dalam penatakelolaan penyu di Pulau Serangan, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Karakteristik Tata Kelola Ko-Manajemen yang dijumpai dalam Penangkaran dan Pemanfaatan Penyu di Pulau Serangan

No.   Karakteristik

Parameter

Bukti pendukung

1.    Pluralisme dan

Keterkaitan

- Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan

  • -    Aktivitas TCEC melibatkan pelaku wisata, Universitas, nelayan, desa adat, dll.

  • -    Pengawasan dari BKSDA, keterkaitan/kerjasama dengan WWF, Pertamina, FKH Unud, dll

  • -    Berbagai sudut pandang dan kepentingan: pemanfaatan penyu untuk

  • -    Keterkaitan antar berbagai tingkatan pengelola (lokal, regional, nasional, dll.)

  • -    Keterwakilan dari berbagai kepentingan

No.

Karakteristik

Parameter

Bukti pendukung

- Berbagai sudut pandang dalam melihat masalah

upacara dari desa adat; pelestarian penyu dari LSM lingkungan dan pemerintah; pemanfaatan penyu untuk pariwisata dari pelaku wisata

2.

Komunikasi dan negosiasi

  • -    Pengembangan           -

kesepahaman

  • -    Dialog untuk menimbang dan menghargai

perbedaan kepentingan     -

  • -    Perbedaan pandangan dikemukakan dan dimodifikasi melalui komunikasi dua arah

Berbagai dialog melibatkan pemerintah, masyarakat, LSM lingkungan, Universitas, pemuka agama mencari solusi pelestarian penyu

Paruman Sulinggih Bali-Lombok merespon masukan dari WWF, Greenpeace, pemerintahdan pelaku pariwisata`

3.

Pengambilan keputusan yang bersifat transaksional

  • -    Keputusan diambil         -

melalui dialog untuk mencapai kesepakatan

  • -    Terdapat beragam masukan dalam pengambilan keputusan

  • -    Keputusan                -

mengedepankan kesetaraan dan efisiensi

  • -    Berbagai jenis informasi diterima melalui berbagai sistem pengetahuan (termasuk pengetahuan kearifan lokal)

Bhisama PHDI Pusat tentang aturan penggunaan satwa terancam punah untuk upacara agama, yang merupakan hasil keputusan bersama dan masukan berbagai unsur masyarakat, pemerintah dan dunia internasional

Desakan dunia internasional untuk perlindungan penyu berbasis ilmu pengetahuan, sedangkan PHDI mempertimbangkan putusan berdasarkan kearifan lokal

4.

Pembelajaran sosial

  • -    Dilaksanakannya          -

aksi/penelitian bersama

  • -    Modifikasi kerja            -

berdasarkan proses refleksi berkelanjutan

  • -    Respon terhadap            -

kesalahan rutin dalam sistem (pembelajaran

siklus tunggal)               -

  • -    Respon terhadap nilai-nilai dan kebijakan yang menjadi dasar pelaksanaan prosedur rutin (pembelajaran siklus ganda)

  • -    Secara aktif mempertanyakan norma dan standar yang mendasari nilai-nilai dan kebijakan (pembelajaran tiga siklus)

Keterlibatan lembaga penelitian/universitas di TCEC MoU TCEC dan BKSDA Bali tentang program konservasi penyu melalui demplot pembesaran tukik

Monitoring dan evaluasi sebagai bentuk pembelajaran siklus tunggal dijalankan BKSDA Bali

Pembelajaran sosial (sebagai bentuk pembelajaran siklus ganda dan tiga siklus) belum berjalan sehingga belum menghasilkan aksi nyata, namun terus berkembang dialog tentang pemanfaatan penyu secara simbolis (tanpa membunuh penyu) dengan menggali kembali sumber-sumber rujukan yang sahih dari kitab-kitab suci agama Hindu

Sumber: diadaptasi dari Plummer dan Armitage, 2006

Pengelolaan penyu baik penangkaran maupun pemanfaatannya untuk keperluan adat dapat dikategorikan sebagai tata kelola ko-manajemen, sebagimana hasil analisis pada Tabel 1. Analisis ini didasarkan pada berbagai ciri pengelolaan satwa penyu di Pulau Serangan yang mengedepankan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah (diwakili oleh BKSDA Bali) dan masyarakat (diwakili oleh TCEC). Sebagaimana didefinisikan oleh Jentoft et al. (1998), ko-manajemen adalah proses pengambilan keputusan yang bersifar kolaboratif dan partisipatif di antara pemangku kepentingan, agen-agen pemerintah dan organisasi penelitian. Dalam hal ini, pendekatan birokratis dalam pengelolaan sumber daya alam digantikan dengan pelimpahan kewenangan kepada organisasi-organisasi pengguna sumber daya alam di tingkat nasional, regional, hingga lokal.

Tata kelola ko-manajemen dalam pelestarian dan pemanfaatan penyu di Pulau Serangan merupakan terobosan baru sebagai pengganti tata kelola berbasis peraturan perundangan yang dirasakan kurang efektif dan menimbulkan pertentangan di masyarakat. Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa sistem tata kelola ini merupakan hasil kompromi yang tidak serta merta mencapai tujuan yang diharapkan. Hal

ini tampak dari beberapa kelemahan sistem tata kelola ini, seperti penyelundupan penyu, belum terorganisasinya pencatatan jumlah penyu yang digunakan untuk upacara adat yang bersumber dari pengawasan yang terlalu longgar, serta kemandegan dalam pembahasan penghapusan penggunaan penyu untuk upacara adat (Suriyani 2017).

  • 3.3.    Tingkat Adaptasi Masyarakat Pulau Serangan terhadap Perubahan Kondisi Sosial-Ekonomi dan Lingkungan

Plummer dan Armitage (2006) menyediakan kerangka kerja evaluasi tata kelola adaptif berdasarkan prinsip resiliensi/ketahanan. Berdasarkan kerangka kerja ini, hasil penerapan tata kelola adaptif bisa dievaluasi berdasarkan parameterparameter umum yang bisa diamati/diukur. Dengan demikian, kapasitas adaptif masyarakat Pulau Serangan dalam mengelola sumber daya alamnya bisa dianalisis dan diukur berdasarkan kerangka kerja ini. Secara kualitatif dan dalam lingkup yang terbatas berdasarkan hasil penelitian ini, berikut tersaji analisis kapasitas adaptif masyarakat Pulau Serangan dalam mengelola sumber daya alam (satwa penyu, terumbu karang, dan biota laut) bersumber dari kerangka kerja Plummer dan Armitage (2006) (Tabel 3).

Tabel 3. Analisis Kualitatif Kapasitas Adaptif Tata Kelola Penyu, Terumbu Karang dan Biota Laut di Pulau Serangan

No.

Jenis

Parameter

Capaian

Kelemahan

1.

Parameter Utama

- Peningkatan kesejahteraan/peng-hidupan

- Kelestarian ekologis

  • -    Alternatif pekerjaan dari pariwisata dan jasa-jasa lainnya

  • -  Terhentinya penambangan

karang dan pembantaian penyu

  • -    Persepsi nelayan berupa penurunan kesejahteraan nelayan tangkap dan ikan hias akibat menurunnya jumlah tangkapan

  • -    Meningkatnya permasalahan sampah

2.

Parameter tingkat pertama (dari inisiatif pengelolaa n penyu, terumbu

Tampak (tangible)

  • -    Rencana pengelolaan SDA

  • -    Penyelesaian konflik dan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah sumber daya

  • -    Pernyataan aksi yang

  • -    Belum ada

  • -    Bhisama PHDI Pusat tentang aturan penggunaan satwa terancam punah untuk upacara agama

  • -    Belum ada rencana pengelolaan SDA

  • -    Bertentangan dengan aturan perundangan resmi

  • -    Lemahnya pengawasan

No.

Jenis

Parameter

Capaian

Kelemahan

karang dan biota laut)

tercatat secara resmi

  • -    Sanksi yang disepakati

  • -    Pengaturan institusi

(formal dan/atau informal) yang baru atau hasil modifikasi

  • -    MoU BKSDA Bali dengan berbagai lembaga konservasi penyu

  • -    Awig-awig Desa Adat Serangan tentang larangan mengambil karang, larangan menangkap penyu

  • -    Pendirian TCEC; rekomendasi dan prosedur pemanfaatan penyu untuk upacara agama

dan data tak terverifikasi

- Sanksi adat belum pernah diterapkan meskipun ada indikasi pelanggaran*

-

Tak tampak (intangible) - Peningkatan legitimasi kebijakan dan aksi

  • -    Kapasitas adaptif yang lebih besar (hidup berdampingan dengan ketidakpastian dan dinamika lintas-skala)

  • -    Modal sosial dan sumberdaya manusia

  • -    Ide-ide kreatif untuk memecahkan masalah

  • -    Legitimasi pemanfaatan penyu secara quasi-legal

  • -    Perubahan alternatif mata pencaharian penduduk secara fleksibel

  • -    Kelompok nelayan, desa adat, Badan Usaha Milik Desa Adat, dll.

  • -    Kreatifitas dalam pendirian ekowisata (adopsi tukik, transplantasi terumbu karang)

  • -    Kebuntuan larangan total pemanfaatan penyu

  • -    Kapasitas adaptif sumber daya alam belum diketahui

3.

Contoh parameter tingkat kedua (diluar batas wilayah kerja)

  • -    Pelaksanaan kerjasama baru di luar permasalahan utama

  • -    Perubahan dalam persepsi (pandangan) dan aksi (perilaku)

  • -    Perluasan dari pengaturan awal untuk mengatasi permasalahan tambahan di dalam kerangka masalah

-

  • -    Berbagai CSR antara TCEC/masyarakat Pulau Serangan dengan Pertamina, Indonesia Power, BTID, dll.

  • -    Penangkapan ikan hias ramah lingkungan, transplantasi karang dan penetasan/pembesaran penyu

  • -  Kegiatan CBCRM yang

berkembang menjadi ekowisata green island, pengambilan dan penetasan telur penyu di luar wilayah

  • -    Masalah keberlanjutan program setelah dana CSR terhenti

  • -    Perubahan persepsi tidak selalu berujung perubahan aksi (contoh: penangkapan hiu)

  • -    Kegiatan konservasi kehilangan fokus karena keuntungan finansial yang didapat dari aktivitas komersial

4.

Contoh parameter tingkat ketiga (dampak lanjutan)

  • -    Pemberdayaan masyarakat yang lebih luas

  • -    Penggunaan pendekatan kerjasama yang berkelanjutan

  • -    Institusi baru dicatat dan/atau diresmikan dalam tatanan hukum

  • -   Kerajinan penyu tiruan oleh

penduduk sekitar yang dijual di TCEC (Gambar 4.17)

  • -   Intensitas MoU institusi

masyarakat dengan pemerintah dan swasta

  • -  Awig-awig larangan

penambangan karang untuk bangunan dan pura

- Pemberdayaan baru sebatas peningkatan penghasilan

Sumber: diadaptasi dari Plummer dan Armitage, 2006

Berdasarkan Tabel 2 masyarakat Pulau maupun sosial ekonomi. Serangan memiliki kapasitas adaptasi yang Kekurangan/keterbatasan yang ditemui cukup kuat untuk menghadapi berbagai menyangkut respon institusional (seperti perubahan kondisi, baik lingkungan alam perubahan kesepakatan/MoU, keberlanjutan

program non-komersial, penerapan sanksi adat, dsb.).

Kondisi terkini kemampuan adaptasi masyarakat Pulau Serangan dalam merespon perubahan tergali dalam wawancara kepada TCEC, pelaku wisata dan nelayan terhadap penutupan akses ke dalam kawasan BTID. Pelaku wisata dan nelayan menangkap peluang memanfaatkan perahu nelayan untuk mengantarkan wisatawan ke lokasi surfing melalui jalur laut, sementara TCEC berencana memanfaatkan perahu nelayan untuk mengantarkan wisatawan melepas tukik langsung ke laut.

  • 4. SIMPULAN DAN SARAN

  • 4.1    Simpulan

Simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Wujud kemitraan yang dapat ditemui di Pulau Serangan meliputi: kemitraan antar institusi pemerintah dalam pengelolaan biota laut berbasis peraturan      perundang-undangan,

kemitraan lintas sektor dalam pelestarian dan pemanfaatan penyu, serta kemitraan level “akar-rumput” dalam pengembangan transplantasi terumbu karang.

  • 2.    Sistem tata kelola berbasis kemitraan lingkungan   di Pulau   Serangan

meliputi: tata kelola berupa kemitraan pemerintah  dan swasta  (public -

private     partnerships)     dalam

penyediaan  infrastruktur pariwisata

yang berkembang lebih lanjut melalui pendirian TCEC, tata kelola kolaboratif   berupa manajemen

sumber daya pesisir berbasis masyarakat   (Community Based

Coastal  Resource Management)

dalam    bentuk    kemitraanLSM

lingkungan dengan masyarakat lokal dan pemerintah daerah, dan tata kelola ko-manajemen adaptif dalam pelestarian dan pemanfaatan penyu.

  • 3.    Tingkat adaptasi masyarakat Pulau Serangan     terhadap     berbagai

perubahan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi cukup tinggi sehingga

menjamin berjalannya berbagai sistem tata kelola adaptif berbasis kemitraan lingkungan di atas.

  • 4.2    Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:

  • 1.    Perlunya dikembangkan pendataan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik-praktik tata kelola penyu, terumbu karang, dan biota laut, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, agar populasi terpantau lebih baik dan penyelundupan dapat dicegah sehingga pelestariannya dapat lebih terjamin.

  • 2.    Perlunya proses pembelajaran sosial melalui dialog, refleksi, dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap kesepakatan, kebijakan, dan regulasi untuk disesuaikan dengan kondisi terkini dari sumber daya alam tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Burhan, R., Wirawan, A.A.B., Sulandjari, 2017. Perlawanan masyarakat Hindu Bali terhadap reklamasi di Denpasar 1990 – 2014, Jurnal Humanis 19(1): 110-115.

Conley, A., Moote, MA., 2003. Evaluating collaborative      natural      resource

management, Society and Natural Resources 16: 371-386.

Darmawan, IGS dan IWW Sastrawan, 2018. Faktor-faktor pengaruh perubahan kondisi fisik lahan pascareklamasi di Pulau Serangan, Anala 2(18): 14-26.

Diaz-Kope, L dan Miller-Stevens, K, 2015. Rethinking a Typology of Watershed Partnerships: A governance perspective, Public Works Management & Policy 20(1): 29-48.

Jentoft, S., McCay, BJ., Wilson, DC., 1998. Social theory and fisheries comanagement, Marine Policy 22 (4-5): 423-436.

Minaputri, E.F, 2014. “Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan” (skripsi),  Bogor:   Institut  Pertanian

Bogor.

Plummer, R., Armitage, DR., 2006. A resilience-based     framework     for

evaluating adaptive co-management: linking ecology, economics and society in a complex world, Ecological Economics 61: 62-74.

Sharma, Monika dan Anita Bindal, 2014. Public-private partnership, International Journal of Research 1(7): 1270-1274.

Sudiana, I.G.N., 2010. Transformasi budaya masyarakat Desa Serangan di Denpasar Selatan dalam pelestarian satwa penyu, Jurnal Bumi Lestari 20(2): 311-320.

Suriyani, LD, 2014. Belasan Tahun Konservasi Pasca Reklamasi, tersedia di https://balebengong.id/lingkungan/belas an-tahun-konservasi-pasca-reklamasi.html?lang=id

Suriyani, LD, 2017. Green Island, Lokasi Pelepasan Hewan Selundupan di Pulau Serangan,          tersedia          di

https://www.mongabay.co.id/2017/02/0 8/green-island-lokasi-pelepasan-hewan-selundupan-di-pulau-serangan/

Woinarski, L.,  2002. “Pulau Serangan:

Dampak pembangunan pada lingkungan dan masyarakat” (Laporan Studi Lapangan). Denpasar:   Universitas

Muhammadiyah Malang dan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies.

96