IDENTIFIKASI MAKROZOOBENTHOS DI TUKAD BAUSAN, DESA PERERENAN, KABUPATEN BADUNG, BALI
on
Ecotrophic ♦ 5 (1): 41 - 44
ISSN: 1907-5626
IDENTIFIKASI MAKROZOOBENTHOS DI TUKAD BAUSAN, DESA PERERENAN, KABUPATEN BADUNG, BALI
Oleh
Ni Made Suartini1, Ni Wayan Sudatri1, Made Pharmawati1 dan A. A. G. Raka Dalem1,2 1Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana, Denpasar
2Program Pascasarjana Kajian Pariwisata, UNUD, Denpasar, e-mail: sustainablebali@yahoo.com
Abstrak
Studi tentang makrozoobenthos telah dilakukan di sekitar Tukad Bausan, Desa Pererenan, Kabupaten Badung, Bali pada bulan September 2006 sampai bulan Desember 2006. Terdapat 6 stasiun pengambilan sampel yang ditetapkan secara purposif. Pada setiap stasiun, sampel diambil dengan transek seluas 40 cm x 40 cm dan sedalam lebih kurang 40 cm (sepanjang solum memungkinkan) dengan 5 sampling unit yang ditetapkan secara acak. Ditemukan sebanyak 17 jenis makrozoobenthos. Tidak ada jenis yang dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Indeks keragaman makrozoobenthos adalah 2,28 yang mengindikasikan perairan Tukad Bausan kondisinya stabil dengan keragaman makrozoobenthos sedang.
Kata kunci: makrozoobenthos, Tukad Bausan, Indeks keragaman
Abstract
A macrozoobenthos study was conducted at Bausan River, Pererenan village, Badung regency, Bali between September and December, 2006. There were six sampling stations were determined purposively. At each station, five unit of square plots of 40 cm x 40 (in maximum solum depth) samples were taken. The result showed that there were seventeen species of macrozoobenthos were found. There was no protected species found in this study. The macrozoobenthos had 2,28 level of index diversity. This indicated that the ecosystem at this area was in a stable condition with a medium level of macrozoobenthos diversity.
Key words: macrozoobenthos, Bausan River, Diversifikasi index
PENDAHULUAN
Latar belakang
Proses pembangunan nampaknya sering sekali mengabaikan kelestarian alam dan lingkungan hidup. Namun di lain pihak, akhir-akhir ini perhatian masyarakat akan isu pembangunan ramah lingkungan semakin meningkat, yang searah dengan gerakan back to nature. Karenanya studi tentang lingkungan hidup, termasuk keberadaan fauna di perlukan sebelum melakukan suatu pembangunan. Perencanaan pembangunan diupayakan untuk tetap menjaga kelestarian fauna sebagai unsur penting dalam suatu ekosistem termasuk ekosistem air tawar.
Salah satu fauna perairan tawar adalah kelompok fauna invertebrata yang hidup di dasar perairan yang disebut kelompok zoobentos. Diantara kelompok zoobentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah spesies yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok tersebut lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993).
Makrozoobentos mempunyai peranan sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et al. (1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan,
makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi. Menurut Odum (1993), benthos merupakan organisme yang hidup di permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi tumbuhan (fitobentos) dan hewan (zoobentos). Zoobentos memegang beberapa peran penting di suatu perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind 1985), serta menduduki beberapa tingkat trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Makrozoobentos merupakan zoobenthos berukuran lebih dari 1 mm (Mann, 1982). Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3-5 mm saat pertumbuhannya maksimum. Lebih lanjut disebutkan bahwa organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Moluska, Nematoda dan Annelida.
Menurut Pennak (1989), berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar.
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi material organik. Zoobentos yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit perairan yang masih hidup maupun sudah mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Dalam studi ini dilakukan identifikasi keberadaan makrozoobenthos di Tukad Bausan, Desa Pererenan, Kabupaten Badung. Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat semakin meningkatnya pembangunan di sekitar daerah tersebut sehingga keberadaan makrozoobenthos tersebut dapat dipakai sebagai bioindikator di dalam pemantauan apakah kondisi lingkungan di tukad tersebut masih tergolong baik atau sudah menurun.
METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 1. Stasiun Pengambilan Sampel Makrozoobenthos di Tukad Bausan
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yaitu pada bulan September sampai Desember 2006. Penelitian ini dilaksanakan dengan radius 1 Km, berlokasi di sekitar muara Sungai (Tukad) Bausan dan termasuk Subak Kedungu (timur sungai) dan Subak Munggu Tegal Lantang (barat sungai). Wilayah penelitian juga termasuk hutan mangrove di sekitar aliran Tukad Bausan.
Teknik Pengumpulan Data dan Analisis
Sampel makrozoobenthos diambil dengan metode sampling dengan luasan transek 40 cm x 40 cm dan sedalam lebih kurang 40 cm, sepanjang solum memungkinkan. Sampel yang diambil, diayak dalam air dan diawetkan dengan spiritus, kemudian diamati di laboratorium.
Stasiun pengambilan sampel ditetapkan secara purposif dengan sampling unit ditetapkan secara acak (5 sampel) per stasiun sampling. Stasiun pengambilan sampel ditetapkan ada enam (Gambar 1.).
S I (Stasiun I), di muara: berbatasan langsung dengan pasir, substrat lumpur berpasir, lembek, dasarnya batu sedimen yang dipenuhi tritip.
S II (Stasiun II), di percabangan muara: kadang-kadang tergenang air, dekat kolam renang sebuah villa, substrat lumpur berpasir, lebih padat.
S III (Stasiun III), di tengah mangrove: berlumpur, ternaungi, bau tak sedap pada genangan air bercampur serasah daun, banyak akar nafas.
S IV (Stasiun IV), di tempat mancing ikan: lumpur dalam, beberapa ada tebing cadas, bagian atas solum tanah tipis (2-10 cm).
S V (Stasiun V), di dekat villa : tepi lumpur hitam lembek, bagian tengah ada tonjolan batu kali, tebing curam.
S VI (Stasiun VI), di dekat Pererenan Villa : tepi lumpur sawah, agak ke tengah pasir koral, tengah batu kali, ada bagian agak dalam.
Sampel yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan menggunakan beberapa buku acuan yaitu: Butot (1955), Jutting (1956), Pennak (1989), Dharma (1988) dan Dharma (1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dari sampling standar yang telah dilakukan di sungai Bausan, berhasil mengidentifikasi 17 jenis makrozoobenthos. Makrozoobenthos tersebut termasuk dalam phylum annelida, arthropoda dan moluska. Dari semua anggota phylum moluska yang ditemukan, terdapat satu anggota yang hanya dapat diidentifikasi sampai tingkat kelas yaitu kelas bivalvia seperti tercantum pada Tabel 1.
Pada Tabel 1. terlihat makrozoobenthos yang paling banyak ditemukan adalah dari phylum moluska karena pada umumnya moluska merupakan hewan yang sangat berhasil menyesuaikan diri untuk hidup di beberapa tempat dan cuaca. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Suwignyo et al. (1998). Lebih lanjut disebutkan bahwa kebanyakan moluska dijumpai di laut dangkal, beberapa pada kedalaman sampai 7000 m, beberapa di air payau, darat dan air tawar. Dengan demikian memungkinkan sekali untuk ditemukannya jenis moluska di tukad Bausan.
Tabel 1. Jenis-jenis makrozoobenthos yang ditemukan di
Tukad Bausan
No |
Nama Jenis |
Phylum |
Status |
1 |
Eunice sp. |
Annelida |
Tidak dilindungi |
2 |
Pagurus sp. |
Arthropoda (Crustacea) |
Tidak dilindungi |
3 |
Scylla serrata |
Arthropoda (Crustacea) |
Tidak dilindungi |
4 |
Uca sp. |
Arthropoda (Crustacea) |
Tidak dilindungi |
5 |
Thalamita danae |
Arthropoda (Crustacea) |
Tidak dilindungi |
6 |
Terebra plumbea |
Moluska |
Tidak dilindungi |
7 |
Bivalvia |
Moluska |
Tidak dilindungi |
8 |
Anentome Helena |
Moluska |
Tidak dilindungi |
9 |
Littoria scabra |
Moluska |
Tidak dilindungi |
10 |
Nerita plicata |
Moluska |
Tidak dilindungi |
11 |
Clithon longispina |
Moluska |
Tidak dilindungi |
12 |
Nerita planospira |
Moluska |
Tidak dilindungi |
13 |
Nerita auriculata |
Moluska |
Tidak dilindungi |
14 |
Neritina zigzag |
Moluska |
Tidak dilindungi |
15 |
Pila ampullaceal |
Moluska |
Tidak dilindungi |
16 |
Nerita polita |
Moluska |
Tidak dilindungi |
17 |
Melanoides tuberculata |
Moluska |
Tidak dilindungi |
Struktur substrat dasar akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis hewan makrozoobenthos (Welch, 1952). Ditemukannya jenis moluska yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis dari phylum lainnya didukung oleh substrat pada tempat penelitian yang kebanyakan substrat lumpur dan lumpur berpasir. Pada umumnya kelompok moluska dari kelas gastropoda yang dalam penelitian ini lebih banyak ditemukan, merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas yaitu pada substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur.
Faktor lingkungan dengan substrat dasar berupa lumpur yang sangat halus umumnya sangat mendukung untuk kehidupan cacing. Dalam hal ini substrat tempat penelitian dapat dikatakan kurang mendukung untuk kehidupan jenis makrozoobenthos dari kelompok cacing (annelida) yaitu lebih banyak substrat berpasir sehingga jenis tersebut sangat sedikit ditemukan.
Secara umum berbagai jenis makrozoobenthos sangat berperanan di dalam proses degradasi bahan-bahan organik yang ada di lingkungan perairan. Di samping itu, makrozoobenthos juga sering digunakan sebagai bioindikator yaitu digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi pada suatu perairan. Hal tersebut dapat dilihat dari indeks keragaman karena tingkat keragaman makrozoobentos di lingkungan perairan tertentu merupakan cerminan dari toleransi makrozoobentos tersebut terhadap lingkungan tempat hidupnya. Dalam penelitian ini, indeks keragaman makrozoobenthos adalah 2,28 dimana nilai tersebut terletak antara nilai 1 dan 3 yang berarti keragaman makrozoobenthos adalah sedang. Nilai tersebut juga mengindikasikan perairan sungai/Tukad Bausan berada dalam kondisi stabil.
Di antara seluruh jenis makrozoobenthos yang ditemukan di sungai tersebut, tidak ada dijumpai jenis yang dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, jenis makrozoobenthos tersebut dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu jenis yang bisa dimanfaatkan adalah Pila ampullacea yang juga sering disebut keong gondang atau gondang bola. Jenis tersebut biasanya banyak dijumpai di persawahan yang lingkungannya tidak tercemar, rawa, danau, bagian-bagian sungai yang berarus lambat dan dalam, berdasar lumpur dan banyak tumbuhan air.
Pila ampullacea merupakan salah satu sumber protein penting bagi masyarakat pedesaan di Bali pada jaman dahulu yang biasanya diolah sebagai bahan sayur dan bahkan di beberapa daerah masih dimanfaatkan sampai sekarang. Di samping itu, jenis ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak Menurut Dharma (1988), selain dimanfaatkan dagingnya, segala macam cangkang moluska setelah digiling halus merupakan bahan tambahan makanan ternak terutama untuk ayam petelur karena kandungan kalsium cangkang moluska berguna sekali dalam pembentukan kulit telur.
Anggota phylum moluska yang lain yaitu Melanoides tuberculata yang juga dikenal dengan nama susuh poleng merupakan moluska yang biasa ditemukan pada perairan tergenang atau mengalir terutama berdasar lumpur dan dapat dijumpai sampai pada tempat dengan ketinggian 1400 meter dari permukaan laut (Djajasasmita, 1999). Jenis tersebut juga ditemukan dalam penelitian ini tetapi oleh penduduk setempat jenis tersebut tidak dimanfaatkan sebagai sumber protein, demikian juga dengan jenis moluska lainnya.
Kepiting yang termasuk phylum arthropoda dari kelas crustacea juga sebenarnya merupakan sumber protein hewani bagi masyarakat tetapi kepiting yang berukuran kecil, seperti Uca sp., yang ditemukan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar daerah ini untuk dikonsumsi.
Selain jenis-jenis yang diperoleh pada transek yang dibuat, dalam penelitian ini juga dilakukan ‘casual observation’ di sekitar selokan air dan ternyata ditemukan jenis moluska lainnya yang jenisnya tidak terwakili pada sampling di atas. Jenis tersebut adalah Bellamya javanica (susul atau tutut jawa) dan Melanoides sp. Menurut Djajasasmita (1999), Bellamya javanica merupakan jenis yang umum ditemukan di danau, rawa, kolam, saluran irigasi dan sungai, biasanya hidup menempel pada batu-batuan atau bersembunyi di dasar berlumpur. Jenis tersebut juga biasa dimanfaatkan sebagai sumber protein oleh masyarakat pedesaan sedangkan Melanoides sp. tidak dimanfaatkan sebagai sumber protein oleh penduduk setempat.
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa makrozoobenthos yang ditemukan di tukad Bausan mempunyai peranan yang sangat penting baik ditinjau dari segi ekologi maupun dari segi ekonomi karena beberapa diantaranya ada yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Tukad Bausan, ditemukan sebanyak 17 jenis makrozoobenthos dimana dari semua jenis tersebut tidak ada jenis yang dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia. Berdasarkan analisis kuantitatif, indeks keragaman makrozoobentos adalah 2,28 yang berarti ekosistem berada dalam kondisi stabil.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam jangka panjang untuk mengetahui keberadaan makrozoobenthos tersebut secara lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Butot, L. J. M. 1955. The Mollusc of Panaitan (Prinseneiland) Land and Freshwater Molluscs. Treubia Vol. 23, Part 1, Museum Zoologicum Bogoriense: Bogor.
Cummins KW. 1975. Chapter VIII. Macroinvertebrates. dalam Whitton B. A. (ed.). River Ecology. Studies in Ecology. Vol. II. Blackwell Scient. Publ. Oxford.
Djajasasmita, M. 1999. Keong dan Kerang Sawah. Penerbit Puslitbang Biologi-LIPI.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia
(Indonesian Shell). PT. Sarana Graha: Jakarta.
Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia
(Indonesian Shell II). PT. Sarana Graha: Jakarta.
Lind OT. 1985. Handbook of Common Methods in Limnology. Second Edition. Kendall/Hunt Publishing Company. Dubuque, Iowa.
Mann KH. 1982. Ecology of Costal Water: System Approach. Blackwell Scientific Publisher. London.
Montagna P.A., J.E. Bauer, D .Hardin and R.B. Spies. 1989. Vertical Distribution of Microbial and Meiofaunal Populations in Sediments of Natural Coastal Hydrocarbon Seep. Journal of Marine Science. 47:657-680.
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Pennak RW. 1989. Fresh-Water Invertebrates of the United States. Protozoa to Mollusca. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Rosenberg DM, and VH Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall, New York. London.
Suwignyo S, B Widigdo, Y Wardianto, M Krisanti. 1998. Avertebrata Air. Jilid 2. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan . Bogor.
Van Benthem Jutting, W. S. S. 1956. Systematics Studies on the Non-Marine Mollusca of the IndoAustralian Archipelago. Treubia Vol 23 Part 2. Zoologicum Museum: Amsterdam.
Welch P.S. 1952. Limnological Methods. Mc. Graw-Hill Book Company. Inc. New York.
44
Discussion and feedback