Ecotrophic ♦ 3 (1): 16 - 20                                                  issn: 1907-5626

STUDI KUALITAS LINGKUNGAN PERAIRAN DI DAERAH BUDIDAYA PERIKANAN LAUT DI TELUK KAPING DAN

TELUK PEGAMETAN, BALI

Bejo Slamet 1), I Wayan Arthana 2) dan I W. Budiarsa Suyasa 3)

  • 1)    Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali

  • 2)    Program Magister Ilmu Lingkungan Udayana

  • 3)    Jurusan Kimia FMIPA Udayana

ABSTRAK

Penelitian dilakukan untuk mengetahui kualitas perairan Teluk Kaping dan Teluk Pegametan hubungannya dengan peruntukan lahan budidaya laut yang berbeda. Penelitian dilakukan pada 14 stasiun dengan 3 kali ulangan sampel air dan 5 kali ulangan sampel makrozoobenthos.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air yaitu TSS, DO, NH3 dan BOD5 masih dalam batas standar baku mutu menurut kantor KLH (2004). Ditemukan 49 jenis makrozoobenthos dengan kemelimpahan 58-209 ind./1.125 cm2 dan indeks keanekaragaman 1,56-2,91. Semua stasiun pada tingkat pencemaran ringan.

Secara keseluruhan kondisi perairan Teluk Kaping dan Teluk Pegametan masih cukup baik dan layak untuk budidaya, walaupun kualitasnya lebih rendah dibandingkan kontrol. Untuk kesinambungan budiaya perikanan di Teluk Kaping dan Teluk Pegametan, diperlukan upaya pelestarian lingkungan perairan secara terpadu dan berkelanjutan.

Kata kunci: Kualitas perairan, area budidaya laut.

ABSTRACT

The purpose of this study was to know the coastal environmental quality of Kaping and Pegametan Bay coastal area. The study was conducted from 14 stations with 3 replicates of water sampling and 5 replicates of makrozoobenthos sampling.

The result showed that water quality namely TSS, DO, NH3 and BOD5 were still in line criterion stated by office of KLH (2004). About 49 species of makrozoobenthos were examined, with abundance of makrozoobenthos was 58-209 ind./ 1,125 cm2 and diversity indeks was 1,56-2,91. The result on the integrated water quality analyses showed that the water quality all of station was classified to light pollution.

This result showed that the enviromnental of Kaping Bay dan Pegametan Bay coastal area was competent for mariculture although lower compered with control. For the continuity of fisheries aquaculture in Kaping Bay dan Pegametan Bay, Long term effort in environment conservation is needed better stretegy and action in an integrated and sustainable manners.

Keyword: environmental quality, mari culture area.

PENDAHULUAN

Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi penting yaitu sebagai sumber makanan, wahana trasnportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agroindustri, pariwisata, kawasan permukiman, dan perikanan budidaya (Dahuri, et al., 2001). Konsep dasar pemikiran pembangunan perikanan budidaya adalah konsep pembangunan berkelanjutan nasional Indonesia, yang di dalamnya termasuk perlindungan sumberdaya alam dan lingkungannya (Men. LH, 1997).

Perairan Teluk Sumberkima yang saat surut terbagi menjadi 2 teluk yaitu Teluk Kaping dan Teluk Pegametan merupakan kawasan percontohan pengembangan budidaya perikanan laut di Bali yang terletak di kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Pemanfaatan pesisir Teluk Kaping dan Teluk Pegametan antara lain untuk permukiman, pariwisata, perikanan tangkap, tambak udang, budidaya ikan di keramba jaring apung, budidaya kerang mutiara dan rumput laut. Kegiatan tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap keberlanjutan kelestarian sumberdaya alam, yang pada akhirnya akan memberikan tekanan ekologis yang berat akibat penurunan kualitas perairanya.

Keberhasilan usaha budidaya perikanan laut di pesisir wilayah kecamatan Gerokgak tersebut sangat ditentukan oleh media pemeliharaannya, maka dari itu penelitian tentang kondisi fisik, kimia biologi perairan perlu dilakukan untuk menunjang keberlanjutan usahanya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui

kualitas perairan Teluk Kaping dan Teluk Pegametan hubungannya dengan peruntukan lahan budidaya laut yang berbeda.

METODA PENELITIAN

Penelitian kualitas perairan dilakukan di Teluk Kaping dan Teluk Pegametan, yang termasuk wilayah Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Waktu pelaksanakan penelitian adalah pada bulan Desember 2007 sampai Februari 2008, yang merupakan saat puncak musim penghujan. Penentuan stasiun pengamatan berdasarkan perbedaan area pemanfaatan di kawasan perairan dan di daratan yaitu Teluk Kaping (Stasiun 16) dan Teluk Pegametan (Stasiun 7-12) yang digunakan sebagai kawasan budidaya perikanan laut serta stasiun kontrol (dengan kondisi perairan yang hampir sama dengan teluk Kaping dan Pegametan namun tidak digunakan sebagai kawasan budidaya perikanan laut) yaitu Teluk Sendang (Stasiun 13) dan Teluk Terima (Stasiun 14) (Gambar 1).

Pengambilan sampel air pada setiap stasiun pengamatan dilakukan pada 3 titik secara berstrata (Boyd, 1988), menggunakan Kemmerer Water Sampler sebanyak 1 liter, kemudian dimasukan dalam botol dan selanjutnya disimpan pada ice box dengan suhu kurang dari 4oC, untuk dianalisa di laboratorium (Adam, 1991). Analisis kualitas air (parameter fisika dan kimia) meliputi total padatan tersuspensi (TSS), oksigen terlarut (DO), amonia (NH3) dan kebutuhan oksigen

biokimia (BOD5), dilakukan di laboratorium kualitas air Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Buleleng Bali.

Gambar 1 Peta Stasiun Pengambilan Sampel Lokasi A : T Kaping (Stasiun 1-6), B : T Pegametan (Stasiun 7-12), Kontrol lokasi C dan D :T Sendang dan T Terima (Stasiun 13 dan 14)

(Sumber peta : Citra Satelit Echonos, dicetak oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali 2006)

Pengambilan sampel makrozoobenthos digunakan grab, secara sistematik yaitu setiap stasiun dilakukan pengambilan sampel pada 5 titik pengamatan. Sampel yang didapat dipisahkan dari benda lain dengan saringan ukuran 0,5 mm dan diawetkan dengan larutan formalin 5% (Tamai, 1989). Identifikasi jenis menggunakan buku identifikasi oleh Severn, et al, (2000); Fauchald (1977); Dharma (1988; 1990), Coleman (1991). Penghitungan indeks diversitas makrozoobenthos menggunakan rumus Shannon-Wiener, sedangkan indeks similaritas dan dominansinya menggunakan rumus Simpson (Odum, 1996).

Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia air laut dibandingkan dengan baku mutu air untuk biota Laut (Per.Gub. Bali No. 8 th 2007 dan Kep.Men. LH no.51 th 2004). Untuk mengetahui tingkat pencemaran masing-masing stasiun pengamatan, dilakukan penilaian parameter fisik-kimia dan biologi perairan secara terpadu (Lee et al. (1978).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Padatan Tersuspensi (TSS)

Nilai rata-rata padatan tersuspensi atau total suspended solid (TSS) untuk setiap stasiun (Tabel 1) berkisar antara 0,0070,011 ppm. Nilai TSS air pada bagian permukaan, tengah dan bawah tidak terdapat perbedaan yang nyata (Gambar 2). Nilai total padatan tersuspensi di daerah penelitian adalah masih sangat rendah dan jauh di bawah standar baku mutu air laut menurut Peraturan .Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007 dan etanutusan Menteri Lingkungan hidup No. 51 Tahun 2004 untuk biota laut yaitu < 20 ppm.

Pada stasiun 1 dan 2 mempunyai nilai TSS tinggi, lokasinya yang dekat dengan area tambak udang dan tambak garam, serta muara sungai, pantai berlumpur, sehingga menjadi 8ud7h keruh saat ennangdan ombak besar. Menurut Manik ( 2003), bahwa padatan tersuspensi berasal dari proses erosi di daratan seperti daerah pertambakan dan muara sungai. Padatan tersuspensi merupak13 penyebab kekeruhan air, tidak larut dan tidak dapat mengendap langsung (Fardiaz, 1992). Pada dasar perairan, padatan tersuspensi secara perlahan akan menutupi organisme bentos dan dapat mempengaruhi jaring-jaring pangan (Canter dan Hill, 1979). Konsentrasi padatan tersuspensi yang terlalu tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan menurunkan proses fotosintesis di perairan (Effendi, 2003).

Hasil pengamatan terhadap TSS di perairan Pulau Mun C Sulawesi Selatan didapatkan nilai TSS rata-rata 76,5 ppm (TSendangy et al. 2003), di perairan Selatan Bali didapatkan etan ra13-rata 5,86 ppm (Arthana, 2006) dan di Teluk Terima Bali barat didapatkan TSS berkisar antara 3,33-400 ppm (Wahyuni, 2003).

Oksigen Terlarut (DO)

Hasil pengamatan kadar oksigen terlarut dalam air (DO) rata-rata tiap stasiun berkisar 6,8-7,67 ppm dengan nilai rata-rata terendah pada stasiun 10 dan tertinggi pada stasiun 13 (Tabel 1). Bila dibandingkan nilai DO pada titik bagian permukaan air, tengah dan bawah pada Gambar 3, terlihat bahwa tertinggi pada bagian permukaan air (7,04-8,11 ppm; rata-rata 7,28 ppm), disusul kemudian titik bagian tengah (6,5-7,9 ppm; rata-rata 7,1 ppm) dan terendah pada titik bagian bawah (6,5-7,6 ppm; rata-rata 6,9 ppm). Hal ini disebabkan karena bagian permukaan air lebih mudah terdifusi oksigen dari udara melalui gerakan ombak, dan kegiatan fotosintesa phytoplankton lebih banyak di bagian permukaan air dibanding di bagian bawah air. Menurut Manik (2003) bahwa oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tumbuhan air dan dari udara yang masuk ke dalam air.

Nilai DO di daerah penelitian masih dalam batas standar baku mutu menurut Per.Gub. Bali No. 8 Th 2007 dan Kep.Men. LH No. 51 Th. 2004 untuk biota laut yaitu > 5 ppm.

Hasil pengamatan terhadap nilai DO di perairan Sumatera Barat yaitu di Pulau Sipora didapatkan nilai rata-rata DO 6,74 ppm dan Siberut 6,69 ppm (Edward, et al., 2004), di perairan Pulau Muna, Sulawesi Selatan didapatkan DO rata-rata 4,08 ppm (Masarabesy et al. 2003), di Teluk Terima Bali Barat didapatkan nilai DO berkisar antara ppm 7,3-9,8 ppm (Wahyuni, 2003).

0.0140

0.0120

0.0100

0.0080

0.0060

0.0040

0.0020

135791113

Stasiun

Permukaan Tengah Bawah

Gambar 2 Total Padatan Tersuspensi Stasiun Pengamatan

Stasiun

Permukaan Tengah Bawah

Gambar 3 DO Pada Tiap Stasiun Pengamatan

Kadar Amonia (NH3)

Kandungan amonia (NH3) rata-rata setiap stasiun didapatkan berkisar 0,012-0,036 ppm, dengan nilai rata-rata terendah (0,012 ppm) pada stasiun 7 dan 13, sedangkan tertinggi (0,036 ppm) pada stasiun 1 (Tabel 1). Penyebaran nilai kadar amonia pada titik bagian permukaan air, tengah dan bawah (Gambar 4) adalah relatif tidak berbeda. Nilai kadar amonia masih di bawah ambang batas baku mutu menurut Per.Gub. Bali No. 8 Th 2007 dan Kep.Men. LH No. 51 Th. 2004 untuk biota laut yaitu 0,3 ppm.

Amonia dapat berasal dari limbah budidaya perikanan laut yang berupa feses dan pakan yang tidak termakan yang terlepas ke lingkungan perairan (Barg, 1992). Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap biota dan toksisitas tersebut akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut. Biota laut khususnya ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan dapat menyebabkan sufokasi (kematian secara perlahan karena lemas) (Effendi, 2003).

Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD5)

Nilai BOD5 rata-rata setiap stasiun berkisar 2,08-8,72 ppm, dengan nilai rata-rata terendah pada stasiun 13 (2,08 ppm) dan tertinggi pada stasiun 1 dan 2 (8,33 dan 8,72 ppm) dan stasiun 8 (8,32 ppm) (Tabel 1). Peningkatan nilai BOD5 merupakan petunjuk tingginya kandungan bahan organik pada perairan tersebut yang ditunjukan oleh penurunan kandungan oksigen terlarut yang disebabkan oleh peningkatan jumlah

populasi organisme pengurai dan meningkatnya laju penguraian (Boyd, 1988). Stasiun 1, 2 dan 8 mempunyai nilai BOD5 yang tinggi (8,32-8,72 ppm) karena stasiun 1, 2 lokasinya dekat dengan daratan dan hutan bakau yang memungkinkan mendapatkan masukan bahan organik dari limpasan humus dari daratan dan serasah dari tanaman bakau serta stasiun 8 yang lokasinya dekat tambak udang yang memungkinkan mendapatkan masukan bahan organik dari buangan limbah tambak udang.

Perbandingan nilai rata-rata pada titik bagian permukaan air (5,67 ppm) adalah tertingi, disusul kemudian pada titik bagian bawah (5,55 ppm) dan terendah pada bagian tengah (5,33 ppm) (Gambar 5). Nilai BOD5 di daerah penelitian masih di bawah ambang batas standar baku mutu menurut Per.Gub. Bali No. 8 Th 2007 dan Kep.Men. LH No. 51 Th. 2004 untuk biota laut yaitu < 20 ppm.

Hasil pengamatan Wahyuni (2003), mendapatkan nilai BOD5 di Teluk Terima Bali Barat berkisar 0,73-3,42 ppm, Sedang pengamatan Arthana (2006) di perairan Selatan Bali didapatkan nilai BOD5 rata-rata 2,03 ppm.

Permukaan Tengah Bawah

Gambar 4 Kadar Amonia PadaTiap Stasiun Pengamatan

Stasiun

Permukaan Tengah Bawah

Gambar 5 Nilai BOD5 Pada Tiap Stasiun Pengamatan

Makrozoobenthos

Hasil penelitian didapatkan 49 jenis makrozoobenthos yang termasuk dalam 4 phyllum yaitu phyllum Annelida dari kelas Polychaeta meliputi 4 famili yang terdiri dari 6 jenis, phyllum Crustacea dari kelas Malacostraca meliputi 9 famili yang terdiri dari 11 jenis, phyllum Mollusca dari kelas Gastropoda meliputi 17 famili yang terdiri dari 23 jenis dan kelas

Bivalvia meliputi 5 famili yang terdiri dari 5 jenis, phyllum Echinodermata dari kelas Chrinoidea meliputi 1 famili yang terdiri dari 1 jenis, kelas Echinoidea meliputi 2 famili yang terdiri dari 2 jenis, serta kelas Holothuroidea meliputi 1 famili yang terdiri dari 1 jenis.

Komposisi relatif masing-masing phyllum makrozoobenthos adalah 34% Annelida, 4% Crustacea, 54% Molusca dan 8% Echinodermata. Indek diversitas (keanekaragaman) rata-rata di tiap-tiap stasiun pengamatan berkisar antara 1,56-2,91 (Tabel 2). Beberapa stasiun pengamatan antara lain di Teluk Kaping yaitu stasiun 5 (H’=1,88) dan di Teluk Pegametan yaitu stasiun 7 (H’=1,783), 10 (H’=1,560) dan 11 (H’=1,560) terlihat kecenderungan mengalami tekanan ekologis dan penurunan kualitas perairan, serta ketidak stabilan komunitas makrozoobenthos yang tercermin dari nilai indek keanekaragaman yang rendah. Hal ini juga ditunjukan oleh nilai indeks keseragaman yang relatif rendah pada stasiun 5 (0,484), stasiun 7 (0,458), stasiun 10 (0,401) dan stasiun 11 (0,401) (Tabel 2), walaupun masih masuk kriteria keseragaman sedang (0,4-0,6) (Lee et al., 1978), namun sudah pada batas bawahnya. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari buangan limbah budidaya perikanan laut karena ke 4 stasiun ini merupakan lokasi pengembangan budidaya perikanan laut. Nilai indeks dominansi di setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,10-0,50 (Tabel 2). Dari hasil ini, secara umum tidak terlihat adanya spesies tertentu yang mendominansi, karena hampir semuanyanya termasuk kriteria dominansi parsial rendah (<0,4) (Lee et al., 1978) kecuali pada stasiun 11 yang mempunyai nilai rata-rata indek dominansi 0,50.

Tabel 1. Nilai Rataan Kualitas Air tiap Stasiun Pengamatan

Stasiun

TSS (ppm)

Do (ppm)

NH3 (ppm)

BOD5 (ppm)

1

0,01

7,16

0,036

8,33

2

0,01

6,83

0,022

8,72

3

0,01

7,05

0,017

6,32

4

0,008

6,92

0,017

4,32

5

0,009

7,05

0,014

7,62

6

0,01

7,08

0,018

6,32

7

0,009

6,93

0,012

4,22

8

0,011

6,92

0,017

8,32

9

0,009

6,81

0,012

4,42

10

0,01

7,27

0,021

2,72

11

0,011

6,80

0,023

7,37

12

0,009

7,49

0,025

3,92

13

0,009

7,55

0,013

2,57

14

0,007

7,67

0,012

2,08

Rataan

0,0094

7,11

0,019

5,52

Penilaian Kualitas Air Terpadu

Hasil penilaian kualitas air terpadu dari parameter fisik, kimia dan biologi yaitu TSS, DO, BOD5, NH3 dan indeks diversitas makrozoobenthos menurut Lee et al. (1978) (Tabel 3), menunjukkan bahwa skor tertinggi pada stasiun 3 (3,75) dan terendah stasiun 7 (2,05), namun semua stasiun menunjukan tingkat pencemaran ringan. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi perairan ini masih cukup baik dan masih layak untuk budidaya perikanan.

T ab e 1 2 In de ks dive is it a s, s imila ritas da 11 D 0 in in ansi M akro zo ob e ntho s

S tasiun

Pengamatan

Indeks Diversitas (H

Indeks

Similaritas (E)

Indeks

Dominansi (C)

1

2,46

0,63

0,11

2

2,42

0,62

0,10

3

2,44

0,63

0,11

4

2,19

0,56

0,15

5

1,8«

0,48

0,21

6

2,58

0,66

0,11

7

1,95

0,50

0,25

S

2,09

0,54

0,34

9

2,08

0,53

0,19

10

1,56

0,40

0,34

11

1,56

0,40

0,50

12

2,31

0,59

0,15

13

2,58

0,66

0,11

14

2,91

0,75

0,12

Rata-rata

2,173

0,588

0,201

Tabel 3 Skor Secara Terpadu, Parameter Fisik, Kimia dan. Biologi

S tasiun

Skor I-D

Makrozoo-b e ntho s

Skor

Akhir

T ingkat Pencemaran

DO

NH3

BOD-

TSS

Rata-rata

1

1,0

1,0

6,0

1,0

2,3

3,8

3,05

Tercemar ringan

1,0

1,0

6,0

1,0

2,3

3,3

2,80

Tercemar ringan

3

1,0

1,0

6,0

1,0

2,3

3,0

2,65

Tercemar ringan

4

1,0

1,0

5,0

7 0

2,0

3,0

2,50

Tercemar ringan

5

1,0

1,0

6,0

1,0

2,3

4,8

3,55

Tercemar ringan

n

1,0

1,0

6,0

1,0

2,3

3,6

2,95

Tercemar ringan

7

1,0

1,0

5,0

1,0

2,0

3,2

2,60

Tercemar ringan

8

1,0

1,0

6,0

1,0

2,3

5,2

3,75

Tercemar ringan

y

1,0

1,0

5,0

1,0

2,0

4,8

3,40

Tercemar ringan

10

1,0

1,0

3,0

1,0

1,5

6,2

3,85

Tercemar ringan

11

1,0

1,0

6,0

1,0

2,3

4,4

3,35

Tercemar ringan

12

1,0

1,0

3,0

1,0

1,5

4,6

3,05

Tercemar ringan

13

1,0

1,0

3,0

1,0

1,5

1,5

3,8

2,65

Tercemar ringan

14

1,0

1,0

3,0

1,0

2,4

1,95

Tercemar ringan

Rataan

1,0

1,0

4,9

1,0

2,0

4,22

3,11

Tercemar ringan

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

  • 1.    Semua kualitas air yang terukur yaitu TSS, DO, NH3 dan BOD5 masih dalam batas baku mutu untuk biota laut menurut Per.Gub. Bali No. 8 Th 2007 dan Kep.Men. LH No. 51 Th. 2004 standar baku kantor KLH (2004).

  • 2.    Ditemukan 49 jenis makrozoobenthos dari phyllum Mollusca, Annelida, Echinodermata dan Crustacea; dengan kemelimpahan 58-209 ind./1.125 cm2.

  • 3.    Indeks diversitas 1,56-2,91; Indeks similaritas 0,4010,748; dan Indeks dominansi 0,10-0,50; terdapat kecenderungan adanya tekanan ekologis pada area pengembangan budidaya laut (stasiun 5, 7, 10 dan 11) yang ditandai oleh indeks diversitas makrozoobenthos yang rendah (1,56-1,88).

  • 4.    Hasil penilaian secara terpadu didapatkan semua stasiun masuk pada kriteria pencemaran ringan.

  • 5.    Kondisi perairan Teluk Kaping dan Teluk Pegametan sudah menunjukkan adanya penurunan kwalitas lingkungannya dibanding kontrol, walaupun masih layak untuk budidaya laut, namun sudah mengkawatirkan.

Saran

  • 1.    Dengan kecenderungan adanya tekanan ekologis pada area pengembangan budidaya laut (stasiun 5, 7, 10 dan 11) maka harus segera di lakukan penataan tata letak dan sistem pengelolaan limbah terhadap kegiatan

budidaya perikanan, agar tidak menurunkan kualitas perairannya.

  • 2.    Bagi instansi terkait bersama perangkat desa agar melakukan penertipan perijinan serta pembinaan akan pentingnya lingkungan hidup dengan sanksi tegas bagi yang melanggar.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, V.D. 1991. Water and Wastewater Examination Manual. Lewis Publisher, Inc. Michigan. USA.

Alaerts. G. dan S. Santika. 1987. Metode penelitian Air. Usaha Nasional,Surabaya.

Arthana, I.W. 2006. Monitoring Kualitas Air Laut di Pantai Selatan Bali. Jurnal Teknik Lingkungan Edisi Khusus : 317-324.

Barg, U.C. 1992. Guidelines for The Promotion of Environmental Management of Coastal Aquacultute Development. FAO Fisheries Technical Paper 328. FAO, Rome/ 122pp

Boyd, C.E, 1988. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Fourth Printing Auburn University Agriculture Experiment Station, Alabama, USA, 359p.

Canter, W.L. and L.G. Hill. 1979. Handbooks of Variable or Environmental Impact Assesment. Ann Arbor Sci. Pub. Inc. USA.

Coleman, N. 1991. Encyclopedia of Marine Animal. Harper Collins Publishers. Australia.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., and Sitepu. M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (Integrated Coastal and Marine Resource Management). PT. Paradnya Paramita, Jakarta.

Darma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shell I) PT Sarana Graha, Jakarta.

Darma, B. 1990. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shell II) Ver Lag, Jerman..

Edward, Muhajir, F. Ahmad dan Rozak.. 2004. Pengamatan Beberapa Sifat Kimia dan Fisika air laut di Ekositem Terumbu Karang Pulau Sipora dan Siberut, Kepulauan

Mentawai, Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Sorihi Vol.3 No.1: 38-60.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan Udara. Kerjasama Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Penerbit Kanisius.

Fauchald, S. 1977. The Polychaeta Worms. Definition and Keys to The Orders, Families and Genera. Chapmans Phototypesetting, Los Angles.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta : 32 hal.

Lee, R.F., Wang, S.S. and Huo. 1978. Bentic Macroinvertebrate Fish as Biological Indicator of Water Quality With Refference to Community Diversity Index. Modern Biology Series.

Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan Jakarta.

Masarabessy, M.D., Edward dan H. Prayitno. 2003. Rona Lingkungan Perairan Raha, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Prossiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia, Volume II: 104-120.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1997. AGENDA 21 INDONESIA. Strategi Nasional untuk pembangunan berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan hidup. 96 p.

Odum, E.P.1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gajah Mada University Press

Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007. Tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup.

Severn, P.F., Mike, S. and Ruth, D. 2000. Tropical Seashells of Indonesia. Periplus Nature Guides.

Wahyuni, M. 2003. Studi Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Terima. (tesis). Denpasar; Universitas Udayana.

20