ISSN 1907-5626

Morfometri dan Karakteristik Fisik Tumisi (Amphidromus peversus) dari Kampus Universitas Udayana

Bukit Jimbaran, Bali-Indonesia

MORFOMETRI DAN KARAKTERISTIK FISIK TUMISI (Amphidromus peversus) DARI KAMPUS

UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN, BALI-INDONESIA

N. W. Sudatri1 , N. M. Suartini1 dan A. A. G. Raka Dalem1,2

1Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana.

Kampus Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Denpasar-Bali (Indonesia) 80361 e-mail: sustainablebali@yahoo.com

2Program Studi Pariwisata, Universitas Udayana, Denpasar-Bali

ASBRACT

A study on mollusks (Amphidromus peversus) has been carried out on Udayana University, Bukit Jimbaran (Bali, Indonesia) campus between November, 2003- November, 2005. The study was undertaken on a secondary forest on a limestone dry soil with dominant vegetation of Glerecydium sepium, Lantana camara, Ceiba pentranda, and Acasia auriculiformis. Samples were randomly taken on quadrate samplings. Mollusks were captured on the land surface or on living vegetations. Results of the study showed that A. peversus has an average of shell length of 27.9 mm, shell width 18.0 mm , and body weight 7.90 g, number of shell whorls 5.3, with the proportion of direction of whorl to the right of 55.3%. The shell of A. peversus has no operculum. The color of the shell was yellow with brown stripes.

The relationship between shell length (X) and with body weight (Y) can be represented by the equation of Y = 0.473 X – 5.32 (R2 = 11.9 %), which showed week relationships between those parameters. Meanwhile the relationships between the shell length (X1), width (X2) and body weight (Y) was best fitted by the following equation : Y = 0.289 X1 + 0.0140 X2 – 3.47 (R2 = 94.9%).

Key words: Amphidromus peversus, morphometry, shell, relationship, Bali

PENDAHULUAN

Terdapat berbagai jenis fauna yang hidup di alam sekitar kita, salah satu dari fauna yang belum banyak diteliti adalah moluska darat yang salah satu speciesnya di Bali dikenal sebagai “tumisi” (Amphidromus peversus). Species ini cangkangnya sering dimanfaatkan untuk bahan “kerincingan” atau sejenis bel yang bersuara jika ditiup angin. Kerincingan ini terbuat dari A. peversus yang

diambil cangkangnya, dipotong bagian cangkang yang runcing,sebagai tempat dijulurkan paku besi yang digantung pada mulut cangkang.

Sampai saat ini, penelitian tentang tumisi ini masih sangat jarang dilakukan, terutama di Indonesia. Bekicot mungkin yang sudah agak banyak hasil penelitiannya. Dalam rangka menyediakan data dasar tentang tumisi, maka perlu untuk dilakukan penelitian-penelitian. Salah satu

penelitian dasar yang sangat penting dilaksanakan adalah tentang morfometri serta beberapa pengukuran beberapa parameter dari satwa ini.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kampus Universitas Udayana, Bukit Jimbaran (Bali, Indonesia) antara Nopember 2003- Nopember 2005. Lokasi penelitian merupakan kawasan hutan yang telah dirambah dengan tanaman pertanian lahan kering pada lahan yang berbatu kapur dengan vegetasi yang nampak dominan seperti Gamal (Glerecydium sepium), Kerasi (Lantana camara), Kapuk Randu (Ceiba pentranda), dan Acasia (Acasia auriculiformis).

Sampel diperoleh dari tujuh plot kuadrat yang dipilih secara acak. Setiap plot berukuran 5 x 5 meter (25 meter persegi) (dimodifikasi dari Pomeroy, 1969). Moluska ini ditangkap baik di atas tanah (pada reruntuhan dedaunan) atau di atas pada vegetasi yang masih hidup. Sampel ini dibawa dalam wadah kantong plastik, serta kemudian dibawa ke laboratorium Zoology, Jurusan Biologi, Universitas Udayana dimana ia diidentifikasi, ditimbang dengan neraca analitik (electric balance A&DCo. Ltd., Tokyo, Japan; ± 0.0003 g), panjang serta lebar cangkangnya (shells) diukur (menggunakan sebuah caliper Sunlon150 mm; ± 0.05 mm). Panjang cangkang diukur dari ujung anterior sampai ujung posterior. Lebar

cangkang diukur pada ‘maximum body whorl’nya (Oemarjati dan Wardana, 1990).

Parameter lainnya yang diteliti antara lain arah dari ‘shell whorl’, jumlah ‘whorls’ (putaran), serta ada atau tidaknya operculum. Arah dari ‘whorl’ ditentukan dengan pengamatan dari apex cangkang (shells), dimana ia (arah putarannya) dinyatakan dextral jika arahnya sesuai dengan arah perputaran jarum jam (clockwise), sedangkan kebalikannya disebut sinistral. Jumlah putaran dihitung dari apex dari cangkang (shells) (Oemarjati dan Wardana, 1990).

Siput ini diamati apakah ia mempunyai operculum atau tidak. Jika ia punya operculum, ia dinyatakan sebagai operculate, jika tidak non-operculate (Oemarjati dan Wardana, 1990).

Semua sampel dilepas kembali pada lokasi (plot) yang sama dimana mereka ditangkap, selambat-lambatnya sehari setelah penangkapan. Data (berat dan ukuran) dianalisis untuk menggambarkan hubungan antar parameter. Semua data dianalisis dengan program Excel 5.0 (Microsoft® Corp., USA), sedangkan analisis statistik mengacu pada kriteria Zar (1996).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tiga puluh delapan (38) individu tumisi (A. peversus) berhasil ditangkap dari plot yang telah ditetapkan, hasil penelitian ini disajiman pada Tabel

1. Individu-individu sampel tersebut mempunyai panjang rata-rata 27,9 mm ± 6,1 mm; lebar 18,0 mm ± 6,9 mm, berat 7,90 ± 8,39 g, jumlah putaran rata-rata 5,3 ± 0,6 buah, dengan arah putaran 21 (55,3%) ke kanan, sedangkan sisanya 17 (44,7%) ke kiri. Tumisi ini tidak mempunyai operculum.Warna cangkangnya kuning dengan garis-garis cokelat.

Hubungan antara panjang cangkang tumisi (X) dengan beratnya (Y) dapat dinyatakan dengan persamaan Y = 0,473 X – 5,32 (R2 = 11,9 %), yang menunjukkan adanya hubungan keterwakilan yang cukup rendah dari data panjang cangkang dengan beratnya. Sementara itu hubungan antara panjang cangkang (X1), lebar (X2) dengan berat tumisi (Y) dapat ditulis dalam persamaan Y = 0,501 X1 – 0,045 X2 – 5,27 dengan koefisien determinasi yang kecil (R2 = 12,0%). Namun setelah 9 data pencilan dihilangkan persamaan tersebut berubah menjadi Y = 0,289 X1 + 0,0140 X2 – 3,47 dengan koefisien determinasi yang tinggi (R2 = 94,9%).

Pembahasan

Hasil studi ini menunjukkan bahwa ukuran tumisi dari kampus UNUD Bukit Jimbaran tahun 2002 lalu (panjang cangkang rata-rata 27,9 mm ± 6,1 mm (sd) (kisaran 14,8-37,6 mm) sedikit lebih panjang dari pada cangkang species Asperitas waandersiana yang ditemukan di lokasi yang sama, yang dilaporkan mempunyai panjang rata-rata 20,41 mm ± 4,59 mm oleh Dalem (2004), namun lebarnya lebih sempit daripada lebar A. waandersiana (lebar cangkang tumisi rata-rata 18,0 mm ± 6,9 mm (kisaran 8,9 – 35,5 mm), sedangkan A. waandersiana rata-rata 25,36 mm ± 4,15 mm (kisaran 8,70 – 32,90 mm). A. peversus cangkangnya relative lebih kecil (lebih pendek dan lebih sempit) daripada cangkang A. fulica yang ditemukan di lokasi yang sama (panjang cangkang rata-rata 46.11 mm (sd 10.56 mm, n 41); lebar cangkang rata-rata 24. 92 mm (sd 4.46 mm, n 41) (Suartini et al., 2002).

Table 1. Perbandingan karakteristik Amphidromus peversus dengan karakteristik species lainnya.

No

Species

Panjang cangkang (mm)

Lebar cangkang (mm)

Berat (g)

Pustaka acuan

1

Amphidromus peversus

27,9 mm ± 6,1 mm (sd) (kisaran 14,8

37,6 mm; n 38)

18,0 mm ± 6,9 mm (sd) (kisaran 8,9 – 35,5 mm; n 38)

7,90 ± 8,39 g (sd) (kisaran 1,1534,80 g); n 38.

Hasil studi ini

2

Asperitas waandersiana

20,41 mm ± 4,59 mm (kisaran 2,30-29,90 mm) n 158

25,36 mm ± 4,15 mm (kisaran 8,70

32,90 mm) n 158

8,88 g ± 3,87 g (kisaran 0,5225,60 g) n 158

Dalem, 2004

3

Achatina fulica

Rata-rata 46.11 (sd 10.56, kisaran 16.963.5; n 41)

Rata-rata 24.92 (sd 4.46, kisaran 11.232.8 ; n 41)

Rata-rata 18.94 (sd 9.76, kisaran 3.545 - 48.0157; n 41)

Suartini et al., 2002


4

Bothriembryon bulla dari Quinn’s Rock (Western Australia), Coastal dunes: pale form

mean 23.15 (sd 0.81; n 8, dewasa)

mean 14.19 (sd 0.65; n 8, dewasa)

(Hill et al., 1983).

5

Bothriembryon bulla dari

Shorrento, Coastal Dunes (W.A.): pale form

Rata-rata 23.28 (sd 1.82; n 8, dewasa)

Rata-rata 13.64 (sd 2.82; n 8, dewasa)

(Hill et al., 1983).

6

Bothriembryon bulla dari

Coolbellup (W. A.), Overlap zones: pale and melanic forms collected together

Rata-rata 22.26 (sd

2.17; n 4)

Rata-rata 14.29 (sd

1.1; n 4)

(Hill et al., 1983).

7

Bothriembryon bulla dari King’s Park (W. A.), pale form 1477-78

Rata-rata 22.89 (sd 1.55; n 8)

Rata-rata 14.75 (sd 0.48; n 8)

(Hill et al., 1983).

8

Bothriembryon bulla dari Jandakot, Coastal Plains, Bassendean sands (W. A.), melanic forms

Rata-rata 14.70 (sd 0.28; n 2)

Rata-rata 11.09 (sd 0.42; n 2)

(Hill et al., 1983).

9

Bothriembryon bulla dari Swan View, Darling Escarpment (W. A.), pale form, 847-81

mean 22.10 (n 1)

mean 14.9 (n 1)

(Hill et al., 1983).


Hubungan antara panjang cangkang dengan berat A. peversus yang nampaknya berupa hubungan garis lurus walaupun nampak hubungan tersebut tidak terlalu nampak jelas (karena koefisien determiansinya rendah, yaitu 11,9%), nampaknya berbeda dengan pada A. waandersiana yang mempunyai hubungan tidak lurus (Y = 0,1059 X1,4466) (Dalem, 2004). Pada A. fulica juga mempunyai hubungan yang tidak lurus (Y = 0.0087X1.9845; R2 0.8577, n 41; Y berat, X panjang cangkang) (Suartini et al., 2002), demikian juga pada A. waandersiana (Y = 0,1059X1,4466, R2 0,6837) (Dalem, 2004).

Jumlah putaran ‘shell whorl” A. peversus ada 4-6 buah dengan mayoritas (55,3%) 5 putaran ‘shell whorl” sedangkan jumlah putaran pada A. waandersiana 3-6 (dengan jumlah putaran mayoritas (67,9%) juga 5; Dalem, 2004). Jumlah putaran kedua species moluska ini masih di bawah jumlah

putaran A. fulica yang berkisar antara 5-7, dimana sebagian besar diantaranya (90.24 %) memliliki 6 putaran (n = 43).

Arah putaran cangkang pada moluska nampaknya bervariasi antara species serta di dalam species itu sendiri. Pada species A. peversus, arah perputaran cangkangnya ada yang ke kanan serta ada yang ke kiri -- walaupun yang dominan (55,3%) ke arah kanan -- sementara itu, pada A. waandersiana dan A. fulica arah putaran putaran cangkangnya 100% ke arah kanan (dextral) (Dalem, 2004; Suartini et al., 2002).

Tumisi sama dengan A. waandersiana (Dalem, 2004) serta bekicot (Suartini et al., 2002), dimana ketiga species ini tidak mempunyai operculum. Oleh sebab itu pada bagian bukaan cangkang ini merupakan bagian yang paling rentan diserang oleh predator. Untuk tumisi kelihatannya memiliki cangkang yang lebih tebal daripada bekicot

(A. fulica) dan A. waandersiana (pers. obs.) sehingga cangkangnya lebih tahan terhadap serangan predator.

Warna A. peversus nampak lebih mencolok dari pada Asperitas serta bekicot, dimana pada A. peversus warna kuningnya cukup eksotik, sedangkan pada A. waandersiana dan A. fulica nampak dominan lebih gelap kecoklatan. Oleh sebab itu maka cangkang A. peversus secara alami nampak lebih eksotik dan menarik jika dipakai sebagai bahan “kerincingan” / ‘bel’ daripada cangkang kedua species lainnya. Hasil ini nampak berbeda dengan yang ditemukan pada species lainnya, misalnya pada Bothriembryon bulla, species moluska dari Australia, yang ternyata memiliki warna sangat bervariasi antar individu dalam species yang sama. Warnanya nampak bervariasi dari coklat kemerahan serta tanpa goresan warna lainnya (flameless) serta tipikal dengan “mid-whorls band” yang cerah, atau memiliki goresan warna lainnya (flamed), kadang-kadang mempunyai “banding” serta warnanya (ground colour-nya) bervariasi dari coklat gelap sampai kuning kehijauan (Hill et al., 1983)

SIMPULAN

Tumisi (A. peversus) yang ditangkap dari kampus UNUD Bukit Jimbaran (Bali) mempunyai panjang rata-rata 27,9 mm ± 6,1 mm, lebar 18,0 mm ± 6,9 mm, berat 7,90 ± 8,39 g, jumlah putaran 5,3 ± 0,6 buah, dengan arah putaran 55,3% ke kanan, sedangkan sisanya ke kiri. Cangkang A. peversus

tidak mempunyai operculum. Warna cangkangnya kuning dengan garis-garis cokelat.

Hubungan antara panjang cangkang tumisi (X) dengan beratnya (Y) dapat dinyatakan dengan persamaan Y = 0,473 X – 5,32 (R2 = 11,9 %), menunjukkan adanya hubungan keterwakilan yang cukup rendah atau lemah antara kedua parameter tersebut. Sementara itu hubungan antara panjang cangkang (X1), lebar (X2) dengan berat tumisi (Y) yang terbaik dapat ditulis dengan persamaan berikut Y = 0,289 X1 + 0,0140 X2 – 3,47 dengan koefisien determinasi yang tinggi (R2 = 94,9%) (setelah 9 data pencilan dihilangkan).

DAFTAR PUSTAKA

Berry, A. J. and L. C. Chan. 1968. Reproductive condition and tentacle extirpation in Malayan Achatina fulica (Pulmonata). Aust. J. Zool. 1968: 849-855.

Dalem, A. A. G. R. 1998. Demography and movement patterns of a population of eastern snake-necked turtles, Chelodina longicollis (Shaw, 1794). M.Sc.(Hons). Thesis. UWS-Hawkesbury: Richmond 2753 Australia.

Dalem, A. A. G. R. 2004. Morphometry of Asperitas waandersiana (Mousson, 1857) from Udayana University Campus, Bali (Indonesia). Accepted pada Jurnal Biologi, Jurusan Biologi-FMIPA, UNUD: Denpasar-Bali.

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). PT Sarana Graha: Jakarta.

Ewers, W. H. and C. R. Rose. 1966. Polymorphism in Velacumantus australis (Gastropoda: Potamididae) and its relationship to parasitism. Aust. J. Zool. 14: 49-64.

Hill, A., M. S. Johnson, and H. Merryfield. 1983. An electrophoretic and morphological examination of Bothriembryon kendricki (Pulmonata: Bulimulidae), a new species previously considered Conspecific with B. bulla (Menke). Aust. J. Zool. 31(3): 228242.

Mead, A. R. 1951. The giant African snail: A problem in economic Malacology. Chicago Univ. Press.

Oemarjati, B. S. dan W. Wardana. 1990. Taksonomi avertebrata:     Pengantar

praktikum laboratorium. UI-Press: Jakarta.

Pomeroy, D. E. 1969. Some aspects of the ecology of the land snail, Helicella virgata, in South Australia. Aust. J. Zool. 17: 495-514.

Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi konservasi. 345 pp. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Suartini, N. M., N. W. Sudatri, and A. A. G. R. Dalem. 2002. Physical characteristics and morphometry of Achatina fulica (Bowdich, 1822) from Udayana University campus (Bali-Indonesia). Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 2(2): 23-28.

www.giao.com/ chansy/html/listingx.htm dibuka tanggal 15 Juli 2004.

Zar, J. H., 1996. Biostatistical analysis (3rd ed.). Prentice-Hall, Inc.: Englewood Cliffs, N.J., USA.

ECOTROPHIC | VOLUME 2 NO. 2 NOVEMBER 2007

6