STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS PADA TIGA MUARA SUNGAI SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DI PESISIR PANTAI AMPENAN DAN PANTAI TANJUNG KARANG KOTA MATARAM LOMBOK
on
ECOTROPHIC • 7 (2) : 116 - 125
ISSN: 1907·5626
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS PADA TIGA MUARA SUNGA! SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DI PESISIR PANTAI AMPENAN DAN PANTAI TANJUNG KARANG KOTA MATARAM LOMBOK
Husnayati ^rtini 1), IWayan ^thana2∖Joko Wirytno3) 1J Program Magister I/mu Lingkungan Universitas Udayana 21Pusat penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana 3JFakultas MIPA Universitas Udayana Email : husna11atihartini@11ahoo com
ABSTRACT
Increasing the human activity may lead to decrease utilization of river waters quality. The purpose of this study were to find out structure of macrozoobenthos community as bioindicator of waters quality in three estuaries of Ampenan district; find out the chemical and physical conditions of waters; determine the relationship of physical chemical of waters and macrozoobenthos diversity indices. The study was conducted by dividing of each estuary into 10 stations. Community structure and physical chemical waters parameters was analyzed descriptively. The relationship of physical and chemical waters quality parameters with macrozoobenthos diversity indices was analyzed by regression. The results showed that 8 species found in the estuary of Berenyok, 11 species in the estuary of Ancar and 12 species in the estuary of Jangkok. Conditions of community structure in three estuaries balanced enough up to unstable. Physical and chemistry waters quality in three estuaries are still below the quality standard except for Hg. In Berenyok and Jangkok estuaries Hg values obtained in excess of standard quality. Pollution levels in the three estuaries ranging from moderate to heavily polluted. There is a linear correlation between macrozoobenthos diversity indices and DO parameter in each estuary.
Key words: Estuary, Macrozoobenthos, Waters quality
ABSTRAK
Tingginya aktivitas pemanfaatan sungai dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk: mengetahui struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas perairan pada tiga muara sungai di Kecamatan Ampenan; mengetahui kondisi fisik kimia perairan dan mengetahui hubungan fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman makrozoobentos. Penelitian dilakukan dengan dibagi menjadi 10 stasiun untuk tiap muara sungai. Struktur komunitas dan parameter fisik kimia perairan dianalisis secara deskriptif. Hubungan parameter fisik kimia perairan dan indeks keanekaragaman makrozoobentos dianalisis secara regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 8 jenis makrozoobentos di muara Sungai Berenyok, 11 jenis di muara Sungai Ancar dan 12 jenis di muara Sungai Jangkok. Kondisi struktur komunitas di tiga muara sungai cukup stabil hingga tidak stabil. Parameter fisik kimia perairan pada tiga muara sungai masih di bawah baku mutu kecuali Hg. Di muara Sungai Jangkok dan Berenyok diperoleh nilai Hg yang melebihi baku mutu. Tingkat pencemaran di tiga muara sungai mulai dari tercemar sedang hingga tercemar berat. Terdapat korelasi yang linier antara indeks keanekaragaman makrozoobentos dan parameter DO pada tiga muara sungai.
Kata kunci : Muara Sungai, Makrozoobentos, Kualitas Perairan
PENDAHULUAN
Kecamatan Ampenan merupakan salah satu kecamatan di Kota Mataram Lombok yang memiliki jumlah penduduk terpadat (8,3 ribu jiwa per km2) (Badan Pusat Statistik Kota Mataram, 2010). Terdapat tiga sungai yang bermuara di pesisir
pantai Kecamatan Ampenan yaitu Sungai Jangkok, Sungai Ancar dan Sungai Berenyok. Sungai Jangkok merupakan sungai yang bermuara di Pesisir Pantai Ampenan, sedangkan Sungai Ancar dan Sungai Berenyok bermuara di Pantai Tanjung Karang. Beberapa permasalahan yang terjadi di pesisir pantai diantaranya adalah abrasi pantai, pencemaran, dan
tingginya aktivitas penduduk yang memanfaatkan kawasan pesisir sebagai daerah pemukiman. Indikasi pencemaran di Pesisir Pantai Ampenan dan Pantai Tanjung Karang dapat dilihat dari kondisi ke tiga muara sungai yang cukup kotor. Begitu besarnya tekanan ekologis yang terjadi di ketiga muara sungai, maka perlu dilakukan penelitian mengenai struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas perairan pada tiga muara sungai di Pesisir Pantai Ampenan dan Pantai Tanjung Karang. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas perairan pada tiga muara sungai (2) mengetahui kondisi fisik kimia perairan dan (3) mengetahui hubungan fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman makrozoobentos.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2012 yang mengambil lokasi di tiga muara sungai di Kecamatan Ampenan Kota Mataram, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penentuan stasiun penelitian dilakukan dengan dibagi menjadi 10 stasiun untuk tiap muara sungai. Parameter yang diamati adalah parameter fi.sik perairan meliputi suhu, salinitas, kedalaman dan kekeruhan. Parameter kimia perairan yaitu pH, DO, BOD dan kadar merkuri. Parameter biologi meliputi struktur komunitas makrozoobentos. Parameter fisika substrat meliputi tekstur substrat, sedangkan parameter kimia substrat yaitu kandungan C-organik substrat.
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel makrozoobentos mengacu pada APHA (1992). Pengambilan sampel di tiap titik sampling menggunakan Eckman grab. Sampel kemudian diayak dengan saringan dengan diameter matajaring ukuran 0,5 mm. Sampel makrozoobentos yang sudah disaring kemudian diawetkan dengan formalin 4 % dan selanjutnya dianalisis di laboratorium. Hasil sampel makrozoobenthos yang diperoleh dicocokkan dengan gambar dan ciri-ciri yang terdapat dalam buku identifikasi menurut Pennak (1978), EPA (1982), EPA (1972), Abele dan Kim (1986), Carpenter (2002), Milligan (1997), dan sumber acuan lain yang representatif. Sampel substratjuga dibawa ke laboratorium untuk dianalisis tekstur dan kandungan C-organik substrat. Pengambilan sampel air dilakukan pada tiap stasiun. Pengukuran suhu, pH, salinitas dan kedalaman
dilakukan secara in-situ, sedangkan pengukuran DO, BOD, kekeruhan dan kadar merkuri dilakukan di laboratorium.
Analisis Data
-
a. Indeks Keanekaragaman / Diversitas (H')
Untuk menghitung keanekaragaman makrozoob-enthos digunakan Indeks Shanon dan Wiener (1949)
dalam Wibisono (2011) dengan persamaan sebagai
berikut:
n
H'=-I
PiLnPi
Keterangan
H' = Indeks keanekaragaman jenis ni = Jumlah individu taksa ke - i N = Jumlah total Individu
Pi = Proporsi spesies ke - i
Kategori nilai indeks Shannon Wienner (1949) dalam Wibisono (2011) mempunyai kisaran nilai tertentu yaitu:
H’ < 1 : Keanekaragaman rendah
1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang
H’ >3 : Keanekaragaman tinggi
-
b. Indeks Keseragaman (E)
Untuk menghitung indeks keseragaman jenis (Evenness indeks) menggunakan rumus dari Pielou (1966) dalam Romimohtarto (2009) yaitu:
E = .!:!:.. atau E = ^
Hmaks Ln S
Keterangan
E = Indeks keseragaman jenis
H' = Indeks keanekaragaman jenis
H maks = Indeks keragaman maksimum
S = Jumlah spesies
-
c. Indeks Dominansi (C)
Untuk mengetahui adanya dominansi dari jenis makrozoobentos yang ditemukan di perairan digunakan indeks Dominansi Simpson (1949) dalam Odum (1996), yaitu
c = I ^)2
i=1
Pi= ni/N
Keterangan
C = Indeks Dominansi
Pi = Proporsi spesies ke - i
-
d. Kelimpahan Jenis (K)
a
K = -- x 10.000
bxa
Kctcrangun
K = kelimpahan jcnis (ind/m2)
a = ,Jumlah individu makrozoobcntos jenis kc-i yang diperoleh
b = Luas area yang disampling (cm2)
n = .Jumlah ulangan pengambil:rn
10.000 = Komcrsi dari cm2 kc m2
-
e. Fantlli Biotik Indek (FBI)
Famili Biotik Indeks (FBI) dikenalkan oleh Hilsenhoff (1988), metode ini digunakan untuk mendeteksi pencemaran organik dan dasarnya adalah tingkatan famili yang toleran dan tidak toleran. Kisaran nilai toleransinya yaitu o sampai 10, sedangkan kisaran nilaiFBI dan kriteria kualitas air disajikan dalam Tabel 1. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah (Hilsenhoff, 1988; Plafkin et al., 1989; Bode et al., 1991) :
FBI=
ni x ti
N
Kctcrangan
n, = .Jumlah individu dalam taksa
t, = Nilai tolcransi :..pcsics
N = Jumlah total indhidu dulam sampcl
FBI = Famili Biotik Indek
Tabel 1. Kriteria kualitas air berdasarkan nilai FBI
Nilai lndeks |
Kriteria kual,tas air |
0.00-3.75 |
Sangat bagus sekali |
3.76-4,25 |
Bagus sekali |
4.26-5.00 |
Bagus |
5.01-5.75 |
Sedang |
5.76-6.50 |
Agak buruk |
6.51-7.25 |
Buruk |
7.26-10.00 |
Sangat Buruk |
Sumber Hilsenhoff (1988)
-
f. Analisis Stnu.."tU.r Komunitas dan Fisik Kinna air
Struktur komunitas makrozoobentos dan fisika kimia perairan dianalisis secara deskJiptif.
-
g. Analisis Regresi
Untuk mengetahui hubungan parameter fisika kimia perairan dan substrat terhadap indeks keanekaragaman makrozoobentos dianalisis secara regresi linier sederhana menggunakan perangkat lunak SPSS 17 dengan persamaan sebagai be1ikut (Suharjo, 2008)
Y = Po + P,X
Kctcrangan
Y = Variabcl tcrikat (indcks kcanckaragaman)
Po = Kocfisicn intercept rcgrcsi
P, = Koctisicn rcgrcsi
X= Variabcl behas (DO, pl I, ('-Organik, suhu, kckeruhan dan kcdalaman
-
h. Analisis Cluster
Untuk mendeteksi pengelompokan karakteristik antar stasiun pengamatan, digunakan pendekatan analisis multivariabel berdasarkan analisis cluster. Untuk mengetahui tingkat hubungan kesamaan berdasarkan parameter fisik kimia perairan dan substrat se1ta struktur komunitas makrozoobentos antar stasiun di tiga muara sungai dilakukan penghitungan indeks similaritas (kesamaan), kemudian disusun sebuah matriks similaritas dan dibuat gambar dendogram (Tamai, 1989 dalam Slamet, 2008). Dalam analisa ini digunakan perangkat lunak SPSS 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Jenis Makrozoobentos di Tiga Muara Sungai
Berdasarkan hasil pengamatan di muara Sungai Berenyok diperoleh 8 jenis makrozoobentos yaitu Pomacea sp, Nereis sp, Capitella sp, Tubifex sp, Branchiura sp, Lumbriculus sp, Helobdella sp dan Palaemonetes sp. ,Jenis yang mendominasi dan hampir ditemukan pada tiap stasiun meliputi Branchiura sp (44%), Tu.bifex (27°,-t), Lumbriculus sp (15%). Di muara Sungai Ancar diperoleh 11 jenis yang terdiri atas Tu.bifex sp, Branchiura sp, Lumbriculus sp, Nereis sp, Helobdella sp, Chironomous sp, Palaemonetes sp, Sesarma sp, Pachygrapsus sp, Pomacea sp dan Melanoides sp . .Jenis Tubifex sp merupakan jenis yang mendominasi (77%), kemudian jenis Branchiura sp (11%), Chironomus sp (3%), Lumbriculus sp (3%), dan Melanoides sp (2%). Komposisi makrozoobentos di muara Sungai .Jangkok terdiri atas 12 jenis yaitu Melanoides sp, Bellamya javanica, Pomacea sp, Clithon sp, Cellana sp, Nereis sp, Tubifex sp, Lumbriculus sp, Branchiura sp, Palaemonetes sp, Euchirograpsus sp dan Sesarma sp. Di mnara Sungai .Jangkok jenis yang mendominasi adalah Clithon sp (56%), kemudianjenis Melanoides sp (19%), Palaemonetes sp (8%) dan Cellana sp (5%). Berbeda dengan hasil penelitian Kurnia (2006), di muara Sungai .Jangkok diperolehjenis makrozoobentos yang dominan daJi kelas Gastropoda yaitn Balanus trigonus se1ta dari kelas Maxillapoda yaitu Littorina undulata.
Indeks Keanekaragaman (H'), Dontlnansi (C) dan Keseragan1an (E)
Indeks keanekaragaman makrozoobentos di muara Sungai Berenyok berkisar antara 0,61-1,28 dengan indeks rata-rata sebesar 1,03. Berdasarkan
indeks keanekaragaman Shanon dan Wiener dapat dinyatakan bahwa tingkat keanekaragaman rata-rata di muara Sungai Berenyok tergolong sedang dengan kondisi ekosistem yang cukup seimbang dan tekanan ekologis sedang. Indeks keseragaman rata-rata di muara Sungai Berenyok adalah 0,75. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keseragaman tem1asuk tinggi artinya distribusi individu masing-masingjenis di dalam komunitas sangat seimbang dan ekosistem sangat labil. Dominansi jenis di muara Sungai Berenyok berkisar antara 0,3-0,6 dengan rata-rata dominansi sebesar 0,42 atau dapat dinyatakan bahwa perkembangan jenis seimbang dan tidak terdapatjenis yang mendominasi. Di muara Sungai Ancar indeks keanekaragaman makrozoobentos tiap stasiun berkisar antara 0,23 - 1,03 dengan rata-rata keanekaragaman sebesar 0,58. Indeks keanekaragaman pada semua stasiun di muara Sungai Ancar nilainya kurang dari 1 kecuali stasiun 1. Hal ini menyatakan bahwa tingkat keanekaragaman tergolong rendah dengan kondisi ekosistem yang tidak stabil. Indeks keanekaragaman yang rendah dapat dilihat pada beberapa stasiun yang ada di dekat pemukiman penduduk (stasiun 6, 7, dan 8). Pada stasiun 9 dan 10 ditemukan adanya aktivitas pembuangan sampah serta terdapat pula aktivitas peternakan sapi masal milik warga sekitar, dimana hal ini tentunya dapat berdampak pula terhadap rendahnya indeks keanakeragaman makrozoobentos di lokasi tersebut. Di muara Sungai Ancar indeks keseragaman berkisar antara 0,3 - 1 dengan rata-rata keseragaman sebesar 0,67 atau masuk dalam katcgori sedang, artinya distribusi individu masing-masing jenis cukup seimbang dan ekosistem agak labil. Dominansijenis makrozoobentos pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,41-0,88 dengan rata-rata dominansi sebesar 0,64 yang menyatakan bahwa terdapat beberapa spesies yang mendominasi (dominansi ringan) (Legendre dan Legendre, 1983).
Indeks keanekaragaman makrozoobentos di muara Sungai Jangkok berkisar antara 0,25 1,46 dengan rata-rata keanekaragaman yaitu o,66. Tingkat keanekaragaman di muara Sungai Jangkok tergolong rendah, hal ini menggambarkan adanya indikasi tekanan ekologis yang sangat berat serta kondisi ekosistem yang tidak stabil. Indeks keseragaman di muara Sungai Jangkok berkisar antara 0,25 - 0,99 dengan rata-rata keseragaman yaitu o,68 dan masuk kategori sedang atau distribusi individu masing-masing jenis cukup seimbang. Dominansi jenis makrozoobentos pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,24-0,87 dengan
rata-rata dominansi sebesar 0,61 yang menyatakan bahwa terdapat beberapa spesies yang mendominasi (dominansi ringan).
• H' E ∙C
i o ⅛⅛¾⅛UM 0
^
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun
Gambar 2. Grafik indeks H', C dan E di muara Ancar
Gambar 3. Grafik indeks H', C dan E di muara Jangkok
Kelimpahan Jenis
Kelimpahanjenis pada masing-masing stasiun di muara Sungai Berenyok berkisar antara 200-3.870 ind/m2• Kelimpahan yang cukup tinggi dapat dilihat pada stasiun 5 (3.870 ind/m2), stasiun 1 (3.450 ind/m2) dan stasiun 10 (2.780 ind/m2). Stasiun 1 dan 5 memiliki tipe substrat lempung berpasir dan lumpur sehingga cenderung mengakumulasi bahan organik yang merupakan sumber makanan yang potensial bagi makrozoobentos. Pada stasiun 10 yang memiliki tipe substrat pasir berlempung memiki tingkat kelimpahan cukup tinggi walaupun kandungan bahan organik yang di miliki rendah
(0,32%). Hal ini disebabkan karena stasiun 10 memiliki tingkat kekeruhan paling rendah (6,78 NfU) bila dibandingkan dengan stasiun yang lain, sebagaimana dinyatakan oleh Reid (1961) dalam Wahyuni (2003) bahwa kondisi perairan yang keruh kurang disukai oleh makrozoobentos. Pada stasiun 1, s dan 10 ditemukan jenis yang dominan yaitu Branchiura sp, Tubifex sp dan Lumbriculus sp. Namun ada kecenderungan jenis Branchiura sp memiliki kisaran toleransi yang cukup luas pada berbagai tipe substrat serta kandungan organik baik tinggi maupun rendah. Kelimpahan rendah diperoleh pada stasiun 7 memiliki tipe substrat pasir berlempung dengan kandungan bahan organik rendah yaitu (0,44%) sehingga tidak menyediakan banyak makanan bagi organisme makrozoobentos. Namun pada stasiun 2 (tipe substrat lempung berlumpur) walaupun kandungan bahan organiknya tinggi (4,76 %) tingkat kelimpahannya rendah, hal ini kemungkinan disebabkan karena terhambatnya proses fisiologis bentos oleh bahan organik yang melimpah. Nybakken (1992) menyatakan bahwa berlimpahnya partikel organik yang halus dan mengendap di dasar perairan dapat menyumbat alat pernapasan bentos.
Kelimpahan makrozoobentos pada masing-masing stasiun di muara Sungai Ancar berkisar antara 15-875 ind∕m2∙ Kelimpahan yang tertinggi dapat dilihat pada stasiun 8 (875 ind/m2), kemudian stasiun 6 (800 ind/m2) dan stasiun 1 (745 ind/ m2). Stasiun 8 memiliki indeks dominansi tertinggi (0.84) dengan tipe substrat pasir. Pada stasiun 1, 6 dan 8 jenis yang mendominasi adalah Tubifex sp dan Branchiura sp. Namun ada kecenderungan jenis Tubifex sp memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap bahan organik yang rendah dengan tipe substrat pasir. Kelimpahan terendah dapat dilihat pada stasiun 4 (50 ind/m2), stasiun 5 (25 ind/m2), stasiun 9 (20 ind/m2) dan stasiun 10 (15 ind/m2). Kelimpahan yang rendah pada stasiun 4 (tipe substrat lumpur) kemungkinan disebabkan oleh terhambatnya alat pernapasan bentos oleh tingginya kandungan bahan organik (6%). Stasiun 10 dan 9 memiliki tingkat kekeruhan tertinggi mencapai 10 NTU. Selain kekeruhan, tingginya aktivitas pemanfaatan oksigen juga merupakan faktor penyebab rendahnya nilai kelimpahan. Hal ini dapat di lihat dari tingginya nilai BOD pada stasiun 10 yaitu (4,29 ppm). Jenis makrozoobentos yang diperoleh pada stasiun ini didominasi oleh Pomacea sp. Pada stasiun ini kemungkinan telah terjadi tekanan ekologis yang cukup tinggi akibat
aktivitas manusia seperti pembuangan limbah rumah tangga, limbah peternakan dan juga adanya aktivitas pembuangan sampah (TPS).
Kelimpahan makrozoobentos pada masing-masing stasiun di muara sungai Jangkok berkisar antara 75-1.300 ind/m2. Kelimpahan yang tertinggi dapat dilihat pada stasiun 2 (1.300 ind/m2) dan stasiun 4 (1.075 ind/m2). Semakin menjauh dari garis pantai tingkat kelimpahan semakin rendah, hal ini dapat dilihat pada stasiun 7, 8, 9 dan 10. Tipe substrat pada stasiun ini dominan pasir dengan kandungan bahan organik berkisar antara 0,69% - 4%. Selain itu faktor lain yang menyebabkan kelimpahan rendah adalah tingkat kedalaman perairan cukup dalam (> 2 meter). Sebagaimana dinyatakan oleh Nybakken (1992) bahwa kedalaman suatu perairan dapat membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi. Grafik tingkat kelimpahan pada masing-masing stasiun pada tiga muara sungai tersaji pada Gambar 4
Bcrenvok • Ancar • Jangkok
Gambar 4. Grafik kelimpahan jenis pada tiga muara sungai
Family Biotic Index (FBI)
Famili biotik indeks merupakan indeks yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan berdasarkan biota perairan. Dalam indeks ini, tiap jenis hewan makrozoobentos mempunyai nilai toleransi berbeda yang menggambarkan daya tahan spesies tersebut terhadap tingkat kualitas air. Semakin tinggi nilai toleransi yang dimiliki suatu spesies makrozoobentos maka hewan tersebut tergolong ke dalam jenis yang toleran terhadap kondisi perairan yang ekstrim begitujuga sebaliknya (Hilsenhoff 1988).
Indeks biotik (FBI) di muara Sungai Berenyok berkisar antara 7,1 - 8 dengan rata-rata indeks yaitu 7,75 dan masuk dalam kategori kualitas air yang sangat buruk. Terdapat perbedaan kategori kualitas perairan antara indeks Shanon dan Wiener dan FBI. Indeks Shanon Wiener rata-rata masuk dalam kategori sedang dan indeks biotik (FBI) rata-rata masuk dalam kategori sangat buruk. Perbedaan tersebut dikarenakan pada indeks FBI memperhatikan tingkat kepekaan jenis terhadap kondisi lingkungan perairannya dimana setiap
spesies memiliki nilai toleransi sesuai dengan tingkat kepekaannya terhadap perubahan lingkungan perairan. Bila dibandingkan dengan indeks Shanon dan Wiener, indeks ini hanya berupa parameter keanekaragaman jenis saja tanpa memperhatikan tingkat kepekaanjenis terhadap kondisi lingkungan perairannya (Setiawan, 2008).
Indeks biotik (FBI) di muara Sungai Ancar berkisar antara 6 - 8 dengan rata-rata indeks yaitu 7,47 dan masuk dalam kategori kualitas air yang sangat buruk. Di muara Sungai Ancar terdapat kesamaan kategori kualitas air antara indeks FBI dan indeks Shanon wiener yaitu sama-sama masuk dalam kategori sangat buruk (rendah). Indeks biotik (FBI) di muara Sungai Jangkok berkisar antara 4,5 - 7,3 dengan rata-rata indeks yaitu 6,30 dan masuk dalam kategori kualitas air yang agak buruk. Indeks biotik (FBI) di muara Sungai Jangkok cukup bervariasi namun pada indeks Shanon dan Wiener dominan masuk dalam kategori rendah.
Kualitas Fisika Kimia Perairan
Karbon Organik dan Tekstur Substrat
Di muara Sungai Berenyok, tekstur substrat cukup bervariasi mulai dari lempung berlumpur sampai dengan pasir berlempung. Kandungan bahan organik yang cukup tinggi di jumpai pada substrat mulai dari lumpur, lempung berlumpur, hingga lempung berpasir. Tekstur substrat di muara Sungai Ancar relatif homogen dan didominasi oleh fraksi pasir, kecuali pada stasiun 3 dan 4 tipe substratnya adalah lempung berpasir dan lumpur. Tekstur substrat di muara Sungai Jangkok juga relatif homogen dan didominasi oleh fraksi pasir, kecuali pada stasiun 8 tipe substratnya lempung berpasir. Grafik persentase Carbon organik pada tiga muara sungai tersaji pada Gambar 5:
• C-organik-A • C-organ,k-B • C-organik-J
3 4 5 6 7 8 9 10
Staslun
-
Gambar 5. Grafik persentase C-organik substrat pada tiga muara sungai
Oksigen terlarut (DO)
Berdasarkan pengukuran pada perairan di muara Sungai Berenyok, kandungan oksigen terlarut berkisar antara 3,23 - 4,68 ppm. Di muara Sungai Ancar, kandungan oksigen terlarut berkisar antara
-
3,2 - 4,78 ppm. Kandungan oksigen terlarut di muara Sungai Jangkok berkisar antara 3,94 -5,65 ppm. Berdasarkan PP No 82 Tahun 2001, kandungan DO di tiga muara sungai tersebut masih di atas angka batas minimum DO untuk air kelas III dan IV. Namun ada kecenderungan terjadi defisit oksi en khususn a di muara Sun ai Ancar.
-
• DO·A • DO·B • 00-J
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Staslun
Gambar 6 . Grafik kadar Oksigen terlarut pada tiga muara sungai
Kekeruhan (NTU) dan kedalaman
Tingkat kekeruhan di muara Sungai Berenyok berkisar antara 6,78 - 8,9 NTU. Stasiun 2 memiliki tingkat kekeruhan tertinggi (8,9 NTU) dan stasiun 10 memiliki tingkat kekeruhan terendah yaitu 6,78 NTU. Di muara Sungai Ancar, nilai kekeruhan berkisar antara 7,4 - 10 NTU. Stasiun 10 memiliki tingkat kekeruhan tertinggi (10 NTU) dan stasiun 3 memiliki tingkat kekeruhan terendah yaitu 7,44 NTU. Tingkat kekeruhan pada parairan di muara Sungai Jangkok berkisar antara 5,66 - 7,69 NTU. Stasiun 1 memiliki tingkat kekeruhan tertinggi (7,69 NTU) dan stasiun 8 memiliki tingkat kekeruhan terendah yaitu 5,66 NTU. Kedalaman perairan di muara Sungai Berenyok cukup bervariasi berkisar antara 0,5 -1,9 meter. Kedalaman perairan di muara Sungai Ancar berkisar antara o,6 - 2,1 meter. Kedalaman perairan di muara Sungai Jangkok berkisar antara 1,4 - 2,7 meter. Muara Jangkok memiliki rata-rata kedalaman tertinggi dibandingkan muara yang lain.
Suhu, pH, BOD dan Hg
Suhu perairan di muara Sungai Berenyok berkisar antara 33,6 - 34,1 °C, sedangkan suhu perairan di muara Sungai Ancar relatif homogen dengan rata-rata suhu sebesar 32,7 °C. Di muara Sungai Jangkok suhujuga relatifhomogen dengan rata-rata suhu sebesar 32,3 °C (Gambar 7). Menurut Macan (1974) dalam Adriana (2008) suhu 36,5°C - 41°C merupakan temperatur lethal bagi makrozoobentos artinya pada suhu tersebut organisme bentik telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian. Kisaran pH perairan di muara Sungai Berenyok antara 6,7 - 7,2. Kisaran pH perairan di muara Sungai Ancar relatif homogen dengan rata-rata pH sebesar 7,23. Kisaran pH perairan di muara Sungai Jangkokjuga relatifhomogen dengan
rata-rata pH sebesar 7,18. Nilai suhu dan pH di tiga muara sungai masih mendukung bagi kehidupan makrozoobentos.
Nilai BOD dan kadar Hg di perairan tersaji pada Gambar 8 dan Gambar 9. Nilai BOD di tiga muara masih di bawah baku mutu berdasarkan PP No 82 Tahun 2001. Kadar logam berat merkuri (Hg) di muara Sungai Berenyok berkisar antara 0,004 -0,006 ppm. Pada stasiun 1 kadar merkuri sebesar 0,006 ppm dan telah melampaui batas baku mutu yang ditetapkan oleh PP No 82 Tahun 2001 untuk air kelas IV. Kadar merkuri di muara Sungai Ancar berkisar antara 0,001 - 0,005 ppm. Tidak dijumpai kadar merkuri yang melampaui baku mutu pada masing-masing stasiun. Di muara Sungai Jangkok kadar merkuri berkisar antara 0,004 - 0,009 ppm. Pada stasiun 1 kadar merkuri cukup tinggi (0,009 ppm) dan telah melampaui baku mutu sesuai dengan PP No 82 Tahun 2001 untuk air kelas III. Di muara Sungai Jangkok ditemukan spesies yang toleran dengan kadar Hg 0,009 ppm yaitu Clithon sp.
Gambar 7. Grafik perbandingan suhu di tiga muara
Gambar 8. Grafik nilai BOD pada tiga muara sungai.
•Hg-A Hg-B •Hg-J
Stasiun
Gambar 9. Grafik kadar Hg pada tiga muara sungai.
Hubungan Fisik Kirnia Perairan dan Indeks Keanekaragarnan Makrozoobentos
Hasil penelitian di muara Sungai Berenyok diperoleh bahwa diantara variabel fisik kimia perairan seperti C-Organik, DO, suhu, pH, kedalaman dan kekeruhan ternyata variabel DO memiliki nilai koefisien regresi (R2) yang cukup tinggi (0,64) bila dibandingkan dengan variabel lain (R2 < 0,50). Hal ini menyatakan bahwa variabel DO memiliki hubungan yang linier dengan indeks keanekaragaman. Setelah dilakukan uji regresi linier sederhana diperoleh persamaan regresi untuk variabel DO dan indeks keanekaragaman di muara Sungai Berenyok yaitu Y=-o.576+0.403X dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,64. Hal ini menyatakan bahwa variabel oksigen terlarut (DO) memiliki keeratan hubungan dengan indeks keanekaragaman makrozoobentos sebesar 64%, sedangkan sisanya sebesar 36% disebabkan oleh variabel lain.
Di muara Sungai Ancar dan Jangkok diperoleh bahwa variabel DO juga memiliki hubungan yang linier dengan indeks keanekaragaman. Persamaan regresi yang di peroleh di muara Sungai Ancar yaitu Y= -1.276 + o,464X dengan nilai R2 sebesar 0,63. Hal ini menyatakan bahwa variabel DO di muara Sungai Ancar memiliki keeratan hubungan sebesar 63% dengan indeks keanekaragaman. Di muara Sungai Jangkok persamaan regresi linier yang diperoleh yaitu Y= -1,560 + 0,439 X dengan nilai R2 sebesar 0,54. Hal ini menyatakan bahwa variabel DO di muara Sungai Jangkok memiliki keeratan hubungan sebesar 54% dengan indeks keanekaragaman. Dalam Nybakken (1992) dinyatakan bahwa oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus rnenjadi faktor pembatas
bagi kehidupan biota air. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis tumbuhan air (Effendi, 2003). Dalam penelitian ini kadar oksigen terlarut cukup berperan dalam menunjang aktivitas respirasi makrozoobentos sehingga secara langsung berperan juga dalam menentukan jumlah, jenis dan keanekaragaman.
Sebaran Pengelompokan Karakteristik Stasiun
Pengelompokan karakteristik stasiun berdasarkan variabel C-organik dan tekstur substrat, DO, kedalaman, kekeruhan, suhu, pH, indeks keanekaragaman, keseragaman, dominansi serta kelimpahan diperoleh pengelompokan menjadi 3 kelompok (Gambar 10). Kelompok 1 yaitu seluruh stasiun yang ada di muara Sungai Ancar dan Jangkok serta stasiun 2, 3, 4, 6, 7 dan 9 di muara Sungai Berenyok memiliki nilai yang tidak terlalu signifikan pada semua variabel fisik kimia perairan, indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi. Perbedaan yang signifikan hanya terlihat pada nilai kelimpahan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena muara sungai tersebut memiliki pengaruh antropologis yang sama sehingga kondisi ekologisnya tidak berbeda nyata. Kelompok 2 yaitu stasiun 1, 5 dan 10 di muara Sungai Berenyok samasama memiliki tingkat kelimpahan yang tinggi yaitu stasiun 1 (3-450 ind/m2) stasiun 5 (3.870 ind/m2) dan stasiun 10 (2.780 ind/m2). Ketiga stasiun ini juga memiliki indeks keanekaragaman rata-rata 1,19. Pada stasiun 10 di muara Sungai Berenyok memiliki karakteristik yaitu tingkat kelimpahan tinggi namun kandungan bahan organik cukup rendah yaitu 0,32% serta kadar oksigen terlarut (DO) yang rendah pula (3,78 ppm). Spesies dominan pada stasiun ini adalah jenis Branchiura sp.
Kelompok 3 yaitu stasiun 8 di muara Sungai Berenyok memiliki karakteristik yang berbeda dengan stasiun lain. Perbedaan tersebut terlihat dari nilai kelimpahan yang cukup tinggi (1.800 ind/m2) namun pada kondisi DO yang rendah (3,71 ppm) serta kandungan C-organik 5% (substrat lempung berlumpur) dengan jenis yang dominan yaitu Branchiura sp dan Tubifex sp. Berdasarkan variabel C-Organik, tekstur substrat dan jumlah jenis makrozoobentos diperoleh pengelompokan karakteristik stasiun menjadi 5 kelompok (Gambar 11). Kelompok 1 terdiri atas stasiun A-1, A-2, A-3, A-4, A-5, A-6, A-7, A-8, A-9, A-10, B-2, B-3, B-6, B-7, J-1, J-3, J-5, J-7, J-8, J-9, dan J-10. Kelompok 2 terdiri atas B-1 dan B-10, kelompok 3 yaitu B-4,
B-8 dan B-9, kelompok 4 yaitu B-5 dan kelompok 5 yaitu J-2, J-4 dan J-6. Kelompok 3 yang terdiri atas stasiun 4, 8 dan 9 di muara Sungai Berenyok samasama memilik tingkat kelimpahan cukup tinggi yaitu stasiun 4 (1.015 ind/m2) stasiun 8 (1.800 ind/m2) dan stasiun 9 (1.150 ind/m2). Kandungan C-organik pada stasiun 4 yaitu 4% (substrat lempung berlumpur) dengan jenis dominan yaitu Branchiura sp, stasiun 8 kandungan C-organik yaitu 5 % (substrat lempung berlumpur) dengan jenis dominan yaitu Branchiura sp dan Tubifex sp dan stasiun 9 kandungan C-organik yaitu 2% (substrat lempung berpasir) dengan jenis dominan yaitu Branchiura sp.
Kelompok 4 yaitu stasiun 5 di muara Sungai Berenyok memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan stasiun lain yaitu memiliki nilai kelimpahan tertnggi yaitu 3.870 ind/m2, kandungan C-organik 6% (tekstur substrat lumpur) dan nilai DO 4,68 ppm dengan jenis yang mendominasi yaitu jenis Tubifex sp dan Lumbriculus sp. Dalam Nybakken (1992) dinyatakan bahwa perairan yang memiliki substrat berlumpur cenderung mengakumulasikan bahan organik sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos di tempat ini. Kelompok 5 yang terdiri atas stasiun 2, 4 dan 6 di muara Sungai Jangkok sama-sama memiliki nilai kelimpahan cukup tinggi yaitu stasiun 2 (1.300 ind/m2), stasiun 4 (1.075 ind/m2) dan stasiun 6 (775 ind/ m2). Kandungan C-organik pada 3 stasiun tersebut rata-rata < 1 % dengan substrat dasar yaitu pasir berlempung dan jenis dominan yaitu Clithon sp. Jenis Clithon sp banyak ditemukan menempel pada substrat berbatu.
8?
J5 A2
J3
J7 A3
B2 JlO AS AlO A9 A?
J9 JS 1\4
BJ 86 A6
Jl Al
J6 AS 89 J4 84
J2 88
Bl 85 810
Variabel : karbon organik, tekstur substrat, DO, kedalaman, kekeruhan, suhu, pH, indeks keanekaragaman, keseragaman, dominansi dan kelimpahan
6
21
26
8
19
14
22
11
20
Gambar 10. Dendogram cluster a (3 kelompok)
A5
J9
AlO A9 A7 JlO J3 87 J5 J7 AJ JB A4 02 03 06 A6 AB Al A2 Jl 04 89 BB J2 J4 J6 Bl 810 85
5 - +
29
10 -+
9
7
30 - +
23
17
25
27
3
28
4
12
13
16
6
B
1
2
21
14
19
18
22
24
26
11
20
variabel: tekstur substrat, karbon organik, danjumlah jenis makrozoobentos
→ I
-+ +∙
→ I
-+ I - + - +
Gambar 11. Oendogram Cluster b (5 kelompok)
SIMPUI.AN DAN SARAN
Simpulan:
-
1. Struktur komunitas makrozoobentos yang ditemukan di tiga muara sungai terdiri atas 8 jenis di muara Sungai Berenyok dengan indeks keanekaragaman 1,03 (kategori sedang), 11 jenis di muara Sungai Ancar dengan indeks keanekaragaman 0,58 (kategori rendah) dan di muara Sungai Jangkok terdiri atas 12 jenis dengan indeks keanekaragaman 0,65 (kategori rendah). Kondisi struktur komunitas di muara Sungai Berenyok cukup stabil dan tidak ada jenis yang mendominasi, di muara Sungai Ancar dan Sungai Jangkok kondisi struktur komunitas tidak stabil dengan jenis yang mendominasi masing-masing Tubifex sp dan Clithon sp.
-
2. Kondisi fisik kimia perairan di tiga muara sungai berupa variabel DO, pH dan BOD masih di bawah baku mutu. Namun di muara Sungai Berenyok stasiun 1 diperoleh konsentrasi Hg yang melebihi baku buku yaitu 0,006 ppm dan di muara Sungai Jangkok stasiun 1 juga diperoleh nilai Hg yang melebihi baku mutu yaitu 0,009 ppm.
-
3. Terdapat hubungan linier antara variabel kimia yaitu DO dan indeks keanekaragaman makrozoobetos di tiga muara sungai, sedangkan parameter fisik kimia perairan yang lain tidak diperoleh hubungan yang linier.
-
4. Berdasarkan analisis cluster dengan parameter fisik kimia air dan substrat serta struktur komunitas makrozoobentos diperoleh bahwa stasiun 8 di muara Sungai Berenyok memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan
stasiun lain yaitu memiliki nilai kelimpahan cukup tinggi (ι.8oo ind/m2) namun pada kondisi DO yang rendah yaitu 3,71 ppm dan kandungan C-Organik 5,00% (substrat lempung berlumpur) dengan jenis yang dominan yaitu Branchiura sp dan Tubifex sp. Berdasarkan variabel C-Organik, tekstur substrat dan jumlahjenis makrozoobentos diperoleh bahwa stasiun 5 di muara Sungai Berenyok memiliki karakteristik yang berbeda dengan stasiun lain yaitu kelimpahan tertinggi (3.870 ind/m2), kandungan C-organik 6,00% dengan tekstur substrat berlumpur dan jenis yang mendominasi yaitu Tubifex sp dan Lumbriculus sp.
Saran
-
1. Ditemukannya beberapa spesies indikator pencemaran menyebabkan perlu adanya pola pengelolaan sampah dan limbah domestik bagi pemukiman penduduk yang berada di dekat bantaran sungai khususnya di Kecamatan Ampenan.
-
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sumber pencemar Hg di muara Sungai Jangkok serta pemantauan kontinu terhadap konsentrasi logam Hg di perairan.
-
3. Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan pada musim hujan, maka perlu dilakukan penelitian terhadap struktur komunitas komunitas makrozoobentos di musim kemarau agar diperoleh perbandingan secara temporal.
DAFfAR PUSTAKA
Abele, L. G. and Kim, W. 1986. An Ilustrated Guide to the Mm-ine Decapod Crustaceans of Florida. Departement of Biological Science, Florida State University: Florida Andriana. 2008. Keterkaitan Struktur Komunitas Makrozoo-benthos Sebagai Indikator Keberadaan Bahan Organik Di Perairan Hulu Sungai Cisadane Bogor, Jawa Barat" (Skripsi. IPB). Bogor
APHA 1999. Standard Methods For The Examination Of Water And Wastewater. Ed ke-18. AP^A. Washington D.C Badan Pusat Statistik Kota Mataram. 2010. Hasil Sensus
Penduduk 2010, Data Agregat Per Kecamatan. [cited 2011 oct. 11]. Available from : http://www.bps.go.id/ hasilSP2010/ntb/5271.pdf
Bode, R.W., Novak, M.A., and Abele, LE. 1991. Methods for Rapid Biological Assessment of Streams. Department ofEnvironmental Conservation. Albany New York
Carpenter, KE. 2002. The Living Marine Resources of the Western Central Atlantic, Volume 1. Departemen of Biological Sciences Old Dominion University, Norfolk, Virginia. USA
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
EPA. 1982. Freshwater Snails (Mollusca : Gastropoda) of
North America. Cincinnati, Ohio: Environmental Protection Agency. US
EPA. 1972. Freshwater Leeches (Annelida:Hirudinae) of North America. Environmental Protection Agency. Washington DC
Hilsenhoff, W.L. 1988. Rapid field assessment of organic pollution with a family-level biotic index. USA: Department ofEntomology, University ofWisconsin. p.65-68.
Legendre, L. dan Legendre, P. 1983. Numerical Ecology.
Elsevier Science Publishing Company Inc. New York
Kumia, Z.N. 2006. "Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan di Pantai Ampenan Kodya Mataram" (Skrips1). Mataram: Universitas Mataram
Milligan M. R. 1997. Jdenti.fication Manual for the Aquatic Olygochaeta of Florida. Volume 1 Freshwater Oligochaetes. Sarasota, Florida: Florida Department of Environmental Protection.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta
Odum, E. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. (T. Samingan, Penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Pennak, R. W., 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. Second Edition. A Willey Interscience Publications John Willey and Sons. New York
Peraturan Pemerintah RI, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta
Plafkin, JL., Barbour, M.T., Porter, K.D., Gross, S.K., and Hughes, R.M. 1989. Rapid Bioassessment Protocols for use in Streams and Rivers: Benthic Macroinvertebrates and Fish. Environmental Protection Agency. US
Romimohtarto, K. 2009. Biologi Laut : flmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta
Setiawan, D. 2008. "Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Llngkungan Perairan Hilir Sungai Musi" (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor
Slamet, B. 2008. "Studi Kualitas Lingkungan Perairan Di Daerah Budidaya Perikanan Laut di Teluk Kaping dan Teluk Pegametan, Bali" (Tesis). Universitas Udayana. Denpasar
Suharjo, B. 2008. Analisis Regresi Terapan Dengan SPSS. Penerbit GrahaIlmu. Yogyakarta
Wahyuni, M. 2003. "Studi Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Terima" (Tesis). Universitas Udayana. Denpasar
Wibisono, M.S. 2011. Pengantar Jlmu Kelautan. Penerbit Universitas Indonesia CUI-Press). Jakarta.
125
Discussion and feedback