ECOTROPHIC 8 (1) : 86 - 92

ISSN : 1907-5626

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN MANGROVE DI KAWASAN SUAKA PERIKANAN GILI RANGGO TELUK SERIWE KABUPATEN LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT

Mohammad Subhan 1), Made Antara 2), Ida Ayu Astarini 3)

  • 1)    Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana

  • 2)    Program Studi Magister Agribisnis Universitas Udayana

  • 3)    Program Studi Magister Ilmu Biologi Universitas Udayana Email : [email protected]

ABSTRACT

GiliRanggoFisheryReserve Areais one of conservation areaestablished throughthe Regional Regulationof East Lombok, West Nusa Tenggara number10year 2006 onRegionalMarine ProtectedArea Management(RMPAM). Sincethe enactment ofthereserve fisheries zone, managementsystemis not yet optimizedeitheronthe mangrove protected areasandstakeholdercommitmentto theconservationefforts ofthemangrove resource.

The purpose ofthis study were 1) to analyzethe extent of mangrove damageinGiliRanggoFisheryReserve Area, 2) to find out perceptions of stakeholderson the management ofmangrovesin the area of GiliRanggoFishery at the reserve area, 3) to formulatea sustainablemanagementstrategyinvolvingallstakeholders. This study useda combination ofqualitativeandquantitativeapproaches. Data analysis methodsused include: vegetationanalysis, qualitativeanalysisandSWOT analysiskatagorik.

The results showed that the destruction level of mangrove damage at GiliRanggoFishery Reserve Areaon seedlings and saplings phase are trees are relatively minor with density <50% and widespread closure> 1,500 trees/ha, whereas severely damaged represented by closure <50% and a density of <1,000 trees/ha. Mangrove vegetation in the GiliRanggoFishery Reserve Areais not classified as critical represented by the Total Value Scoring (TNS) = 370. Society supports the efforts to conserve the mangrove, as people realize the key benefits of mangroves. Violations that occurred during this due to people not knowing the rules of forbide on harvesting mangrove. The formulation of mangrove management strategies in GiliRanggoFishery Reserve Area consists of SO strategy: maximizing the primary function of mangroves and management principles tailored to the status of the area, ST strategies: increase public knowledge about environmental management and improve the economy of the community, WO strategies: increasing community involvement and increasing the studies and research in the management of mangroves in GiliRanggoFishery Reserve Area, WT strategies: joint management plans involving all stakeholders, improve supervision and monitoring

Keywords: Mangrove Damage;StrategyManagement;Vegetation;East Lombok.

mangrove terluas di dunia (18-23% dari luas kawasan mangrove dunia), kemudian Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Nur, 2006).

Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo terdapat di Teluk Seriwe Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan ditetapkan sebagai kawasan suaka perikanan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat nomor 10 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Penetapan dan pengelolaan KKLD bertujuan untuk a) membentuk suatu daerah yang dilindungi yang bebas dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya secara merusak, b) Meningkatkan dan memperbaiki kondisi sumberdaya pesisir, c) meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan pantai, d) meningkatkan kesadaran dan komitmen

masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya pesisir, e) menumbuhkan rasa kepedulian dan kepemilikian masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan f) mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan masyarakat seutuhnya (Kabupaten Lombok Timur, 2006).

Sejak ditetapkan sebagai kawasan suaka perikanan, sistem pengelolaannya belum optimal baik pada upaya perlindungan kawasan mangrove dan komitmen stakeholder terhadap upaya pelestarian fungsi sumberdaya mangrove tersebut. Kerusakan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo akan berdampak kepada tingginya tingkat abrasi, berkurangnya ruang terbuka hijau dan hilangnya biofilter, sehingga berdampak kepada terganggunya kegiatan budidaya perikanan seperti rumput laut. Berdasarkan pertimbangan pentingnya manfaat mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, maka diperlukan kajian tentang tingkat kerusakan mangrove dan persepsi stakeholder terhadap pengelolaan mangrove yang terdapat di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo dan perumusan strategi pengelolaan yang berkelanjutan dengan melibatkan semua stakeholder yang ada.

  • 2.    METODOLOGI

    • 2.1    Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, Teluk Seriwe Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Waktu penelitian ini adalah Bulan Februari sampai dengan Bulan Maret 2014.

  • 2.2.    Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan gabungan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh data tentang persepsi stakeholder dan merumuskan strategi pengelolaan mangrove, sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data tentang tingkat kerusakan dan tingkat kekritisan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, studi pustaka dan survey.

  • 2.3.    Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tingkat kekritisan mangrove ditentukan berdasarkan formulasi yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan Tahun 2005, tingkat kerusakan mangrove ditentukan dengan mengacu kepada Kriteria Baku Mutu dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove

berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004, persepsi stakeholder dianalisis dengan analisis kualitatif katagorik dan perumusan strategi pengelolaan mangrove dilakukan dengan metode analisis SWOT.

  • 3.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 3.1.    Tingkat Kekritisan dan Kerusakan Mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo

Hasil analisis tingkat kekritisan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.

Tingkat Kekritisan Mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo

Kriteria

Bobot

Skor Penilaian

Jumlah

Tppl

30

Skor 5 : Mangrove Murni

150

N

25

Skor 1: N<1.000 pohon/ha

25

Np

20

Skor 5: Np =5.000 semai/ha

(F = 40%)Np=2.500 pancang/ha

100

(F = 60%)

L

15

Skor 3 : 60% - 80% (130 x PPS

45

A

10

Skor 5 : 0 – 1 m/tahun

50

Total Nilai Skoring

370

Keterangan :

Tppl = Tipe penutupan dan penggunaan lahan N = Jumlah pohon/ha

Np = Permudaan/ha

L = Lebar jalur mangrove

A = Fase abrasi

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa vegetasi mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo tergolong tidak kritis, yang direpresentasikan dengan TNS sebesar 370.Alasan vegetasi mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo diklasifikasikan tidak kritisantara lain : tipe penutupan dan penggunaan lahan (Tppl) merupakan mangrove murni dan tidak tercampur dengan vegetasi lain, Kisaran jumlah permudaan vegetasi mangrove untuk fase semai 7.500 – 20.000 pohon/ha dan kisaran jumlah permudaan untuk fase pancang sebesar 1.800 – 3.600 pohon/ha, tergolong sangat padat, rata-rata lebar jalur hijau mangrove 716,67 m dan rata-rata tingkat abrasi cukup rendah yaitu 0,8 m/tahun, yang dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi mangrove yang berfungsi sebagai pemecah arus dan penahan tergerusnya tanah dari darat ke laut di lingkungan mangrove.

Hasil analisis tingkat kerusakan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat KerapatanVegetasi Mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo

Stasiun

Penelitian

Parameter Tingkat Kerusakan

Pancang

Pohon

K

C

K

C

Penyonggok

3.000

33,95

0,00

0,00

Ujung Baretong

3.600

20,05

0,00

0,00

Ujung Selao

1.800

11,99

200

0,55

Keterangan :

K = Kerapatan vegetasi mangrove (individu/ha)

C = Luas Penutupan (coverage) vegetasi mangrove (m2)

Kerapatan vegetasi mangrove fase pancang di seluruh stasiun penelitian > 1.500 pohon/ha (tergolong sangat padat), dengan luas penutupan yang cukup rendah yaitu <50%, artinya bahwa vegetasi mangrove di Kawasan Suaka Perikanan untuk fase pancang tergolong rusak ringan. Pada fase pohon, kerapatan vegetasi mangrove <1.000 pohon/ha (tergolong jarang) dengan luas penutupan < 50%, artinya bahwa vegetasi mangrove tergolong rusak berat.

Tingginya tingkat kerapatan permudaan vegetasi mangrove merupakan sumberdaya yang cukup potensial untuk menutupi rendahnya tingkat kerapatan vegetasi mangrove pada fase pohon. Pengelolaan yang baik dalam jangka waktu tertentu, akan berdampak kepada tingginya tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang terdapat di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo. Fajar et al. (2013), menegaskan bahwa kondisi vegetasi mangrove di desa wawatu menunjukkan jumlah pohon dalam tiap hektar hanya mencapai 650 pohon/ha dan berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan mangrove bahwa kondisi mangrove tersebut dikategorikan rusak.

  • 3.    2. Persepsi Stakeholder

Tingkat swadaya masyarakat dalam upaya penanaman mangrove di sekitar Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo masih rendah, diketahui bahwa 82% dari responden tidak pernah sama sekali melakukan penanaman mangrove secara swadaya, 16% dari responden melakukan penanaman mangrove dengan intensitas yang jarang dan hanya 2% dari responden yang melakukan penanaman mangrove agak sering.

Masyarakat menyadari bahwa kelestarian vegetasi mangrove mempengaruhihasil tangkapan kepiting yang akan berdampak kepada peningkatan perekonomian masyarakat. Masyarakat juga menyadari manfaat utama mangrove sebagai penahan angin dan pencegah abrasi, sehingga 58% responden sangat tidak setuju, 40% responden tidak setuju dan 2% responden ragu-ragu apabila mangrove dikonversi menjadi lahan tambak garam. Menurut Sari (2011), kerusakan hutan mangrove di Desa

Lubuk Kertang berdampak negatif terhadap penghasilan nelayan, berkurangnya biota laut.

Masyarakat pada dasarnya sangat mendukung upaya pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, hal ini dapat diketahui bahwa 38% responden sangat bersedia dan 62% responden bersedia menyumbangkan tenaganya dalam kegiatan pelestraian mangrove, tetapi karena lemahnya tingkat prekonomian masyarakat menyebabkan masyarakat memanfaatkan mangrove sabagai sumber kayu bakar. Luqman, et al. (2013), menjelaskan bahwa kerusakan mangrove di Pesisir Kota Cirebon diakibatkan oleh pemanfaatan mangrove sebagai kayu, penangkapan fauna yang terdapat di kawasan mangrove, konservasi lahan mangrove untuk pemukiman dan tambak dan akibat pencemaran.

Berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat seperti penebangan dan pengambilan kulit mangrove, tempat tambat labuh perahu, penangkapan ikan dengan bius dan bom dan alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak garam disebabkan kurangnya intensitas pelibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan, kurangnya pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi berbagai peraturan yang berlaku di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo sangat jarang dilakukan. Peran pemerintah dalam mengatasi berbagai bentuk pelanggran yang terjadi sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan sumberdaya alam yang ada. Menurut Theo (2012), peran pemerintah daerah dalam pengendalian kerusakan mangrove sangat penting untuk mempertahankan ekosistem mangrove dan menyelamatkan sumber penghidupan masyarakat pesisir. Penetapan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Daerah disertai penegakan hukum secara konsekuen sangat diperlukan.

Persentase tingkat pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan cukup rendah (68,53% responden menjawab tidak pernah dilibatkan). Beberapa bentuk pelibatan masyarakat yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo antara lain : pelatihan mangrove dan penanaman mangrove secara gotong royong dengan sistem padat karya. Menurut Novianty et al. (2011), pelibatan masyarakat dalam perencanaan perlu diperhatikan, karena akan menciptakan rasa tanggung jawab bersama sehingga diperoleh hasil kerja yang terbaik.

Kurangnya kegiatan pemberdayaan dan pelibatan masyarakat, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum merupakan faktor utama tidak epektifnya pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo. Kondisi tersebut menyebabkan eksploitasi mangrove oleh masyarakat tidak terkendali, pola fikir dan tingkah laku masyarakat yang menganggap bahwa perlindungan dan pelestarian mangrove bukan merupakan

tanggung jawab bersama, tetapi murni menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah/swasta.

Kendala pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo antara lain : sumberdaya manusia dan kesadaran masyarakat rendah, lemahnya penegakan hukum, kurangnya dana pengelolaan mangrove, sosialisasi oleh pemerintah kurang.

Potensi pengembangan dan pemanfaatan mangrove untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo cukup besar, yang dapat dilaksanakan melalui pengembangan kegiatan budidaya kepiting bakau, sylvofisheries, pemanfaatan buah mangrove untuk sirup dan akar untuk obat-obatan, budidaya ruput laut sistem patok dan merupakan daerah pengembangan ecoregion dari destinasi ekowisata Tanjung Ringgit. Sudarmadji (2011), kondisi mangrove yang lestari akan mampu menopang kehidupan manusia baik dari sudut ekologi, fisik maupun sosial ekonomi.

  • 3.3.    Strategi Pengelolaan Mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo Perumusan strategi pengelolaan mangrove dilakukan dengan metode analisis SWOT, yaitu dengan menganalisis faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Berdasarkan analisis SWOT, maka dirumuskan strategi pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo yaitu Strategi SO adalah memanfaatkan kekuatan (stenght/S) secara maksimal untuk meraih peluang (Opportunies/O), Strategi ST adalah memanfaatkan kekuatan S (Strenghts) secara maksimal untuk mengantisipasi dan mengatasi ancaman T (Threats), Strategi WO adalah meminimalkan kelemahan W (Weaknesses) untuk meraih peluang O (Opportunies), dan Strategi WT adalah meminimalkan kelemahan W (Weaknesses) untuk menghindari ancaman (T (Threats).

Strategi SOterdiri dari memaksimalkan fungsi utama mangrove dan Kaidah-kaidah pengelolaan disesuaikan dengan status kawasan.Fungsi utama mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo yaitu sebagai penahan abrasi dan tempat menangkap kepiting. Kondisi ini akan mampu memotivasi masyarakat untuk membantu pelestarian mangrove, selain itu peluang untuk memasukkan aturan pelestarian mangrove ke dalam kearifan lokal menjadi semakin kuat. Beberapa program yang dapat dilakukan untuk mencapai strategi memaksimalkan fungsi utama mangrove yaitu memasukkan aturan pengelolaan ke dalam kearifan lokal dan meningkatkan semangat swadaya masyarakat dalam penanaman dan pengelolaan mangrove.

Terjadinya diskriminasi dalam pengelolaan kawasan menyebabkan perbedaan tingkat

keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi cukup signifikan diantara kawasan konservasi yang ada di Kabupaten Lombok Timur, dimana pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Gili Sulat dan Gili Lawang terdapat unit pengelola khusus yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pengelolaan sehingga kegiatan konservasi memberi hasil yang optimal. Berbeda dengan kondisi yang ada di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo yang tidak pernah tersentuh program pemerintah selama 5 tahun terakhir sehingga kawasan konservasi cenderung mengalami penurunan kualitas.

Keberhasilan pengelolaan yang merata pada seluruh kawasan konservasi akan dapat diwujudkan apabila kaidah-kaidah pengelolaan disesuaikan dengan status kawasan. Beberapa program yang dapat dilaksanakan, yaitumelakukan identifikasi dan inventarisasi ulang faktor pendukung keberadaan kawasan konservasi dan membentuk Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) kawasan mangrove yang dilengkapi dengan fasilitas yang dibutuhkan dalam kegiatan pengelolaan.

Strategi ST terdiri dari meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan dan Meningkatkan perekonomian masyarakat Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan berdampak kepada perilaku, pola fikir dan pandangan masyarakat terhadap keberadaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, sehingga pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya kelestarian sumberdaya alam ditingkatkan. Beberapa program yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu mengadakan kegiatan pelatihan tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan mangrove yang berbasis lingkungan dan sosialisasi aturan larangan dan bahaya penebangan mangrove.

Tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo relatif rendah menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir termasuk mangrove menjadi tidak terkendali. Oleh karena itu, pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo harus diimbangi dengan upaya peningkatan perekonomian masyarakat sekitar yang dapat dilakukan dengan beberapa program, yaitu memberikan bantuan modal kepada masyarakat sesuai dengan profesinya dan memperkenalkan berbagai teknologi pemanfaatan kawasan mangrove yang ramah lingkungan.

Strategi WO terdiri dari meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, meningkatkan kajian dan penelitian mangrove. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan, menyebabkan tingginya tingkat perusakan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo. Beberapa program yang dapat dilaksanakan sebagai bentuk pelibatan masyarakat

dalam pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo yaitu meningkatkan peran organisasi kemasyarakatan dalam pengelolaan dan pengawasan mangrove, memfasilitasi terbentuknya organisasi kemasyarakatan yang khusus mengelola mangrove.

Pemerintah/Lembaga Swasta sangat jarang melakukan kajian dan penelitian untuk memperoleh berbagai data pendukung dan informasi yang menunjang penyempurnaan sistem pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, sehingga sistem pengelolaan selama ini kurang efektif. Beberapa program yang dapat dilaksanakan untuk mengantisipasi rendahnya intensitas penelitian yaitu meningkatkan kerjasama dengan lembaga peneliti dan lembaga donor baik nasional maupun internasional dan penganggaran biaya penelitian melalui APBD.

Strategi WT terdiri dari penyusunan rencana pengelolaan bersama yang melibatkan seluruh stakeholder dan Meningkatkan pengawasan dan monitoring.Pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo masih belum optimal. Dinas/Instansi/Lembaga terkait terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi yang intensif, sehingga terjadi tumpang tindih kepentingan dalam pemanfaatan kawasan mangrove, dimana mangrove di Kawasan Suaka Perikanan menjadi obyek yang dirugikan.Beberapa program yang dapat dilaksanakan untuk mewujudkan keselarasan dalam upaya pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, yaitu melakukan pembagian tugas, fungsi dan wewenang masing-masing stakeholder sesuai dengan bidang keahliannya, melakukan diskusi dan koordinasi yang intensif antara Dinas/Instansi/Lembaga terkait sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan, mendorong masyarakat sekitar untuk mengaplikasikan Teknologi Ulir Filter dan Geomembran (TUFG) bagi masyarakat petambak garam, dan sylvofisheries untuk kegiatan budidaya biota laut.

Vegetasi mangrove fase pohon yang tergolong rusak berat akibat dari pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar dan pakan ternak serta penegakan hukum yang lemah. Kondisi ini dapat diminimalisir dengan sosialisasi aturan yang ada, karena pelanggaran yang terjadi selama ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat terhadap berbagai aturan yang ada. Selain itu juga, ketersediaan data dan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan sangat menunjang efektivitas pengelolaan mangrove.Beberapa program yang dapat dilaksanakan untuk memperlancar kegiatan pengawasan dan monitoring, yaitu meningkatkan intensitas sosialisasi aturan larangan penebangan mangrove, meningkatkan keaktifan pemerintah/swasta dalam kegiatan pengawasan dan monitoring, menyusun rencana pengelolaan berdasarkan data dan informasi yang akurat.

  • 4.    SIMPULAN DAN SARAN

    • 4.1.    Simpulan

  • 1.    Berdasarkan analisis data, tingkat kerusakan vegetasi mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo untuk fase semai dan pancang tergolong rusak ringan yang direpresentasikan dengan kerapatan > 1.500 pohon/ha dan luas penutupan < 50%, sedangkan pada fase pohon tergolong rusak berat yang direpresentasikan dengan kerapatan < 1.000 pohon/ha dan luas penutupan < 50%. Vegetasi mangrove tergolong tidak kritis yang direpresentasikan dengan Total Nilai Skoring (TNS) = 370.

  • 2.    Masyarakat mendukung upaya pelestarian mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, karena masyarakat menyadari manfaat utama mangrove sebagai penahan abrasi dan gelombang maupun manfaat mangrove dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, sehingga 98% responden tidak setuju terhadap alih fungsi lahan mangrove dan 100% responden bersedia menyumbangkan tenaganya dalam upaya pengelolaan mangrove. Pelanggaran yang terjadi disebabkan masyarakat tidak mengetahui aturan larangan penebangan mangrove karena kurangnya pelibatan masyarakat dan sosialisasi berbagai aturan yang ada oleh pemerintah maupun swasta.

  • 3.    Berdasarkan analisis SWOT, maka dirumuskan strategi pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, antara lain : a. Strategi untuk meraih peluang O (Opportunies) antara lain : kesediaan masyarakat membantu pelestarian mangrove, pelestarian mangrorove tidak bertentangan dengan kearifan lokal, terdapat aturan larangan penebangan mangrove (awiq-awiq) dan adanya kerjasama antara masyarakat, Lembaga Pemberdayaan Sumberdaya Nelayan (LPSDN) dengan United Nations World Food Programe (UNWFP) tentang pengelolaan mangrove, dapat dilakukan dengan memaksimalkan kekuatan S (Stenght), antara lain : tingginya tingkat kerapatan vegetasi mangrove fase semai dan fase pancang, fungsi mangrove sebagai penahan abrasi, fungsi mangrove sebagai daerah penangkapan kepiting dan status kawasan sebagai Kawasan Suaka Perikanan, yaitu memaksimalkan fungsi utama mangrove, kaidah-kaidah pengelolaan disesuaikan dengan status kawasan.

  • b.    Strategi untuk mengatasi ancaman T (Threats) antara lain : implementasi program pemerintah yang memberi peluang kepada masyarakat untuk memanfaatkan

mangrove secara tidak bijaksana, penegakan hukum masih lemah, pemanfaatan mangrove sebagai pakan ternak dan penunjang kebutuhan pertanian serta pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar oleh masyarakat, dapat dilakukan dengan memaksimalkan kekuatan S (Strenght) antara lain : tingginya tingkat kerapatan vegetasi mangrove fase semai dan fase pancang, fungsi mangrove sebagai penahan abrasi, fungsi mangrove sebagai daerah penangkapan kepiting dan status kawasan sebagai Kawasan Suaka Perikanan, yaitu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan dan meningkatkan perekonomian masyarakat.

  • c.    Strategi untuk meraih peluang O (Opportunies) antara lain : kesediaan masyarakat membantu pelestarian mangrove, pelestarian mangrorove tidak bertentangan dengan kearifan lokal, terdapat aturan larangan penebangan mangrove (awiq-awiq) dan adanya kerjasama antara masyarakat, LPSDN dengan UNWFP tentang pengelolaan mangrove, dapat dilakukan dengan meminimalkan kelemahan W (Weaknesses) antara lain: rendahnya vegetasi mangrove fase pohon, pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan terutama mangrove masih kurang, rendahnya swadaya masyarakat, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, rendahnya intensitas sosialisasi peraturan perun-dangan tentang perlindungan dan pelestarian mangrove, kurangnya pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan suaka perikanan Gili Ranggo, kurangnya data dan informasi yang mendukung kegiatan pengelolaan, yaitu meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo dan meningkatkan Kajian dan penelitian mangrove.

  • d.    Strategi untuk menghindari ancaman T (Threats) antara lain : implementasi program pemerintah yang memberi peluang kepada masyarakat untuk memanfaatkan mangrove secara tidak bijaksana, penegakan hukum masih lemah, pemanfaatan mangrove sebagai pakan ternak dan penunjang kebutuhan pertanian masyarakat serta pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar oleh masyarakat, dapat dilakukan dengan meminimalkan kelemahan W (Weaknesses) antara lain:

rendahnya vegetasi mangrove fase pohon, pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan terutama mangrove masih kurang, rendahnya swadaya masyarakat, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo, rendahnya intensitas sosialisasi peraturan perundangan tentang perlindungan dan pelestarian mangrove, kurangnya pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan suaka perikanan Gili Ranggo, kurangnya data dan informasi yang mendukung kegiatan pengelolaan, yaitu penyusunan rencana pengelolaan bersama yang melibatkan seluruh stakeholder dan meningkatkan pengawasan dan monitoring.

  • 4.2.    Saran

  • 1.    Pengelolaan mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo hendaknya menerapkan strategi pengelolaan yang telah dirumuskan.

  • 2.    Beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan oleh stakeholder masyarakat dalam pengelolaan mangrove di kawasan suaka perikanan gili ranggo, antara lain :Membantu pemerintah dalam menjaga kelestarian mangrove dengan tidak melakukan penebangan mangrove dan melakukan penanaman mangrove secara swadaya dan menerapkan teknologi produksi yang ramah lingkungan. Stakeholder Pemerintah dan swasta seharusnya melakukan reboisasi, sosialisasi peraturan dan penegakan hukum secara tegas., melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan dengan memberi pelatihan, penanaman termasuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menyediakan bibit mangrove, memberi bantuan modal kepada masyarakat sekitar sesuai dengan profesinya masing-masing dan aplikasi teknologi pemanfaatan kawasan mangrove yang ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta, Indonesia: Departemen Kehutanan RI.

Fajar. A., Dedy. O., dan Alirman. A. 2013. Studi Kesesuaian Jenis untuk Perencanaan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Mina Laut Indonesia, 3 (12): 164-176

Kabupaten Lombok Timur, 2006. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur nomor 10 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKLD): Selong, Indonesia : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Mutu dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta, Indonesia : Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup.

Luqman, A, Wanjat, K dan Iwan, S. 2013. “Analisis Kerusakan Mangrove Akibat Aktifitas Penduduk di Pesisir Kota Cirebon” (thesis). Cirebon: Universitas Pendidikan Indonesia.

Nur. Y.R. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Program.

Noviaty, R, Sukaya, S dan Juliandri P. 2011. “Identifikasi Kerusakan dan Upaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Pantai Utara Kabupaten Subang” (tesis). Bandung: Universitas Padjadjaran.

Sari, Z.H. 2011. “Studi Tentang Kerusakan Hutan Mangrove di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat” (tesis). Medan : Universitas Medan.

Sudarmadji. 2001. Rehabilitasi Hutan Mangrove dengan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu Dasar, 2 (2): 68 -71.

Theo, J. 2012. Pelestarian Hutan Mangrove dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Kedeputian Bidang Kesra Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.

92