ECOTROPHIC 8 (1) : 24 - 38

ISSN : 1907-5626

ANALISIS VEGETASI MANGROVE UNTUK STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM BERKELANJUTAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

I Ketut Catur Marbawa1), Ida Ayu Astarini2), I Gede Mahardika3)

  • 1)    Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana

  • 2)    Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Udayana

  • 3)    Fakultas Peternakan Universitas Udayana Email : [email protected]

ABSTRACT

This research was conducted in the coastal areas of Bali Barat National Park in March-June 2012. The goal is to determine the composition and structure of mangrove vegetation in Bali Barat National Park, the extent of damage and the level of criticality of mangroves in the area of ?? Bali Barat National Park and to determine management strategies for sustainable mangrove ecosystems in Bali Barat National Park. This study employed observation method with Line Transect sampling techniques and Sample Plots (Transect Line Plot) which is perpendicular to the shoreline landward. Data were analyzed using analysis of vegetation. Results showed mangrove vegetation in Bali Barat National Park consists 5 families major mangrove with 13 mangrove species and 5 families with 5 species of minor mangrove. In Gilimanuk Bay Important Value Index (IVI) for the highest phase of seedling was Excoecaria agallocha by 78.00%, sapling phase C. tagal amounted to 91.61% and the phase of the tree was Sonneratia alba by 103.76%. Shannon Diversity Index (H’) of mangrove vegetation in Gilimanuk Bay between 0.3630 to 0.7419 with a low category. In Terima Bay the highest IVI phase of seedling was Ceriops decandra by 78.33%, sapling phase C. decandra by 162.41% and the phase of tree was E. agallocha amounted to 85.06%. H’ mangrove vegetation in Terima Bay between 0.0000 to 0.7889 with a low category. In Banyuwedang Bay the highest IVI phase of seedling was E. agallocha by 63.08%, sapling phase was Ceriops tagal amounted to 86.28% and the phase of tree was E.agallocha of 79.98%. H’ mangrove vegetation in Banyuwedang Bay between 0.0000 to 0.7889 with a low category. In Menjangan Island the highest IVI phase of seedling was C. tagal by 63.69%, sapling phase C. tagal amounted to 66.66% and the phase of tree was E. agallocha by 109.08%. H’ Menjangan Island mangrove vegetation ranged from 0.3991 to 0.8217 with a low category. The level of damage based on Mangrove Damage Criteria according to Minister of Environment Decree No. 201 of 2004 seedlings and saplings phase, the density of each species included in the very dense criteria (good) and phase trees included in the rare criteria (damaged). The critical level of mangrove vegetation based on the formulation of the Directorate General of Land Rehabilitation and Social Forestry, Ministry of Forestry in 2005, mangrove vegetation in the Bali Barat National Park can be classified Not Damaged. Bali Barat National Park mangrove aquatic environment is conducive to support the stability and development of mangrove vegetation in the future as a result of physical and chemical parameter measurements mangrove aquatic environment is still below of standard.

Keywords: mangrove vegetation; the composition; structure; extent of damage

  • 1.    PENDAHULUAN

Kawasan perairan Taman Nasional Bali Barat seluas 3.415 ha telah lama menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat sekitar. Kawasan pesisir ini yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan lahan basah memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti ikan yang bernilai tinggi. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir ini telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang tinggi terhadap manusia. Salah satu ekosistem pesisir Taman Nasional Bali Barat yang cukup penting keberadaannya dalam mendukung kelangsungan hidup masyarakat yaitu ekosistem mangrove.

Wilayah pesisir Taman Nasional Bali Barat merupakan tempat aktivitas kegiatan manusia dengan intensitas tinggi seperti pemukiman, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, perikanan, pariwisata dan konservasi alam. Adanya kemudahan aksesibilitas terhadap kawasan ini cenderung akan meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang. Di sisi lain perairan Taman Nasional Bali Barat merupakan salah satu kawasan ekologi yang rapuh dan rentan akan kerusakan, berukuran kecil, dan memiliki sumberdaya alam yang sangat terbatas, namun diperkirakan memiliki potensi keragaman flora dan fauna dengan tingkat keunikan dan endemisitas yang tinggi.

Fenomena ini jelas mengindikasikan potensi terjadinya kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir yang berimplikasi pada

hilangnya fungsi lindung lingkungan dari mangrove tersebut. Disamping hilangnya fungsi lindung, aktivitas manusia ini juga akan mempengaruhi keberadaan berbagai strata pertumbuhan seperti anakan, pancang, tiang dan pohon di kawasan mangrove Taman Nasional Bali Barat. Komposisi dan struktur vegetasi hutan dapat dijadikan dasar untuk memprediksi kemungkinan perubahan lingkungan yang akan terjadi di masa depan (Aumeeruddy, 1994).

Dengan adanya studi analisis vegetasi mangrove, komposisi dan struktur vegetasi mangrove serta permasalahan yang mempengaruhi eksistensi dan stabilitas ekosistem mangrove di Taman Nasional Bali Barat akan dapat diketahui. Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan menjadi data dasar untuk pertimbangan ilmiah bagi pengelola dalam menentukan strategi yang diperlukan untuk mensinergikan kepentingan pembangunan dalam arti luas dengan konservasi ekosistem di Taman Nasional Bali Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi mangrove di kawasan Taman Nasional Bali Barat, tingkat kerusakan serta tingkat kekritisan mangrove di kawasan Taman Nasional Bali Barat.

  • 2.    METODOLOGI

    • 2.1    Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Taman Nasional Bali Barat pada bulan Maret – Juni 2012. Lokasi penelitian dilakukan pada kawasan mangrove yang ada di pesisir Taman Nasional Bali Barat dengan melakukan pembagian daerah pengamatan menjadi 4 (empat) lokasi sampel. Adapun lokasi lokasi-lokasi tersebut antara lain Teluk Gilimanuk, Teluk Terima, Teluk Banyuwedang dan Pulau Menjangan.

  • 2.2    Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Data

Pengambilan sampel dilakukan secara area sampling dan dilakukan pembagian daerah pengamatan (lokasi sampel) menjadi empat stasiun sampel sesuai dengan tempat yang menjadi konsentrasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat. Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi mangrove adalah dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot). Metode ini merupakan metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).

  • 2.3    Variabel dan Pengukuran Variabel

Beberapa variabel yang diambil pada penelitian ini antara lain:

  • 1.    Vegetasi Mangrove

  • a.    Densitas

Densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah densitas digunakan dengan istilah kerapatan dan diberi notasi “K”:

jumlah individu

K =                                      (1)

luas seluruh petak contoh

Densitas spesies ke-i dihitung sebagai K-i dan densitas relatif setiap spesies ke-i terhadap kerapatan total dihitung sebagai KR-i:

jumlah individu untuk spesies ke-1

KR-i =                                     (2)

luas seluruh petak contoh

kerapatan spesies ke-i

KR-i =                        x 100% (3)

kerapatan seluruh spesies

Keterangan :

K = Kerapatan (pohon/ha)

K-i = Kerapatan spesies ke-i (pohon/ha) KR-i = Kerapatan relatif spesies ke-i (%)

  • b.    Frekuensi Spesies

Frekuensi merupakan besaran intensitas ditemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, frekuensi spesies (F), frekuensi spesies ke-i (F-i) dan frekuensi relatif spesies ke-i (FR-i) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

F = jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies                                  (4)

F-i = jumlah petak contoh ditemukannya suatu suatu spesies ke-i                    (5)

frekuensi spesies ke-i

FR-i =                         x 100% (6)

Frekuensi seluruh spesies

Keterangan :

F = Frekuensi (petak contoh)

F-i = Frekuensi spesies ke-i (petak contoh) FR-i = Frekuensi relatif spesies ke-i (%)

  • c.    Luas Penutupan

Luas penutupan (coverage) merupakan proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area). Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, luas penutupan spesies (C), luas penutupan spesies ke-i (C-i) dan luas penutupan relatif spesies ke-i (CR-i) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

C = luas penutupan tajuk                (7)

C-i = total luas penutupan tajuk spesies ke-i (8) penutupan spesies ke-i

CR-i =                         x 100% (9)

penutupan seluruh spesies

Keterangan :

C = Luas penutupan tajuk (m2)

C-i = Luas penutupan tajuk spesies ke-i (m2)

CR-i = Luas penutupan relatif spesies ke-i (%)

  • d.    Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Indeks nilai penting (INP) merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan luas penutupan relatif. Indeks ini dirumuskan dengan :

INP = KR + FR + CR              (10)

INP-i = KR-i + FR-i + CR-i           (11)

Keterangan :

INP = Indeks Nilai Penting (%)

INP-i = Indeks Nilai Penting Spesies ke-i (%)

KR = Kerapatan relatif (%)

FR   = Frekuensi relatif (%)

CR   = Luas penutupan relatif (%)

  • e.    Indeks Keanekaragaman

Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya, Soegianto(1994) dalam Indriyanto (2005). Untuk memprakirakan keanekaragaman spesies, pada penelitian ini menggunakan Indeks Shanon sebagai rumus.

Keterangan :


(12)


H’ = indeks Shannon = indeks keanekaragaman Shanon

Ni = nilai penting dari tiap spesies

N = total nilai penting

Besaran H’ < 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, H’ = 1.5 – 3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi.

  • f.    Penentuan Tingkat Kerusakan Mangrove Tingkat kerusakan mangrove ditentukan dengan mengacu kepada Kriteria Baku Kerusakan Mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove

Kriteria

Penutupan (%)

Kerapatan (pohon/ha)

Baik Sangat Padat

≥ 75

≥ 1500

Sedang

≥ 50 - < 75

≥ 1000 - < 1500

Rusak Jarang

< 50

< 1000


a


  • g.    Penentuan Tingkat Kekritisan Mangrove Tingkat kekritisan mangrove ditentukan dengan formulasi yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan tahun 2005. Penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan cara terestris (survei lapangan) dilakukan dengan sistem penilaian melalui penentuan Total Nilai Skoring (TNS) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut: TNS = (Tppl x 30) + (N x 25) + (Np x 20) +

(L x 15) + (A x 10)                 (13)

Keterangan :

TNS = Total Nilai Skoring

Tppl = Tipe Penutupan dan Penggunaan Lahan N = Kerapatan Tegakan (jumlah pohon per hektar)

Np = Jumlah Permudaan (semai dan pancang) per hektar

L    = Lebar Jalur Hijau Mangrove

A    = Tingkat Abrasi (m/tahun)

Berdasarkan TNS tersebut, tingkat kekritisan lahan mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Nilai 100–200 : Rusak berat ; Nilai 201– 300 : Rusak ; Nilai > 300 : Tidak rusak. Adapun penjelasan masing-masing komponen penyusun rumus di atas sebagai berikut :

  • 2.4    Lingkungan Perairan Mangrove

Pengukuran suhu, salinitas, dan pH dilakukan secara in situ di lokasi penelitian. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut sesuai dengan Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.

Tabel 2. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk menentukan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan cara survei lapangan

No Kriteria

Bobot Skor Penilaian

1. Tipe penutupan dan penggunaan lahan (Tppl)

30      - Skor 5 : Mangrove murni

  • -    Skor 4 : Mangrove bercampur hutan tegakan lain

  • -    Skor 3 : Mangrove bercampur dengan tambak tumpang sari atau areal tambak tumpang sari murni

  • -    Skor 2 : Mangrove bercampur dengan penggunaan non vegetasi (pemukiman, tambak non tumpang sari dan sebagainya)

  • -    Skor 1 : Areal tidak bervegetasi

2. Jumlah pohon/ha (N)

25      - Skor 5 : N = 1.500 pohon/ha, merata (F = 75%)

  • -    Skor 4 : N = 1.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%)

  • -    Skor 3 : N = 1.000–1500 pohon/ha, merata (F = 75%)

  • -    Skor 2 : N = 1.000–1500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%)

  • -    Skor 1 : N < 1.000 pohon/ha

3. Permudaan/ha (Np)

20

  • -    Skor 5 : Np = 5.000 semai/ha (F = 40%)

Np = 2.500 pancang/ha (F = 60%)

  • -    Skor 4 : Np = 4.000-5000 semai/ha (F = 40%) Np = 2.000–2.500 pancang/ha (F = 60%)

  • -    Skor 3 : Np = 3.000-4000 semai/ha (F = 40%) Np = 1.500-2000 pancang/ha (F = 60%)

  • -    Skor 2 : Np = 2.000-3000 semai/ha (F = 40%) Np = 1.000–1.500 pancang/ha (F = 60%)

  • -    Skor 1 : Np < 2.000 semai/ha (F = 40%)

Np < 1.000 pancang/ha (F = 60%)

4. Lebar jalur mangrove (L)

15      - Skor 5 : ? 100%

  • -    Skor 4 : 80% - 100% (130 x PPS)

  • -    Skor 3 : 60% - 80% (130 x PPS)

  • -    Skor 2 : 40% - 60% (130 x PPS)

  • -    Skor 1 : < 40% (130 x PPS)

5. Tingkat abrasi (A)

10       - Skor 5 : 0–1 m/tahun

- Skor 4 : 1–2 m/tahun - Skor 3 : 2–3 m/tahun - Skor 2 : 3–5 m/tahun - Skor 1 : > 5 m/tahun

Catatan: Skor 1 = jelek


Tabel 3. Baku Mutu Air Untuk Biota Laut

No

Parameter

Satuan

Baku Mutu (Diperbolehkan)

Keterangan

1

Fisika

- Alami Mangrove (28 - 32)

Diperbolehkan terjadi perubahan s.d. < 2ºC dari suhu alami

- Suhu

ºC

2

Kimia

- pH

-

- Alami (7 - 8,5)

Diperbolehkan terjadi perubahan s.d. <5%

- Salinitas

º/oo

- Alami Mangrove s.d. 34

salinitas rata-rata musima

(Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut)


  • 3.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 3.1.    Komposisi vegetasi

Hasil penelitian Komposisi vegetasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat terdiri dari mangrove mayor sejumlah 5 famili dengan 13 jenis dan mangrove minor sejumlah 5 famili dengan 5 jenis mangrove. Mangrove mayor dari famili Avicenniaceae : Avicennia marina. A. officinalis ; famili Rhizophoraceae : Rhizophora apiculata, R. mucronata,. R. stylosa, R. lamarkii, Bruguiera gymnorrhiza, B. cylindrica, Ceriops decandra, C.

tagal ; famili Sonneratiaceae : Sonneratia alba ; famili Lombretaceae : Lumnitzera racemosa ; dan dari famili Palmae : Nypa fruticans. Untuk mangrove minor terdiri dari dari famili Myrsinaceae : Aegiceras floridum ; famili Euphorbiaceae : Excoecaria agallocha ; famili Myrtaceae : Osbornia octodanta ; famili Lythraceae : Pemphis acidula ; dan dari famili Meliaceae : Xylocarpus granatum.

Jumlah jenis vegetasi tumbuhan yang terdapat pada hutan mangrove pesisir Taman Nasional Bali Barat berbeda-beda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Secara umum pada setiap lokasi, pada fase

Tabel 4. Jumlah Jenis Vegetasi Mangrove

No Stasiun

Jumlah Jenis Vegetasi

Fase Semai                  Fase Pancang                  Fase Pohon

  • 1.     Teluk Gilimanuk

  • 2.      Teluk Terima

  • 3.     Teluk Banyuwedang

  • 4.     Pulau Menjangan

987

999

997

694


pohon jumlah jenisnya lebih sedikit dibandingkan pada fase semai dan fase pancang. Jumlah jenis vegetasi mangrove pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Keanekaragaman jenis di seluruh kawasan Taman Nasional Bali Barat ini sebanyak 18 jenis vegetasi mangrove untuk ukuran hutan mangrove tergolong kaya jenis dan sesuai dengan pembagian grup mangrove berdasarkan kekayaan keanekaragaman jenis oleh Tomlinson (1986). Apabila dibandingkan antara satu lokasi mangrove dengan lokasi mangrove lainnya lainnya di Taman Nasional Bali Barat untuk jumlah jenis yang ditemukan perbedaanya tidak terlalu besar hanya apabila dibandingkan jumlah jenis pada masing-masing fase baik itu semai, pancang dan pohon, untuk fase pohon memiliki jumlah jenis yang lebih sedikit (Tabel 4). Hal ini menandakan aktivitas manusia di masing-masing lokasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat baik itu aktivitas wisata, pelabuhan penyebrangan, nelayan, air panas alami, pembangkit listrik, limbah rumah tangga untuk sementara waktu tidak berpengaruh terhadap kelimpahan jenis di masing-masing lokasi.

Di Pulau Menjangan, jumlah jenis untuk pohon paling sedikit karena karakteristik Pulau Menjangan yang berpasir dan berkarang, berbeda dengan lokasi lain yang pantainya berlumpur sehingga pertumbuhan pohon mangrove pun akan maksimal. Hal ini didukung oleh pendapat Stenis (1985) dalam Kartawinata (1979) bahwa hutan mangrove sebagai hutan yang seragam berkembang baik pada pantai berlumpur di estuaria dengan pohon-pohon berbatang lurus dan tinggi sampai 35 – 45 meter, sedangkan di pantai berpasir atau terumbu karang tumbuhnya kerdil, rendah, dan jarang dengan batang yang seringkali bengkok. Apabila diamati jenis-jenis mangrove yang ada di Pulau Menjangan cenderung kerdil, rendah, dan jarang dengan batang yang seringkali bengkok contohnya dari jenis P. acidula (sentigi).

  • 3.2.    Kerapatan Relatif Vegetasi

Di Teluk Gilimanuk pada fase semai jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha sebesar 69,90% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis L. racemosa sebesar 0,35%. Pada fase pancang, jenis yang

memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 36,89% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis E. agallocha dan P. acidula masing-masing sebesar 5,78%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha sebesar 36,89% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis L. racemosa dan P. acidula masing-masing sebesar 1,19% .

Di Teluk Terima pada fase semai jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis C. decandra sebesar 38,22% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis X. granatum sebesar 1,05%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis C. decandra sebesar 59,20% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah dari jenis B. gymnorrhiza sebesar 1,05%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha sebesar 28,57% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis C. decandra dan X. grana-tum masing-masing sebesar 1,43% .

Di Teluk Banyuwedang pada fase semai jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha sebesar 53,98% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah dari jenis X. granatum dan R. stylosa sebesar 0,26%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 35,94% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis A. officinalis sebesar 1,56%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha dan R. mucronata masing-masing sebesar 26,92% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis R. apiculata dan A. officinalis masing-masing sebesar 3,85% .

Di Pulau Menjangan pada fase semai jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 41,46% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis S. alba sebesar 2,44%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 34,21% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis A. floridum, A. officinalis dan L. Racemosa masing-masing sebesar 2,63%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha 54,55% dan jenis

yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis A. officinalis dan P. Acidula masing-masing sebesar 4,55%.

Dari perbandingan jenis-jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi di Teluk Gilimanuk, Teluk Terima, Teluk Banyuwedang dan Pulau Menjangan, jenis E. agallocha merupakan jenis dengan jumlah individu terbanyak per hektar di kawasan mangrove di Taman Nasional Bali Barat.

  • E. agallocha merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang memiliki habitus pohon dan semak. Namun di Taman Nasional Bali Barat yang ditemui adalah berupa habitus pohon. Sistem perakaran seperti pohon selayaknya. Akar berada di bawah tanah, tidak dapat diamati. Mangrove jenis E. Agallocha ini sepanjang tahun memerlukan masukan air tawar dalam jumlah besar

  • 3.3.    Frekuensi Relatif Vegetasi

Di Teluk Gilimanuk pada fase semai jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis R. apiculata sebesar 35,14% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis L. racemosa dan P. acidula masing-masing sebesar 2,70%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 31,37% dan jenis yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah jenis P. acidula sebesar 3,92%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis S. alba sebesar 24,00% dan jenis yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah jenis L. racemosa dan P. acidula masing-masing sebesar 4,00% .

Di Teluk Terima pada fase semai jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis C. decandra sebesar 40,11% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis E. agallocha dan X. granatum masing-masing sebesar 1,10%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis C. decandra sebesar 59,20% dan jenis yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah jenis B. gymnorrhiza sebesar 0,50%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha sebesar 28,11% dan jenis yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah jenis C. decandra dan X. granatum masing-masing sebesar 1,41% .

Di Teluk Banyuwedang pada fase semai jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 22,73% dan jenis yang memiliki kerapatan relatif terendah adalah jenis X. granatum, R. stylosa dan A. marina masing-masing sebesar 4,55%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 26,09% dan jenis yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah jenis L. racemosa, R. stylosa dan A. officinalis masing-masing sebesar 4,35%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis R. mucronata sebesar 25,00% dan jenis yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah jenis

R. apiculata, R. racemosa, dan A. officinalis masing-masing sebesar 8,33% .

Di Pulau Menjangan pada fase semai jenis C. tagal, R. stylosa, dan R. apiculata masing-masing memiliki frekuensi relatif sebesar 22,22% dan jenis X. granatum, E. agallocha dan S. alba masing-masing sebesar 11,11%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis R. stylosa sebesar 21,43% dan jenis X. granatum, S. alba, A. floridum, A. officinalis dan L. Racemosa masing-masing memiliki nilai frekuensi relatif sebesar 7,14%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah jenis S. alba sebesar 42,86% dan jenis yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah jenis A. officinalis dan P. acidula masing-masing sebesar 14,29% .

Dari perbandingan di empat lokasi vegetasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat di Teluk Gilimanuk, Teluk Terima, Teluk Banyuwedang, dan Pulau Menjangan dilihat dari intensitas ditemukannya jenis spesies mangrove, tingkat penyebaran spesies Rhizophora spp baik dalam fase semai, pancang maupun pohon dalam ekosistem mangrove paling tinggi dibanding dengan spesies lainnya. Tingginya frekuensi relatif jenis Rhizophora spp ini disebabkan oleh sifat ekologi dari tumbuhan ini yang menunjukkan jenis ini memberikan peranan yang paling besar terhadap struktur komunitas mangrove di Taman Nasional Bali Barat. Bengen, 2004 menyatakan bahwa jenis Rhizophoraceae hidup berkelompok dan tumbuh sporadis diseluruh wilayah hutan mangrove. Selain itu, juga disesuaikan dengan adanya kemampuan yang tinggi dari jenis ini untuk beradaptasi pada keadaan lingkungan yang ekstrim dengan kondisi tanah berlumpur.

  • 3.4.    Struktur Vegetasi

Di Teluk Gilimanuk pada fase pancang jenis yang memiliki dominansi relatif tertinggi adalah jenis S. alba sebesar 26,45% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis O. octodanta sebesar 1,45%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki dominansi relatif tertinggi adalah jenis S. alba 53,57% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis P. acidula masing-masing sebesar 0,28%.

Di Teluk Terima pada fase pancang jenis yang memiliki dominansi relatif tertinggi adalah jenis C. decandra sebesar 44,00% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis B. gymnorrhiza sebesar 0,38%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki dominansi relatif tertinggi adalah jenis A. marina 32,63% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis C. decandra masing-masing sebesar 0,25% .

Di Teluk Banyuwedang pada fase pancang jenis yang memiliki dominansi relatif tertinggi adalah jenis C. tagal sebesar 24,25% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis A. officinalis sebesar 1,20%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki

dominansi relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha sebesar 36,39% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis A. officinalis masing-masing sebesar 1,68%.

Di Pulau Menjangan pada fase pancang jenis yang memiliki dominansi relatif tertinggi adalah jenis E. agallocha sebesar 26,81% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis A. officinalis sebesar 1,90%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki dominansi relatif tertinggi adalah jenis A. officinalis sebesar 57,93% dan jenis yang memiliki dominansi relatif terendah adalah jenis S. alba dan P. acidula masing-masing sebesar 8,05%.

Dari perbandingan di empat lokasi vegetasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat di Teluk Gilimanuk, Teluk Terima, Teluk Banyuwedang, dan Pulau Menjangan luas penutupan (coverage) yang merupakan proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies mangrove berupa luas penutupan tajuk dengan luas total habitat masing-masing jenis berbeda-beda tingkat dominansinya di setiap lokasi.

Dari empat kawasan tempat komunitas mangrove di Taman Nasional Bali Barat, vegetasi mengrove di Teluk Banyuwedang mempunyai nilai dominansi yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai dominansi pada vegetasi mangrove di kawasan lainnya di Taman Nasional Bali Barat dimana nilai dominansi terbesar untuk Teluk Gilimanuk sebesar 53,57%, Teluk Terima sebesar 44,00%, Pulau Menjangan sebesar 57,93%, sedangkan nilai dominansi terbesar untuk Teluk Banyuwedang sebesar 36,39%. Nilai dominansi yang kecil menunjukkan kondisi lingkungan di daerah hutan alami di Teluk Banyuwedang relatif lebih stabil dan mendukung jenis-jenis mangrove penyusunnya. Menurut Dahuri et.al (2001) kondisi kominitas yang labil atau kurang stabil menunjukkan adanya sebaran individu-individu antar jenis yang tidak merata atau ada jenis yang dominan. Sedangkan komunitas dalam kondisi stabil karena individu-individu antar jenis relatif merata.

Dari nilai dominansi relatif juga dapat dianalisa bahwa vegetasi mangrove di Teluk Gilimanuk dan di Pulau Menjangan yang memiliki nilai dominansi relatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi mangrove di Teluk Banyuwedang dan Pulau Menjangan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di Teluk Gilimanuk dan Pulau Menjangan relatif kurang stabil dan mendapatkan tekanan ekologis yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal ini kemungkinan terjadi akibat tekanan aktivitas manusia yang terjadi di Teluk Gilimanuk dan Pulau Menjangan lebi besar dibanding 2 lokasi lainnya.

Di Teluk Gilimanuk banyak aktivitas manusia yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kestabilan ekosistem mangrove seperti aktivitas masyarakat nelayan, budidaya lobster, budidaya rumput laut, transplantasi karang,

limbah rumah tangga, pelabuhan penyeberangan, PLTG Gilimanuk dan juga aktivitas pariwisata. Dari informasi yang didapat dari petugas Taman Nasional Bali Barat, gangguan manusia yang secara langsung mempengaruhi eksistensi mangrove di Teluk Gilimanuk diantaranya penggunaan vegetasi mangrove untuk pakan ternak ( jenis S. Alba, E. Agallocha, A. marina), kayu bakar (C. tagal, A. marina, O. otodanta, L. racemosa, P. acidula), bahan bangunan (C. tagal, R. apiculata, B. gymnorrhiza), tanaman hias (P. acidula). Gangguan lainnya berupa sampah, limbah rumah tangga, industri rumahan seperti pabrik tahu yang berdampak pada pertumbuhan anakan mangrove.

Pulau Menjangan merupakan kawasan yang menjadi tujuan utama aktivitas pariwisata alam di Taman Nasional Bali Barat terutama untuk aktivitas diving dan snorkling yang sudah tentu pula menimbulkan dampak tingginya aktivitas wisatawan dan juga angkutan perahu yang beroperasi di sekitar pulau ini. Di samping untuk tujuan wisatawan diving dan snorkling, aktivitas perahu di Pulau Menjangan juga banyak dilakukan untuk menunjang aktivitas spiritual masyarakat yang melakukan persembahyangan pada tempat-tempat suci yang ada di Pulau Menjangan.

  • 3.5.    Zonasi Vegetasi

Vegetasi mangrove di Teluk Gilimanuk, untuk vegetasi yang berhadapan langsung dengan laut lepas pada jarak 0 – 100 m dari garis pantai didominasi oleh jenis S. alba, R. stylosa, dan R. apiculata .Menuju ke arah daratan mulai tumbuh jenis A. marina, C. tagal, O. octodanta dan di tepi darat ditemukan jenis L. racemosa, dan E. agallocha. Vegetasi mangrove di Teluk Terima, zonasi terdepan terdiri dari jenis S. alba, R. stylosa, dan R. apiculata (Gambar 5.5 dan 5.6). Menuju ke arah daratan berturut-turut mulai tumbuh jenis C. tagal, C. decandra, B. gymnorrhiza, A. marina, X. granatum dan di tepi daratan ditemukan jenis L. racemosa, dan E. agallocha.

Vegetasi mangrove di Teluk Banyuwedang untuk zonasi terdepan yang berhadapan langsung dengan laut lepas, jenis S. alba, R. stylosa, R. apiculata, R. mucronata (Gambar 5.7 dan 5.8). Menuju ke arah daratan tumbuh vegetasi jenis A. marina, A. Officinalis, X. granatum, C. tagal, C. decandra, E. agallocha, dan L. Racemosa.

Vegetasi mangrove di Pulau Menjangan untuk zonasi terdepan yang berhadapan langsung dengan laut lepas, jenis S. alba, R. stylosa, R. apiculata. Menuju ke arah daratan tumbuh vegetasi jenis C. tagal, A. officinalis, A. floridum, L. racemosa, E. agallocha, P. acidula dan X. granatum.

Secara umum dalam hal struktur zonasi pertumbuhan mangrove, hutan mangrove di Taman Nasional Bali Barat di bagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu zona terdepan, zona pertengahan, dan zona

belakang/terdalam. Bagian terdepan mangrove dikuasai oleh jenis S. alba, R. stylosa, R. apiculata, pada jarak 0 – 50 m dari garis pantai. Jenis S. alba mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Di zona mangrove terdepan / terbuka jenis tersebut hidup pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut (Bengen, 2002). Dari jarak 50 m kemudian tumbuh R. mucronata, C. tagal, C. decandra A. marina, A. officinalis, A. floridum, B. gymnorrhiza, O. octodanta dan X. granatum. Daerah ini tidak selalu terendam air, hanya kadang-kadang saja terendam air. Mendekati daratan yang merupakan zona belakang/ terdalam tumbuh jenis-jenis E. agallocha, dan L. racemosa, dan P. acidula. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya.

Perbedaan salinitas antara perairan mangrove di garis pantai menuju daratan nampaknya mengkibatkan perbedaan jenis vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut. Hal ini didukung pendapat Bunt et.al. (1982) dalam Astawa (1998) bahwa tumbuhan yang dapat hidup di daerah pesisir adalah sebagai berikut : pada tingkat salinitas paling tinggi di daerah yang langsung berhubungan dengan air lepas tumbuh R. stylosa, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh R. apiculata, S. alba, B. gymnorhiza, R. mucronata, C. tagal, Lithorea lateralis dan pada daerah kering tumbuh Hibiscus tiliaceus.

Jenis Avicennia yang biasanya ditemukan pada daerah yang paling dekat dengan laut dan tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut, dengan salinitas yang tinggi, yang ditandai dengan kondisi oksigen yang rendah dan kadar garam yang tinggi akan tetapi di sini pada jarak sekitar 350 m – 400 m jenis ini masih dapat ditemukan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tingkat salinitas air laut antara bibir pantai sampai ke arah darat relatif tidak berbeda jauh sehingga jenis Avicennia dan Sonneratia yang biasanya tumbuh di bibir pantai masih dapat tumbuh ke arah daratan meskipun berjarak jauh dari bibir pantai.

Pengambilan sampel tingkat salinitas air laut di bibir pantai dengan lokasi ke arah darat tempat ditemukannya spesies Avicennia menunjukkan tingkat salinitas air laut di bibir pantai 29‰. Kemungkinan lain daerah yang terkena pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah di daerah ini relatif panjang sehingga ketika pasang, air laut bisa jauh bergerak ke arah daratan dan ini yang menyebabkan kadar garam antara bibir pantai dengan daerah darat relatif sama.

  • 3.6.    Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi

Jenis yang memiliki INP tertinggi di Teluk Gilimanuk untuk fase semai dari jenis E.agallocha sebesar 78,00 % dan nilai terendah dari jenis L.

racemosa sebesar 3,05 % . Pada fase pancang, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis C. tagal sebesar 91.61 % dan nilai terendah dari jenis O. octodanta sebesar 0,44 %. Pada fase pohon, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis S. alba sebesar 103,76 %, dan nilai terendah dari jenis P. acidula sebesar 5,47 % .

Jenis yang memiliki INP tertinggi untuk fase semai di Teluk Terima dari jenis C. decandra sebesar 78,33% dan nilai terendah dari jenis X. granatum sebesar 2,15%. Pada fase pancang, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis C. decandra sebesar 162,41 % dan nilai terendah dari jenis B. gymnorrhiza sebesar 1,38%. Pada fase pohon, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis E. agallocha sebesar 85,06% dan nilai terendah dari jenis C. decandra sebesar 3,09.

Jenis yang memiliki INP tertinggi untuk fase semai di Teluk Banyuwedang dari jenis E. agallocha sebesar 63,08 % dan nilai terendah dari jenis X. granatum dan R. stylosa masing-masing sebesar 4,80 %. Pada fase pancang, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis C. tagal sebesar 86,28 % dan nilai terendah dari jenis A. officinalis sebesar 7,11 %. Pada fase pohon, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis E.agallocha sebesar 79,98 % dan nilai terendah dari jenis R. apiculata dan jenis A. officinalis masing-masing sebesar 13,86 % .

Jenis yang memiliki INP tertinggi untuk fase semai di Pulau Menjangan dari jenis C. tagal sebesar 63,69 % dan nilai terendah dari jenis S. alba sebesar 13,55 %. Pada fase pancang, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis C. tagal sebesar 66,66 % dan nilai terendah dari jenis A. officinalis sebesar 11,67 %. Pada fase pohon, jenis yang memiliki INP tertinggi dari jenis E. agallocha sebesar 109,08 % dan nilai terendah dari jenis P. acidula sebesar 26,89 % .

Melihat INP vegetasi mangrove di atas khususnya pada fase semai dan pancang, pada masa yang akan datang vegetasi mangrove dari family Rhizophoraceae dari jenis C. tagal dan C. decandra akan mendominasi komunitas mangrove di Taman Nasional Bali Barat terutama di daerah bibir pantai menuju daratan, sedangkan vegetasi mangrove di bibir daratan jenis E. agallocha akan mendominasi. Hal ini didukung oleh pendapat Tomlinson (1986) yang menyatakan bahwa jenis-jenis tersebut umum dijumpai di kawasan hutan mangrove hutan mangrove pesisir pantai kawasan indo-malesia (Indonesia dan Malaysia) yang merupakan pusat biogeografi jenis-jenis tertentu seperti Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera dan jenis lainnya. Odum (1973) pun menyatakan bahwa kelompok tumbuhan yang dominan pada hutan mangrove adalah jenis bakau dari family Rhizophoraceae seperti C. tagal dan C. decandra yang berarti juga bahwa jenis-jenis tersebut dapat tumbuh dengan baik dan memiliki nilai ekologi yang mantap di kawasan mangrove Taman Nasional Bali Barat. Sedangkan Bengen (2002) menyatakan bahwa daur hidup yang

khusus dari family Rhizophoraceae dengan benih yang dapat berkecambah pada waktu masih berada pada tumbuhan induk sangat menunjang pada proses distribusi yang luas dari jenis ini pada ekosistem mangrove.

  • 3.7.    Indeks Keanekaragaman Shanon (H’)

    Vegetasi

Indeks Keanekaragaman Shanon (H’) vegetasi mangrove di Teluk Gilimanuk berkisar antara 0,3630 – 0,7419 dengan kategori rendah. Pada fase semai, H’ tertinggi terdapat pada jalur 4 sebesar 0,6325 dan terendah pada jalur 1 sebesar 0,4574. Pada fase pancang, H’ terdapat Jalur 4 sebesar 0,7419 dan H’ terendah terdapat pada Jalur 3 sebesar 0,6206. Pada fase pohon, H’ tertinggi terdapat Jalur 2 sebesar 0,6786 dan H’ terendah terdapat pada jalur 1 sebesar 0,3630. Dari hasil rekapitulasi masing-masing jenis dari setiap petak contoh dan jalur didapatkan hasil di Teluk Gilimanuk untuk fase semai, pancang dan pohon bertutur-turut nilai H’ sebesar 0,7435 ; 0,8029 dan 0,6887 dan kesemuanya termasuk kategori rendah.

Indeks Keanekaragaman Shanon (H’) vegetasi mangrove di Teluk Terima berkisar antara 0,0000 – 0,7889 dengan kategori rendah. Pada fase semai, H’ pada jalur 1 sebesar 0,5289 dan pada jalur 2 sebesar 0,4625. Pada fase pancang, H’ pada Jalur 1 sebesar 0,7265 dan H’pada jalur 2 sebesar 0,7775. Pada fase pohon, H’ Jalur 1 sebesar 0,5881 dan H’ pada jalur 2 sebesar 0,8248. Dari hasil rekapitulasi masing-masing jenis dari setiap petak contoh dan jalur didapatkan hasil di Teluk Terima untuk fase semai, pancang dan pohon bertutur-turut nilai H’ sebesar 0,7462 ; 0,6650 dan 0,8197 dan kesemuanya termasuk kategori rendah.

Indeks Keanekaragaman Shanon (H’) vegetasi mangrove di Teluk Banyuwedang berkisar antara 0,0000 – 0,7889 dengan kategori rendah. Pada fase semai, H’ tertinggi terdapat pada jalur 3 sebesar 0,6812 dan terendah pada jalur 2 sebesar 0,3884. Pada fase pancang, H’ terdapat Jalur 3 sebesar 0,7889 dan H’ terendah terdapat pada Jalur 1 sebesar 0,6404. Pada fase pohon, H’ tertinggi terdapat Jalur 2 sebesar 0,7358 dan H’ terendah terdapat pada jalur 3 sebesar 0,0000. Dari hasil rekapitulasi masing-masing jenis dari setiap petak contoh dan jalur didapatkan hasil di Teluk Banyuwedang untuk fase semai, pancang dan pohon bertutur-turut nilai H’ sebesar 0,8344 ; 0,8493 dan 0,7648 dan kesemuanya termasuk kategori rendah.

Indeks Keanekaragaman Shanon (H’) vegetasi mangrove di Pulau Menjangan berkisar antara 0,3991 – 0,8217 dengan kategori rendah. Pada fase semai, H’ pada jalur 1 sebesar 0,5514 dan pada jalur 2 sebesar 0,6401. Pada fase pancang, H’ pada Jalur 1 sebesar 0,8217 dan H’pada jalur 2 sebesar 0,7545. Pada fase pohon, H’ Jalur 1 sebesar 0,3991 dan H’ pada jalur 2 sebesar 0,4376. Dari hasil rekapitulasi masing-

masing jenis dari setiap petak contoh dan jalur didapatkan hasil di Pulau Menjangan untuk fase semai, pancang dan pohon bertutur-turut nilai H’ sebesar 0,7362 ; 0,8825 dan 0,5611 dan kesemuanya termasuk kategori rendah (Tabel 5.31).

Dari kisaran nilai Indeks Keanekaragaman yang didapat semuanya termasuk kategori rendah, namun demikian apabila dibandingkan antara 4 (empat) lokasi penyebaran komunitas mangrove di Taman Nasional Bali Barat, komunitas yang berada di Teluk Banyuwedang memiliki nilai Indeks Keanekaragaman terbesar yang berarti perbedaan jumlah individu diantara jenis-jenis penyusunnya tidak jauh berbeda atau cenderung seragam yang berarti terjadi keseimbangan yang besar pada komposisi individu tiap jenis penyusunnya dengan kata lain bahwa komunitas mangrove di Teluk Banyuwedang memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain akibat interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu yang lebih tinggi dan komunitas mangrove tersebut tersusun oleh lebih banyak spesies dibandingkan lokasi lain (di Teluk Gilimanuk 13 spesies penyusun, di Teluk Terima 13 spesies penyusun, di Pulau Manjangan 11 spesies penyusun sedangkan di Teluk Banyuwedang sebanyak 14 spesies penyusun).

Kondisi vegetasi mengrove di Teluk Banyuwedang ditunjang dengan nilai dominansi yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai dominansi pada vegetasi mangrove di kawasan lainnya di Taman Nasional Bali Barat dimana nilai dominansi terbesar untuk Teluk Gilimanuk sebesar 53,57%, Teluk Terima sebesar 44,00%, Pulau Menjangan sebesar 57,93%, sedangkan nilai dominansi terbesar untuk Teluk Banyuwedang sebesar 36,39%. Nilai dominansi yang kecil menunjukkan kondisi lingkungan di daerah hutan alami di Teluk Banyuwedang relatif lebih stabil dan mendukung jenis-jenis mangrove penyusunnya. Zoeraini (1997) menyatakan komunitas dalam lingkungan yang masih alami mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Selanjutnya dikatakan suatu ekosistem bekerja secara optimal dalam keadaan tanpa gangguan.

  • 3.8.    Tingkat Kerusakan Mangrove

Tingkat kerusakan mangrove di masing-masing stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kerapatan yang dihitung dari jumlah individu/spesies per hektar. Dari masing-masing jalur di keempat stasiun penelitian, pada fase semai dan pancang, kerapatan setiap spesies termasuk kategori sangat padat. Pada fase pohon dengan rata-rata jumlah individu per hektar kurang dari 1000 pohon per hektar maka pada fase pohon berdasarkan kriteria baku termasuk kategori jarang.

Kerapatan tingkat semai, pancang dan pohon memperlihatkan bahwa semakin kecil pertumbuhannya, kerapatannya semakin tinggi, karena dalam proses kompetisi sebelum menjadi

dewasa akan ada yang mati. Kerapatan mangrove tingkat semai tertinggi terdapat di Teluk Banyuwedang dimana kerapatan yang mencapai 272.500 individu per hektar dan didominasi oleh anakan E. agallocha dengan kerapatan relatif mencapai 53,98% (Tabel 5.10). Pada fase pancang, kerapatan mangrove tertinggi terdapat di Teluk Banyuwedang yang mencapai 2.666,67 individu per hektar dan didominasi oleh C. tagal dengan kerapatan relatif mencapai 35,94%.

Tabel 5. Tingkat Kerusakan Vegetasi Mangrove

  • 3.9.    Tingkat Kekritisan

Dari formulasi Tingkat kekritisan mangrove tersebut di atas, Total Nilai Skor penelitian diperoleh nilai 385 dan dapat diklasifikasikan Tidak Rusak. Beberapa hal yang menjadi alasan vegetasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat diklasifikasikan tidak rusak yaitu:

  • a.    Tipe penutupan dan penggunaan lahan di kawasan mangrove Taman Nasional Bali Barat merupakan tegakan mangrove murni dan tidak tercampur dengan vegetasi lainnya.

    Stasiun / Jalur

    Semai

    Kerapatan Hndividu/haJ

    Kategori Pancang Kategori

    Pohon

    Kategori

    T eluk G ilimanuk - Jalur 1

    28.333,33

    Sangat Padat

    2.577,78

    S angat P adat

    144,44

    Ja rang

    - J alur 2

    9.375,00

    Sangat Padat

    4.400,00

    S angat P adat

    450,00

    Ja rang

    - J alur 3

    76.428,57

    Sangat Padat

    2.571,43

    S angat P adat

    514,29

    Ja rang

    - Jalur 4

    Teluk Terima

    15.416,67

    Sangat Padat

    5.200,00

    S angat P adat

    166,67

    Ja rang

    - Jalur 1

    30.357,14

    Sangat Padat

    9.028,57

    S angat P adat

    257,14

    Ja rang

    - Jalur 2

    33.125,00

    Sangat Padat

    2.300,00

    S angat P adat

    650,00

    Ja rang

    T eluk B anyuwed ang - Jalur 1

    41.666,67

    Sangat Padat

    2.666,67

    S angat P adat

    266,67

    Ja rang

    - J alur 2

    272.500,00

    Sangat Padat

    1.800,00

    S angat P adat

    650,00

    Ja rang

    - J alur 3

    Pulau Menjangan

    75.625,00

    Sangat Padat

    3.300,00

    S angat P adat

    125,00

    Ja rang

    - Jalur 1

    16.250,00

    Sangat Padat

    2.600,00

    S angat P adat

    392,86

    Ja rang

    - J alur 2

    23.333,33

    Sangat Padat

    3.333,33

    S angat P adat

    400,00

    Ja rang

Kerapatan semai dan pancang yang tinggi di Teluk Banyuwedang ini diakibatkan karakteristik wilayah Teluk Banyuwedang sendiri secara karakteristik wilayah berbeda dengan lokasi mangrove lainnya di Taman Nasional Bali Barat. Bentuk topografi Taman Nasional Bali Barat yang bergelombang, dari ringan sampai berat dengan lereng landai dan rata sampai curam. Kemiringan berkisar antara 8 – 25%. Hutan mangrove di Banyuwedang menempati daerah dengan kemiringan terendah dan kemiringan ini menghadap ke arah laut. Kontur di daerah Banyuwedang makin ke arah darat makin curam yang menyebabkan semain mudahnya pengangkutan sedimen yang berasal dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah dan sedimen ini kemudian menjadi media tumbuh yang sangat baik bagi vegetasi mangrove. Sandi (1974) dalam Septriana (2000) menyebutkan bahwa daerah Banyuwedang merupakan daerah terdatar dengan kemiringan 0 – 8% bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Taman Nasional Bali Barat. Apabila ditarik garis dari daerah yang kemiringannya paling tinggi ke daerah yang kemiringannya paling rendah akan tampak bahwa kemiringan mengarah ke daerah Teluk Banyuwedang. Disamping itu hutan mangrove yang ada kawasan Teluk Banyuwedang masih alami dan tidak ada aktivitas manusia yang tinggi dilakukan dikawasan ini dibandingkan dengan kawasan lainnya.

  • b.    Jumlah permudaan baik dalam fase semai dan pancang dalam keadaan melimpah meskipun dalam fase pohon dalam kategori yang sedikit, sehingga dalam masa yang akan mendatang vegetasi mangrove tersebut akan berkembang meskipun dalam perkembangan kemudian fase semai dan pancang akan mengalami persaingan sebelum menjadi pohon.

  • c.    Lebar jalur hijau mangrove di Taman Nasional Bali Barat beragam mulai dari 50 Meter di Pulau Menjangan sampai yang selebar 450 Meter di Teluk Gilimanuk.

  • d.    Tingkat abrasi mangrove di kawasan pesisir Taman Nasional Bali Barat tidak banyak terjadi bahkan tidak ada, ini diakibatkan semua vegetasi mangrove yang ada di Taman Nasional Bali Barat terletak di teluk dan pulau yang tidak berhadapan langsung dengan laut lepas dengan arus dengan gelombang yang kuat terutama perairan Samudra Indonesia dan Selat Bali.

  • 3.10.    Lingkungan Perairan

Dari pengukuran parameter fisika dan kimia setelah dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut didapatkan hasil semua parameter pada masing-masing jalur stasiun penelitian hasilnya di bawah baku mutu yang ditetapkan.

Tabel 6. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air

No

Lokasi

Suhu (o C)

PH

Salinitas (%o)

Hasil

Baku Mutu

Hasil

Baku Mutu

Hasil

Baku Mutu

b

Teluk Gilimanuk - Jalur 1

29

28 - 32

8,32

7 - 8,5

29

s.d. 34

- Jalur 2

28

28 - 32

8,32

7 - 8,5

29

s.d. 34

- Jalur 3

29

28 - 32

8,38

7 - 8,5

30

s.d. 34

- Jalur 4

27

28 - 32

8.40

7 - 8,5

30

s.d. 34

2.

Teluk Terima - Jalur 1

29

28 - 32

8,45

7 - 8,5

31

s.d. 34

- Jalur 2

29

28 - 32

8,12

7 - 8,5

31

s.d. 34

3.

Teluk Banyxiwedang - Jalur 1

29

28 - 32

8,02

7 - 8,5

29

s.d. 34

- Jalur 2

29

28 - 32

8,22

7 - 8,5

30

s,d. 34

- Jalur 3

29

28 - 32

7,93

7 - 8,5

31

s.d. 34

4.

Pulau IVLenjangan - Jalur 1

29

28 - 32

8,19

7 - 8,5

30

s.d. 34

- Jalur 2

29

28 - 32

8,30

7 - 8,5

30

s.d. 34


Hal ini menandakan bahwa lingkungan perairan mangrove Taman Nasional Bali Barat sampai saat ini masih kondusif untuk mendukung kestabilan maupun perkembangan vegetasi mangrove di masa yang akan datang.

  • 3.11.    Konsepsi Pengelolaan

Pengelola Taman Nasional Bali Barat perlu membuat kesepakatan-kesepakatan dengan masyarakat dalam mempertahankan kelestarian hutan mangrove. Kesadaran masyarakat antar generasi dalam pengelolaan hutan mangrove merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan untuk keberlanjutan ekosistem. Dalam hal pemanfaatan untuk wisata alam, beberapa potensi ekosistem mangrove yang yang dapat dijadikan obyek untuk wisata alam antara lain :

  •    Bentuk perakaran yang khas umum ditemukan pada beberapa jenis pohon mangrove, seperti akar tunjang (Rhizophora spp.), akar lutut (Bruguiera spp.), akar pasak (Sonneratia spp. dan Avicennia spp.), akar papan (Heritiera spp.), dan lain-lain.

  •    Buahnya yang bersifat vivipar (buah berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang diperlihatkan oleh beberapa jenis pohon mangrove, seperti jenis-jenis yang tergolong suku Rhizophoraceae.

  •    Adanya zonasi yang sering berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi dengan hutan rawa).

  •    Berbagai jenis fauna dan flora yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, dimana jenis fauna dan flora tersebut kadang-kadang jenis endemik bagi daerah yang bersangkutan.

Dalam hal pemanfaatan jasa lingkungan, pengelola Taman Nasional Bali Barat dapat mengkampanyekan, dan menumbuhkembangkan pemahaman tentang manfaat mangrove dari sisi jasa lingkungan yang dihasilkan kepada masyarakat luas. Sedangkan pengelolaan hutan mangrove untuk menjadikan ekosistem yang produktif dan

berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan, landasan yang perlu dijadikan acuan bagi pengelola Taman Nasional Bali Barat adalah:

  • 1.    Tindakan pengelolaan sumberdaya alam mangrove bertujuan menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya.

  • 2.    Permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam mangrove sebagaimana sumberdaya lainnya yang bermanfaat ganda yaitu ekologis dan ekonomi adalah menentukan tingkat pengelolaan yang optimal dipandang dari kedua bentuk manfaat yaitu ekologi dan ekonomi.

  • 3.    Kendala dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Dari aspek teknis, kendala pengelolaan ekosistem mangrove antara lain kondisi habitat tidak begitu ramah, tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relative tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu. Adanya percampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kompleks, dan kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya memiliki populasi penduduk yang tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah.

Pengelola Taman Nasional Bali Barat dalam waktu yang akan datang, dalam rangka menjamin kelestarian hutan mangrove, memberikan wisata edukatif bagi masyarakat, memberikan peluang usaha bagi masyarakat sekitar, mendukung pelestarian dan pengembangan seni dan budaya lokal, dan meningkatkan pendapatan negara dan pendapatan asli daerah haruslah mulai melakukan upaya-upaya pengembangan pariwisata alam khususnya pariwisata alam di dengan obyek hutan mangrove.Pengembangan sarana akomodasi pariwisata dapat dilakukan diluar kawasan hutan sedangkan hutan mangrove dapat dijadikan obyek

atau etalase bagi pengunjung.Pengelola Taman Nasional Bali Barat sebaiknya menerapkan pola ekowisata yang dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya setempat serta mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi.

  • 4.    SIMPULAN DAN SARAN

    • 4.1    Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :

  • 1.    Komposisi vegetasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat terdiri dari mangrove mayor sejumlah 5 famili dengan 13 jenis dan mangrove minor sejumlah 5 famili dengan 5 jenis mangrove. Mangrove mayor dari famili Avicenniaceae : Avicennia marina. A. officinalis ; famili Rhizophoraceae : Rhizophora apiculata, R. mucronata,. R. stylosa, R. lamarkii, Bruguiera gymnorrhiza, B. cylindrica, Ceriops decandra, C. tagal ; famili Sonneratiaceae : Sonneratia alba ; famili Lombretaceae : Lumnitzera racemosa ; dan dari famili Palmae : Nypa fruticans. Untuk mangrove minor terdiri dari dari famili Myrsinaceae : Aegiceras floridum; famili Euphorbiaceae : Excoecaria agallocha ; famili Myrtaceae : Osbornia octodanta ; famili Lythraceae : Pemphis acidula ; dan dari famili Meliaceae : Xylocarpus granatum.

  • 2.    Di Teluk Gilimanuk jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk fase semai dari jenis E.agallocha sebesar 78,00 % , fase pancang jenis C. tagal sebesar 91.61 % dan fase pohon jenis S. alba sebesar 103,76 %. Indeks Keanekaragaman Shanon (H’) vegetasi mangrove di Teluk Gilimanuk antara 0,3630 – 0,7419 dengan kategori rendah. Di Teluk Terima jenis yang memiliki INP tertinggi untuk fase semai jenis C. decandra sebesar 78,33% , fase pancang jenis C. decandra sebesar 162,41 % dan fase pohon jenis E. agallocha sebesar 85,06%. H’ vegetasi mangrove di Teluk Terima antara 0,0000 – 0,7889 dengan kategori rendah. Di Teluk Banyuwedang jenis yang memiliki INP tertinggi untuk fase semai jenis E. agallocha sebesar 63,08 % , fase pancang jenis C. tagal sebesar 86,28 % dan fase pohon jenis E.agallocha sebesar 79,98 %. H’ vegetasi mangrove di Teluk Banyuwedang antara 0,0000 – 0,7889 dengan kategori rendah. Di Pulau Menjangan jenis yang memiliki INP tertinggi untuk fase semai jenis C. tagal sebesar 63,69 %, fase pancang jenis C. tagal sebesar 66,66 % dan fase pohon jenis E. agallocha sebesar 109,08 %. H’ vegetasi mangrove di Pulau Menjangan berkisar antara 0,3991 – 0,8217 dengan kategori rendah.

  • 3.    Tingkat kerusakan mangrove, kerapatan setiap spesies termasuk kategori sangat padat (kategori baik) sedangkan pada fase pohon termasuk kategori jarang (kategori rusak)

  • 4.    Tingkat kekritisan vegetasi mangrove di Taman Nasional Bali Barat dapat diklasifikasikan Tidak Rusak.

  • 5.    Lingkungan perairan mangrove Taman Nasional Bali Barat masih kondusif untuk mendukung kestabilan maupun perkembangan vegetasi mangrove di masa yang akan datang karena hasil pengukuran parameter fisika dan kimia lingkungan perairan mangrove masih dibawah baku mutu.

  • 4.2    Saran

Berdasarkan simpulan hasil penelitian, dapat disarankan beberapa hal sebagai masukan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove di Taman Nasional Bali Barat : 1. Pengelola Taman Nasional Bali Barat perlu membuat kesepakatan-kesepakatan dengan masyarakat dalam mempertahankan kelestarian hutan mangrove. Kesadaran masyarakat antar generasi dalam pengelolaan hutan mangrove merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan untuk keberlanjutan ekosistem.

  • 2.    Dalam rangka menjamin kelestarian hutan mangrove, memberikan wisata edukatif bagi masyarakat, memberikan peluang usaha bagi masyarakat sekitar, mendukung pelestarian dan pengembangan seni dan budaya lokal, dan meningkatkan pendapatan negara dan pendapatan asli daerah, pengelola Taman Nasional harus mulai melakukan upaya-upaya pengembangan pariwisata alam khususnya pariwisata alam di dengan obyek hutan mangrove sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan kaidah-kaidah konservasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representation and Management of Agroforest on the Periphery of Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris. UNESCO.

Balai Taman Nasional Bali Barat. 1997. Rencana Karya Dua Puluh Lima Tahun Taman Nasional Bali Barat. Buku II. Gilimanuk : Balai Taman Nasional Bali Barat.

—————, 2009. Buku Informasi Mangrove di Taman Nasional Bali Barat. Gilimanuk : Balai Taman Nasional Bali Barat.

—————, 2009. Review Zonasi Taman Nasional Bali Barat Tahun 2009. Gilimanuk : Balai Taman Nasional Bali Barat.

—————, 2010. Review Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bali Barat Periode: 1 April 1997 s/d 31 Maret 2022. Gilimanuk : Balai Taman Nasional Bali Barat.

—————, 2012. Peta Lokasi Sebaran Mangrove di Taman Nasional Bali Barat. Gilimanuk : Balai Taman Nasional Bali Barat.

Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

—————, 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

—————, 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

Chapman, V. J. 1975. Mangrove Vegetation. Strauss and Cramer GmbH, German

Clarke, P.J. dan P.J. Myerscough. 1991. Floral Biology and Reproductive Phenology of Avecennia marina in South-Eastern Australia. Aust. J. Bot., vol. 39, pp. 283-293.

Coleman, N. 1991. Encyclopedia of Marine Animal. Harper Collins Publishers. Australia

Dahuri, J. Rais Sapta P.G. dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramitha. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Penentuan Tingkat Kerusakan Mangrove. Jakarta : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan RI.

Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Edisi Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Hilmi, E dan C. Kusmana. 1999. Ekosistem Mangrove: Antara Karakteristik, Teknik Sampling, dan Analisis Sistem. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Cetakan Kedua. Jakarta : PT Bumi Aksara. Jakarta.

Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat,Provinsi

Maluku (tesis). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Iskandar, Djoko T. Amfibi Jawa dan Bali. Bogor : Puslitbang Biologi – LIPI, xvii ; 132 hlm ; 21 cm.

Jayawardana, G. dan M.H. Azkab. 2007. Sosial-Ekonomi dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat dalam : Status Sumberdaya Laut Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat (Ruyitno, A. Aziz, A. Syahilatua, M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo dan T. Susana, eds). Jakarta, LIPI Press,121 – 134.

Kartawinata, K. 1977. A Preliminary Study of the Mangrove Forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay. Mar Rest. Indonesia. 18 : 119 – 129.

Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, A. Baba, 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia, Bali and Lombok. Tokyo, MEDIT.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB Press. Bogor.

—————, 2009. Ekosistem Hutan Mangrove dan Telaah Kriteria Tingkat Kerusakannya. Naskah Lengkap Forum Group Discussion (FGD) Penelitian Penegakan Hukum terhadap Perusakan Kawasan Ekosistem Mangrove (cited 2011 Jun. 20). Available from : URL : http:// cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/2010/06/09/ ekosistem-hutan-mangrove-dan-telaah-kriteria-tingkat-kerusakannya/.

—————, 2009. Ekologi Mangrove. Makalah Workshop Pemantauan Ekosistem Mangrove, SEAMEO BIOTROP – Bogor, 5-6 Oktober 2009. Bogor.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Marsono, D.1977. Diskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mulyadi, D., C. Murniati, H.Ashari, D.R.Subasli. 2009. Evaluasi dan Karakteristik Biota yang Berasosiasi dengan Ekosistem Mangrove dan Estuari di Taman Nasional Bali Barat. Jakarta : LIPI-Depdiknas.

Odum, E.P. 1973. Fundamental of Ecology. W. B. Sounders. Co. Philadelphia.

Onrizal & C. Kusmana. 2007. Studi Ekologi Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara. Jurnal Biodiversitas Volume 9, Nomor 1 Januari 2008 Halaman: 25-29.

Kementerian Kehutanan, 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.67/Menhut-II/2006 Tanggal 6 Nopember 2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan.

Pramudji. 2007. Struktur Komunitas Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat dalam : Status Sumberdaya Laut Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat (Ruyitno, A. Aziz, A. Syahilatua, M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo dan T. Susana, eds). Jakarta, LIPI Press,1 – 8.

Septriana, S. 2000. Kualitas Lingkungan dan Kondisi Kesehatan Mangrove di Banyuwedang, Taman Nasional Bali Barat, Provinsi Bali (skripsi). Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Setyawan, AD., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, A. Susilowati, 2004. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis. Jurnal Biodiversitas Volume 6, Nomor 2 April 2005 Halaman: 90-94.

Setyawan, A.D. 2005. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove di Pantai Utara dan Selatan (tesis). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Snedaker, C.S. and J.G. Snedaker. 1984. The Mangrove Ecosystem : Research Methods. UNESCO.

Soerianegara, I. 1972. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tomlinson, P.B. 1994. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press. UK.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Komar, Y., S.Miura, R. Terui, S. Hamada, F. Rahim. 1994. Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Benih Mangrove di Persemaian. Denpasar, The Development of Sustainable Mangrove Management Project.

Wetland International Indonesia Programme. 2009. Excoecaria agallocha L. (cited 2012 Oct. 20). Available from : URL : www.wetlands.or.id/man-grove/mangrove_species.php?id=26

Zoeraini, D.I. 1997. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem, Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta

Lampiran Data

Stasiun

Fase

No

Spesies

Jumlah (iidivid u)

Jumlah Ptot

Kerapatan (individu/ha)

Kerapatan

Relatif(%)

Frekuensi

Frekuensi

Rdatif(0Zo)

Dominansi (m’ha)

Dominansi

Relatif(0Zo)

INP (0Zo)

H

G Hirnanuk

Sanai

1

- Rh izop ho m a picul ata

29,00

13,00

2.788,46

10,03

0,50

35,14

-

-

45,1697

0,1459

- 26 Pb t(2m x 2ni)

2

- Sonneratia a Ilxi

4,00

3,00

3 84,62

1,38

0,12

8,11

-

-

9,4922

0,0628

- Luas 0,0104 ha

3

-Rh izop ho m s tyl as a

2,00

2,00

192,31

0,69

0,08

5,41

-

-

6,0974

0,0462

4

- Avicenni amarina

5,00

5,00

480,77

1,73

0,19

1331

-

-

153436

0,0852

5

- Cerxips tagal

34,00

7,00

3.269,23

11,76

0,27

18,92

-

-

30,6836

0,1249

6

- Oslxirnia octodanta

8,00

2,00

769,23

2,77

0,08

5,41

-

-

8,1736

0,0567

7

- Lum nitzera racen asa

1,00

1,00

96,15

0,35

0,04

2,70

-

-

3,0487

0,0277

S

- Exc oeca ria aga Iki ch a

202,00

3,00

19.423,08

69,90

0,12

8,11

-

-

78,0043

0,1595

9

-Pemphis acidida

4,00

1,00

3 84,62

1,38

0,04

2,70

-

-

4,0868

0,0345

27.788,46

100,00

1,42

100,00

-

-

2 00,00 00

0,7435

Pancang

1

- Sonneratia a Iba

19,00

5,00

292,31

8,44

0,19

9,80

6237

26,45

44,6999

0,1232

- 26 Pb t(5 m x 5 m)

2

- Rh izop ho ra a picul ata

51,00

11,00

784,62

22,67

0,42

2137

50,42

2138

65,6202

0,1444

- Luas 0,0650 ha

3

- Rh izop ho ra s tylas a

21,00

6,00

323,08

9,33

0,23

1 1,76

18,14

7^9

28,7919

0,0977

4

- Avicenni amarina

18,00

5,00

276,92

8,00

0,19

9,80

20,60

8,74

26 34 25

0,0932

5

- Ceriops tagal

83,00

16,00

1.276,92

36,89

0,62

3137

55,05

2335

91,6106

0,1573

6

- Oslxirnia octodanta

7,00

3,00

107,69

3,11

0,12

5,88

3,42

1,45

10,4438

0,0508

7

- Exc oeca ria aga Ilo ch a

13,00

3,00

200,00

5,78

0,12

5,88

14,15

6p0

17,6615

0,0724

8

- Pemphis acidula

13,00

2,00

200,00

5,78

0,08

3,92

11,62

4,93

14,6296

0,0640

3.461,54

100,00

1,96

100,00

235,78

IOOpO

3 00,00 00

0,8029

Pohon

1

- Sonneratia a Iba

22,00

6,00

84,62

26,19

0,23

24,00

200,07

53 5 7

103,75 70

0,1595

- 26 Pb t( IOm x 10m)

2

- Rh izop ho m a picul ata

5,00

3,00

19,23

5,95

0,12

12,00

7,18

1,92

19,8758

0,078 1

- Luas 0,02600ha

3

- Avicenni amarina

23,00

5,00

88,46

27,38

0,19

20,00

6338

16,94

64 32 33

0,1434

4

- Exc oeca ria aga Ilo ch a

25,00

5,00

96,15

29,76

0,19

20,00

92,43

24,75

74 30 95

0,1502

5

- Lum nitzera racen osa

1,00

1,00

3,85

1,19

0,04

4,00

234

0^3

5,8183

0,0332

6

- Ceriops tagal

7,00

4,00

26,92

8,33

0,15

16,00

7,16

1,92

26 34 93

0,0926

7

- Pemphis acidula

1,00

1,00

3,85

1,19

0,04

4,00

1,03

038

5,4667

0,0317

323,08

100,00

0,96

100,00

373,49

IOOpO

3 00,00 00

0,6887

Stasiun           Fase

No

Spesies

Juniah

(individu)

Jumlah Plot

Kerapatan (individual a)

Kerapatan

Rdatif (%)

Frekuensi

Frdcuensi

Relatif(%)

Dominansi

(m≈∕ha)

Dominansi

Relatif(%)

INP(%)

H

11. Ienma Sanai

1

- Exco a.- ari a agal bc: ha

11,00

2,00

1.83 3 3 3

5,76

0,13

1,10

-

-

6,8581

0,0502

- 15 Plot(2mx 2m)

2

- Avicenn ia ma rin a

31,00

31,00

5.166,67

16,23

2,07

17,03

-

-

33,2633

0,1296

- Luas 0,006 ha

3

- Ceriops decandra

73,00

73,00

12.166,67

3 8,22

4,87

40,11

78,3298

0,1594

4

- Ceriops tagal

39,00

39,00

6.500,00

20,42

2,60

21,43

41,8474

0,1421

5

- Rhizophotu stylos a

S,00

S,00

1.33 3 3 3

4,19

0,53

4,40

-

-

8,5841

0,05 87

6

-Rhizophoiu apiculaia

12,00

12,00

2.000,00

6,28

0,80

6,59

-

-

12,8761

0,0767

7

- Sonneratia alba

4,00

4,00

666,67

2,09

0,27

2,20

4,29

0,0358

S

- Bruguiera gyrmorrhiza

11,00

1 1,00

1.83 3 3 3

5,76

0,73

6,04

1 1,8031

0,0725

9

- Xyloe:atpus granaIum

2,00

2,00

33 3 3 3

1,05

0,13

1,10

2,1460

0,0211

31.83 3 3 3

100,00

12,13

100,00

-

-

20 0,000 0

0,7462

Pancang

1

- Excer w ari a agal bc ha

19,00

19,00

506,67

9,45

1,27

9,45

21,36

1 1,35

30,252 3

0,1005

- 15 Plot(5mx 5m)

2

-Lumnitzera racemosa

14,00

14,00

37333

6,97

0,93

6,97

15,59

8,28

22,2134

0,0837

-Luas 0,0375 ha

3

- Avicenn ia ma rin a

9,00

9,00

240,00

4,48

0,60

4,48

15,45

8,21

1 7,1604

0,0711

4

- Ceriops tagal

1S,OO

18,00

480,00

8,96

1,20

8,96

21,60

1 1,48

29,3859

0,0988

5

- Ceriops decandra

1 19,00

119,00

3.17333

59,20

7,93

59,20

82,83

44,00

162,4114

0,1443

6

- Rhizophoiu stylos a

2,00

2,00

5333

1,00

0,13

1,00

4,18

2,22

4,2114

0,0260

7

-Rhizophoru apiculata

16,00

16,00

426,67

7,96

1,07

7,96

19,13

10,16

26,0847

0,0922

S

- Sonnwatia alba

3,00

3,00

80,00

1,49

0,20

1,49

7,38

3,92

6,9050

0,0377

9

- Bruguiera gyrmorrhiza

1,00

1,00

26,67

0,50

0,07

0,50

0,72

0,3 8

1,38

0,0107

5.360,00

100,00

13,40

100,00

188,25

100,00

30 0,000 0

0,6650

Pohon

1

- Exco w aιi a agal bc ha

20,00

20,00

13333

28,57

1,33

28,17

92,84

28,32

85,0601

0,1552

- 15Plot(10mx 10m)

2

- Lumnitzera racemosa

6,00

6,00

40,00

8,57

0,40

8,45

10,90

3,33

20,3482

0,0793

- Luas 0,15 ha

3

- Avicenn ia ma rin a

13,00

13,00

86,67

18,57

0,87

18,31

106,98

32,63

69,5135

0,1471

4

-Rhizophoiu apiculata

12,00

12,00

80,00

17,14

0,80

16,90

34,59

10,55

44,595 1

0,1231

5

- Sonnwatia alba

7,00

8,00

46,67

10,00

0,53

11,27

37,47

1 1,43

32,6979

0,1049

6

- Bruguiera gyrmorrhiza

3,00

3,00

20,00

4,29

0,20

4,23

5,63

1,72

10,2281

0,0500

7

- Xyloe: atp us g tuna it m

1,00

1,00

6,67

1,43

0,07

1,41

28,14

8,5 8

1 1,4209

0,0540

S

- Ceriops tagal

7,00

7,00

46,67

10,00

0,47

9,86

10,46

3,19

23,050 4

0,0856

9

- Ceriops decandra

1,00

1,00

6,67

1,43

0,07

1,41

0,82

0,25

3,09

0,0204

466,67

100,00

4,73

100,00

327,83

100,00

30 0,000 0

0,8197

Stasiun

Fase

No

Spesies

Jumlah

(individu)

Jumlah Pbt

Kerapatan (IndividuAia)

Kerapatan

Rehtif(0Zo)

Frdcuensi

F Iekuensi

Relatif (%)

Dominansi (nr h a)

Dominansi

Relatif(0Zo)

INP(0Zo)

H

B. Wedang

Semai

1

- Ceriops tagal

39,00

5,00

10.833 3 3

10,03

036

22,73

-

-

32,7530

0,1287

- 9 Pbt (2m x 2m)

2

- Rhizrrphora apiculata

8,00

4,00

2.22232

2,06

0,44

18,18

-

20,2384

0,1007

-Luas 0,0036 ha

3

- Cetierps decandra

66,00

3,00

1 8.33333

16,97

033

13,64

-

30,6029

0,1247

4

- Excxrecaria agalloc:ha

210,00

2,00

58.33333

53,98

032

9,09

-

63,0755

0,1581

5

- Lurmitzera racemosa

23,00

2,00

6.3 88,89

5,91

032

9,09

-

-

15,0035

0,0844

6

- Xylercarpus grana turn

1,00

1,00

277,78

0,26

0,1 1

4,55

-

4,8025

0,0389

7

- Rhizerpherra styiosa

1,00

1,00

277,78

0,26

0,1 1

4,55

-

-

4,8025

0,0389

8

- Rhizerphora mucronala

23,00

3,00

6.3 88,89

5,91

033

13,64

-

-

19^490

0,098 7

9

- Avice nn ia marina

18,00

1,00

5.000,00

4,63

0,1 1

4,55

-

9,1727

0,0614

10 8.0 55 3 6

100,00

2,44

100,00

-

-

20 0,0 00 0

0,8344

Pancang

1

- Ceriops tagal

23,00

6,00

1.022 32

35,94

0,67

26,09

14,43

24,25

86,2792

0,1557

-9 Pbt (5mx5m)

2

- Rhizerpherra apiculata

10,00

4,00

444,44

15,63

0,44

17,39

9,52

16,00

49,0184

0,1286

-Luas 0,0225 ha

3

- Cerierps decandra

7,00

2,00

311,11

10,94

032

8,70

3,82

6,42

26,0501

0,0922

4

- Avice nn ia marina

6,00

2,00

266,67

9,38

032

8,70

7,86

13,21

317791

0,1024

5

- Excxrecatia agalIcrc:h a

8,00

3,00

355 3 6

12,50

033

13,04

11,50

19,33

44,8745

0,1234

6

- Avice nn ia offi cin ali s

1,00

1,00

44,44

1,56

0,1 1

4,35

0,72

1,20

7,1 145

0,0385

7

- Rhizerphora styiosa

2,00

1,00

88,89

3,13

0,1 1

4,35

2,00

3,36

10,8338

0,0521

8

- Rhizerphora mucronala

5,00

3,00

22232

7,81

033

13,04

8,42

14,15

35,0010

0,1089

9

- Lurmitzeiu racemosa

2,00

1,00

88,89

3,13

0,11

4,35

1,24

2,08

9,5494

0,0477

2.844,44

100,00

236

100,00

59,51

100,00

300,0000

0,8493

Pohon

1

- Sonneratia alba

5,00

2,00

55 3 6

19,23

032

16,67

17,79

29,00

64,8937

0,1438

-9 Pbt (IOmxlOm)

2

- Avice nn ia marina

3,00

2,00

33 3 3

11,54

032

16,67

8,42

13,73

41,9303

0,1 194

- Luas 0,09 ha

3

- Excxrecaria agalIoch a

7,00

2,00

77,78

26,92

032

16,67

22,32

36,39

79,9821

0,1531

4

- Lurmitzera racemosa

2,00

1,00

2232

7,69

0,1 1

8,33

3,33

5,42

21,4487

0,0819

5

- Avice nn ia offi cin ali s

1,00

1,00

11,11

3,85

0,1 1

8,33

1,03

1,68

13,8617

0,0617

6

- Rhizcrphora apiculata

1,00

1,00

11,11

3,85

0,1 1

8,33

1,03

1,68

13,8617

0,0617

7

- Rhizerphora mucronala

7,00

3,00

77,78

26,92

033

25,00

7,42

12,10

64,0218

0,1432

288,89

100,00

133

100,00

61,34

100,00

300,0000

0,7648

Stasiun           Fase

No

Speaes

Jumlah

(individu)

Jumlah Plot

Kerapatan (individu/ha)

Kerapatan

Rebtif(0Zo)

Frekuensi

Fbekuena

Relatif (%)

Dominansi (m2∕ha)

Dominansi

Bebtif(0Zo)

INP (0Zo)

H

P. MenjangaiSemai

1

- Xyi crcarpus gtunatum

9,00

Ipo

4.500,00

21,95

0,20

11,1 1

-

33,06

0,1292

- 5 Plot(2mx 2m)

2

- Ceriops tagal

17,00

2p0

8.500,00

41,46

0,40

22,22

-

63,69

0,15 83

- Luas 0,002 ha

3

- Rhizophora styiosa

3,00

2p0

1.500,00

7,32

0,40

22,22

-

29,54

0,1227

4

- Rhizophora apiculata

2,00

2p0

1.000,00

4, 88

0,40

22,22

-

-

27,10

0,1176

5

- Excrecaria agaiocha

9,00

IpO

4.500,00

21,95

0,20

11,1 1

-

-

33,06

0,1292

6

- Sernneratia alba

1,00

IpO

500,00

2,44

0,20

11,1 1

-

-

13,55

0,0792

20.500,00

100,00

1,80

100,00

-

200,0000

0,7362

Pan ca ng

1

- Xylcrcarpus giunatum

3,00

IpO

240,00

7, 89

0,20

7,14

0,98

3,46

18,4928

0,0746

- 5 Plot(5mx 5m)

2

- Excrecaria agaiocha

6,00

2P0

480,00

15,79

0,40

14,29

7,61

26,81

56,8869

0,1369

- Luas 00125 ha

3

- Acgiceras Jloridum

1,00

IpO

80,00

2,63

0,20

7,14

1,27

4,49

14,2618

0,0629

4

- Ad cennia Crfficinalis

1,00

Ipo

80,00

2,63

0,20

7,14

0^4

1,90

11,6703

0,0549

5

- Ceiiops tagal

13,00

2p0

1.040,00

34,21

0,40

14,29

5,16

18,16

66,6587

0,1452

6

- Rhizophorasyiosa

4,00

3p0

320,00

10,53

0,60

21,43

1,65

5,82

37,7772

0,1133

7

- Rhizophora apiculata

5,00

2p0

400,00

13, 16

0,40

14,29

4,19

14,76

42,2069

0,1198

8

- Lumnitzwa racwnosa

1,00

IpO

80,00

2,63

0,20

7,14

1,03

3,63

13,4092

0,0603

9

- Scrnneratia alba

4,00

IpO

320,00

10,53

0,20

7,14

5,95

20,97

38,63 62

0,1146

3.040,00

100,00

2,80

100,00

28 3 9

100,00

3 00,00 00

0,8825

Pohon

1

- Excrecaria agaiocha

12,00

2p0

240,00

54,55

0,40

28,57

333

25,96

109,0817

0,1598

- 5 Plot( 1 Om x lOm)

2

- Pwnphis acidula

1,00

IpO

20,00

4,55

0,20

14,29

1,03

8,05

26,8854

0,0939

- Luas 005 ha

3

- Sernneratia alba

8,00

3p0

160,00

36,36

0,60

42,86

1,03

8,05

87,2750

0,1560

4

- Adcennia Crfficinalis

1,00

IpO

20,00

4,55

0,20

14,29

7,42

57,93

76,7580

0,1515

440,00

100,00

1,40

100,00

12,81

100,00

3 00,00 00

0,5611

38