Jurnal Destinasi Pariwisata                                                  p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937

Vol. 9 No 2, 2021

KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PERIODE 20172025 DI KECAMATAN KUTA UTARA, KABUPATEN BADUNG

Pedro a,1, I Putu Anoma,2

1pedro.tan09@gmail.com, 2putuanom@unud.ac.id

a Program Studi Pariwisata Program Sarjana, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia Abstract

The North Kuta District is a strategic area which is located in the suburb of Denpasar City and also borders South Kuta. Since 2011, North Kuta District has been planned as part of the urban development area of Sarbagita, which is a national strategic area in Bali island. The utilization of space in the North Kuta District has developed quite rapidly. This study uses documentary research methods with content analysis techniques in the form of official government documents in the form of Regional Regulations concerning the Master Plan for Tourism Development in Badung Regency (RIPPARKAB) and Regional Spatial Planning (RTRW) at the Badung Regency level. The result shows that The tourism development policy in North Kuta District has become a guide for stakeholders, starting from the government, private sector, and society. However, the orientation of tourism development achievement is determined only from the economic growth side. In terms of quantity, tourism is seen from the increasing number of tourist visits both foreign or domestic tourists. The quality depends on the length of stay of tourists and the number of tourist expenses. It was also found that there were obstacles in the regional regulations regarding RDTR, where for the Badung Regency only South Kuta District had been promulgated a regional regulation. North Kuta District is one of the other five sub-districts where there is no clarity regarding the RDTR. The government can immediately finalize the RDTR regulation so that implementation in North Kuta District can be following the plan.

Keyword: tourism, tourism policy, development, Kuta Utara, Badung

  • I.    PENDAHULUAN

Pariwisata telah menjadi salah satu sektor perekonomian dunia, dan perannya dalam perekonomian dunia terus meningkat setiap tahunnya. Hampir semua negara berlomba-lomba mengembangkan kawasan wisata demi menarik sebanyak mungkin wisatawan mancanegara dan domestik. Diharapkan dengan pembangunan kawasan wisata mampu berkontribusi positif secara ekonomi, dimana pariwisata bergantung pada kunjungan wisatawan. Mulai dari jumlah wisatawan, lalu durasi tinggal (length of stay) para wisatawan yang panjang berkorelasi pada bertambahnya pengeluaran (Yoga, 2015).

Pesatnya perkembangan pariwisata global bahkan telah melampaui perkiraan dari organisasi pariwisata internasional yakni United Nations World Tourism Organization (UNWTO). Target jumlah wisatawan global pada tahun 2020 yang diproyeksikan oleh UNWTO, sudah tercapai pada tahun 2018. Pada tahun 2018, ada sebanyak 1,4 miliar pergerakan wisatawan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah wisatawan global tumbuh dengan sangat pesat, salah satu faktornya pertumbuhan ekonomi global yang membaik (Jakarta, travel.detik.com/ 2019).

Menurut Zurab Pololikashvili, selaku Sekretaris Jendral UNWTO menyebutkan pertumbuhan pariwisata dalam beberapa tahun terakhir telah menegaskan bahwa sektor pariwisata, saat ini merupakan salah satu motor pendorong pertumbuhan serta pembangunan ekonomi yang menjanjikan (Jakarta, travel.detik.com/ 2019).

Dalam sepuluh tahun terakhir, industri pariwisata Indonesia terus meningkatkan daya saingnya. Berdasarkan laporan yang dipublikasikan World Economic Forum yang berjudul “The Travel & Tourism Competitiveness Report”, menilai indeks daya saing pariwisata di antara 140 negara. Indeks daya saing pariwisata Indonesia terus mengalami peningkatan. Sebelumnya Indonesia berada di urutan ke-74 pada tahun 2011, sementara tahun 2019 Indonesia berada di urutan ke-40. Dalam jangka waktu delapan tahun, Indonesia sukses mengungguli 34 negara lainnya dalam hal daya saing pariwisata (databoks.katadata.co.id/ 2019). Namun urutan daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Dikutip dari laporan World Economic Forum 2019, pariwisata merupakan salah satu industri global yang masuk kategori telah berkembang. Berdasarkan laporan tahun 2017 oleh World Economic Forum, sektor pariwisata berkontribusi sekitar 10 persen bagi PDB global. Berdasarkan keterangan dari World Travel & Tourism Council (WTTC), sektor pariwisata Indonesia berkembang pesat dengan menempati peringkat sembilan di dunia pada tahun 2018. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi sektor pariwisata terutama dari sisi industri pariwisata Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir, tercatat penambahan kuantitas wisatawan mancanegara serta wisatawan nusantara. Penambahan kuantitas wisatawan berkorelasi dengan kenaikan devisa dari sektor pariwisata. Selain itu sektor pariwisata mempunyai peranan penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pemerataan

Vol. 9 No 2, 2021

pembangunan nasional, dan mengurangi angka kemiskinan yang tujuan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Yudanto dalam Yoga, 2015)

Menurut mantan Menteri Pariwisata Arief Yahya, tahun 2019 sektor pariwisata diidentifikasi oleh pemerintah sebagai sektor unggulan yang berkontribusi bagi perekonomian negara dan melampaui kontribusi dari CPO (minyak sawit mentah) (medcom.id/ 2020). Berikut adalah tabel statistik jumlah wisatawan dan pemasukan devisa dari pariwisata Indonesia dari tahun 2017-2019, yang meliputi jumlah wisatawan mancanegara, jumlah wisatawan nusantara, dan pemasukan devisa dari sektor pariwisata:

Tabel 1. Jumlah Wisatawan dan Pemasukan Devisa dari Pariwisata Indonesia

Tahun

Jumlah Wisatawan Mancanegara

Jumlah Wisatawan Nusantara

Pemasukan Devisa dari Pariwisata

2015

10,2     Juta

Orang

256,4 Juta Orang

US $ 10,8 Miliar

2016

11,5     Juta

Orang

264,3 Juta Orang

US $ 11,2 Miliar

2017

14,04   Juta

Orang

270,8 Juta Orang

US $ 13,1 Miliar

2018

15,8     Juta

Orang

303,4 Juta Orang

US $ 16,4 Miliar

2019

16,1     Juta

Orang

312,5 Juta Orang

US $ 17,6 Miliar

Sumber: Badan Pusat Statistik , 2020

Pariwisata Bali yang telah berusia lebih dari seratus tahun telah berkembang pesat (Anom, dkk., 2017). Pariwisata telah menjadi lokomotif penggerak pembangunan perekonomian di Pulau Bali. Berdasarkan data empiris, ada sekitar 80 persen dari masyarakat Bali mengandalkan mata pencahariannya dari sektor pariwisata (Widiatedja dalam Suardana, 2016).

Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh perekonomian yang dikontribusikan dari sektor pariwisata bagi masyarakat Bali. Hal ini sejalan dengan pesatnya perkembangan pariwisata global, terutama dari segi perjalanan internasional yang terus meningkat setiap tahunnya.

Pesatnya perkembangan pariwisata telah berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja baru dan investasi di Pulau Bali. Wilayah Bali bagian selatan telah menjelma jadi titik pusat dari pariwisata di Pulau Bali, salah satunya adalah Kabupaten Badung.

Pembangunan sektor pariwisata di Kabupaten Badung menganut paradigma transturisme, dimana komponen pariwisata mulai dari Pemerintah Kabupaten, praktisi (industri) pariwisata, dan masyarakat Badung menyakini tanpa pariwisata Kabupaten Badung akan sulit berkembang. Akibatnya peraturan dan kebijakan yang bertentangan selalu

dapat dikompromikan, demi mencegah terjadinya konflik kepentingan secara terbuka (Mahagangga, 2017).

Kecamatan Kuta Utara termasuk dalam Kabupaten Badung, dan saat ini sedang mengalami pertumbuhan yang pesat terutama dalam aspek pemanfaatan ruang. Selain itu, letak Kecamatan Kuta Utara juga strategis karena berdekatan dengan kawasan ekonomi yang strategis di Pulau Bali. Kecamatan Kuta Utara dikelilingi oleh beberapa kawasan yang penting dan strategis, mulai dari Kota Denpasar sebagai pusat perekonomian dan pusat pemerintahan di Provinsi Bali. Lalu Kecamatan Kuta yang merupakan pusat pariwisata di wilayah Bali bagian Selatan dengan Pantai Kuta sebagai objek wisata populer. Dan Kota Mangupura sebagai area administratif dari Kecamatan Mengwi yang juga sekaligus pusat dari Pemerintahan Kabupaten Badung.

Keadaan ini menjadikan Kecamatan Kuta Utara yang berlokasi strategis, dalam pengembangan Kawasan Pariwisata Kuta. Pesatnya perkembangan pariwisata di area sekitar Kuta berdampak pada Kecamatan Kuta utara, menyebabkan beralih fungsinya lahan pertanian menjadi bangunan. Dalam beberapa tahun terakhir, konversi lahan pertanian menjadi bangunan di Kecamatan Kuta Utara telah berkembang pesat. Salah satu pemicunya yakni pemanfaatan ruang di Kecamatan Kuta Utara yang berlebihan serta tidak sesuai dengan peruntukannya.

Perkembangan pembangunan akomodasi pariwisata menunjukkan berkembangnya pariwisata di Kecamatan Kuta Utara, yang menyebabkan berkurangnya luas sawah dan Subak. Berkembangnya pariwisata diikuti dengan meningkatnya jumlah wisatawan dan fasilitas pendukung lainnya. Hal tersebut berdampak pada peningkatan beban terhadap daya dukung di Kecamatan Kuta Utara. Alih fungsi yang berlangsung dari lahan yang diperuntukan untuk pertanian berubah menjadi bangunan yang dimanfaatkan sebagai perumahan/pemukiman, akomodasi pariwisata, pergudangan, pertokoan, dan fasilitas umum (Sanjaya, 2019).

Sejak tahun 2011 hingga 2017, penggunaan ruang di Kecamatan Kuta Utara beralih dengan pesat, tercermin dari perubahan lahan yang tidak dikembangkan menjadi bangunan. Selama enam tahun, luas areal persawahan di Kecamatan Kuta Utara berkurang sebanyak 587,29 hektar. Penggunaan lahan untuk akomodasi pariwisata tercatat bertambah sebanyak 223, 66 hektar (Sanjaya, 2019).

Selain terjadi pengurangan luas area persawahan, hal serupa juga terjadi pada luas Subak di Kecamatan Kuta Utara dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2017. Tercatat ada 19 Subak di Kecamatan Kuta Utara, berkurang sebanyak 508,86 hektar selama lima tahun (Sunarta, 2019).

Peralihan dari lahan yang tidak dikembangkan menjadi bangunan, berdampak signifikan terhadap berkurangnya luas sawah dan Subak. Dalam

Vol. 9 No 2, 2021

kehidupan modern saat ini, kegiatan pembangunan termasuk pariwisata memiliki aspek yang berorientasi pada manusia (antroposentrisme) Hal ini bisa dilihat dari pembangunan yang lebih berorientasi pada ekonomi semata, termasuk pembangunan di sektor pariwisata. Variabel seperti lingkungan maupun alam menjadi pihak yang menjadi korban eksploitasi dari pembangunan pariwisata yang antroposentrisme ini. Terbukti dengan masifnya alih fungsi lahan yang tidak dikembangkan yang terjadi, untuk melampiaskan keinginan manusia berupa bangunan (Nugroho, 2017).

Oleh karena itu pariwisata budaya seolah terancam dan hanya menjadi simbol dalam pariwisata Bali. Semua jenis wisata terindikasi diperbolehkan di Badung, yang terpenting mampu meningkatkan Pendapat Asli Daerah (PAD), menciptakan lapangan kerja dan dipercaya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Pengembangan pariwisata apa pun dapat dilakukan, asalkan tidak mengganggu simbol-simbol keagamaan dan eksistensi desa adat (Mahagangga, dkk., 2021).

Idealnya pariwisata merupakan sektor yang holistik serta lintas sektoral, memberikan nilai tambah bagi sektor lainnya. Seluruh pihak harus ikut berpartisipasi karena sektor pariwisata tidak dapat berdiri sendiri. Dibutuhkan sinergi antara sektor pariwisata dengan sektor lainnya untuk mengembangkan sektor pariwisata agar mampu bermanfaat dalam skala yang lebih luas. Sehingga sektor pariwisata justru meningkatkan kekuatan dari sektor-sektor lainnya, bukan sebaliknya yang melemahkan sektor-sektor yang ada. Oleh karena itu, pariwisata dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang saling beririsan serta berkaitan dengan sektor lainnya.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan di Bali merupakan kebijakan dalam pembangunan yang berdimensi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup tidak hanya bertumpu pada keadilan untuk generasi saat ini tetapi juga generasi yang akan datang (Sunarta, 2017). Pembangunan pariwisata berkelanjutan yang dimaksud adalah pembangunan yang memperhatikan dampak-dampak dari pariwisata, dimana tidak hanya dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh generasi sekarang namun dapat juga dinikmati generasi yang akan datang.

Dibutuhkan kebijakan untuk mengakomodir pembangunan dan pengembangan pariwisata. Sehingga kebijakan dapat memaksimalkan manfaat pariwisata bagi para stakeholders dan meminimalkan dampak negatif, biaya, dan dampak lainnya. Sinergi dalam kebijakan pariwisata diperlukan dengan pendekatan multisektor serta multidisiplin, sehingga mampu merumuskan kebijakan pariwisata yang komprehensif (Suardana, 2016). Sinergitas antara pihak Pemerintah, swasta, masyarakat, media, akademisi, dan alam diperlukan demi mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan di Pulau Bali.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya dan Sunarta (2019), menunjukkan adanya pembangunan serta pengembangan pariwisata dalam skala besar di Kecamatan Kuta Utara. Pembangunan dan pengembangan pariwisata yang masif di Kawasan Pariwisata Kuta telah melebar sampai pada Kecamatan Kuta Utara, bahkan berdampak pada perubahan tata ruang dan wilayah. Perkembangan tersebut bahkan berimplikasi terhadap alih fungsi lahan pertanian dan reduksi luas Subak yang dijadikan sebagai akomodasi pariwisata untuk menunjang kegiatan pariwisata.

Berdasarkan fenomena dan temuan diatas, maka dilakukan penelitian dari perspektif kebijakan pembangunan dan pengembangan pariwisata di Kecamatan Kuta Utara dalam periode 2017-2025. Kebijakan pembangunan dan pengembangan pariwisata yang telah disahkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung, dalam Peraturan Daerah Kabuapten Badung Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Badung (RIPPARKAB) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabuapten Badung. Hasil penelitian ini bertujuan untuk menelusuri dan mengetahui gambaran terkait kebijakan pembangunan dan pengembangan pariwisata di Kecamatan Kuta Utara dalam periode 2017-2025.

  • II.    TINJAUAN PUSTAKA

Telaah hasil penelitian sebelumnya diulas sebagai acuan untuk menentukan posisi atas fokus kajian yang dilakukan dalam penelitian saat ini. Penelitian pertama dilakukan oleh Sanjaya (2019) dengan judul "Perubahan Pemanfaatan Ruang Sebelum dan Sesudah Penetapan Kawasan Perkotaan Sarbagita di Kecamatan Kuta Utara". Tujuan dalam penelitian ini buat menggambarkan serta mendeskripsikan perubahan pemanfaatan ruang di Kecamatan Kuta Utara, dari sebelum dan sesudah ditetapkannya kawasan perkotaan Sarbagita. Hasil penelitian ini, membuktikan bahwa dari tahun 2011 sampai 2017, penggunaan ruang mengalami perubahan yang sangat pesat terbukti dengan perubahan dari lahan yang tidak dikembangkan menjadi bangunan.

Sunarta, dkk (2019) dalam penelitiannya “The Existence of Subak inside the Northern Kuta Tourism Area, Bali”. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, dimana menemukan bahwa telah berlangsung alih fungsi lahan yang lumayan signifikan di area Kuta Utara. Lahan produktif pertanian telah berubah menjadi akomodasi pariwisata dan perumahan. Hal ini menyebabkan keberlangsungan dari Subak khas Bali termarginalkan, dan mempengaruhi juga kehidupan sosial serta budaya masyarakat lokal. Perubahan Sosial-budaya di masyarakat seperti, perubahan mata pencaharian dari pertanian ke jasa layanan (pariwisata), kurangnya

Vol. 9 No 2, 2021

regenerasi di pertanian, beradaptasi dengan kemacetan harian, dan gelombang urbanisasi.

Suardana (2016) mengenai "Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata". Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan dan mengetahui signifikansi dari kebijakan pariwisata berkelanjutan di Provinsi Bali terhadap aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Pengembangan pariwisata berkelanjutan biasanya melibatkan pemikiran berikut: (1) fokus pada pembangunan berkelanjutan dengan berbagai tantangannya, dan (2) fokus pada dampak yang ditimbulkan dari berkembangnya industri pariwisata.

Penelitian oleh Dredge (2015) dalam penelitiannya berjudul “Progress in tourism planning and policy: A post-structural perspective on knowledge production”. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode positivistik, menerbitkan pemikiran tentang inovatif pemetaan ruang sosial-politik. Pelatihan dan metode yang dikembangkan memungkinkan kita untuk memahami perencanaan dan membangkitkan pengetahuan politik di bidang pariwisata, dan membebaskan diri dari kondisi sosial dan budaya yang secara implisit membentuk kapasitas sebagai peneliti untuk dengan bebas memilih metode dan pendekatan. Kebutuhan mendesak untuk proses perencanaan serta kebijakan pariwisata perlu segera dirumuskan, melalui kajian yang lebih kritis terhadap perencanaan pariwisata menuju visibilitas yang lebih besar; dan minat penelitian di bidang pariwisata semakin meningkat.

Terakhir dari Dodds (2010) dalam penelitian yang berjudul “Barriers to Implementing Sustainable Tourism Policy in Mass Tourism Destinations”. Penelitian ini mengombinasikan antara pendekatan metode kualitatif dan juga kuantitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa hambatan dari implementasi kebijakan pariwisata seringkali lebih memprioritaskan aspek ekonomi, dibandingkan berfokus pada aspek sosial dan lingkungan.

Serangkaian konsep diperlukan untuk menajamkan pembahasan dan menjadi kacamata peneliti untuk memfasilitasi dalam melakukan kajian serta analisis. Dalam penelitian ini, menggunakan lima konsep untuk mengkaji dokumen yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan serta pengembangan pariwisata di Kecamatan Kuta Utara yakni konsep Pariwisata, konsep kawasan pariwisata, konsep kebijakan publik, konsep Kebijakan Pariwisata, prinsip dasar pengelolaan pariwisata.

Pariwisata

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan bahwa pariwisata dapat didefinisikan sebagai, beragam kegiatan wisata yang didukung dengan berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan dan ditawarkan

oleh masyarakat, swasta, dan pemerintah kepada wisatawan.

Pariwisata merupakan sebuah industri yang multidimensi dan lintas sektoral. Maka dari itu industri pariwisata bukanlah sektor yang berdiri sendiri, diperlukan partisipasi serta dukungan dari semua pihak. Dalam pengembangan destinasi pariwisata yang terintegrasi, semakin sulit untuk mempertimbangkan keterkaitan lintas sektoral dan pengelolaan pariwisata (Brawnwel dalam Theobald (ed) dalam Suardana, 2016).

Kawasan Pariwisata

Kawasan Pariwisata merupakan sebuah area yang memiliki fungsi dan kegiatan utamanya adalah pariwisata. Keunikan dari kawasan Pariwisata yakni berlangsungnya proses produksi dan konsumsi berkaitan dengan pariwisata di kawasan tersebut pada waktu yang bersamaan (Inskeep, 1991).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan bahwa kawasan pariwisata didefinisikan sebagai, kawasan yang memiliki manfaat utama untuk pariwisata maupun memiliki potensi buat pengembangan pariwisata yang berdampak pada satu atau lebih perspektif, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung kawasan Pariwisata dapat juga diartikan, kawasan strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi desa atau kelurahan yang di dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata, aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling mendukung terciptanya kepariwisataan.

Perencanaan Kepariwisataan

Perencanaan adalah pemilihan dan menghubungkan fakta-fakta, membuat serta menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa yang akan datang dengan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan tertentu yang diyakini diperlukan untuk mencapai hasil tertentu (Terry dalam Sedarmayanti, 2018). Perencanaan pariwisata merupakan proses, maka dari itu perencanaan dilakukan secara terus menerus/bersifat siklis (Sedarmayanti, 2018).

Perencanaan kepariwisataan dilakukan dalam berbagai tingkat, mulai dari tingkat nasional/makro sampai tingkat daerah/lokal. Tingkatan dalam perencanaan pembangunan kepariwisataan terbagi menjadi tiga tingkatan yakni, Nasional, Provinsi, dan Kota/Kabupaten. Penyusunan rencana pembangunan kepariwisataan nasional merujuk pada RIPPARNAS (Sedarmayanti, 2018). RIPPARNAS merupakan rencana pembangunan

Vol. 9 No 2, 2021

kepariwisataan yang sinkron, terintegrasi, dan berkesinambungan antara pusat/nasional dengan daerah (Provinsi dan Kota/Kabupaten).

Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata

Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan menghasilkan produk dan jasa yang baik (Ratnawati dalam Mardiana, 2021). Pembangunan sektor pariwisata menyangkut aspek sosial budaya, ekonomi dan politik (Spillane, 1994).

Prinsip pengembangan kawasan pariwisata merupakan penataan dasar kawasan yang memasukkan aspek yang perlu dipertimbangkan dan komponen penataan kawasan pariwisata (Sastrawati dalam Pratama, 2016). Aspek pokok yang menjadi fokus perhatian dalam menunjang pengembangan kawasan pariwisata yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengembangan meliputi lima unsur yakni (a) Daya Tarik Wisata; (b)Prasarana Pariwisata; (c)Sarana Pariwisata; (d) Infrastruktur; dan (e) Manusia/Lingkungan (Gamal dalam Pratama, 2016).

Kebijakan Publik

Kebijakan adalah arah tindakan atau cara bertindak yang dipilih dari berbagai macam alternatif dengan mempertimbangkan kondisi aktual, yang menentukan pengambilan keputusan saat ini dan nanti (Antariksa, 2016). Upaya dan tindakan ini bersifat strategis karena, kebijakan tersebut diterbitkan melalui institusi resmi yakni Pemerintah, lalu berjangka waktu yang panjang, dan menyeluruh dari berbagai aspek kepentingan publik.

Kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai kebijakan yang dirumuskan dan ditetapkan oleh institusi pemerintah yang resmi (Anderson dalam Anggara, 2014). Sementara itu, Thomas Dye (1992) mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala tindakan yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah. Pertimbangan mengapa suatu kebijakan harus dikerjakan adalah kebijakan tersebut agar dapat bermanfaat bagi rakyat, lalu kebijakan harus menjadi rekomendasi yang holistik agar kebijakan tersebut memuat kemaslahatan buat publik, dan tidak mengakibatkan kemudaratan (Anggara, 2014).

Kebijakan publik merupakan kebijakan yang dirumuskan oleh badan atau pejabat Pemerintah untuk mengatur (meregulasi) dan mempengaruhi keseluruhan sistem untuk mencapai tujuan kepentingan umum dari masyarakat luas (Anggara, 2014). Kebijakan publik dapat dijadikan patokan umum untuk menyusun kebijakan dan keputusan khusus di bawahnya. Oleh sebab itu pemerintah harus bertindak bijak dalam merumuskan suatu kebijakan, Sebab dalam suatu kebijakan publik mengatur terkait dengan kehidupan seluruh warganegara.

Kebijakan Pariwisata

Pariwisata merupakan sebuah kegiatan yang kompleks dan multidimensional, dimana berkaitan dengan berbagai aspek lainnya seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, lingkungan, dan lain-lain (Suwena, 2017: 36). Pariwisata yang memiliki persoalan yang kompleks diperlukan persiapan dan pengelolaan yang komprehensif (Pitana, 2009).

Pengembangan pariwisata termasuk dalam kebijakan publik, karena pariwisata merupakan hasil pengambilan keputusan Pemerintah dan Pemerintah berhak untuk mengembangkan serta mengontrol pengembangan tersebut (Suardana, 2016). Selain itu pariwisata yang beririsan dengan sektor-sektor publik, pariwisata juga mendayagunakan potensi yang ada di ruang publik seperti alam, manusia, dan buatan. Pariwisata perlu untuk diatur serta diregulasi agar terciptanya hubungan yang harmonis antar sektor dan berkelanjutan.

Pembangunan dan pengembangan pariwisata merupakan kebijakan publik, kebijakan tersebut dirancang untuk menjawab tantangan yang dihadapi sektor pariwisata serta perkembangan dan perubahan yang pesat dari sektor pariwisata (Suardana, 2016). Pariwisata berkaitan erat dengan semua sektor yang sifatnya strategis, oleh karena itu diperlukan pendekatan yang komprehensif serta holistik. Keberhasilan kepariwisataan di waktu yang akan datang tergantung pada kualitas dari kebijakan pariwisata saat ini (Antariksa, 2016).

Kebijakan pariwisata merupakan berbagai pijakan atau aturan, prinsip serta prosedur yang disusun secara etis dengan fokus pada suatu persoalan yang mencerminkan harapan masyarakat atau bangsa. Kebijakan pariwisata berhubungan dengan aspek perencanaan (pengembangan), pembangunan, produk, jasa, pemasaran dan aspek keberlanjutannya (Antariksa, 2016).

Menurut Mill dan Morrison (dalam Michael Hall, 2000:27) ada lima bidang utama partisipasi sektor publik dalam sektor pariwisata yakni koordinasi, perencanaan, perundang-undangan (legislasi), kewirausahaan, dan stimulus (insentif). Pariwisata yang multisektoral seringkali menimbulkan konflik kepentingan, sehingga koordinasi dalam pemanfaatan sumber daya menjadi sangat penting.

Prinsip dasar pengelolaan pariwisata

Pengelolaan pariwisata mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan nilai-nilai pelestarian lingkungan alam (ekologis) dan nilai-nilai sosial masyarakat. Sehingga memungkinkan wisatawan dapat menikmati kegiatan berwisatanya serta berkontrisbusi pada kesejahteraan masyarakat lokal di destinasi pariwisata (Pitana, 2009).

  • III.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Penelitian berlangsung dari bulan Maret-Mei Tahun 2020. Jenis data dalam penelitian ini

Vol. 9 No 2, 2021

berupa data kualitatif dan data kuantitatif, lalu untuk sumber data berupa data sekunder. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui observasi, dokumen dan studi kepustakaan.

Teknik analisis konten (content analysis) merupakan teknik analisis data yang digunakan dalam melakukan kajian kebijakan pariwisata (Moleong, 2017). Dokumen resmi berupa Peraturan Daerah pada tingkat Kabupaten Badung, dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan yang dilakukan secara objektif.

Dokumen resmi yang dianalisis dalam penelitian ini ada dua yakni, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Badung Tahun 2017-2025 dan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033.

  • IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN

  • A.    Gambaran Umum Kecamatan Kuta Utara

Kecamatan Kuta Utara ialah satu dari enam Kecamatan di Kabupaten Badung. Luas wilayahnya 33,86 Km2. Jumlah penduduknya pada tahun 2019 sebanyak 138.420 jiwa (BPS Kabupaten Badung, 2020). Kecamatan Kuta Utara terdiri atas tiga kelurahan yakni Kelurahan Kerobokan Kelod, Kelurahan Kerobokan, Kelurahan Kerobokan Kaja serta tiga desa yakni Desa Tibubeneng, Desa Canggu, dan Desa Dalung. Letak Kecamatan Kuta Utara berbatasan dengan Kecamatan Mengwi di sisi Utara, kemudian Kota Denpasar Barat di sisi Timur, kemudian Kecamatan Kuta dan Samudra Indonesia di sisi Selatan, dan Kecamatan Mengwi di sisi Barat.

Kecamatan Kuta Utara sebelumnya termasuk bagian dari Kecamatan Kuta, sama seperti Kecamatan Kuta Selatan yang mengalami pemekaran. Berlandaskan keputusan Gubernur Bali Nomor 350 Tahun 1999 tentang pembentukan Kecamatan Pembantu Kuta Utara dan Kuta Selatan di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, merupakan landasan hukum pemekaran atau ekspansi dari Kecamatan Kuta Utara serta Kecamatan Kuta Selatan di Kabupaten Badung.

Secara geografis Kecamatan Kuta Utara terbilang cukup strategis karena berdekatan dengan Kecamatan Kuta lalu Kota Denpasar. Jarak antara bandara intrenasional I Gusti Ngurah Rai dengan Kecamatan Kuta Utara berjarak kurang lebih 15,4 kilometer, dengan waktu tempuh lebih kurang 30 menit. Lalu jarak dari Kota Denpasar dengan Kecamatan Kuta Utara kurang lebih 9,1 kilometer, dengan waktu tempuh lebih kurang 20 menit.

Kecamatan Kuta Utara mengantongi potensi pariwisata berupa wisata pantai. Objek wisata pantai diantaranya, pantai Petitenget, lalu pantai Batu Belig, lalu pantai Berawa, lalu pantai Batu Mejan, lalu pantai Batu Bolong, lalu pantai Canggu, dan pantai Pererenan (RIPPARKAB Badung, 2016).

Terbentangnya pantai berpasir serta berkarang yang indah dan menghadap ke Samudra Hindia,

merupakan salah satu potensi alam yang dimanfaatkan untuk pariwisata di Kecamatan Kuta Utara. Keindahan pantai yang berada di Kecamatan Kuta Utara sering didatangi para wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara untuk berselancar sekaligus menikmati terbenamnya matahari.

  • B.    Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Badung Tahun 2017-2025

Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2016 tentang RIPPARKAB Badung periode 2017-2025, diposisikan sebagai kebijakan dasar atau acuan dalam pengelolaan serta pengendalian pembangunan kepariwisataan. Dengan demikian RIPPARKAB telah menjadi panduan bagi para stakeholders, mulai dari pemerintah, industri pariwisata (swasta), dan masyarakat. Tujuan dari adanya RIPPARKAB untuk pengelolaan dan pengembangan pariwisata secara terencana, tepat sasaran, dan berkelanjutan. Aspek destinasi, aspek industri, aspek pemasaran, dan aspek kelembagaan merupakan empat fokus dalam pembangunan kepariwisataan.

Prinsip pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Badung, berupa nilai “Tri Hita Karana”, kemudian prinsip pariwisata berkelanjutan, lalu berasaskan pemberdayaan masyarakat lokal, pemanfaatan potensi lokal (berupa alam, budaya, serta masyarakat), dan keterpaduan antar sektor serta antar wilayah. Kecamatan Kuta Utara termasuk ke dalam Kawasan Pariwisata Kuta, jenis wisata unggulan yang dikembangankan berupa wisata pantai, wisata belanja, dan wisata hiburan (RIPPARKAB Badung, 2016).

Perencanaan pengembangan daya tarik wisata pantai di Kawasan Pariwisata Kuta direncanakan berupa pembangunan fisik dan partisipasi masyarakat lokal. Pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana umum seperti toilet dibangun dengan standar internasional untuk menunjang kenyamanan serta kebutuhan wisatawan. Selanjutnya penataan zona pemanfaatan pantai untuk menunjang kegiatan pariwisata. Dan terakhir pengembangan pariwisata melibatkan partisipasi masyarakat lokal, hal ini dimaksudkan untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal dari adanya kegiatan pariwisata.

  • C.    Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013–2033

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 merupakan kebijakan pengembangan pariwisata dari aspek ruang dan wilayah. Peruntukan ruang dan wilayah untuk pengembangan telah dibagi untuk berbagai sektor, seperti sektor perdagangan, pertanian, sektor pariwisata, dsb. Maka dari itu, jelas terlihat pembagian

Vol. 9 No 2, 2021

maupun peruntukan ruang dan wilayah difokuskan pengembangannya untuk apa.

Luas wilayah yang diperuntukan untuk pariwisata kurang lebih 8,40% dari luas Kabupaten Badung, yang terbagi dalam bentuk kawasan pariwisata, kawasan daya tarik wisata khusus promosi, dan daya tarik wisata. Kecamatan Kuta Utara termasuk ke dalam Kawasan Pariwisata Kuta, terdiri dari separuh wilayah Kelurahan Kerobokan, lalu Kelurahan Kerobokan Kelod, lalu Desa Canggu, dan terakhir Desa Tibubeneng. Jenis wisata yang terdapat di Kecamatan Kuta Utara, didominasi oleh wisata alam yang memperlihatkan keindahan pantai berpasir serta berkarang, dan wisata budaya yang berada di Kawasan luar Pura Petitenget (RTRW Kabupaten Badung, 2013).

Sebagai tulang punggung dari kegiatan pariwisata di Pulau Bali, pesatnya pemanfaatan ruang di Kabupaten Badung sudah berdampak luas. Salah satu nya adalah konversi besar-besaran lahan produktif untuk pertanian untuk pemenuhan akomodasi pariwisata seperti hotel, villa, homestay, restoran, dsb. Fenomena konversi ataupun alih fungsi lahan seperti ini kerap terjadi di Kecamatan Kuta Utara, dimana dalam RTRW Kabupaten Badung Kecamatan Kuta Utara direncakan sebagai daerah penyangga Kawasan Pariwisata Kuta.

Strategi peningkatan kualitas kepariwisataan dikutip dari RTRW Kabupaten Badung menyebutkan, memperhatikan daya dukung lingkungan dan daya tampung kawasan; selanjutnya memaksimalkan pemanfaatan ruang buat kegiatan pariwisata; dan pengawasan dari pemanfaatan ruang yang disharmonis dalam kegiatan pariwisata pada koridor mendekati kawasan pariwisata (RTRW Kabupaten Badung, 2013).

Namun pada praktik di lapangan justru tidak demikian, banyak penggunaan ruang di Kecamatan Kuta Utara yang diperuntukan untuk pertanian justru beralih fungsi menjadi pemukiman, akomodasi pariwisata, perdagangan dan jasa. Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung menemukan bahwa dalam lima tahun terakhir, penggunaan lahan di Kabupaten Badung rata-rata beralih fungsi 95 hektar. Tercatat wilayah yang mengalami alih fungsi lahan sawah terbanyak di Kecamatan Kuta Utara, disusul Kecamatan Abiansemal, dan Kecamatan Mengwi (Balipost.com/ 2020).

Data penggunaan lahan dari tahun 2011 hingga tahun 2017 di Kecamatan Kuta Utara juga menunjukkan bahwa konversi lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun, meningkat sebesar 19% selama kurun waktu enam tahun. Pada tahun 2011, tercatat 67% lahan tidak terbangun dari luas wilayah Kecamatan Kuta Utara. Berubah cukup signifikan pada tahun 2017, dimana proporsi lahan tidak terbangun mencapai 48% sedangkan proporsi lahan terbangun sebesar 52% (Sanjaya, 2019). Hampir setengah dari luas wilayah Kecamatan Kuta Utara telah beralih

menjadi lahan terbangun, dan menandakan berkurangnya lahan produktif untuk pertanian di Kecamatan Kuta Utara.

Tabel 2. Total Hotel Bintang dan Hotel Non Bintang di Kecamatan Kuta Utara Tahun 2016-2018

Sumber: Kuta Utara Dalam Angka/ 2019

Tahun

Hotel Bintang

Hotel

Non Bintang

Total

Satu

Dua

Tiga

Empat

Lima

2016

-

-

2

3

-

291

296

2017

-

-

2

3

-

61

66

2018

-

-

3

17

-

1.809

1.829

Tabel 2 memperlihatkan bahwa total hotel bintang meningkat empat kali lipat, sedangkan total hotel non bintang meningkat hampir tujuh kali lipat untuk hotel non bintang dalam dua tahun. Berdasarkan data penggunaan lahan di Kecamatan Kuta Utara berbanding lurus dengan bertambahnya jumlah akomodasi pariwisata di Kecamatan Kuta Utara. Data tersebut menunjukkan bahwa semakin besarnya lahan terbagun yang diperuntukan untuk penambahan akomodasi pariwisata di Kecamatan Kuta Utara. Dan memperlihatkan pesatnya kondisi pembangunan dan pengembangan yang berlangsung di Kecamatan Kuta Utara.

Situasi ini cukup mengkhawatirkan, karena dalam perencanaan ruang dan wilayah di Kecamatan Kuta Utara yang diperuntukan untuk pertanian dan konservasi. Namun pada praktik di lapangan justru penggunaan lahan di Kecamatan Kuta Utara tidak sesuai dengan peruntukannya. Perkembangan pariwisata merupakan salah satu faktor penyebab pemanfaatan ruang yang tidak sesuai sama ketentuan RTRW Kabupaten Badung. Dapat juga dilihat bahwa pemanfaatan ruang dan wilayah ini telah mengarah secara berlebihan untuk mengakomodir kegiatan pariwisata.

  • D.    Analisis Konseptual

Kebijakan pariwisata yang ada di Kabupaten Badung menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah berupaya serius dalam mengelola pariwisata Bali secara lebih siap dan terencana (well prepare). Kebijakan pariwisata erat kaitannya dengan perencanaan, baik dari perencanaan tata ruang wilayah dan perencanaan pembangunan pariwisata. Dari aspek perencanaan tata ruang wilayah diinisiasi untuk mengatur terkait penggunaan ruang dan wilayah sesuai dengan peruntukan serta perencanaannya. Lalu dari aspek perencanaan pembangunan di sektor pariwisata diinisiasi untuk pembangunan sektor pariwisata dengan lebih sistematis serta terencana. Indikator dan strategi pembangunan dalam sektor pariwisata dipisahkan ke dalam empat aspek yakni destinasi pariwisata, industri pariwisata, pemasaran pariwisata, dan kelembagaan pariwisata.

Vol. 9 No 2, 2021

Kebijakan pembangunan pariwisata di Kecamatan Kuta Utara periode 2017-2025 termuat di Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2016 Tentang RIPPARKAB Badung. Lalu kebijakan pengembangan pariwisata khususnya terkait peruntukan ruang dan wilayah termuat di Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 Tentang RTRW Kabupaten Badung. Kebijakan pariwisata yang telah ditetapkan telah menjadi kompas (guideline) bagi para stakeholders dalam penyelenggaraan dan pengawasan di sektor pariwisata.

Peran Pemerintah dalam merumuskan kebijakan pariwisata yakni membentuk kerangka kerja (framework) operasional untuk partisipasi antara sektor publik dan swasta yang terlibat dalam kegiatan pariwisata. Kemudian Pemerintah menegakkan serta mendorong kepatuhan terhadap hukum, peraturan, dan tindakan pengendalian yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah, untuk melindungi agar tidak terjadi konflik di antara masyarakat, lalu melindungi lingkungan, dan pelestarian warisan budaya. Selanjutnya Pemerintah menyiapkan anggaran untuk program-program yang menunjang dan mendukung sektor pariwisata. Dan Pemerintah menyiapkan infrastruktur, suprastruktur, sarana, serta prasarana yang menunjang kepentingan publik sekaligus juga menunjang kegiatan pariwisata.

Pengelolaan pariwisata dalam kebijakan RIPPARKAB Badung telah mempraktikkan prinsip-prinsip pengelolaan pariwisata, seperti pembangunan serta pengembangan pariwisata yang mencerminkankan keunikan budaya dari masyarakat lokal dan berbasiskan pada nilai kearifan lokal (special local sense). RIPPARKAB Badung pada bagian prinsip pembangunan kepariwisataan telah mencantumkan nilai kearifan lokal (local wisdom), yakni “Tri Hita Karana”. Selain itu prinsip pembangunan kepariwisataan juga mencantumkan narasi pariwisata berkelanjutan.

Namun dalam praktik secara empiris, prinsip-prinsip pengelolaan pariwisata belum diterapkan, seperti melindungi, melestarikan, dan meningkatkan kualitas sumber daya berdasarkan pengembangan kawasan pariwisata. Kecamatan Kuta Utara merupakan salah satu gambaran yang miris, karena transformasi besar-besaran lahan pertanian dan Subak di Kabupaten Badung. Akibat perubahan fungsi lahan pertanian, sebagian besar lahan telah beralih menjadi lahan terbangun dalam bentuk pemukiman; akomodasi pariwisata; perdagangan dan jasa. Aspek perlindungan serta pelestarian alam tampaknya tidak mampu dicapai dalam tataran politik, Pemerintah justru kompromi untuk hal-hal terkait lingkungan.

Jika ditelusuri lebih dalam, kebijakan RIPPARKAB Badung baru sebatas perencanaan teknis terkait dengan pembangunan pariwisata di Kabupaten Badung. Fokus dalam kebijakan RIPPARKAB lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dari industri

pariwisata, praktik semacam ini sudah berlangsung sejak pemerintahan orde baru. Terlihat dari indikator yang ingin dicapai dalam RIPPARKAB Badung, secara kuantitas dengan mendatangkan wisatawan dalam jumlah yang besar dan berkualitas secara ekonomi berupa durasi tinggal serta besaran pengeluaran dari wisatawan.

Variabel lingkungan/alam tidak menjadi fokus dalam implementasi kebijakan pariwisata, seperti menghitung daya tampung untuk aktivititas pariwisata di daya tarik wisata. Padahal prinsip pembangunan kepariwisataan yang tertuang di RIPPARKAB Badung, menerapkan prinsip “Tri Hita karana”, lalu pariwisata berkelanjutan lalu keterpaduan antar sektor dan antar wilayah. Namun tidak berjalannya keterpaduan antara sektor pariwisata dengan sektor lainnya, justru sektor pariwisata berjalan secara mandiri dan sektor lainnya juga berjalan masing-masing.

Fenomena transformasi dan reduksi lahan persawahan dan Subak di Kecamatan Kuta Utara telah berubah peruntukannya menjadi akomodasi pariwisata. Terlihat variabel lingkungan/alam sering kali menjadi objek yang dieksploitasi semata, demi kepentingan manusia. Padahal lahan sawah dan Subak kalau dimanfaatkan dengan optimal selain memproduksi bahan pangan, dapat juga menambah nilai tambah dengan menjadi produk pariwisata berupa wisata perdesaan dan agrowisata.

Kondisi ini menunjukkan adanya dualitas antara kepentingan ekonomi dan lingkungan dalam pesatnya pengembangan sektor pariwisata di Kawasan Pariwisata Kuta. Dalam sudut pandang ekonomi, sektor pariwisata memberikan kontribusi yang positif bagi pemerintah dalam bentuk pemasukan daerah (Produk Domestik Bruto) dan masyarakat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja. Namun sudut pandang lingkungan/ekologi justru berdampak negatif dari pesatnya pengembangan pariwsata dan kegiatan pariwisata.

Pelestarian serta perlindungan yang tidak memadai atas sumber daya yang ada, terutama dalam penggunaan ruang untuk sektor pertanian. Eksistensi dari Subak khas Bali yang semakin terancam serta termarginalkan ditengah hegemoni sektor pariwisata, juga mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Dimana mata pencaharian masyarakat bergeser dari produksti (pertanian) ke industri jasa (pariwisata), sektor pertanian tidak mampu bersaing dengan sektor pariwisata yang berkembang dengan pesat.

Selain persoalan alih fungsi lahan sawah dan menyusutnya luasan Subak di Kecamatan Kuta Utara, pesatnya pengembangan pariwisata di Kawasan Pariwisata Kuta justru menambah persoalan baru mulai dari kemacetan lalu lintas, gelombang urbanisasi, dan penambahan volume sampah.

Kecamatan Kuta Utara secara letak geografis cukup strategis, dimana bersebelahan dengan Kuta

Vol. 9 No 2, 2021

sebagai pusat pariwisata, kemudian Kota Denpasar sebagai pusat perekonomian di Bali, dan Kecamatan Mengwi sebagai pusat administrasi pemerintahan Kabupaten Badung. Strategisnya wilayah Kecamatan Kuta Utara dijadikan sebagai lokasi hunian para pekerja sektor pariwisata, dan wisatawan yang mencari tempat wisata serta akomodasi alternatif selain Kuta.

Kecamatan Kuta Utara yang secara perencanaan direncanakan sebagai daerah penyangga (buffer zone) dari Kawasan Pariwisata Kuta. Sebagai daerah penyangga, Kecamatan Kuta Utara justru perlahan-lahan mulai berkembang pesat. Pesatnya perkembangan pariwisata di Bali, diikuti oleh wisatawan yang mulai merasa jenuh berwisata di sekitar Kuta yang dirasa monoton. Situasi ini berakibat pada pergeseran mobilitas masyarakat dari luar dan wisatawan yang lambat laun mulai berpindah ke daerah Kuta Utara baik untuk tempat tinggal maupun berwisata.

Pesatnya pembangunan dan pengembangan pariwisata khususnya di Bali bagian Selatan, justru membawa berbagai persoalan baru. Pariwisata yang berjalan sendiri, yang seharusnya sektor pariwisata bersinergi dengan sektor lainnya justru tidak berjalan sesuai dengan kebijakan pariwisata yang telah ditetapkan. Pengelolaan pariwisata seharusnya dilihat secara holistik serta pendakatan yang komprehensif dari berbagai sektor.

Pariwisata harus mulai disadari merupakan sektor jasa yang termasuk ke dalam sektor tersier. Pariwisata yang tergolong sektor tersier dalam hal perekonomian cukup beresiko jika diandalkan sebagai basis perekonomian suatu daerah, karena pariwisata cukup bergantung pada situasi baik global maupun domestik (krisis ekonomi, bencana alam, terorisme, wabah penyakit, dll).

Sektor pariwisata dari sisi lingkungan seharusnya mampu menjaga kondisi eksistensi alam, dengan menyesuaikan daya tampung wisatawan di daya tarik wisata, selanjutnya mampu mengaplikasikan nilai-nilai keberlanjutan terutama keberlanjutan lingkungan. Berikutnya sektor pariwisata dari sisi sosial-budaya masyarakat mampu menjaga eksistensi pekerjaan komunal seperti petani dan nelayan ditengah hegemoni dari industri pariwisata berupa pekerjaan jasa; selanjutnya eksistensi budaya lokal tetap terjaga ditengah globalisasi; selanjutnya menjaga kebudayaan masyarakat lokal mana yang bisa dikonsumsi oleh wisatawan untuk menjawab persoalan komersialisasi kebudayaan masyarakat lokal yang dijadikan atraksi pariwisata; dan mempertahankan nilai-nilai keluhuran serta kesakralan dari tempat-tempat suci yang dijadikan daya tarik wisata.

  • E.    Temuan

Kebijakan tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), ditemukan bahwa dari enam kecamatan di

Kabupaten Badung baru Kecamatan Kuta Selatan yang telah disahkan dan diundangkan menjadi Peraturan Daerah. Sedangkan RDTR di lima kecamatan lainnya masih belum jelas kepastiannya sejak tahun 2014. Kecamatan Kuta serta Kecamatan Kuta Utara tengah terkendala dari sisi RDTR, sebab menunggu arahan dari Pemerintah Pusat.

Pada tingkatan pansus telah dilakukan pembahas, namun terhambat karena adanya ego sektoral dari Kementerian yang terlibat dalam kebijakan RDTR. Penyebab dari belum jelasnya RDTR dari Kecamatan Kuta dan Kecamatan Kuta Utara, disebabkan tidak senadanya antara Kementerian di pusat dengan Pemerintah Daerah selama ini. Kondisi ini berimbas pada belum ditetapkannya kebijakan RDTR di lima kecamatan di Kabupaten Badung.

Akibat dari belum ditetapkannya Peraturan Daerah tentang RDTR di lima kecamatan selain Kecamatan Kuta Selatan di Kabupaten Badung, yakni tidak optimalnya penyerapan investasi di Kecamatan Kuta Utara maupun Kecamatan Kuta. Kemudian besarnya alih fungsi lahan produktif untuk pertanian menjadi lahan terbangun. Banyak kawasan yang telah dibangun akomodasi pariwisata berupa villa, namun karena tidak dapat mengurus izin banyak villa ilegal atau bodong yang tidak membayar pajak. Banyaknya villa ilegal yang tidak membayar pajak justru merugikan dari sisi pendapatan daerah atas pajak hotel dan restoran.

Pada tataran penegakan hukum, terhambat untuk menindak banyaknya villa illegal oleh aparat penegak hukum. Penindakan dan pencegahan dari villa ilegal maupun bangunan liar lainnya terhambat disebabkan belum ditetapkannya Peraturan Daerah tentang RDTR di Kecamatan Kuta Utara. Sikap dari aparatur penegak hukum sampai saat ini tidaklah tegas, justru pembiaran yang terjadi dari berdirinya villa dan bangunan liar di Kecamatan Kuta Utara. Sulitnya penindakan dan pencegahan dari villa ilegal dan bangunan liar di Kecamatan Kuta Utara, mengakibatkan bertambahnya alih fungsi lahan produktif setiap tahunnya.

Ada beberapa catatan evaluasi dan masukkan untuk RIPPARKAB Badung periode 2017-2025. Mulai dari fokus kebijakan pariwisata dalam RIPPARKAB Badung yang target pencapaiannya berorientasi dari segi pertumbuhan ekonomi, mengarah pada praktik pariwisata massal (mass tourism). Kedua dari segi jangka waktu perencanaan RIPPARKAB yang berbeda dari konteks perencanaan pada umumnya, dimana dalam RIPPARKAB baik jangka pendek, menengah, dan panjang dibagi dalam rentang waktu 2 tahun. Lazimnya dalam dokumen perencanaan umumnya, jangka menengah direncanakan untuk 5-8 tahun ke depan dan jangka panjang direncanakan untuk 10 tahun mendatang atau lebih.

Ketiga dari sisi pengawasan dan pengendalian, Pemerintah Daerah Kabupaten belum menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian dari berjalannya

Vol. 9 No 2, 2021

sektor pariwisata terutama di industri pariwisata. Keempat, terjadi kontranarasi dalam kebijakan RIPPARKAB Badung dimana pembangunan yang berlangsung belum mencerminkan prinsip pembangunan “Tri Hita Karana” dan pariwisata berkelanjutan. Terutama aspek ekologi masih belum dapat dilindungi dan dilestarikan, terbukti dari masifnya alih fungsi lahan produktif dan berkurangnya luasan subak menjadi lahan terbangun.

Kelima, praktik pariwisata secara empiris di Kabupaten Badung telah mengarah pada overtourism. Terlihat dari membludaknya akomodasi pariwisata yang ada di Kabupaten Badung, lalu jumlah kamar yang tersedia juga melebihi dari jumlah wisatawan yang datang ke Pulau Bali. Sehingga penting kedepannya untuk diperhatikan dampak pariwisata terutama dari aspek keberlanjutan lingkungan.

  • V.    KESIMPULAN

Secara praktik kebijakan RIPPARKAB Badung periode 2017-2025, berparadigma pertumbuhan ekonomi semata dengan orientasi pengembangan pariwisata pun mengejar dari segi ekonomi. Praktik pariwisata yang berlangsung khususnya di Kabupaten Badung, mengarah pada praktik mass tourism. Parameter keberhasilan dari praktik pariwisata Bali, secara kuantitas bertambahnya volume kunjungan para wisatawan; dan secara kualitas bersandarkan pada durasi tinggal serta besarnya pengeluaran oleh wisatawan. Kondisi ini memperlihatkan betapa kurangnya atensi dari segi ekologis terlebih pada nilai keberlanjutan, pelestarian, dan konservasi.

Pembangunan dan pengembangan pariwisata di Kecamatan Kuta Utara, telah menunjukan bahwa komponen pariwisata (Pemerintah, Praktisi Pariwisata, Masyarakat Lokal, dan Wisatawan) telah menganut paradigma transturisme dan berada di tahap kompromi. Berdasarkan temuan terkait permasalahan alih fungsi lahan yang masif terjadi di Kecamatan Kuta Utara, disebabkan belum ditetapkannya kebijakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di Kecamatan Kuta Utara. Banyaknya villa liar di Kecamatan Kuta Utara, menunjukan kebijakan yang bertentangan dapat selalu dikompromikan karena terdapat kesadaran bersama antar komponen pariwisata. Sehingga kompromi menjadi pilihan yang diambil guna mencegah terjadinya konflik kepentingan secara terbuka.

  • VI.    SARAN

Saran atau rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Badung perlu menjadi perhatian serius, pertama dapat segera ditetapkannya kebijakan RDTR di Kecamatan Kuta Utara. Supaya mencegah lahan produktif seperti sawah dan Subak tidak beralih fungsi untuk pemenuhan lahan terbangun dan akomodasi pariwisata yang lebih masif lagi.

Kedua, terkait penertiban villa illegal, dimana ada indikasi kebocoran pendapatan daerah Kabupaten Badung dari pajak hotel dan restoran di Kecamatan Kuta Utara. Ketiga, perlu dilakukannya pengawasan serta pengendalian sesuai dalam kebijakan RIPPARKAB Badung Tahun 2016. Supaya pembangunan dan pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung khususnya di Kecamatan Kuta Utara, dapat dievaluasi dan menjadi perbaikan dalam perencanaan pembangunan kepariwisataan ke depan.

DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI

Anggara, S, 2014. Kebijakan Publik, CV. PUSTAKA SETIA, Bandung.

Anom, I., Suryasih,I., Nugroho, S., & Mahagangga, I. (2017).

Turismemorfosis:   Tahapan selama seratus tahun

perkembangan dan prediksi pariwisata Bali. Jurnal Kajian Bali (Journal     of     Bali     Studies),     7(2),     59-80.

doi:10.24843/JKB.2017.v07 .i02.p04

Antariksa, Basuki, 2016, Kebijakan Pembangunan Kepariwisatan, Intrans Publishing, Malang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2020

Badan Pusat Statistik, 2019, Kecamatan Kuta Utara Dalam Angka 2019, BPS Kabupaten Badung, Badung.

Dodds, Rachel, dan Richard Butler, (2010), “Barriers to implementing sustainable tourism policy in mass tourism destinations”, Tourismos: An International Multidisciplinary Journal of Tourism, vol 5, no. 1, pp. 35-53.

Dredge, Dianne, dan Tazim Jamal, (2015), “Progress in tourism planning and policy:  A post-structural perspective on

knowledge production”, Tourism Management, vol 51, pp.285– 297.

Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning: An Integrated and Suistainable Development Aproach, Van Nostrand Reinhold, New York.

Kabupaten Badung, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Rencana Induk Pembangungan Pariwisata Kabupaten Badung Tahun 2017 - 2025.

Kabupaten Badung, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung tahun 2013-2033.

Mahagangga, I. G. A. O., & Anom, I. P. (2017). PROBLEMATIKA PARIWISATA DI KABUPATEN BADUNG (ANALISIS PARADIGMA TRANSTURISME).

Mahagangga, G. A. O., Anom, I. P., Suryawan, I. B., Negara, I. K., Wulandari, I. G. A. A., & Ariwangsa, I. M. B. (2021, April). Tourism evolution and climate changed in Badung Regency, Bali, Indonesia. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 724, No. 1, p. 012093). IOP Publishing.

Mardiana, G.A.H. (2021). Analisis Kontribusi Pendapatan Sektor Pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gianyar. E-Jurnal Akuntansi, 31(1),259-274

Moleong, Lexy J., 2017, Metodologi Penlitian Kualitatif, PT. Remaja Rodakarya, Bandung.

Nugroho, S., Arismayanti, N. K., & Arida, S. (Eds.). (2017). Tren pariwisata milenium: diskursus dengan alam, bahasa, sejarah, dan pasar. Pustaka Larasan bekerja sama dengan Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana.

Parma, P. G. (2013). Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berdasarkan Perspektif Tata Ruang Di Bali. Jurnal Perhotelan Undiksha, 10(2).

Pemerintah Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Pitana, I Gde dan I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Andi, Yogyakarta.

Pratama, Y. I. (2016). Konsep Pengembangan Kawasan Pariwisata Terpadu Di Kecamatan Batu (Doctoral dissertation, Institut Teknologi Sepuluh Nopember).

Vol. 9 No 2, 2021

Provinsi Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015 – 2029.

Provinsi Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029.

Sanjaya, I. P. W., & Marsoyo, A. (2019). Perubahan Pemanfaatan Ruang Sebelum dan Sesudah Penetapan Kawasan Perkotaan SARBAGITA Di Kecamatan Kuta Utara. Jurnal Planoearth, 4(1), 24-30.

Sedarmayanti, Gumelar S. Sastrayuda, dan LIa Afriza, 2018, Pembangunan & Penngembangan Pariwisata, PT. Refika Aditama, Bandung.

Suardana, I Wayan. (2013). Analisis kebijakan pengembangan

pariwisata. Seminar Nasional: Unud.

Sunarta, I Nyoman, dan Nyoman Sukma Arida, 2017, Pariwisata Berkelanjutan, Cakra Press, Denpasar.

Sunarta, I. N. (2015). Dampak Perkembangan Usaha Akomodasi Terhadap Sumber Daya Air di Kecamatan Kuta Utara

Kabupaten Badung Bali. Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Bali.

Sunarta, I. N., I. M. Adikampana, dan S. Nugroho (2019) “The Existence of Subak inside the Northern Kuta Tourism Area, Bali” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. IOP Publishing, pp. 1-8.

Sunarta, I. N., Nugroho, S., & Adikampana, I. M. (2021). “Spatial Transformation of Subak in Northern Kuta Tourism Area, Bali: From Agricultural to Cultural-Service”. South Asian Journal of Social Studies and Economics, 26-38.

Suwena, I. K., dan Widyatmaja, I. G. N., 2017, Pengetahuan dasar ilmu pariwisata, Pustaka Larasan, Denpasar.

Yoga, I. G. A. D., & Wenagama, I. W. (2015). Pengaruh Jumlah Kunjungan dan Pengeluaran Wisatawan Mancanegara terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali Tahun 1996-2012. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana, 4(2), 44511.

400